Kamis, 16 Juni 2022

Makalah Jual Beli Online perspektif Hukum Islam

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Jual beli merupakan salah satu hal terpenting dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dalam hal memenuhi kebutuhan jasmani seseorang. Setiap manusia pasti melaksanakan suatu  transaksi yang biasa kita sebut dengan jual beli. Transaksi jual beli telah ada sejak dahulu hingga sekarang. Atas dasar pemenuhan kebutuhan sehari-hari maka terjadilah suatu kegiatan yang dinamakan jual beli.

Si penjual menjual barangnya dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang tersebut dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jual beli adalah proses pemindahan hak milik/barang  atau harta kepada pihak lain dengan menggunakan sejumlah uang sebagai alat tukarnya. Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat dalam melakukan aktivitas ekonomi. Dalam Islam terdapat pula jual beli yang di haramkan namun banyak orang yang mengabaikan aspek jual beli, apakah jual beli tersebut merupakan jual beli yang halal atau jual beli yang haram menurut syariat Islam.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah Definisi Jual Beli ?

2.      Bagaimana Hukum Jual Beli ?

3.      Apa saja Rukun Jual Beli ?

4.      Apa Saja Macam-macam Jual Beli ?

5.      Bagaimana Bentuk-bentuk Jual Beli Yang Dilarang Islam ?

6.      Bagaimana Jual Beli Online (E‐commerce) ?

7.      Analisis E-commerce Perspektif Hukum Islam.

 

C.    Tujuan Penulisan Makalah

1.      Untuk Mengetahui Definisi Jual Beli.

2.      Untuk Mengetahui Hukum Jual Beli.

3.      Untuk Mengetahui Rukun Jual Beli.

4.      Untuk Mengetahui Macam-macam Jual Beli.

5.      Untuk Mengetahui Bentuk-bentuk Jual Beli Yang Dilarang Islam.

6.      Untuk Mengetahui Jual Beli Online (E‐commerce).

7.      Untuk Mengetahui Analisis E-commerce Perspektif Hukum Islam.

 

BAB II

HUKUM JUAL BELI ONLINE

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

 

A.    Definisi Jual Beli

Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’i yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikannya secara bahasa dengan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Secara terminologi menurut ulama Hanafiyah yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaily yaitu jual beli adalah saling tukar harta dengan harta melalui cara tertentu, atau tukar-menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.[1]

 

B.     Hukum Jual Beli

Hukum Jual beli merupakan akad yang diperbolehkan berdasarkan Al-Qur’an yaitu sebagai berikut:[2]

لاتأكلوااموالكم بينكم با لباطل الا ان تكون تجارة ان تكون تجارة ان تراض منكم

Artinya: “….janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu….. “ (QS. An Nisa’29)

وأحل الله البيع وحرم الربا

Artinya: “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

(Qs. Al Baqarah 275).

C.    Rukun Jual Beli

Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:

1.      Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli).

2.      Ada shigat (lafal ijab dan kabul).

3.      Ada barang yang dibeli.

4.      Ada nilai tukar pengganti barang.[3]

D.    Macam-Macam Jual Beli

Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu dari segi obyek jual beli dan segi pelaku jual beli yaitu sebagai berikut:

1.      Ditinjau dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli ada tiga macam:[4]

a)      Jual beli benda yang kelihatan, yaitu pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak.

b)      Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian, yaitu jual beli salam (pesanan). Salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), pada awalnya meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya adalah perjanjian sesuatu yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa-masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.

c)      Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat, yaitu jual beli yang dilarang oleh agama Islam, karena barangnya tidak tentu atau masih gelap, sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.

2.      Ditinjau dari segi obyeknya jual beli dibedakan menjadi empat macam:[5]

a)      Bai’ al-muqayadhah, yaitu jual beli barang dengan barang, atau yang lazim disebut dengan barter. Seperti menjual hewan dengan gandum.

b)      Ba’i al-muthlaq, yaitu jual beli barang dengan barang lain secara tangguh atau menjual barang dengan as-tsamn secara mutlaq, seperti dirham, dolar atau rupiah.

c)      Ba’i as-sarf, yaitu menjualbelikan as-tsamn (alat pembayaran) dengan as-tsamn lainnya, seperti dirham, dinar, dolar atau alat-alat pembayaran lainnya yang berlaku secara umum.

d)     Ba’i as-salam. Dalam hal ini barang yang diakadkan bukan berfungsi sebagai mabi’ melainkan berupa dain (tangguhan) sedangkan uang yang dibayarkan sebagai as-tsamn, bisa jadi berupa ‘ain bisa jadi berupa dain namun harus diserahkan sebelum keduanya berpisah. Oleh karena itu as-tsaman dalam akad salam berlaku sebagai ‘ain.

3. Ditinjau dari segi pelaku akad (subyek) jual beli terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:[6]

a)      Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan, yaitu akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang, bagi orang bisu diganti dengan isyarat yang merupakan pembawaan alami dalam menampakkan kehendak, dan yang dipandang dalam akad adalah maksud atau kehendak dan pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan.

b)      Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan atau surat-menyurat, jual beli seperti ini sama dengan ijab qabul dengan ucapan, misalnya via pos dan giro. Jual beli ini dilakukan antara penjual dan pembeli tidak berhadapan dalam satu majlis akad, tapi melalui pos dan giro. Jual beli seperti ini dibolehkan menurut syara’.

c)      Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal dengan istilah mu’athah, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab dan qabul, seperti seseorang mengambil barang yang sudah bertuliskan label harganya, dibandrol oleh penjual dan kemudian memberikan uang pembayaranya kepada penjual.

 

E.     Bentuk-Bentuk Jual Beli yang Dilarang Islam

a.       Jual beli barang yang zatnya haram dan najis atau tidak boleh di perjualbelikan, seperti anjing, babi, bangkai, dan khamr.

b.      Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dan betina agar dapat memperoleh keturunan.

c.       Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.[7]

d.      Jual beli bersyarat yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.

e.       Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib, atau buku-buku bacaan porno.

f.       Jual beli dari orang yang masih dalam tawar menawar.

g.      Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota/pasar.

h.      Membeli barang dengan memborong untuk di timbun

i.        Jual beli barang rampasan atau curian.

j.        Jual beli atas barang yang tidak ada (ba’i al-ma’dum), seperti jual beli janin di dalam perut ibu.[8]

k.      Jual beli waktu adzan jum’at.

l.        Jual beli anggur untuk dijadikan khamr.[9]

 

F.     Jual Beli Online (E‐commerce)

E‐commerce merupakan prosedur berdagang atau mekanisme jual‐beli di internet dimana pembeli dan penjual dipertemukan di dunia maya. E‐commerce juga dapat didefinisikan sebagai suatu cara berbelanja atau berdagang secara online atau direct selling yang memanfaatkan fasilitas Internet dimana terdapat website yang dapat menyediakan layanan “get and deliver“. E‐commerce akan merubah semua kegiatan marketing dan juga sekaligus memangkas biaya‐biaya operasional untuk kegiatan trading (perdagangan). Perdagangan dan pemasaran dengan menggunakan internet, memindahkan akivitas tradisional tatap muka antar pembali dan penjual, untuk tawar menawar, memeriksa barang yang akan dibeli sampai penggunaan uang kontan dalam transaksi.

Penggunaan fasilitas internet memungkinkan aktivitas bisnis di lakukan dimana, dan kapan pun tanpa harus mempertemukan pihak yang bertransaksi secara fisik. Aktivitas dengan menggunakan media internet dinamakan electronic commerce (E- commerce), atau perniagaan elektronik. Karakteristik beberapa pelayanan elektronik dapat terlihat juga pada pelayanan tradisional. Jasa internet bersifat tidak nyata, karena transaksi dan pengalaman jasa disampaikan dengan jaringan elektronik yang tidak dapat dilihat, sehingga sulit untuk di ukur dan dipertimbangakan secara penuh. Perbedaan ini timbul karana adanya perbedaan kebutuhan, harapan, kemampuan pelayanaan diri, kesadaran untuk berinteraksi, dan kontribusi persepsi konsumen terhadap adanya ketidakseragaman dalam pelayaan elektronik.[10]

 

 

 

 

 

G.    Analisis E-commerce Perspektif Hukum Islam

 

Berbicara tentang bisnis online, banyak sekali macam dan jenisnya. Namun demikian secara garis besar bisa di artikan sebagai jual beli barang dan jasa melalui media elektronik, khususnya melalui internet atau secara online. Penjualan produk secara online melalui internet, dalam bisnis ini, dukungan dan pelayanan terhadap konsumen menggunakan website, e-mail, nomer telpon, wdan sebagainya sebagai alat bantu kontrak. Setiap kali orang berbicara tentang e-commerce, mereka memahaminya sebagai bisnis yang berhubungan dengan internet. Dari definisi diatas, bisa diketahui karakteristik bisnis online, yaitu:

1)  Terjadinya transaksi antara dua belah pihak;

2)  Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi;

3)  Internet merupakan media utama dalam proses atau mekanisme akad tersebut.

Dari karakteristik di atas, bisa di lihat bahwa yang membedakan bisnis online dengan bisnis offline yaitu proses transaksi (akad) dan media utama dalam proses tersebut. Akad merupakan unsur penting dalam suatu bisnis. Hukum dasar bisnis online sama seperti akad jual-beli dan akad as Salam, hal ini diperbolehkan dalam Islam. Bisnis Online dinyatakan haram apabila:

1)      Sistemnya haram, seperti money gambling. Sebab judi itu haram baik di darat

      maupun di udara (online)

2)   Barang/jasa yang menjadi objek transaksi adalah barang yang diharamkan.

3)   Karena melanggar perjanjian atau mengandung unsur penipuan.

4)   Dan hal lainnya yang tidak membawa kemanfaatan tapi justru mengakibatkan

       kemudharatan.

Sebagaimana hukum dasar dari muammalah menurut Islam. Bisnis Online dihukumi dibolehkan selama tidak mengandung unsur-unsur yang dapat merusaknya seperti riba, kezhaliman, penipuan, kecurangan, dan sejenisnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.  Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa jual beli itu di perbolehkan dalam hukum Islam, namun bisa berubah menjadi wajib jika memang sangat terpaksa untuk melakukan jual beli tersebut. Hal tersebut di karenakan jual beli sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia sehari-hari. Jual beli telah ada dari dulu hingga sekarang. Namun di samping itu banyak pula jual beli yang di larang dalam hukum Islam karena tidak sesuai dengan rukun-rukun yang terdapat dalam jual beli maupun dalam syariat Islam.

Disamping itu banyak jual beli yang di haramkan oleh hukum Islam karena banyak mengandung kemudharatan yaitu seperti jual beli atas barang yang tidak ada, jual beli karena zatnya yang haram atau najis, jual beli yang bersyarat dan sebagainya.  Jual beli tersebut di larang maupun di haramkan karena tidak mengandung manfaat serta tidak sesuai dengan syariat Islam maupun rukun-rukun jual beli.  Dalam rukun jual beli ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli), ada shigat (lafal ijab dan kabul), ada barang yang dibeli, ada nilai tukar pengganti barang, jika tidak dipenuhi maka jual beli tersebut tidak sah.

Bisnis Online dihukumi dibolehkan selama tidak mengandung unsur-unsur yang dapat merusaknya seperti riba, kezhaliman, penipuan, kecurangan, dan sejenisnya.

 

B.  Saran

Demikian Makalah yang dapat kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Makalah kami tidak luput dari kesalahan maka dari itu dengan terbuka kami menerima segala kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ghazaly, Abdul Rahman. 2012. Fiqh Muamalah, Jakarta: Prenada Media Group.

Jusmaliani. 2008. Bisnis Berbasis Syariah, Jakarta: Bumi Aksara.

Harun, Nasroen. 2007. Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama.

Masadi,  Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sahrani, Sohari. 2011. Fikih Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia.

Suhendi, Hendi. 2005. Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Syafei, Rahmat. 2001. Fiqh Muamalah, Bandung: Cv. Pustaka Setia.

Wardi Muslich, Ahmad. 2013. Fiqh Muamalat, Jakarta:Amzah.

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), cet-2, hlm. 67-68.

[2] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat ( Jakarta:Amzah, 2013), cet-2, hlm. 177-178.

[3] Nasroen Harun, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), cet-2, hlm. 115.

[4] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 75-76.

[5] Ghufron A. Masadi, Fiqh Muamalah Kontekstual (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 141.

[6] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 77-78.

[7] Sohari Sahrani, Fikih Muamalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), cet-1, hlm. 72-73.

[8] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), cet-2, hlm. 67-68.

[9] Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah (Bandung: Pustaka Setia Bandung, 2001), hlm. 100.

[10] Jusmaliani, Bisnis Berbasis Syariah (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 199-128.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar