Jumat, 17 Juni 2022

Makalah Wadiah dan Wakalah

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang

 

Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua  sisi kehidupan  manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti membutuhkan berinterakasi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.

Wadi’ah merupakan simpnan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain yang bukan pemiliknya untuk tujuan keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang atau barang kepada pihak yang menerima titipan, dengan catatan kapan pun titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali titipan tersebut dan yang dititipi menjadi penjamin pengembalian barang titipan.

al-wakalah ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu dalam hal-hal yang  dapat diwakilkan. Jumhur ulama sepakat membolehkan al-wakalah, bahkan mensunnahkannya karena kegiatan ini termasuk jenis ta’awun (tolong menolong) atas dasar kebaikan dan takwa, yang oleh al-Qur’an diserukan dan disunnahkan oleh Rasulullah SAW.

Pada dasarnya wakalah bersifat mubah, tetapi akan menjadi haram jika urusan yang diwakilkan adalah hal-hal yang bertentangan dengan syariah, menjadi wajib jika menyangkut hal yang darurat menurut Islam, dan menjadi makruh jika menyangkut hal-hal yang makruh, jadi masalah yang diwakilkan sangat penting.

 

 

 

 

B.       Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian Wadi’ah ?

2.      Apa saja sumber hukum Wadi’ah ?

3.      Apa saja jenis akad Wadi’ah ?

4.      Apa saja rukun dan syarat Wadi’ah ?

5.      Adakah giro dan tabungan Wadi’ah ?

6.      Apa pengertian dan hukum Wakalah ?

7.      Apa landasan hukum wakalah ?

8.      Apa saja rukun dan syarat Wakalah ?

9.      Apa saja macam-macam Wakalah ?

10.  Bagaimana berakhirnya akad Wakalah ?

 

C.      Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui pengertian Wadi’ah

2.      Untuk mengetahui sumber hukum Wadi’ah

3.      Untuk memahami jenis akad Wadi’ah

4.      Untuk mengetahui rukun dan syarat Wadi’ah

5.      Untuk memahami giro dan tabungan Wadi’ah

6.      Untuk mengetahui pengertian dan hukum Wakalah

7.      Untuk memahami landasan hukum wakalah

8.      Untuk mengetahui rukun dan syarat Wakalah

9.      Untuk memahami macam-macam Wakalah

10.  Untuk mengetahui berakhirnya akad Wakalah

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      Pengertian Wadi’ah

Secara etimologi, kata al-wadi’ah berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara.[1]

Wadi’ah merupakan simpnan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain yang bukan pemiliknya untuk tujuan keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang atau barang kepada pihak yang menerima titipan, dengan catatan kapan pun titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali titipan tersebut dan yang dititipi menjadi penjamin pengembalian barang titipan.

 

B.       Sumber Hukum Wadiah

Dasar hukum pelaksanaan wadiah adalah sebagaimana dijelaskan dalam:

1.      Al-Qur’an

* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  

 

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS An-Nisa 58).

2.      As-Sunnah

Tunaikanlah amanah yang dipercayakan kepadamu dan janganlah kamu mengkhiatani terhadap orang yang telah mengkhianatimu. HR. Abu Dawud dan Tirmidzi

 

C.      Jenis akad Wadi’ah

a.     Wadiah Amanah

Yaitu Wadiah dimana uang atau barang yang dititipkan hanya boleh disimpan dan tidakboleh dibudidayakan, si penerima titipan tidak bertanggung jawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut. Contoh : Safe Deposit Box.

b.    Wadiah Yadh Dhamanah

Yaitu Wadiah dimana si penerima barang dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dengan seizing pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan barang tersebut secara utuh setiap saat si pemilik menghendakinya. Hasil dari pemanfaatan barang tidak wajib dibagi hasilnya. Namun boleh saja si penerima titipan memberi bonus pada pemilik barang. Contoh: Tabungan dan Giro tidak berjangka.[2]

 

D.      Rukun dan Syarat Wadi’ah

a.     Rukun wadi’ah ada empat, yaitu:

1)      Pemilik barang atau pihak yang menitip (Muwaddi’)

2)      Pihak yang menyimpan atau yang menerima titipan (Mustauda’)

3)      Objek wadi’ah berupa barang yang dititipkan (Wadi’ah)

4)      Ijab Kabul

b.    Ketentuan Syari’ah

1)      Pelaku harus cakap hokum, balligh serta mampu menjaga dan memelihara barang titipan.

2)      Objek wadi’ah, harus jelas dan diketahui spesifikasinya oleh pemilik dan penyimpan.

3)      Ijab Kabul, adalah pernyataan dan ekspresi saling ridho antar pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondasi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.

 

E.       Giro dan Tabungan Wadiah

Giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadiah,yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki adapun dala konsep wadiah yad al-dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan.

Beberapa ketentuan Umum Giro Wadiah

a.     Dana wadiah dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dengan syarat bank harus menjamin pembayaran kembali nominal dana wadiah tersebut.

b.      Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat tapi tidak boleh diperjanjikan dimuka.[3]

c.       Pemilik dana wadiah dapat menarik kembali dananya sewaktu-waktu (on call), baik sebagian ataupun seluruhnya .

Tabungan Wadiah

Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah,yakni titpan murni  yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya. Berkaitan dengan produk tabungan, Bank syariah menggunakan akad wadiah yad al-dhamanah.Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada bank syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan bank syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi yang disertai hak untuk menggunakan dan memanfaatkan dana atau barang teresbut.

Mengingat wadiah yad al dhamanah ini mempunyai implikasi hukum yang sama dengan qordh, maka nasabah penitip dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk membagi hasilkan keuntungan harta tersebut. Namun demikian, Bank diperkenankan memberikan bonus kepada pemilik harta titipan selama tidak diisyaratkan dimuka.

Ketentuan Umum Tabungan Wadiah

a.       Tabungan wadiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call)sesuai dengan kehendak pemilik harta .

b.      Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi milik atau tanggungan bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.

c.       Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening.

Dalam hal bank berkeinginan untuk memberikan bonus wadiah, beberapa metode yang dapat dilakukan adalah :

a.       Bonus wadiah atas dasar saldo terendah

b.      Bonus wadiah atas dasar saldo rata-rata harian

c.       Bonus wadiah atas dasar saldo harian

 

 

 

 

 

 

 

F.       Pengertian dan Hukum Wakalah

Wakalah menurut bahasa berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian madat. Wakalah menurut istilah para ulama berbeda-beda antara lain sebagai berikut.[4]

 

Malikiyyah berpendapat bahwa wakalah adalah :

 

اَنْ يَنِيْب (يُضِيْم) شَخْصٌ غَيْرَه فىِ حَقّ لَهُ يَتَصَرَّ فِيهِ

Artinya:

Seseoarang menggantikan (menepati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu.

 

Hanafiyyah berpendapat bahwa wakalah adalah :

 

اَنْ يُضِيمَ شَخْصٌ غَيْرَهُ مَقَامَ نَضْسِهِ فِى تَصَرَّ قٍ

Artinya:

Seseorang menempati diri orang lain dalam tasarruf (pengelolaan).

Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunah 13 mendefinisikan al-wakalah sebagai pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang dapat didiwakilkan.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al-wakalah ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu dalam hal-hal yang  dapat diwakilkan. Jumhur ulama sepakat membolehkan al-wakalah, bahkan mensunnahkannya karena kegiatan ini termasuk jenis ta’awun (tolong menolong) atas dasar kebaikan dan takwa, yang oleh al-Qur’an diserukan dan disunnahkan oleh Rasulullah SAW.

Pada dasarnya wakalah bersifat mubah, tetapi akan menjadi haram jika urusan yang diwakilkan adalah hal-hal yang bertentangan dengan syariah, menjadi wajib jika menyangkut hal yang darurat menurut Islam, dan menjadi makruh jika menyangkut hal-hal yang makruh, jadi masalah yang diwakilkan sangat penting.

Dalam fiqih berdasarkan ruang lingkupnya wakalah dibedakan menjadi tiga macam: Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk segala urusan. Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu. Wakalah al amah, perwakilan yang lebih luas dari al-muqayyadah tetapi lebih sederhana dari al-mutlaqah.

 

G.      Landasan Hukum Wakalah

Islam membolehkan adanya perwakilan (wakalah) dengan melihat kepada ayat-ayat Al-Qur’an atau  Hadist yang menunjukan adanya perwakilan di dalam Islam.[5]

1.      Al-Qur’an

وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا……

 “…pengurus-pengurus zakat…” (QS. At-Taubah [9]: 60)

فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا……

“…Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu…” (QS. Al-Kahfi [18]: 19)

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الأرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Berkata Yusuf “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.” (QS. Yusuf [12]: 55).

إنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا             

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. ” (QS. al-Nisa’ [4]: 58).

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

Dan jika kalian khawatirkan terjadi persengketaan di antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga wanita. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. An-Nisa’ [4]: 35).

2.      As-Sunnah

Rasullulah SAW semasa hidupnya pernah memberikan kuasa kepada sahabatnya dan banyak hadist yang menunjukan dibolehkannya praktek wakalah. Hadist tersebut diantaranya:

وَعَنْ سُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ ,اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ اَبَارَافِعٍ مَوْلَهُ وَرَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ, فَزَوَّجَاهُ مَيْمُوْنَةَ بِنْتَ الْحَارِثِ, وَهُوَ بِالْمَدِيْنَةِ قَبْلَ اَنْ يَخْرُجَ

Dan dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Nabi saw, mengutus Abu Rafi’, hamba yang pernah dimerdekakannya dan seorang laki-laki Anshar, lalu kedua orang itu menikahkan Nabi dengan Maimunah binti Harits dan pada saat itu (nabi saw) di Madinah sebelum keluar (ke mieqat Dzil Khulaifah). (HR Maliki dalam Muwaththa’)

عَنِ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda kepada Unais, “Pergilah hai Unais, kepada wanita tersebut. Jika ia mengakui perbuatannya, rajamlah dia.” (HR Bukhari)

عَنْ عُرْوَةَ بْنِ اَبِيْ اْلجَعْدِ اْلبَارِقِيْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ دِيْنَارًا لِيَشْتَرِيَ بِهِ لَهُ شَاةً، فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ, فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِيْنَارٍ وَجَاءَهُ بِدِيْنَارٍ وَ شَاةٍ، فَدَعَالَهُ بِالْبَرَكَةِ فِيْ بَيْعِهِ، وَكَانَ لَوِاشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيْهِ.

Dari ‘Urwah  bin Abil Ja’d Al-Bariqie: Bahwa Nabi saw (pernah) memberikan uang satu dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau, lalu dengan uang tersebut ia membeli dua ekor kambing, kemudian ia jual satu ekor dengan harga satu dinar. Ia pulang membawa satu dinar dan satu ekor kambing. Nabi s.a.w. mendoakannya dengan keberkatan dalam jual belinya. Seandainya ‘Urwah membeli tanah pun, ia pasti beruntung.” (H.R. Bukhari

Wakalah juga sebagai bentuk tolong menolong yang diridhai Allah, ini berdasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang artinya:

وَاللهُ فِى عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيْهِ

“ Dan Allah (akan) menolong hambaNya selama hamba-hambanNya mau menolong saudara-saudaranya”.

3.       Ijma

Ulama telah sepakat (ijma’) untuk memperbolehkan muslim melakukan akad/perjanjian wakalah, karena termasuk jenis ta’awun (tolong-menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa, yang sangat dianjurkan Al-Qur’an dan Rasullah SAW.

“(Jika) muwakkil mengizinkan wakil untuk mewakilkan (kepada orang lain), maka hal itu boleh; karena hal tersebut merupakan akad yang telah diizinkan kepada wakil; oleh karena itu, ia boleh melakukannya (mewakilkan kepada orang lain). 

 

H.      Rukun dan Syarat Wakalah

Al wakalah termasuk akad, seperti umumnya akad lainnya wakalah akan sah dan mempunyai  akibat hukum jika memenuhi rukun dan syaratnya.

Rukun dan Syarat Wakalah:[6]

1.    Orang yang mewakilkan (muwakkil), syarat-syarat muwakkil:

o      Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan. Jika yang mewakilkan bukan pemilik atau pengampu, maka al-wakalah tersebut batal.

o      Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya. Jika tindakan tersebut termasuk tindakan dharar mahdhah (berbahaya), seperti thalak, memberikan sedekah, menghibahkan atau mewasiatkan, maka  tindakan tersebut batal.

 

2.    Wakil atau yang mewakili, syarat-syarat wakil:

o      Cakap hukum, berakal

o      Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya

o      Wakil adalah orang yang diberi amanat.

3.       Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan), syarat-syarat sesuatu yang  diwakilkan:

o      Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti “ Aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mewakilkan salah seorang anakku”

o      Tidak bertentangan dengan syari’ah Islam

4.    Dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak. Sedangkan hal-hal yang tidak bisa diwakilkan seperti shalat, puasa maka itu tidak sah. Orang yang mewakilkan (muwakkil), syarat-syarat muwakkil:[7]

o      Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan. Jika yang mewakilkan bukan pemilik atau pengampu, maka al-wakalah tersebut batal.

o      Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya. Jika tindakan tersebut termasuk tindakan dharar mahdhah (berbahaya), seperti thalak, memberikan sedekah, menghibahkan atau mewasiatkan, maka  tindakan tersebut batal.

5.   Wakil atau yang mewakili, syarat-syarat wakil:

o      Cakap hukum, berakal

o      Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya

o      Wakil adalah orang yang diberi amanat.

6.    Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan), syarat-syarat sesuatu yang  diwakilkan:

o      Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti “ Aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mewakilkan salah seorang anakku”

o      Tidak bertentangan dengan syari’ah Islam

o      Dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak. Sedangkan hal-hal yang tidak bisa diwakilkan seperti shalat, puasa maka itu tidak sah.

 

I.         Macam-macam Wakalah

Wakalah terbagi menjadi, muthlaq dan muqayyad.

a.     Wakalah muqayyad adalah wakalah dimana muwakil membatasi tindakan wakil dan menentukan cara melaksanakan tindakan tersebut. Misalnya, “Aku wakilkan padamu untuk menjual rumahku ini dengan harga sekian”.

b.    Wakalah muthlaq adalah wakalah yang terbebas dari setiap batasan. Misalnya, “Aku wakilkan padamu untuk menjual rumahku”. Maka wakil dapat menjualnya dengan harga layak dan tidak terbatas dengan harga tertentu.

 

J.        Berakhirnya Akad Wakalah

Akad perwakilan berakhir dengan hal – hal berikut ini :[8]

a.     Kematian atau kegilaan salah satu dari dua orang yang berakad. Diantara syarat – syarat perwakilan adalah kehidupan dan keberadaan akal. Apabila terjadi kematian atau kegilaan maka perwakilan telah kehilangan sesuatu yang menentukan kesahannya.

b.    Diselesaikan pekerjaan yang dituju dalam perwakilan. Apabila pekerjaan yang dituju telah selesai maka perwakilan tidak lagi berarti.

c.     Pemecatan wakil oleh muwakil, meskipun wakil tidak mengetahuinya. Sementara menurut madzhab Hanafi, wakil harus mengetahui pemecatan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.       Kesimpulan

1.      Secara etimologi, kata al-wadi’ah berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara

2.       Wadi’ah di bagi menjadi dua: yaitu wadi’ah yadul amanah dan yadh dhammanah

3.      Rukun wadi’ah ada empat, yaitu: Pemilik barang atau pihak yang menitip (Muwaddi’), Pihak yang menyimpan atau yang menerima titipan (Mustauda’), Objek wadi’ah berupa barang yang dititipkan (Wadi’ah), Ijab Kabul.

4.      Giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadiah,yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki.

5.      Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah,yakni titpan murni  yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya.

6.      Wakalah menurut bahasa berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian madat. Wakalah menurut istilah para ulama berbeda-beda antara lain sebagai berikut.

7.      Wakalah terbagi menjadi, wakalah muthlaq dan wakalah muqayyad.

8.      Akad perwakilan berakhir dengan hal – hal berikut ini : Kematian atau kegilaan salah satu dari dua orang yang berakad, Diselesaikan pekerjaan yang dituju dalam perwakilan. Apabila pekerjaan yang dituju telah selesai maka perwakilan tidak lagi berarti, Pemecatan wakil oleh muwakil, meskipun wakil tidak mengetahuinya. Sementara menurut madzhab Hanafi, wakil harus mengetahui pemecatan.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

al-Jazairi, Abd al-Rahman. 1969. Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. Jakarta: Erlangga.

Harisudin, M. Noor. 2014. Fiqih Muamalah 1. Surabaya: Pena Salsabila.

Haroen, Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Idris, Ahmad. 1986. Fiqh al-Syafi’iyah. Jakarta: Karya Indah.

Nurhayati, Sri. 2008. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.



[1] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 244.

[2] Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia (Jakarta: Salemba Empat. 2008), 230.

[3] Ibid., 231.

[4] Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iyah (Jakarta: Karya Indah, 1986), 57-58.

[5] Ibid., 59.

[6] M. Noor Harisudin, Fiqih Muamalah 1 (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), 69.

[7] Ibid,. 70.

[8]Abd al-Rahman al-Jazairi, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah (Jakarta: Erlangga, 1969), 215.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar