Jumat, 17 Juni 2022

Makalah Qard

 

BAB  I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hutang piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi kehidupan manusia. Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu penyebab munculnya perkara ini. Selain itu juga adanya pihak yang menyediakan jasa peminjaman (hutang) juga ikut ambil bagian dalam transaksi ini.

Islam sebagai agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan manusia juga mengatur mengenai perkara hutang piutang. Konsep hutang piutang yang ada dalam Islam pada dasarnya adalah untuk memberikan kemudahan bagi orang yang sedang kesusahan. Namun pada zaman sekarang, konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar Islam. Hal ini sedikit demi sedikit mulai menyisihkan, menggeser, bahkan bisa menghilangkan konsep muamalah Islam itu sendiri. Oleh karena itulah, perkara hutang piutang ini penting untuk diketahui oleh umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan transaksi sesuai dengan yang telah disyariatkan oleh Allah swt.

Bertolak dari apa yang sedikit diuraikan di atas, makalah ini dibuat untuk  memaparkan apa yang telah disyariatkan oleh agama Islam terkait al-Qardh (hutang piutang) dengan kajian normatif yang dikutip dari berbagai sumber terkait definisi, landasan hukum, dan lain sebagainya.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Jelaskan pengertian Qard?

2.      Bagaimana landasan syara’ tentang Qard?

3.      Bagaimana pelaksanaan dan sighat dalam qard?

4.      Bagaimana khiyar dan penangguhan dalam qard?

5.      Bagaimana barang yang sah dijadikan qard?

 

 

C.    Tujuan Penulisan Makalah

1.      Untuk mengetahui pengertian Qard,

2.      Untuk mengetahui landasan syara’ tentang qard,

3.      Untuk mengetahui pelaksanaan dan sighat dalam qard,

4.      Untuk menegtahui khiyar dan penangguhan dalam qard, dan

5.      Untuk menegtahui barang yang sah dijadikan qard.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

QARDH

A.      Pengertian Qardh

Secara etimologi, qard berarti Al-Qhot’u (potongan). Harta yang dibayarkan kepada muqtarid (yang diajak akad qard) dinamakan qard, sebab merupakan potongan dari harta muqrid (orang yang membayar).[1]

Dalam pengertian istilah, qardh didefinisikan oleh Hanifah sebagai berikut:

“Qardh adalah harta yang diberikan kepada orang lain dari mal mitsli untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qardh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsli) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya”.[2]

 

B.       Landasan Hukum Qardh

Surah Al-Hadid (57) ayat 11

مَّن ذَا ٱلَّذِي يُقۡرِضُ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنٗا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥ وَلَهُۥٓ أَجۡرٞ كَرِيمٞ ١١

“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.”

Ayat-ayat tersebut pada dasarnya berisi anjuran untuk melakukan perbuatan qardh (memberikan hutang) kepada orang lain, dan imbalannya adalah akan dilipatgandakan oleh Allah. Dari sisi muqtaridh (orangyang memberikan hutang), Islam menganjurkan kepada umatnya untuk memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan dengan cara member hutang. Hutang bukan perbuatan yang dilarang, melainkan dibolehkan karena seseorang berutang dengan tujuan untuk memanfaatkan barang atau uang yang dihutanginya itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan ia akan mengembalikannya persis seperti yang diterimanya.[3]

Adapun utang (ial-qardhu) bagi debitur/peminjam (muqtaridh) diperbolehkan, karena Rasulullah saw. telah meminjam unta kepada Abu Bakar r.a. dan mengembalikannya dengan unta yang lebih baik. Beliau bersabda: “sesungguhnya manusia yang paling baik adalah orang yang paling baik pengembalian utangnya.” (HR. Bukhari)

Sementara ijma’ ulama menyepakati bahwa qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya.[4]

 

C.      Rukun dan Syarat Qardh

        Rukun qardh diperselisihkan para fuqaha, menurut Hanafiah rukun qardh adalah ijab dan qabul, sedangkan menurut jumhur fuqaha rukun qardh adalah:

1.      ‘Aqid

Untuk aqid, baik muqridh maupun muqtaridh disyaratkan harus orang yang dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki ahliyatul ada. Oleh karena itu, qardh tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang masih dibawah umur atau orang gila. Syafi’iyah memberikan persyaratan untuk muqridh, antara lain:

a.    Ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru

b.    Mukhtar (memiliki pilihan)

Sedangkan untuk muqtaridh  disyaratkan harus memiliki ahliyah atau kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh, berakal, dan tidak mahjur ‘alaih.

2.      Ma’qud ‘Alaih

Menurut jumhur ulama yang terdiri atas Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, yang menjadi objek akad dalam al-qardh sama dengan objek akad salam, baik berupa barang-barang yang ditakar (makilat) dan ditimbang (mauzunat), maupun qimiyat (barang-barang yang tidak ada persamaannya di pasaran), seperti hewan, barang-barang dagangan, dan barang yang dihitung atau dengan perkataan lain, setiap barang yang boleh dijadikan objek jual beli, boleh pula dijadikan objek akad qardh.

3.      Shighat (Ijab & Qabul)

Qardh adalah suatu akad kepemilikan atas harta. Oleh karena itu, akad tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan qabul, sama seperti akad jual beli dan hibah. Shighat ijab bisa dengan menggunakan  lafal qardh (utang atau pinjaman) dan salaf (utang), atau dengan lafal yang mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “saya milikan kepadamu barang ini, dengan ketentuan anda harus mengembalikan kepada saya penggantinya”. Penggunaan kata milik disini bukan berarti diberikan cuma-cuma, melainkan pemberian utang yang harus dibayar.[5]

 

D.      Barang yang sah dijadikan qard

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa qard dipandang sah pada harta mitsil, yaitu sesuatu yang tidak terjadi perbedaan yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai. Diantara yang dibolehkan adalah benda-benda yang ditimbang, ditakar atau dihitung. Qard selain dari perkara di atas dipandang tidak sah, seperti hewan, benda-benda yang menetap ditanah, dan lain-lain.

Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan qard pada setiap benda yang tidak dapat diserahkan, baik yang ditakar maupun yang ditimbang, seperti emas dan perak atau yang bersifat nilai, seperti barang dagangan, hewan, atau benda yang dihitung. Hal itu didasarkan pada hadits dari Abu Rafi bahwa Rasulullah bersabda, menukar (qard) anak unta. Dimaklumi bahwa anak bukan benda yang biasa ditakar, atau ditimbang.

Jumhur ulama memperbolehkan, qard pada setiap benda yang dapat diperjualbelikan, kecuali manusia. Mereka juga melarang qard manfaat.[6]

 

E.       Mempercepat Pelunasan Utang Sebelum Meninggal

Utang berbeda dengan hibah, shadaqah dan hadiah, yang merupakan pemberian dan tidak perlu dikembalikan. Sedangkan utang adalah pemberian kepemilikan atas barang dengan ketentuan bahwa barang tersebut harus dikembalikan, baik dengan barangnya maupun dengan harganya. Pengembalian barang dianjurkan untuk dilakukan secepatnya, apabila orang yang berutang telah memiliki uang atau barang untuk pengembaliannya itu. Anjuran tersebut dapat disimpulkan dari hadis Nabi:

1.      Hadis Jabir:

Dari Jabir ia berkata: “Seorang laki-laki diantara kami meninggal dunia, kemudian kami memandikannya, membalurnya dengan minyak wangi dan sebagainya lalu mengafaninya. Kemudian kami membawanya kepada Rasulullah lalu kami berkata: ‘mari jenazah ini kita shalatkan. Rasulullah melangkah kemudian bertanya: apakah mayit ini mempunyai utang ? kami menjawab: ya, dua dinar. Rasulullah kemudian pergi. Kemudian Abu Qatadah menanggung utang yang dua dinar itu, lalu kami datang kepada Nabi, dan Abu Qatadah berkata: saya yang menanggung utang yang dua dinar itu. Maka Nabi berkata: utang itu adalah hak penjamin dan mayit bebas dari padanya. Abu Qatadah menjawab: Ya, setelah itu barulah Nabi menyalatkannya”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i, dan Ibnu Hibban serta Hakim menyahihkannya).

 

2.      Hadis Abu Hurairah

Dari Abu Hurairah bahwa ke hadapan Rasulullah dibawa seorang laki-laki yang meninggal dan mempunyai utang. Kemudian Rasulullah bertanya: “Apakah untuk utangnya itu ia menyediakan pelunasan ?”Apabila diceritakan bahwa ia menyediakan dana pelunasan, maka Rasulullah menyalatkannya. Apabila tidak ada dana pelunasan, maka Rasulullah berrsabda:”Shalatkanlah oleh kamu sekalian temanmu itu.” Ketika Allah memberikan kemenangan, beliau bersabda: ”Saya lebih utama dengan orang-orang mukmin daripada mereka. Maka barang siapa yang meninggal dan ia mempunyai utang, maka sayalah yang wajib melunasinya.” (HR. Muttafaq ‘alaih).

 

Dari hadits-hadits tersebut jelaslah bahwa utang itu sebaiknya segera dilunasi agar tidak menjadi beban pada saat orang yang berutang meninggal dunia.[7]

 

F.       Al-Qardh Perspektif Ushul Fiqh

 

1.      Produk Fiqh

Di perbolehkan (Mengikuti hukum Taklifi): terkadang boleh, terkadang makruh, terkadang wajib, terkadang haram.

Penjelasan:

·         Boleh/Mubah: seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar. Jika seseorang yang berhutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak namun untuk menambah modal wirausahanya agar mendapat keuntungan, maka hukum memberi hutang adalah mubah.

·         Makruh/haram: jika pemberi hutang mengetahui bahwa penghutang akan menggunakan uangnya untuk berbuat maksiat atau perbuatan yang makruh, sesuai kondisinya.

·         Wajib: jika orang yang berhutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan yang mendesak sedangkan orang yang dihutangi orang kaya maka orang kaya itu wajib memberinya hutang.

 

 

 

 

 

2.      Landasan hukum Al-Qardh

 

1.      Q.S Al-Baqarah:245

 

“Barangsiapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan allah), maka Allah akan melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak”.

 

2.      H.R Ibnu Majah dan Ibn Hibban

 

Dari Abdullah Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Seorang muslim yang memberikan pinjaman kepada seorang muslim dua kali, seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya satu kali”.

 

3.       Argumentasi

 

Menurut kelompok kami hukum qardh (utang piutang) itu mengikuti hukum taklifi terkadang makruh, terkadang haram, terkadang wajib, terkadang mubah. Para ulama sepakat bahwa qardh dibolehkan dalam Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang maupun pinjaman kepada orang lain yang membutuhkan itu dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar.  Memberikan hutang pada seseorang adalah bentuk tolong menolong.

Maka utang piutang ini menggunakan metode Ijma serta Mantuq karena dari penjelasan ayat di atas berisi anjuran memberikan hutang kepada orang lain dan imbalannya adalah akan dilipatgandakan oleh Allah SWT.

 

 

 

 

 

 

UTANG PIUTANG (QARDH)

PRODUK FIQH

LANDASAN HUKUM

Diperbolehkan (mengikuti hukum taklifi)

-Q.S Al-Baqarah:245  -H.R Ibnu Majah dan Ibn Hibban

1.        

METODE YANG DIGUNAKAN

IJMA

MANTUQ

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa hukum qardh (utang piutang) adalah boleh. Namun, qardh dapat menjadi haram, makruh, bahkan wajib sesuai dengan kondisinya. Menyegerakan/ mendahulukan untuk membayar hutang adalah sangat dianjurkan bagi yang telah mampu untuk mengembalikan utangnya

 

B.     Kritik dan Saran

Setelah pemaparan materi diatas yang memuat masalah tentang Qard, mahasiswa dapat mengetahui dan mengaplikasikan apa yang telah didapat. Dan lebih baik lagi jika membagikan ilmu tersebut kepada orang-orang yang belum mengetahuinya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Muslich, Ahmad Wardi. FiqhMuamalat. Jakarta:Amzah, 2013.

Nawawi , Ismail. Fiqh Muamalah Klasik dan Modern. Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.

Syafe’I, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.

 



[1] Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 151-153.

[2] Ahmad Wardi Muslich, FiqhMuamalat (Jakarta:Amzah, 2013),  272-273.

[3] Ahmad Wardi Muslich, FiqhMuamalat (Jakarta:Amzah, 2013),  275.

[4] Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Modern (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 177.

[5] Ahmad Wardi Muslich, FiqhMuamalat, (Jakarta:Amzah, 2013),  278-279.

[6] Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 153-155.

[7] Ahmad Wardi Muslich, FiqhMuamalat, (Jakarta:Amzah, 2013),  281-284.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar