BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah
meninggal kepada seseorang yang masih hidup yang berhak menerima harta
tersebut. Hukum waris adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum
mengenai kekayaan setelah wafatnya seseorang. Seseorang yang berhak menerima
harta peninggalan di sebut ahli waris. Dalam hal pembagian harta peninggalan,
ahli waris telah memiliki bagian-bagian tertentu. Seperti yang tercantum dalam
Firman Allah SWT sebagai berikut :
تَرَكَ مِمَّا نَصِيبٌ وَلِلنِّسَاءِ وَالأقْرَبُونَ الْوَالِدَانِ تَرَكَ مِمَّا نَصِيبٌ لِلرِّجَالِ
مَفْرُوضًا نَصِيبًا كَثُرَ أَوْ مِنْهُ قَلَّ مِمَّا وَالأقْرَبُونَ الْوَالِدَانِ
“Bagi laki-laki ada hak bagian
dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”
2.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang tersebut maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai
berikut
o Apa yang dimaksud dengan waris ?
- Apa saja syarat dan rukun waris ?
- Sebutkan golongan ahli waris !
- Sebutkan hak-hak yang bersangkutan
dengan harta waris !
- Jelaskan mngenai bagian-bagian ahli waris
!
- Apa sajakah Sebab-sebab tidak mendapatkan
harta waris ?
- Apa yang di maksud dengan ‘Aulu ?
- Hal-hal apa saja yang menghalangi waris ?
- Apa yang di maksud dengan Wasiat ?
3. TUJUAN
- Untuk mengetahui dan memaparkan hukum
waris menurut pandangan agama Islam.
- Untuk menambah wawan pembaca mengenai
hukumwaris menurut pandangan agama Islam.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
1)
PENGERTIAN WARIS
Pengertian waris menurut bahasa
ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, akan tetapi
mencakup harta benda dan non harta benda. Kata ورث adalah kata kewarisan pertama yang digunakan dalam al-Qur’an. Kata waris dalam berbagai bentuk makna tersebut dapat
kita temukan dalam al-Qur’an, yang antara lain:
§ Mengandung makna “mengganti kedudukan”
(QS. an-Naml, 27:16).
§ Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan”
(QS. az-Zumar,39:74).
§ Mengandung makna “mewarisi atau menerima warisan”
(QS. al-Maryam, 19: 6).
Sedangkan secara terminologi
hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian
harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang
diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya. Sedangkan
menurut para fuqoha, pengertian ilmu waris adalah sebagai berikut:
علم يعرف به من يرث ومن لا يرث ومقداركل وارث وكيفية التوزيع
“Artinya: Ilmu yang mempelajari
tentang ketentuan-ketentuan orang yang mewaris, kadar yang diterima oleh ahli
waris serta cara pembagiannya.”
Adapun dalam
istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal
dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Seperti yang disampaikan oleh Wiryono
Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai
hak-hak dan kewajibankewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. Dengan demikian secara garis
besar definisi warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang
kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup
dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.
Selain kata waris tersebut, kita
juga menemukan istilah lain yang berhubungan dengan warisan, diantaranya
adalah:
a.
Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak
menerima warisan.
b.
Muwaris, adalah orang yang diwarisi harta bendanya (orang
yang meninggal) baik secara haqiqy maupun hukmy karena adanya penetapan
pengadilan.
c.
Al-Irsi, adalah harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli
waris yang berhak setelah diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang
dan menunaikan wasiat.
d.
Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli
waris.
e.
Tirkah, yaitu seluruh harta peninggalan orang yang meninggal
dunia sebelum diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang, menunaikan
wasiat.
Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi
Hukum Islam (KHI) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).
2)
SYARAT DAN RUKUN WARIS
Terdapat tiga
syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut
adalah:
- Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya
dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
- Adanya ahli waris yang hidup secara
haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.
- Seluruh ahli waris diketahui secara pasti
baik bagian masing-masing.
Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada
tiga macam, yaitu :
1.
Muwaris, yaitu
orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya.
Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian seorang
muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :
a)
Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa
membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang
banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas
dan nyata.
b)
Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis)
Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian
yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan.
Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal
meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah
dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4
tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain,
terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam
segi kemungkinannya.
c)
Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris)
berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul
perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati,
maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap
ibunya.
2.
Waris (ahli
waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik
hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena
memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris,
ahli waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini
adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat
juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan ahli waris
tidak ada halangan saling mewarisi.
3.
Maurus atau
al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan
jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.
3)
GOLONGAN AHLI WARIS
Orang-orang yang berhak menerima harta waris dari
seseorang yang meninggal sebanyak 25 orang yang terdiri dari 15 orang dari
pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan.
Golongaan ahli waris dari pihak laki-laki, yaitu :
- Anak laki-laki.
- Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu)
dari pihak anak laki-laki, terus kebawah, asal pertaliannya masih terus
laki-laki.
- Bapak.
- Kakek dari pihak bapak, dan terus ke atas
pertalian yang belum putus dari pihak bapak.
- Saudara laki-laki seibu sebapak.
- Saudara laki-laki sebapak saja.
- Saudara laki-laki seibu saja.
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang
seibu sebapak.
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang
sebapak saja.
- Saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak
bapak yang seibu sebapak.
- Saudara laki-laki bapak yang sebapak saja.
- Anak laki-laki saudara bapak yang
laki-laki (paman) yang seibu sebapak.
- Anak laki-laki saudara bapak yang
laki-laki (paman) yang sebapak saja.
- Suami.
- Laki-laki yang memerdekakannya (mayat).
Apabila 10 orang laki-laki
tersebut di atas semua ada, maka yang mendapat harta warisan hanya 3 orang
saja, yaitu :
- Bapak.
- Anak laki-laki.
- Suami.
Golongan dari pihak perempuan, yaitu :
1.
Anak perempuan.
2.
Anak perempuan
dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, asal pertaliannnya dengan yang
meninggal masih terus laki-laki.
3.
Ibu.
4.
Ibu dari bapak.
5.
Ibu dari ibu
terus ke atas pihak ibu sebelum berselang laki-laki.
6.
Saudara
perempuan seibu sebapak.
7.
Saudara
perempuan yang sebapak.
8.
Saudara
perempuan seibu.
9.
Istri.
10. Perempuan yang memerdekakan si mayat.
Apabila 10 orang tersebut di atas
ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari mereka itu hanya 5 orang saja,
yaitu :
- Isteri.
- Anak perempuan.
- Anak perempuan dari anak laki-laki.
- Ibu.
- Saudara perempuan yang seibu sebapak.
Sekiranya 25 orang tersebut di atas dari pihak
laki-laki dan dari pihak perempuan semuanya ada, maka yang pasti mendapat hanya
salah seorang dari dua suami isteri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan
anak perempuan.
Anak yang berada dalam kandungan
ibunya juag mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal dunia sewaktu
dia masih berada di dalam kandungan ibunya. Sabda Rasulullah SAW. “apabila menangis anak yang baru lahir, ia
mendapat pusaka.” (HR. Abu Dawud).
4)
BEBERAPA HAK YANG BERSANGKUTAN
DENGAN HARTA WARIS
Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat
beberapa hak yang harus di dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :
- Hak yang bersangkutang dengan harta itu,
seperti zakat dan sewanya.
- Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga
kafan, upah menggali tanah kubur, dan sebagainya. Sesudah hak yang pertama
tadi di selesaikan, sisanya barulah di pergunakan untuk biaya mengurus
mayat.
- Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
- Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak
lebih dari sepertiga dari harta penginggalan si mayat.
5)
BAGIAN-BAGIAN AHLI WARIS
Dalam fiqih mawaris ada ilmu yang
digunakan untuk mengetahui tata cara pembagian dan untuk mengetahui siapa-siapa
saja yang berhak mendapat bagian, siapa yang tidak mendapat bagian dan berapa
besar bagiannya adalah ilmu faroidl. Al-Faraaidh ( الفرائض ) adalah bentuk jamak dari kata Al-Fariidhoh(الفريضه ) yang oleh para
ulama diartikan semakna dengan lafazh mafrudhah,
yaitu bagian-bagian yang telah ditentukan kadarnya. Ketentuan kadar
bagian masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut :
§ Yang mendapat setengah harta.
§ Anak perempuan, apabila ia hanya sendiri, tidak
bersama-sama saudaranya. Allah berfirman dalam surah An-Nisa’ ayat 11 :
لنِّصْفُا فَلَهَا وَاحِدَةً كَانَتْ وَإِنْ
Artinya : “Jika anak perempuan itu hanya seorang, maka ia memperolah separo
harta.”
1.
Anak perempuan
dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak perempuan.(berdasarkan keterangan
ijma’)
§ Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak
saja, apabila ia saudara perempuan seibu sebapak tidak ada dan ia hanya seorang
saja.
§ Suami, apabila isterinya yang meninggal dunia itu
tidak meninggallkan anak dan tidak pula ada anak dari anak laki-laki, baik
laki-laki maupun perempuan.
2.
Yang mendapat
seperempat harta.
§ Suami, apabila isteri meninggal dunia itu meninggalkan
anak, baik anak laki-laki ataupun anak perempuan, atau meninggalkan anak dari
anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan. Firman Allah SWT, dalam surah
An-Nisa’ ayat 12, yaitu :
بِهَا يُوصِينَ وَصِيَّةٍ بَعْدِ مِنْ تَرَكْنَ مِمَّا الرُّبُعُ فَلَكُمُ وَلَدٌ لَهُنَّ كَانَ فَإِنْ دَيْنٍ أَوْ
Artinya : “Jika
istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
di tinggalkannyasesudah dik penuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
di bayar utangnya.”
§ Istri, baik hanya satu orang
ataupun berbilang, jika suami tidak meninggalkan anak(baik anak laki-laki
maupun anak perempuan) dan tidak pula anak dari anak laki-laki(baik laki-laki
maupun perempuan). Maka apabila istri itu berbilang, seperempat itu di bagi
rata antara mereka.
3.
Yang mendapat
seperdelapan harta.
Istri baik satu ataupun berbilang, mendapat warisan dari
suaminya seperdelapan dari harta kalau suaminya yang meninggal dunia itu
meninggalkan anak, baik anak laki-laki ataupun perempuan, atau anak dari anak
laki-laki, baik laki-laki ataupun perempuan.
Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu
:
الثُّمُنُ فَلَهُنَّ وَلَدٌ لَكُمْ كَانَ فَإِنْ
Artinya : “Jika
kamu mempunyai anak, maka para istri itu memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan.”
4.
Yang mendapat
dua pertiga harta.
§ Dua orang anak perempuan atau lebih, dengan syarat
apabila tidak ada anak laki-laki.
§ Dua orang anak perempuan atau lebih dari anak
laki-laki. Apabila ia anak perempuan tidak ada, berarti anak perempuan dari
anak laki-laki yang berbilang itu, mereka mendapatkan harta warisan dari kakek
mereka sebanyak dua pertiga dari harta.
§ Suadara perempuan yang seibu sebapak apabila
berbilang(dua atau lebih). Firman Allah SWT, dalam Surah An-Nisa’ ayat 176,
yaitu :
تَرَكَ مِمَّا الثُّلُثَانِ فَلَهُمَا اثْنَتَيْنِ كَانَتَا فَإِنْ
Artinya : “Jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
di tinggalkan oleh yang meninggal.”
§ Saudara perempuan yang sebapak, dua orang atau lebih.
Keterangannya adalah surah An-Nisa’ ayat 176 yang
tersebut di atas, karena yang di maksud dengan saudara dalam ayat
tersebut ialah saudara seibu sebapak atau saudara sebapak saja apabila
saudara perempuan yang seibu sebapak tidak ada.
5.
Yang mendapat
sepertiga harta.
§
Ibu, apabila
yang meninggal tidak meningglkan anak atau cucu (anak dari anak laki-laki), dan
tidak pula meninggalkan dua orang saudara, baik laki-laki ataupun perempuan,
seibu sebapak atau sebapak saja, atau seibu saja.
§
Dua orang
saudara atau lebih dari saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu :
الثُّلُثِ فِي شُرَكَاءُ فَهُمْ ذَلِكَ مِنْ أَكْثَرَ كَانُوا فَإِنْ
Artinya : “Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu.”
6.
Yang mendapat
sepereenam harta.
§ Ibu, apabila ia beserta anak, beserta anak dari anak
laki-laki,atau beserta dua saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun
saudara perempuan, seibu sebapak, sebapak saja, atau seibu saja.
§ Bapak si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak
atau anak dari anak laki-laki.
§ Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), kalau ibu
tidak ada. Hal ini beralasan dari hadist yang diriwayatkan oleh zaid yang
artinya : “Sesungguhnya nabi SAW. telah menetapkan bagian nenek seperenam dari
harta “
§
Cucu perempuan
dari pihak anak laki-laki, (anak perempuan dari anak laki-laki). Mereka
mendapatkan seperenam dari harta, baik sendiri atau berbilang, apabila
bersama-sama seorang anak perempuan. Tetapi apabila anak perempuan berbilang,
maka cucu perempuan tadi tidak mendapat harta waris.
§ Kakek (bapak dari bapak), apabila beserta anak atau
anak dari anak laki-laki, sedangkan bapak tidak ada. (keterangan berdasarkan
ijma’ para ulama’)
§ Untuk seorang sudara yang seibu, baik laki-laki maupun
perempuan. Firman Allah SWT. Dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu :
السُّدُسُ مِنْهُمَا وَاحِدٍ فَلِكُلِّ أُخْتٌ أَوْ أَخٌ وَلَهُ
Artinya : “Dan
apabila si mayat mempunyai seorang sudara laki-laki(seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta.”
§ Saudara perempuan yang sebapak saja, baik sendiri
ataupun berbilang, apabila beserta saudara perempuan yang seibu sebapak. Adapun
apabila saudara seibu sebapak berbilang(dua atau lebih), maka saudara sebapak
tidak mendapat harta warisan. (berdasarkan ijma’ para ulama’).
6)
SEBAB-SEBAB TIDAK MENDAPATKAN
HARTA WARIS
Ahli waris yang telah di sebutkan di atas semua tetap
mendapatkan harta waris menurut ketentuan-ketentuan yang telah di sebutkan,
kecuali apabila ada ahli waris yang lebih dekat pertaliannya kepada si mayit
dari pada mereka. Berikut akan di jelaskan orang-orang yang mendapat harta
waris, atau bagiannya menjadi kurang karena ada yang lebih dekat pertaliannya
kepada si mayit dari pada mereka.
- Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak),
tidak mendapat harta waris karena ada ibu, sebab ibu lebih dekat
pertaliannya kepada yang meninggal dari pada nenek. Begitu juga kakek,
tidak mendapat harta waris selama bapaknya masih ada, karena bapak lebih
dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada kakek.
- Saudara seibu, tidak mendapatkan harta
waris karena adanya orang yang di sebut di bawah ini :
o
Anak, baik
laki-laki maupun perempuan.
o
Anak dari anak
laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
o
Bapak.
o
Kakek.
§ Saudara sebapak, saudara sebapak tidak mendapat harta
waris dengan adanya salah seorang dari empat orang berikut :
o
Bapak.
o
Anak laki-laki.
o
Anak laki-laki
dari anak laki-laki(cucu laki-laki).
o
Sudara
laki-laki yang seibu sebapak.
§ Saudara seibu sebapak. Saudara seibu sebapak tidak
akan mendapatkan harta waris apabila terhalang oleh salah satu dari tiga orang
yang tersebut di bawah ini :
o
Anak laki-laki.
o
Anak laki-laki
dari anak laki-laki(cucu laki-laki)
o
Bapak.
- Tiga laki-laki berikut ini mendapatkan
harta waris namun saudara perempuan mereka tidak mendapat harta waris,
yaitu:
o
Saudara
laki-laki bapak(paman) mendapatkan harta waris. Namun, saudara perempuan bapak
(bibi) tidak mendapatkan harta waris.
o
Anak laki-laki
saudara bapak yang laki-laki(anak laki-laki paman dari bapak) mendapat harta
waris. Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta waris.
o
Anak laki-laki
saudara laki-laki mendapatkan harta waris. Namun, anak perempuannya tidak
mendapatkan harta waris.
7)
PENGERTIAN ‘AULU
‘Aulu artinya jumlah beberapa ketentuan lebih banyak
daripada satu bilangan, atau berarti jumlah pembilang dari beberapa ketentuan
lebih banyak dari pada kelipatan persekutuan terkecil dari
penyebut-penyebutnya. Umpamanya ahli waris adalah suami dan dua saudara seibu
sebapak, maka suami mendapat ketentuan 1/2 , dua saudara perempuan mendapat 2/3
sedangkan kelipatan persekutuan terkecil dari 2 dan 3 adalah 6. Kita jadikan
3/6 untuk suami dan 4/6 untuk kedua saudara perempuan. Jadi jumlah pembilang
keduanya adalah 7, sedangkan penyebut keduanya hany 6. Disini nyata bahwa
pembilang lebih banyak dari penyebut. Apabila terdapat masalah seperti ini,
harta hendaknya kita bagi tujuh bagian : tiga bagian untuk suami dan empat
bagian untuk kedua saudara perempuan. Sebenarnya keduan macam ahli waris ini
tidak mengambil seperti ketentuan masing-masing, tetapi keadilan memaksa
menjalankan seperti tersebut.
Contoh yang kedua : Ahli waris
adalah istri, ibu, dua saudara perempuan seibu sebapak atau sebapak, dan
seorang saudara seibu(baik laki-laki maupun perempuan). Ketentuan masing-masing
adalah intri mendapar 1/4 , ibu mendapat 1/6, dua saudara perempuan mendapat
2/3 dan seorang saudara seibu mendapat 1/6. Kelipatan persekutuan terkecil dari
penyebut beberapa ketentuan tersebut adalah 12, kita atur sebagai berikut :
1/4+1/6+2/3+1/6 = 3/12+2/12+8/12+2/12 = 15/12. Jadi, harta perlu di bagi 15
bagian : 3 bagian dari 15 bagian untuk istri, 2 bagian untuk ibu, 8 bagian
untuk dua orang saudara perempuan, 2 bagian untuk saudara seorang seibu.
Berarti tiap-tiap bagian itu di hitung dari 15, bukan dari 12, sedangkan
ketentuan masing-masing hendaknya di ambil dari 12, tetapi dalam masalah ‘aulu
masing-masing hanya mengambil dari 15 . inilah yang dimaksud dengan
‘aulu. Terjadinya karena banyaknya ahli waris sehingga jumlah ketentuan mereka
lebih banyak dari pada satu bilangan, buktinya pembilang lebih banyak dari
penyebut.
8)
HAL-HAL YANG MENGHALANGI WARIS
Pada umum
hal-hal yang bisa menjadi penghalang mewarisi itu ada tiga macam, yaitu:
a) Pembunuhan.
Pembunuhan adalah sesuatu perbuatan yang mutlak
menjadi penghalang waris, karena adanya dalil yang kuat dari hadis Rasulullah
SAW, Yang Artinya:
” Tidak berhak sipembunuh mendapat sesuatupun dari harta warisan
(Hadis Riwayat an-Nasa’i dengan isnad yang sahih)”.
Imam Syafi’i memberikan contoh
pembunuhan yang dapat menjadi penghalang mewarisi sebagai berikut:
1.
Hakim yang menjatuhkan hukuman mati, tidak dapat mewarisi harta
orang yang telah dijatuhi hukuman mati.
2.
Algojo yang
menjalankan tugas membunuh tidak dapat mewarisi harta orang peninggalan
pesakitan yang dibunuhnya.
3.
Seseorang yang
memberikan persaksian (sumpah) palsu, tidak dapat mewarisi harta peninggalan
orang yang menjadi korban persaksian palsunya.
b)
Berbeda Agama.
Adapun yang dimaksudkan dengan berbeda agama adalah
agama yang dianut antara waris dengan muwaris itu berbeda. Sedangkan yang
dimaksud dengan berbeda agama dapat menghalangi kewarisan adalah tidak ada hak
saling mewarisi antara seorang muslim dan kafir (non Islam), orang Islam tidak
mewarisi harta orang non Islam demikian juga sebaliknya. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW yang Artinya:” Diriwayatkan daripada Usamah
bin Zaid r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Orang Islam tidak boleh mewarisi
harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh
mewarisi harta orang Islam. (Hadis Riwayat
an-Nasa’I dengan isnad yang sahih)”
c)
Perbudakan.
Secara umum, mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak
terhalang menerima warisan, karena budak (hamba sahaya) secara yuridis tidak cakap
dalam melakukan perbuatan hukum, sedangkan hak kebendaannya dikuasai oleh
tuannya. Sehingga ketika tuannya meninggal, maka seorang budak tidak berhak
untuk mewarisi, karena pada hakekatnya seorang budak juga merupakan “harta” dan
sebagai harta maka dengan sendirinya benda itu bisa diwariskan.
d)
Berlainan
Negara
Perbedaan negara dilihat dari segi ilmu waris adalah perbedaan
negara jika telah memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:
a)
Angkatan
bersenjata yang berbeda, artinya masing-masing di bawah komando yang berbeda.
b)
Kepala negara
yang berbeda.
c)
Tidak ada
ikatan satu dengan yang lainnya, artinya tidak ada kerjasama diplomatik yang
terjalin antar keduanya.
Sedangkan yang menjadi penghalang mewarisi dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu beda agama (pasal 171 huruf c dan pasal 172
KHI), membunuh, percobaan pembunuhan, penganiayaan berat terhadap pewaris dan
memfitnah (pasal 173 KHI)
Adapun persoalan agama menjadi sangat esensial
sehingga harus ada penegasan bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak
waris, namun hal ini juga tidak kita temukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
buku kedua. Sedangkan pewaris dalam ketentuan hukum kewarisan Islam adalah
bergama Islam, maka secara otomatis ahli waris juga beragama Islam. Sebagaimana
Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi:
“Ahli waris ialah orang yang pada
saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli
waris.”
Dan sebagai indikasi bahwa ahli waris tersebut
beragama Islam, telah dijelaskan dalam pasal 172 KHI yang berbunyi:
“Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui
dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi
bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.”
Sedangkan
penghalang mewarisi yang berupa pembunuhan, percobaan pembunuhan, penganiayaan
berat pewaris dan memfitnah telah dijelaskan dalam pasal 173 KHI yang berbunyi:
“Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
- Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
- Dipersalahkan secara memfitnah telah
mengajukan pengaduan bahwa bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan
yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih
berat.”
9)
PENGERTIAN WASIAT
Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan
di jalankan sesudah seseorang meninggal dunia. Hukum wasiat adalah sunnah.
Rukun wasiat adalah sebagai
berikut :
- Ada orang yang berwasiat.
- Ada yang menerima wasiat.
- Sesuatu yang di wasiatkan.
- Lafadz(kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang
dapat dipahami untuk wasiat.
Sebanyak-banyak
wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh lebih kecuali apaila di izinkan
oleh semua ahli waris sesudah orang yang berwasiat meninggal. Sabda Rasulullah
SAW. Yaitu :
Dari Ibnu
Abbas. Ia berkata, “Alanghkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat mereka
dari sepertiga k seperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah
bersabda, “ Wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu banyak.” ” (HR.
Bukhori dan Muslim)
Wasiat hanya di tujukan kepada orang yang bukan ahli
waris. Adapun kepada ahli waris, wasiat tidak sah kecuali apabila di ridhoi
oleh semua ahli waris yang lain sesudah meninggalnya yang berwasiat. Sabda
Rasulullah SAW. Yaitu :
Dari abu Amamah, Ia berkata : “ Saya telah mendengar Nabi SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris. Maka dengan
ketentuan itu tidak ada hak wasiat lagi bagi seorang ahli wari.”(HR. Liam orang
ahli hadist selain Nasai)
Syarat orang yang di serahi
menjalankan wasiat, yaitu :
- Beragama Islam.
- Baligh.
- Berakal.
- Merdeka.
- Amanah.
- Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang
di kehendaki oleh yang berwasiat.
BAB III
PENUTUP
1)
KESIMPULAN
Dengan penjelasan-penjelasan mengenai hukum waris di atas, maka
dapat di simpukan bahwa :
- Waris adalah perpindahan hak kebendaan
dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup.
- Adapun pengertian hukum kewarisan menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa
yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a
KHI).
- Ahli waris adalah orang-orang mendapatkan
hak memperoleh harta peninggalan orang yang telah meninggal yang masih
mempunyai hubungan darah.
- Bagian-bagian yang di peroleh ahli waris
telah di tetapkan dalam Al-Qur’an, sehingga tidak ada kata tidak adil
karena Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT. Yang di jamin kebenarannya.
- Sebelum di lakukan pembagian harta waris
terdapat beberapa hak yang harus di dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :
Ø
Hak yang
bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
Ø
Biaya untuk
mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan
sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di
pergunakan untuk biaya mengurus mayat.
Ø
Hutang yang di
tinggalkan oleh si mayat.
Ø
Wasiat si
mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta penginggalan si
mayat.
- Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan
yang akan di jalankan sesudah seseorang meninggal dunia dan hukum wasiat
adalah sunnah.
2)
SARAN
Rasululloh SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairoh rodliallohu ‘anhu, yaitu :
“Diriwatkan dari Abu Hurairoh rodliallohu ‘anhu
sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “pelajarilah oleh kalian ilmu faro’id,
karena sesungguhnya ilmu faro’id itu sebagian dari agama kalian dan setengah
dari seluruh ilmu. Dan sesungguhnya ilmu faro’id itu ilmu yang mula-mula akan
di cabut dari umatku”.”
Dari hadist
tersebut dapat di peroleh kesimpulan bahawa ilmu faraid atau yang biasa di
kenal dengan ilmu pembagian harata waris ini sangat penting untuk di pelajari.
Oleh karena itu pengenalan dan pemahaman ilmu faraid harus lebih di tingkatkan
lagi.
- Mempelajari ilmu ini juga untuk mengetahui
dengan jelas orang-orang yang berhak menerima warisan sehingga terhindar
dari perselisihan dan perebutan harta penginggalan yang meninggal.
- Mengajarkan ilmu faraid(ilmu pembagian
harta waris) memang tidak mudah, metode pengajaran yang kreatif dan
inovatif sangat di perlukan kerena tidak dapat di pungkiri bahwa ilmu
faraidh sudah mulai tidak di gunakan lagi, padahal ilmu faraidh telah di
jelaskan d Al-Qur’an yang di jamin kebenarannya. Metode pengajaran yang
dapat di lakukan adalah dengan menerapkannya langsung pada kisah nyata
kehidupan sehari-hari orang-orang dalam suatu masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
https://sayyidahchalimah07.wordpress.com/2014/06/22/makalah-hukum-waris/
http://1st-iqomah.blogspot.com/2012/02/ilmu-faroidh-ilmu-yang-pertama-kali.html
http://kobonksepuh.wordpress.com/2013/01/30/pentingnya-mempelajari-ilmu-faraidh/
Muhammad
Ali ash-Sahabuni, Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyyah ‘Ala Dhau’ Al- Kitab wa
Sunnah. Terj. A.M. Basalamah “ Pembagian Waris Menurut
Islam”, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hlm. 33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar