BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang lengkap
dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti membutuhkan berinterakasi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling
tolong menolong diantara mereka.
Wadi’ah
merupakan simpnan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain yang bukan pemiliknya
untuk tujuan keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai
uang atau barang kepada pihak yang menerima titipan, dengan catatan kapan pun
titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali titipan
tersebut dan yang dititipi menjadi penjamin pengembalian barang titipan.
al-wakalah ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan
sesuatu dalam hal-hal yang dapat diwakilkan. Jumhur ulama sepakat
membolehkan al-wakalah, bahkan mensunnahkannya karena kegiatan ini
termasuk jenis ta’awun (tolong menolong) atas dasar kebaikan dan takwa,
yang oleh al-Qur’an diserukan dan disunnahkan oleh Rasulullah SAW.
Pada dasarnya wakalah bersifat mubah, tetapi akan menjadi haram jika
urusan yang diwakilkan adalah hal-hal yang bertentangan dengan syariah, menjadi
wajib jika menyangkut hal yang darurat menurut Islam, dan menjadi makruh jika
menyangkut hal-hal yang makruh, jadi masalah yang diwakilkan sangat penting.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Wadi’ah ?
2.
Apa saja sumber hukum Wadi’ah ?
3.
Apa saja jenis akad Wadi’ah ?
4.
Apa saja rukun dan syarat Wadi’ah ?
5.
Adakah giro dan tabungan Wadi’ah ?
6.
Apa pengertian
dan hukum Wakalah ?
7.
Apa landasan
hukum wakalah ?
8.
Apa saja rukun
dan syarat Wakalah ?
9.
Apa saja
macam-macam Wakalah ?
10. Bagaimana berakhirnya akad Wakalah ?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Wadi’ah
2.
Untuk mengetahui sumber hukum
Wadi’ah
3.
Untuk memahami jenis akad
Wadi’ah
4.
Untuk mengetahui rukun dan
syarat Wadi’ah
5.
Untuk memahami giro dan
tabungan Wadi’ah
6.
Untuk mengetahui pengertian
dan hukum Wakalah
7.
Untuk memahami landasan
hukum wakalah
8.
Untuk mengetahui rukun dan
syarat Wakalah
9.
Untuk memahami macam-macam
Wakalah
10. Untuk mengetahui berakhirnya akad Wakalah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wadi’ah
Secara
etimologi, kata al-wadi’ah berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan
pada pemiliknya untuk dipelihara.[1]
Wadi’ah
merupakan simpnan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain yang bukan
pemiliknya untuk tujuan keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari pihak yang
mempunyai uang atau barang kepada pihak yang menerima titipan, dengan catatan
kapan pun titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali
titipan tersebut dan yang dititipi menjadi penjamin pengembalian barang
titipan.
B.
Sumber Hukum
Wadiah
Dasar hukum pelaksanaan wadiah adalah sebagaimana
dijelaskan dalam:
1.
Al-Qur’an
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#r–Šxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #’n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAô‰yèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $Jè‹Ïÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS An-Nisa 58).
2. As-Sunnah
“Tunaikanlah amanah yang
dipercayakan kepadamu dan janganlah kamu mengkhiatani terhadap orang yang telah
mengkhianatimu” . HR. Abu Dawud dan Tirmidzi
C.
Jenis akad Wadi’ah
a.
Wadiah Amanah
Yaitu Wadiah dimana uang atau barang yang dititipkan hanya boleh disimpan
dan tidakboleh dibudidayakan, si penerima titipan tidak bertanggung jawab atas
kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan
akibat dari kelalaian penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut. Contoh : Safe
Deposit Box.
b.
Wadiah Yadh Dhamanah
Yaitu Wadiah
dimana si penerima barang dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dengan
seizing pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan barang tersebut secara utuh
setiap saat si pemilik menghendakinya. Hasil dari pemanfaatan barang tidak
wajib dibagi hasilnya. Namun boleh saja si penerima titipan memberi bonus pada
pemilik barang. Contoh: Tabungan dan Giro tidak berjangka.[2]
D.
Rukun dan Syarat Wadi’ah
a.
Rukun wadi’ah ada empat, yaitu:
1)
Pemilik barang atau pihak yang menitip
(Muwaddi’)
2)
Pihak yang menyimpan atau yang menerima
titipan (Mustauda’)
3)
Objek wadi’ah berupa barang yang dititipkan
(Wadi’ah)
4)
Ijab Kabul
b.
Ketentuan Syari’ah
1)
Pelaku harus cakap hokum, balligh serta mampu
menjaga dan memelihara barang titipan.
2)
Objek wadi’ah, harus jelas dan diketahui
spesifikasinya oleh pemilik dan penyimpan.
3)
Ijab Kabul, adalah pernyataan dan ekspresi
saling ridho antar pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis,
melalui korespondasi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
E. Giro dan Tabungan Wadiah
Giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadiah,yakni
titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki adapun
dala konsep wadiah yad al-dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh
menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan.
Beberapa ketentuan Umum Giro Wadiah
a.
Dana wadiah
dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dengan syarat bank harus
menjamin pembayaran kembali nominal dana wadiah tersebut.
b. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau
ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak
menanggung kerugian.Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana
sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat tapi tidak boleh
diperjanjikan dimuka.[3]
c.
Pemilik dana
wadiah dapat menarik kembali dananya sewaktu-waktu (on call), baik sebagian
ataupun seluruhnya .
Tabungan
Wadiah
Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad
wadiah,yakni titpan murni yang harus
dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya.
Berkaitan dengan produk tabungan, Bank syariah menggunakan akad wadiah yad
al-dhamanah.Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan
hak kepada bank syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang
titipannya, sedangkan bank syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi yang
disertai hak untuk menggunakan dan memanfaatkan dana atau barang teresbut.
Mengingat wadiah yad al dhamanah ini mempunyai implikasi hukum yang sama
dengan qordh, maka nasabah penitip dan bank tidak boleh saling menjanjikan
untuk membagi hasilkan keuntungan harta tersebut. Namun demikian, Bank
diperkenankan memberikan bonus kepada pemilik harta titipan selama tidak
diisyaratkan dimuka.
Ketentuan Umum
Tabungan Wadiah
a.
Tabungan
wadiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan
dikembalikan setiap saat (on call)sesuai dengan kehendak pemilik harta .
b. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang
menjadi milik atau tanggungan bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijanjikan
imbalan dan tidak menanggung kerugian.
c.
Bank
dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif
selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening.
Dalam hal bank
berkeinginan untuk memberikan bonus wadiah, beberapa metode yang dapat
dilakukan adalah :
a.
Bonus wadiah
atas dasar saldo terendah
b. Bonus wadiah atas dasar saldo rata-rata harian
c. Bonus wadiah atas dasar saldo harian
F.
Pengertian dan Hukum Wakalah
Wakalah
menurut bahasa berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian madat. Wakalah
menurut istilah para ulama berbeda-beda antara lain sebagai berikut.[4]
Malikiyyah berpendapat bahwa
wakalah adalah :
اَنْ يَنِيْب
(يُضِيْم) شَخْصٌ غَيْرَه فىِ حَقّ لَهُ يَتَصَرَّ فِيهِ
Artinya:
Seseoarang menggantikan (menepati)
tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu.
Hanafiyyah berpendapat bahwa
wakalah adalah :
اَنْ يُضِيمَ شَخْصٌ
غَيْرَهُ مَقَامَ نَضْسِهِ فِى تَصَرَّ قٍ
Artinya:
Seseorang menempati diri orang lain
dalam tasarruf (pengelolaan).
Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunah 13 mendefinisikan al-wakalah
sebagai pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang
dapat didiwakilkan.
Berdasarkan
definisi-definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al-wakalah
ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu
dalam hal-hal yang dapat diwakilkan. Jumhur ulama sepakat membolehkan al-wakalah,
bahkan mensunnahkannya karena kegiatan ini termasuk jenis ta’awun
(tolong menolong) atas dasar kebaikan dan takwa, yang oleh al-Qur’an diserukan
dan disunnahkan oleh Rasulullah SAW.
Pada dasarnya wakalah
bersifat mubah, tetapi akan menjadi haram jika urusan yang diwakilkan adalah
hal-hal yang bertentangan dengan syariah, menjadi wajib jika menyangkut hal
yang darurat menurut Islam, dan menjadi makruh jika menyangkut hal-hal yang
makruh, jadi masalah yang diwakilkan sangat penting.
Dalam fiqih
berdasarkan ruang lingkupnya wakalah dibedakan menjadi tiga macam: Wakalah
al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk
segala urusan. Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk
bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu. Wakalah al amah, perwakilan
yang lebih luas dari al-muqayyadah tetapi lebih sederhana dari al-mutlaqah.
G.
Landasan Hukum Wakalah
Islam membolehkan adanya perwakilan (wakalah) dengan melihat kepada
ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadist yang menunjukan adanya perwakilan di
dalam Islam.[5]
1. Al-Qur’an
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا……
“…pengurus-pengurus zakat…” (QS. At-Taubah [9]: 60)
فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ
أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا……
“…Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan
membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih
baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu…” (QS. Al-Kahfi [18]:
19)
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الأرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Berkata Yusuf “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.” (QS. Yusuf [12]: 55).
إنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ
إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا
بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila
kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. ” (QS. al-Nisa’ [4]: 58).
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا
حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا
يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan jika kalian khawatirkan terjadi persengketaan di antara keduanya,
maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga wanita. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal” (QS. An-Nisa’ [4]: 35).
2. As-Sunnah
Rasullulah SAW semasa hidupnya pernah memberikan kuasa kepada sahabatnya
dan banyak hadist yang menunjukan dibolehkannya praktek wakalah. Hadist
tersebut diantaranya:
وَعَنْ سُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ ,اَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ اَبَارَافِعٍ مَوْلَهُ وَرَجُلاً مِنَ
الأَنْصَارِ, فَزَوَّجَاهُ مَيْمُوْنَةَ بِنْتَ الْحَارِثِ, وَهُوَ
بِالْمَدِيْنَةِ قَبْلَ اَنْ يَخْرُجَ
Dan dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Nabi saw, mengutus Abu Rafi’, hamba yang
pernah dimerdekakannya dan seorang laki-laki Anshar, lalu kedua orang itu
menikahkan Nabi dengan Maimunah binti Harits dan pada saat itu (nabi saw) di
Madinah sebelum keluar (ke mieqat Dzil Khulaifah). (HR Maliki dalam Muwaththa’)
عَنِ
النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى
امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda kepada Unais, “Pergilah hai
Unais, kepada wanita tersebut. Jika ia mengakui perbuatannya, rajamlah dia.” (HR Bukhari)
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ اَبِيْ اْلجَعْدِ اْلبَارِقِيْ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ دِيْنَارًا لِيَشْتَرِيَ بِهِ
لَهُ شَاةً، فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ, فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِيْنَارٍ
وَجَاءَهُ بِدِيْنَارٍ وَ شَاةٍ، فَدَعَالَهُ بِالْبَرَكَةِ فِيْ بَيْعِهِ،
وَكَانَ لَوِاشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيْهِ.
Dari ‘Urwah bin Abil Ja’d Al-Bariqie: Bahwa Nabi saw (pernah) memberikan uang
satu dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau, lalu dengan
uang tersebut ia membeli dua ekor kambing, kemudian ia jual satu ekor dengan
harga satu dinar. Ia pulang membawa satu dinar dan satu ekor kambing. Nabi
s.a.w. mendoakannya dengan keberkatan dalam jual belinya. Seandainya ‘Urwah
membeli tanah pun, ia pasti beruntung.” (H.R. Bukhari
Wakalah juga sebagai bentuk tolong menolong yang diridhai Allah, ini
berdasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang artinya:
وَاللهُ فِى عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فِى
عَوْنِ أَخِيْهِ
“ Dan Allah (akan) menolong hambaNya selama hamba-hambanNya mau menolong
saudara-saudaranya”.
3. Ijma
Ulama telah sepakat (ijma’) untuk memperbolehkan muslim melakukan
akad/perjanjian wakalah, karena termasuk jenis ta’awun
(tolong-menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa, yang sangat dianjurkan Al-Qur’an
dan Rasullah SAW.
“(Jika) muwakkil mengizinkan wakil untuk mewakilkan (kepada orang
lain), maka hal itu boleh; karena hal tersebut merupakan akad yang telah
diizinkan kepada wakil; oleh karena itu, ia boleh melakukannya (mewakilkan
kepada orang lain).
H.
Rukun dan Syarat Wakalah
Al wakalah termasuk akad, seperti umumnya akad lainnya wakalah akan sah dan
mempunyai akibat hukum jika memenuhi rukun dan syaratnya.
Rukun dan Syarat Wakalah:[6]
1.
Orang yang mewakilkan (muwakkil), syarat-syarat muwakkil:
o
Pemilik sah yang dapat
bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan. Jika yang mewakilkan bukan pemilik
atau pengampu, maka al-wakalah tersebut batal.
o
Orang mukallaf atau
anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang
bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah
dan sebagainya. Jika tindakan tersebut termasuk tindakan dharar mahdhah
(berbahaya), seperti thalak, memberikan sedekah, menghibahkan atau mewasiatkan,
maka tindakan tersebut batal.
2. Wakil atau yang mewakili,
syarat-syarat wakil:
o Cakap hukum, berakal
o Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya
o Wakil adalah orang yang diberi amanat.
3. Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan), syarat-syarat sesuatu yang diwakilkan:
o
Diketahui dengan jelas
oleh orang yang mewakili, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar,
seperti “ Aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mewakilkan salah seorang
anakku”
o Tidak bertentangan dengan syari’ah Islam
4. Dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam. Manfaat barang atau jasa harus
bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak. Sedangkan hal-hal yang tidak
bisa diwakilkan seperti shalat, puasa maka itu tidak sah. Orang yang mewakilkan
(muwakkil), syarat-syarat muwakkil:[7]
o Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan. Jika
yang mewakilkan bukan pemilik atau pengampu, maka al-wakalah tersebut
batal.
o Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu,
yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima
hibah, menerima sedekah dan sebagainya. Jika tindakan tersebut termasuk
tindakan dharar mahdhah (berbahaya), seperti thalak, memberikan sedekah,
menghibahkan atau mewasiatkan, maka tindakan tersebut batal.
5. Wakil atau yang mewakili, syarat-syarat wakil:
o
Cakap hukum, berakal
o
Dapat mengerjakan
tugas yang diwakilkan kepadanya
o
Wakil adalah orang
yang diberi amanat.
6. Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan),
syarat-syarat sesuatu yang diwakilkan:
o
Diketahui dengan jelas
oleh orang yang mewakili, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar,
seperti “ Aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mewakilkan salah seorang
anakku”
o Tidak bertentangan dengan syari’ah Islam
o
Dapat diwakilkan
menurut syari’ah Islam. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat
dilaksanakan dalam kontrak. Sedangkan hal-hal yang tidak bisa diwakilkan
seperti shalat, puasa maka itu tidak sah.
I.
Macam-macam Wakalah
Wakalah terbagi menjadi, muthlaq
dan muqayyad.
a.
Wakalah muqayyad adalah wakalah dimana muwakil
membatasi tindakan wakil dan menentukan cara melaksanakan tindakan tersebut.
Misalnya, “Aku wakilkan padamu untuk menjual rumahku ini dengan harga sekian”.
b.
Wakalah muthlaq adalah wakalah yang terbebas
dari setiap batasan. Misalnya, “Aku wakilkan padamu untuk menjual rumahku”.
Maka wakil dapat menjualnya dengan harga layak dan tidak terbatas dengan harga
tertentu.
J.
Berakhirnya Akad Wakalah
Akad perwakilan berakhir dengan hal
– hal berikut ini :[8]
a.
Kematian atau kegilaan salah satu dari dua
orang yang berakad. Diantara syarat – syarat perwakilan adalah kehidupan dan
keberadaan akal. Apabila terjadi kematian atau kegilaan maka perwakilan telah
kehilangan sesuatu yang menentukan kesahannya.
b.
Diselesaikan pekerjaan yang dituju dalam
perwakilan. Apabila pekerjaan yang dituju telah selesai maka perwakilan tidak
lagi berarti.
c.
Pemecatan wakil oleh muwakil, meskipun wakil
tidak mengetahuinya. Sementara menurut madzhab Hanafi, wakil harus mengetahui
pemecatan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Secara etimologi, kata al-wadi’ah berarti menempatkan sesuatu yang
ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara
2. Wadi’ah
di bagi menjadi dua: yaitu wadi’ah yadul amanah dan yadh dhammanah
3.
Rukun wadi’ah ada empat, yaitu: Pemilik barang atau pihak yang menitip
(Muwaddi’), Pihak yang menyimpan atau yang menerima titipan (Mustauda’), Objek
wadi’ah berupa barang yang dititipkan (Wadi’ah), Ijab Kabul.
4. Giro wadiah adalah giro
yang dijalankan berdasarkan akad wadiah,yakni titipan murni yang setiap saat
dapat diambil jika pemiliknya menghendaki.
5. Tabungan wadiah merupakan
tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah,yakni titpan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap
saat sesuai dengan kehendak pemiliknya.
6. Wakalah menurut bahasa berarti penyerahan,
pendelegasian, atau pemberian madat. Wakalah menurut istilah para ulama
berbeda-beda antara lain sebagai berikut.
7. Wakalah terbagi menjadi, wakalah muthlaq dan wakalah
muqayyad.
8.
Akad
perwakilan berakhir dengan hal – hal berikut ini : Kematian atau
kegilaan salah satu dari dua orang yang berakad, Diselesaikan pekerjaan yang
dituju dalam perwakilan. Apabila pekerjaan yang dituju telah selesai maka
perwakilan tidak lagi berarti, Pemecatan wakil oleh muwakil, meskipun wakil
tidak mengetahuinya. Sementara menurut madzhab Hanafi, wakil harus mengetahui
pemecatan.
DAFTAR PUSTAKA
al-Jazairi,
Abd al-Rahman. 1969. Fiqh ‘Ala Madzahib
al-Arba’ah. Jakarta: Erlangga.
Harisudin, M.
Noor. 2014. Fiqih Muamalah 1. Surabaya: Pena Salsabila.
Haroen,
Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Idris, Ahmad. 1986. Fiqh al-Syafi’iyah. Jakarta: Karya Indah.
Nurhayati,
Sri. 2008. Akuntansi Syariah di
Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
[1]
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2007), 244.
[2]
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia (Jakarta:
Salemba Empat. 2008), 230.
[3]
Ibid., 231.
[4]
Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iyah (Jakarta: Karya Indah, 1986), 57-58.
[5]
Ibid., 59.
[6]
M. Noor Harisudin, Fiqih Muamalah 1
(Surabaya: Pena Salsabila, 2014), 69.
[7]
Ibid,. 70.
[8]Abd al-Rahman al-Jazairi, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah (Jakarta: Erlangga, 1969), 215.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar