BAB
I
PENDAHULUAN
Agama
islam adalah agama yang menjaga semua bentuk toleransi. Ia selalu memperhatikan
keadaan dan kemaslahatan umum. Ia selalu berusaha menghilangkan kesulitan dan
kesusahan yang dihadapi umat ini. Di antara bukti itu adalah aturan islam
tentang jual beli dengan memberikan hak memilih (al-khiyar) bagi pihak yang
melakukan akad. Hal itu diharapkan pihak yang mengadakan akad tersebut dapat
melakukan urusannya dengan leluasa dan dapat melihat kemaslahatan yang ada di
belakang transaksi tersebut. Sehingga ia dapat mengedepankan hal-hal yang
mengandung kebaikan dan menghindari dari hal-hal yang tidak ada maslahatnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Khiyar
Khiyar
secara bahasa adalah kata nama dari ikhtiyar
yang berarti mencari yang baik dari dua urusan yang baik meneruskan akad atau
membatalkannya. Sedangkan menurut istilah kalangan ulama’ fiqh yaitu mencari
yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya. Dari
sini terlihat bahwa makna secara istilah tidak begitu berbeda dengan makna
secara bahasa. Oleh sebab itu, sebagian ulama terkini mendefinisikan khiyar secara syar’i sebagai “hak orang
yang berakad dalam membatalkan akad atau meneruskannya karena ada sebab-sebab
secara syar’i yang dapat membatalkannya sesuai dengan kesepakatan ketika
berakad.”[1] Dapat
diartikan juga bahwa khiyar adalah
tuntutan untuk memilih dua hal: meneruskan transaksi atau membatalkannya.[2]
Menurut Ghufron
A. Mas’adi[3], Khiyar adalah hak yang di miliki ‘aqidain untuk memilih antara meneruskan
akad atau membatalkannya dalam hal khiyar
syarat dan khiyar ‘aib, atau hak
memilih salah satu dari sejumlah benda dalam khiyar ta’yin. Sebagian khiyar
adakalanya bersumber dari kesepakan seperti khiyar
syarat dan khiyar ta’yin, dan
sebagian lainnya bersumber dari ketetapam syara; seperti khiyar ‘aib.
B. Dalil
Pensyariatan Khiyar
Hak khiyar telah
ditetapkan oleh al-qur’an, sunnah dan ijma’.
Adapun dalil
al-qur’an sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-baqarah ayat 275 yang artinya
“Allah telah menghalalkan jual beli”.
Lafal jual beli dalam ayat ini adalah umum meliputi semua akad jual beli dengan
begitu ia menjadi mubah (boleh) untuk semua termasuk di dalamnya ada khiyar.
Dalil dari
sunnah di antaranya adalah sabda rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar
bahwa seseorang laki-laki diceritakan kepada nabi dia suka menipu dalam jual
beli, maka nabi berkata kepadanya: “jika
kamu menjual sesuatu, maka katakan tidak ada penipuan.” Hadis ini adalah
tentang bolehnya menetapkan khiyar syarat kepada pembeli begitu juga dengan
pembeli secara qiyas.
Adapun dalil
ijma’, ulama telah sepakat tentang bolehnya melakukan khiyar syarat dalam jual
beli karena akad jual beli adalah akad mubah dan bolehnya jual beli termasuk
sesuatu yang sudah diketahui dari urusan
agama secara pasti dengan begitu khiyar juga termasuk didalamnya.[4]
C. Pembagian
Khiyar
1.
Khiyar Majlis
Majlis
secara bahasa adalah bentuk masdar mimi dari julus yang berarti tempat duduk, dan maksud dari majlis akad
seperti yang terlihat dari ucapan kalangan ahli fiqh adalah tempat kedua orang
yang berakad berada dari sejak mulai berakad sampai sempurna, berlaku dan
wajibnya akad. Dengan begitu majlis akad merupakan tempat berkumpul dan
terjadinya akad apa pun keadaan pihak yang berakad.
Adapun
khiyar majlis menurut terminology kalangan ulama fiqh adalah hak syar’i yang
dengannya masing-masing orang yang
berakad memiliki hak untuk meneruskan akad atau membatalkannya selama keduanya
berada dalam majlis, sebelum berpisah atau saling memilih, jika keduanya
berpisah setelah saling membeli dan masing-masing tidak meninggalkan jual beli
atau berpisah atas dasar ini, maka jual beli menjadi wajib dan dari sini jelas
bahwa penggabungan kata khiyar kepada majlis termasuk penggabungan sesuatu
kepada tempat.[5]
Menurut
Saleh Al-Fauzan,[6]
khiyar majlis adalah tempat yang dijadikan berlangsungnya transaksi jual beli.
Kedua pihak yang melakukan jual beli memiliki hak pilih selama masih berada
dalam majelis. Dalilnya, bias kita lihat dari apa yang disabdakan oleh
rasulullah:
“jika ada dua orang
yang mengadakan transaksi jual beli, maka kedua pihak mempunyai hak khiyar
(memilih antara meneruskan atau membatalkan jual beli) selama mereka belum
terpisah dan masih berada di tempat akad.”
Khiyar
majlis dipegang teguh oleh fuqaha Syafi’iyah dan Hanabilah berdasarkan hadis
riwayat Bukhari dan Muslim di mana rasulullah SAW. Bersabda:
“masing-masing dari
penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selama keduanya belum berpisah.”
Sedangkan
fuqaha Hanafiyah dan Malikiyah menyangkal kebenaran jenis khiyar ini. Menurut
mereka akad telah sempurna dan bersifat lazim (pasti) semata berdasarkan
kerelaan kedua belah pihak yang dinyatakan secara formal melalui ijab dan
qabul.[7]
2.
Khiyar Syarat
Khiyar
syarat adalah kedua belah pihak yang berakad atau salah satunya menetapkan
syarat waktu untuk menunggu apakah ia akan meneruskan akad atau membatalkannya
ketika masih dalam tempo.[8]
Menurut
Saleh al-Fauzan,[9]
khiyar syarat yaitu jika kedua belah pihak yang mengadakan transaksi dengan
mengajukan syarat adanya khiyar dalam akadnya atau setelah akad, yaitu semasa
khiyar majlis berlangsung, dalam tempo yang sama-sama diketahui oleh kedua
belah pihak.
Khiyar
syarat berakhir dengan salah satu dari bebab berikut ini :
a. Terjadi
penegasan pembatalan akad atau penetapannya.
b. Berakhirnya
batas waktu khiyar.
c. Terjadinya
kerusakan pada objek akad.
d. Terjadinya
penambahan atau pengembangan dalam penguasaan pihak pembeli baik dari segi
jumlah.
e. Wafatnya
shahibul khiyar, ini menurut pendapat mazhab Hanafiyah dan Hanabilah. Sedangkan
mazhab Syafi’iyah dan Malikiyah
berpendapat bahwa hak khiyar dapat berpindah ke pada ahli waris ketika shahibul
khiyar wafat.[10]
3.
Khiyar Ta’yin
Yaitu
hak yang dimiliki oleh pembeli untuk memastikan pilihan atas sejumlah benda
sejenis dan setara sifat atau harganya, khiyar ini hanya berlaku pada akad muawwadha al-amaliyah yang mengakibatkan
perpindahan hak milik, seperti jual beli. Yang demikian ini merupakan konsep
fuqaha Hanafiyah.
Imam
Syafi’I dan Ahmad ibn Hambal menyangkal konsep khiyar ta’yin ini dengan alasan
bahwa salah satu syarat obyek akad adalah harus jelas.
Keabsahan
khiyar ta’yin menurut fuqaha mazhab Hanafiyah harus memenuhi tiga syarat
sebagai berikut:
a. Maksimal
berlaku pada tiga pilihan obyek akad
b. Sifat
dan nilai benda-benda yang menjadi obyek pilihan harus setara dengan harga
harus jelas. Jika sifat dan nilai masing-masing benda berbeda jauh, maka tidak
ada artinya khiyar ta’yin ini.
c. Tenggang
waktu khiyar ini tidak lebih dari tiga hari.[11]
4.
Khiyar ‘Aib
Kata
khiyar aib secara bahasa adalah bentuk murakkab idlafi yang terdiri dari khiyar
dan ‘aib. Kemudian dirangkai menjadi satu, yang merupakan penyandaran sesuatu
kepada sebabnya. Artinya khiyar yang sebabnya adalah ‘aib (cacat).[12]
Secara
istilah yakni hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya ia
menemukan cacat pada obyek akad yang mana pihak lain tidak memberitahukannya
pada saat akad. Khiyar ‘aib ini didasarkan pada riwayat hadis di mana nabi
Muhammad SAW. Bersabda:
“seorang muslim adalah
saudara bagi muslim lainnya, maka tidak halal seorang muslim menjual kepada
saudaranya sesuatu yang mengandung kecuali ia harus menjelaskan kepadanya”.[13]
Khiyar
‘aib harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. ‘Aib
(cacat) tersebut terjadi sebelum akad, atau setelah akad namun belum terjadi
peneyerahan. Jika cacat tersebut terjadi setelah penyerahan atau terjadi dalam
penguasaan pembeli maka tidak berlaku hak khiyar.
b. Pihak
pembeli tidak mengetahui akad tersebut ketika berlangsung akad atau ketika
berlangsung penyerahan. Jika pihak
pembeli sebelumnya telah mengatahuinya, tidak ada hak khiyar baginya.
c. Tidak
ada kesepakatan bersyarat bahwasanya penjual tidak bertanggung jawab terhadap
segala cacat yang ada. Jika ada kesepakatan bersyarat seperti itu, maka hak
khiyar pihak pembeli menjadi gugur.
Khiyar ‘aib ini berlaku semenjak pihak pembeli
mengetahui adanya cacat setelah berlangsungnya akad. Adapun batas waktu untuk
menuntut pembatalan akad terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha.
Menurut fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah, batas waktunya berlaku secara tarakhi. Artinya pihak yang
dirugikan tidak harus menuntut pembatalan akad ketika ia mengetahui cacat
tersebut. Sedangkan menurut fuqaha Malikyah dan dan Syafiyah, batas waktunya
berlaku secara faura (seketika). Artinya pihak yang dirugikan harus menggunakan
hak khiyar secapat mungkin. Jika ia mengulur-ulur waktu tanpa alasan yang dapat
dibenarkan maka hak khiyar gugur dan akad dianggap telah lazim (pasti).
Jika belum terjadi penyerahan, maka pihak yang
dirugikan dapat membatalkan akad secara berlangsung, tanpa keputusan qadhi.
Namun jika telah terjadi serah terima, maka menurut fuqaha Hanafiyah tidak
dapat difasahkan kecuali melalui keputusan qadhi. Hal ini untuk menghindari
timbulnya persengketaan kedua belah pihak.
Hak khiyar ‘aib akan gugur apabila:
a. Pihak
yang dirugikan merelakan setelah ia mengetahui cacat tersebut.
b. Pihak
yang rugikan sengaja tidak menuntut pembatalan akad.
c. Terjadi
kerusakan atau cacat baru dalam penguasaan pihak pembeli.
d. Terjadi
pengembangan atau penambahan dalam penguasaan pihak pembeli.[14]
5.
Khiyar Ru’yat
Adalah
hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya ketika ia
melihat obyek akad dengan syarat ia belum melihatnya ketika berlangsung akad
atau sebelumnya ia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah
terjadi perubahan atasnya.[15]
Konsep
khiyar ini disampaikan oleh fuqaha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabiyah dan
Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada di tempat) atau
benda yang belum pernah diperiksa, berdasarkan keterangan hadis:
“Barang siapa membeli
sesuatu yang belum pernah di lihatnya, maka baginya hak khiyar ketika
melihatnya.” [16]
Imam
Syafi’I menyangkal keberadaan khiyar ru’yat ini, karena menurutnya jual beli
terhadap barang yang ghaib (tidak ada di tempat) sejak semula tidak sah.
Syarat
Khiyar Ru’yah bagi yang membolehkannya antara lain:
a. Barang yang akan ditransaksikan
berupa barang yang secara fisik ada dan dapat dilihat berupa harta tetap atau
harta bergerak.
b. Barang dagangan yang ditransaksikan
dapat dibatalkan dengan mengembalikan saat transaksi.
c. Tidak melihat barang dagangan ketika
terjadi transaksi atau sebelumnya, sedangkan barang dagangan tersebut tidak
berubah.[17]
D. Hikmah
diadakanya Khiyar
Khiyar dalam
jual beli termasuk dari keindahan Islam. Karena terkadang terjadi jual
beli secara mendadak tanpa berpikir dan merenungkan harga dan manfaat barang
yang dibeli. Karena alasan itulah, Islam memberikan kesempatan untuk
mempertimbangkan yang dinamakan khiyar, keduanya bisa memilih di sela-selanya
yang sesuai salah satu dari keduanya berupa meneruskan jual beli atau
membatalkannya.
Dari Hakim bin
Hizam r.a ia berkata: 'Rasulullah SAW bersabda:
“Dua
orang yang melakukan jual beli mempunyai hak memilih selama keduanya belum
berpisah,” atau beliau bersabda: “sampai keduanya berpisah.
Maka jika keduanya benar dan menjelaskan, niscaya diberi berkah untuk
keduanya dalam transaksi keduanya, dan jika keduanya menyembunyikan dan
berdusta, niscaya dihapus berkah jual beli keduanya.” (Muttafaqun 'alaih)
Dengan demikian
khiyar dalam jual beli mempunyai hikmah-hikmah yang khusus antara lain:
1. Mengurangi efek ganguan dalam
transaksi sejak dini.
2. Membersihkan unsur suka sama suka
dari noda-noda
3. Kepuasan ‘aqid
4. Penjual mempunyai peluang atau
kesempatan untuk bermusyawaray kepada orang terpercaya mengenai harga yang
sesuai dengan barang dagangan.
5. Menghilangkan unsur kelalaianatau
penipuan bagi pihak akad.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Khiyar
adalah hak untuk meneruskan atau membatalkan akad. Tujuan diadakan
khiyar oleh syara’ berfungsi agar kedua orang yang berjual beli dapat
memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi
penyesalan di kemudian hari karena merasa tertipu.
Khiyar
di bagi menjadi lima, yaitu:
1. Khiyar
Majlis
2. Khiyar
Syarat
3. Khiyar
Ta’yin
4. Khiyar
‘aib
5. Khiyar
Ru’yat
Hikmah
khiyar dalam jual dan beli, yaitu :
1.
Mengurangi
efek ganguan dalam transaksi sejak dini.
2.
Membersihkan
unsur suka sama suka dari noda-noda
3.
Kepuasan
‘aqid
4.
Penjual
mempunyai peluang atau kesempatan untuk bermusyawaray kepada orang terpercaya
mengenai harga yang sesuai dengan barang dagangan.
5.
Menghilangkan
unsur kelalaianatau penipuan bagi pihak akad.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar,
Abdullah bin Muahammad Al-Muthlaq, dkk., Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam
Pandangan 4 madzhab, terj. Miftahul Khairi, Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif,
2009.
Al-Fauzan, Saleh, Fiqh Sehari-Hari, Jakarta: Gema Insani
Press, 2005.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam Fiqh
Islam, Jakarta: Amzah, 2010.
Mas’adi, Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2002
Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, juz
IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
[1] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam Fiqh
Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 99
[2] Abdullah bin Muhammad
Ath-Thayyar, Abdullah bin Muahammad Al-Muthlaq, dkk., Ensiklopedi Fiqih
Muamalah dalam Pandangan 4 madzhab, terj. Miftahul Khairi (Yogyakarta:
Maktabah Al-Hanif, 2009), hal. 85
[3] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2002), hal. 108
[4] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam Fiqh
Islam, hal. 100
[5] Ibid. hal. 178
[6] Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2005), hal. 377
[7] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, hal. 109
[8] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam Fiqh
Islam, hal. 101
[9] Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, hal. 378
[10] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual. hal. 112
[11] Ibid. hal. 110
[12] Abdullah bin Muhammad
Ath-Thayyar, Abdullah bin Muahammad Al-Muthlaq, dkk., Ensiklopedi Fiqih
Muamalah dalam Pandangan 4 madzhab,
hal. 93
[13] Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn
Majah dari sahabat ‘Uqbah ibn ‘Amir.
[14] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, hal. 112-113
[15] Ibid, hal. 114
[16] Hadis ini diriwayatkan oleh
Darul Quthni dari Abu Hurairah, juga di riwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dan
al-Baihaqi dari makhul. Wahbah Zuhaily, al-Fiqh
al-Islamiy wa Adillatuhu, juz IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hal. 268
[17] Abdullah bin Muhammad
Ath-Thayyar, Abdullah bin Muahammad Al-Muthlaq, dkk., Ensiklopedi Fiqih
Muamalah dalam Pandangan 4 madzhab, hal.
100
Tidak ada komentar:
Posting Komentar