BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Diantara
masalah yang timbul dalam hukum adat kita adalah, terdapat seseorang yang
menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain, agar hartanya bisa bermanfaat,
karena si pemberi hibah takut hartanya
kelak akan jatuh ke tangan ahli warisnya yang tak bisa dipertanggungjawabkan
nantinya, dan kelak harta tersebut akan sia-sia.
Jelas hal ini tak
sejalur dengan pemikiran kita selama ini, bahwa yang perlu dibatasi adalah
wasiat yang tak boleh lebih dari sepertiga, bukan hibah. Padahal hibah dan
wasiat juga sama-sama memiliki efek tersendiri bagi para ahli waris.
Oleh sebab itu,
dikarenakan beberapa masalah pelik tersebut, penulis mencoba memaparkan
beberapa hukum mengenai hibah lebih dari sepertiga menurut perspektif hukum
islam.
B.
Rumusan Masalah
- Apa pengertian hibah?
- Sampai
sejauh manakah harta yang dihibahkan kaitannya dengan ahli waris?
- Apa
esensi Kompilasi Hukum Islam dalam membatasi hibah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
- Pada
mulanya kata hibah itu diambil dari kata “hubuuburr riih” artinya “nuruuruhaa”
yang berarti perjalanan angin. Dalam perkembangan lebih lanjut dipakai
kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta
atau selainnya. Di dalam syariat
islam, hibah berarti akad yang pokoknya
adalah pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu
ia masih hidup tanpa imbalan apapun. Secara umum hibah
mempunyai pengertian hal-hal yang meliputi :
a) Ibraa, yakni menghibahkan utang kepada yang berhutang;
b) Sedekah, yakni menghibahkan sesuatu dengan mengharapkan
pahala di akhirat;
c) Hadiah yakni pemberian yang menurut orang yang diberi itu
untuk memberi imbalan.
- Pengertian Hibah
Menurut Islam
Menurut pengertian bahasa, hibah berarti mutlak
“pemberian” baik berupa harta benda maupun yang lainnya. Menurut
istilah syara’ ialah:
a) Menurut Mazhab Hanafi adalah memberikan suatu benda
dengan tanpa ada syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian mana dilakukan
pada saat si pemberi masih hidup. Benda yang dimiliki yang akan diberikan itu
adalah sah milik si pemberi.
b) Menurut Mazhab Maliki, adalah memberikan suatu zat materi
tanpa mengharap imbalan, dan hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya
tanpa mengharap imbalan dari Allah. Hibah menurut Maliki ini sama dengan
hadiah. Dan apabila pemberian itu semata-mata untuk meminta ridha Allah dan
mengharapkan pahala maka ini dinamakan sedekah.
c) Menurut Madzhab Hambali, adalah memberikan hak memiliki
sesuatu oleh seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta baik yang
dapat diketahui atau, karena susah untuk mengetahuinya. Harta itu ada wujudnya
untuk diserahkan. Pemberian yang mana tidak bersifat wajib,
dan dilakukan pada waktu si pemberi masih hidup dengan
tanpa syarat ada imbalan.
d) Menurut Madzhab Syafii,
hibah mengandung dua pengertian:
1) Pengertian khusus, yaitu pemberian hanya sifatnya sunnah
yang dilakukan dengan ijab qabul pada waktu si pemberi masih hidup. Pemberian
yang mana tidak dimaksudkan untuk menghormati atau memuliakan seseorang dan
tidak dimaksudkan untuk mendapatkan pahala dari Allah atau karena menutup kebutuhan
orang yang diberikannya.
2) Pengertian umum, yaitu hibah dalam arti umum mencakup
hadiah dan sedekah.
Walaupun rumusan definisi yang dikemukakan oleh keempat
mazhab tersebut berlainan redaksinya namun intinya tetaplah sama, yaitu;
“hibah adalah memberikan hak milik sesuatu benda kepada
orang lain yang dilandasi oleh ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada
sesama manusia dalam hal kebaikan”
3. Dalam KUH Perdata, hibah disebut schenking yang
berarti suatu persetujuan, dengan si pemberi hibah diwaktu hidupnya dengan
Cuma-Cuma dan dengan tidak ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna
keperluan si penerima hibah untuk digunakan sebagai layaknya milik pribadi.
Dalam KUH Perdata sama sekali tidak mengakui lain-lain hibah, kecuali hibah di
antara orang-orang yang masih hidup. Hibah itu hanya mengenal benda-benda yang
sudah ada, jika benda itu meliputi benda yang akan ada di kemudian hari, maka
sekedar mengenai hal ini hibahnya adalah batal (pasal 1666 dan 1667 KUH
Perdata)
4. Dalam pasal 171 huruf g KHI, hibah adalah pemberian
suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain
yang masih hidup untuk dimiliki. Pengertian ini sama dengan definisi yang
banyak disebut dalam kitab fiqih tradisional bahwa yang dimaksud dengan hibah
adalah pemilikan sesuatu melalui akad tanpa mengharapkan imbalan yang telah
diketahui dengan jelas ketika si pemberi hibah masih hidup.
Dengan demikian dapat
ditarik kesimpulan bahwa kerelaan dalam melakukan perbuatan hukum tanpa ada
paksaan dari pihak lain merupakan unsur yang harus ada dalam pelaksanaan hibah.
Jadi asasnya adalah sukarela.
B. Landasan hukum
- Surat Al-Baqarah:195
“Dan belanjakanlah
(harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik. “
Maka
untuk itulah, dengan ayat tersebut Allah memerintahkan kita untuk berbuat
sunnah dalam arti berbuat kebaikan yaitu berinfak, seperti: sodaqoh, wakaf,
hibah, dan lain-lain
- Surat
Ali-Imran:92
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”
|
Untuk itu, Berkaitan dengan masalah di atas pasal 210 KHI
telah memberikan solusi,
- KHI PASAL 210 yang berbunyi:
“Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun
berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3
harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk
dimiliki”
Menurut Muhammad Daud Ali dalam bukunya
Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, beliau mencantumkan syarat-syarat hibah,
yang salah satunya adalah: pada dasrnya, hibah adalah pemberian yang tidak ada
kaitannya dengan kewarisan kecuali kalau ternyata bahwa hibah itu, akan
mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak
melebihi sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiyat yang tidak
melebihi sepertiga harta peninggalan.
- Hadis
Nabi:
حَدَّثَنَا
الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي
عَامِرُ بْنُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ مَرِضْتُ بِمَكَّةَ
مَرَضًا فَأَشْفَيْتُ مِنْهُ عَلَى الْمَوْتِ فَأَتَانِي النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي
مَالًا كَثِيرًا وَلَيْسَ يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَتِي أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ
مَالِي قَالَ لَا قَالَ قُلْتُ فَالشَّطْرُ قَالَ لَا قُلْتُ الثُّلُثُ قَالَ
الثُّلُثُ كَبِيرٌ إِنَّكَ إِنْ تَرَكْتَ وَلَدَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ
تَتْرُكَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً
إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى اللُّقْمَةَ تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ
فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ آأُخَلَّفُ عَنْ هِجْرَتِي فَقَالَ لَنْ تُخَلَّفَ
بَعْدِي فَتَعْمَلَ عَمَلًا تُرِيدُ بِهِ وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا ازْدَدْتَ بِهِ
رِفْعَةً وَدَرَجَةً وَلَعَلَّ أَنْ تُخَلَّفَ بَعْدِي حَتَّى يَنْتَفِعَ بِكَ
أَقْوَامٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ لَكِنْ الْبَائِسُ سَعْدُ بْنُ خَوْلَةَ
يَرْثِي لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَاتَ
بِمَكَّةَ قَالَ سُفْيَانُ وَسَعْدُ بْنُ خَوْلَةَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَامِرِ بْنِ
لُؤَيٍّ
Artinya: diriwayatkandari
Sa’ad bin Abi Waqosh ra: pada tahun Haji Penghabisan (wada’)Nabi Muhammad SAW mengunjungiku
seraya mendoakan kesehatanku. Aku berkata kepada nabi Muhammad SAW, “aku lemah
karena sakitku yang parahpadahal aku kaya dan aku tidak punya ahli wariskecuali
seorang anak perempuan. Haruskah aku menyedekahkan 2/3 kekayaanku? Nabi
Muhammad SAW bersabda, “tidak” kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda bahkan 1/3
telah cukup banyak. Lebih baik kamu
|
Dimana hadist
tersebut seolah menggambarkan bahwa bersedekah yang lebih dari sepertiga
merupakan tindakan yang berakibat merusak esensi dan kepentingan dari ahli
waris.
C. PENDAPAT
PARA ULAMA’ MENGENAI HIBAH YANG LEBIH DARI SEPERTIGA
- Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam sepakat pendapatnya, bahwa
seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli
waris.
- Tetapi Imam Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentahkiik mahdzab
Hanafi
mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk
keperluan kebaikan. Mereka menganggap orang yang berbuat demikian itu
sebagai orang dungu yang wajib dibatasi tindakannya. Dalam
hal ini dapat di bedakan dalam 2 hal yaitu: jika hibah itu diberikan kepada orang
lain (selain ahli waris) atau suatu badan hukum mayoritas pakar hukum
islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi jika hibah itu diberikan
kepada anak-anak pemberi hibah, menurut Imam Malik dan Ahlul Zahir
tidak memperbolehkannya, sedangkan fuqaha’ amsar menyatakan makruh.Sehubungan dengan tindakan
rasulullah SAW. Terhadap kasus Nu’man Ibnu Basyir menunjukkan bahwa hibah
orang tua terhadap anaknya haruslah disamakan bahkan banyak hadist lain
yang redaksinya berbeda menjelaskan ketidakbolehan membedakan pemberian
orang tua kepada anaknya secara berbeda, yang satu lebih banyak dari yang
lain.
- Menurut
pendapat Imam Ahmad Ishaq, Tsauri, dan beberapa pakar hukum islam yang
lain bahwa hibah batal apabila melebihkan satu dengan yang lain, tidak
diperkenankan menghibahkan hartanya kepada salah seorang anaknya, haruslah
bersikap adil diantara anak-anaknya. Kalau sudah
terlanjur dilakukan maka harus dicabut kembali.
Yang masih
diperselisihkan para ahli hukum islam adalah tentang bagaimana cara penyamaan
sikap dan perlakuan anak-anak itu? Ada yang berpendapat bahwa pemberian itu
adalah sama diantara anak laki-laki dan anak perempuan, ada pula yang
berpendapat bahwa penyamaan antara anak laki-laki itu dengan cara menetapkan
bagian untuk seorang anak laiki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan,
sesuai dengan pembagian waris. Menurut sebagian ahli hukum islam, sesungguhnya
penyamaan itu bukan hal yang wajib dilaksanakan, tetapi sunnah saja. Mereka
menyatakan bahwa hadist yang menyatakan menyamakan anak-anaknya dalam pemberian
hibah adalah lemah, demikian juga hadist yang menyatakan bahwa pemberian semua
harta yang berbentuk hibah kepada anak-anaknya yang nakal. Pendapat yang
mewajibkan menyamakan pemberian semua harta berupa hibah kepada anak-anaknya
adalah pendapat yang kuat. Oleh karena itu, jika dalam hal pemberian hibah itu
tidak sesuai dengan ketentuan ini, maka hibahnya adalah batal.
Prinsip pelaksanaan hibah orang tua terhadap
anaknya haruslah sesuai petunjuk Rasulullah SAW. Dalam berberapa hadist
dikemukakan bahwa bagian mereka supaya disamakan dan tidak dibenarkan memberi
semua harta kepada salah seorang anaknya. Jika hibah yang diberikan orang tua
kepada anaknya melebihi dari ketentuan bagian waris, maka hibah tersebut dapat
diperhitungkan sebagai warisan. Sikap seperti ini menurut kompilasi
didasarkan pada kebiasaan yang dianggap
positif oleh masyarakat. Karena bukan suatu hal yang aneh apabila bagian waris
yang dilakukan tidak adil akan menimbulkan penderitaan bagi pihak tertentu,
lebih-lebih kalau penyelesaiannya sampai ke pengadilan agama tentu akan terjadi
perpecahan keluarga.
Sehubungan dengan
hal ini Umar Ibnul Khattab pernah mengemukakan bahwa kembalikan putusan itu diantara sanak
keluarga, sehingga mereka membuat perdamaian karena sesungguhnya putusan
pengadilan itu sangat menyakitkan hati dan menimbulkan penderitaan.
- Ulama
Malikyah
menetapkan dalam syarat orang yang yang menghibahkan adalah Ahlan li
tabarru’ yaitu orang yang
berhak berderma dan bersedekah. Yang dimaksud
dengan ahli tabarru’ adalah diantaranya adalah :
a) bukan seorang isteri. Jika harta yang dihibahkan melebihi
dari sepertiga harta, karena ketika seorang isteri ketika menghibahkan harta
melebihi sepertiga harta harus mendapat izin dari suaminya.
b) bukan orang yang sakit, yang sudah mendekati kematian.
Syarat ini berlaku jika harta yang dihibahkan melebihi dari sepertiga. Jika
menghibahkan lebih dari sepertiga maka harus mendapatkan persetujuan ahli waris.
BAB III
ANALISIS
Islam memperbolehkan seseorang memberikan atau
menghadiahkan sebagian atau seluruhnya harta kekayaan ketika masih hidup kepada
orang lain yang disebut ”intervivos”. Pemberian semasa hidup itu lazim
dikenal dengan sebutan ”hibah”. Di dalam Hukum Islam jumlah harta seseorang
yang dapat dihibahkan itu tidak terbatas. Berbeda halnya dengan pemberian
seseorang melalui surat wasiat yang terbatas pada sepertiga dari harta peninggalan
yang bersih.
Hibah
pada dasarnya memang tidak ada kaitannya dengan kewarisan, karena berdasarkan
pelaksanaan sudah jauh berbeda. Hibah diberikan ketika si penghibah masih hidup
sedangakan kewarisan dilakukan setelah adanya kematian.
Namun dengan adanya
permasalahan yang ada yaitu, ketika terdapat seseorang yang menghibahkan
seluruh hartanya kepada orang lain, agar hartanya bisa bermanfaat, karena si pemberi hibah takut hartanya kelak akan jatuh ke
tangan ahli warisnya yang tak bisa di pertanggungjawabkan nantinya, dan kelak
harta tersebut akan sia-sia. Maka menurut hemat saya sangat perlu sekali adanya
batasan pemberian hibah, karena dikhawatirkan ada hak-hak ahli waris yang bisa
menimbulkan kerancuan.
Mengutip pendapat Muhammad Ibnu Hasan, bahwa seseorang
boleh menghibahkan hartanya kepada selain ahli waris , namun tidak sah jika ia
menghibahkan seluruh hartanya walaupun untuk kebaikan. meskipun secara
kepemilikan itu adalah harta si penghibah, yang dia bisa bebas melakukan apa
saja dengan hartanya. menurut hemat penulis, ketika ia menghibahkan seluruh
hartanya, maka ia tak memiliki lagi harta untuk dibagikan kepada ahli warisnya,
dan bisa berakibat pula pada perselisihan antar keluarga, maka disini
mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya. Meskipun dalam masalah tadi si
pemberi hibah berniat baik agar kelak hartanya terkelola dengan baik,dan Allah
telah memerintahkan kita untuk menyedekahkan harta kita dalam firman Nya
Surat Al-Baqarah:195
“Dan belanjakanlah
(harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik. “
namun berdasarkan hadis nabi, tentang cerita
Sa’ad bin Abi Wqash dapat dikaitkan dengan kemaslahatan pihak keluarga dan ahli
warisnya, sungguh tidak dibenarkan sebab didalam syariat islam diperintahkan
agar setiap pribadi untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka. Dalam konteks ini ada kewajiban pada diri masing-masing
untuk menyejahterkan keluarga. Seandainya perbuatan yang dilakukan itu
menyebabkan keluarganya jatuh dalam keadaan miskin, maka samalah halnya ia
menjerumuskan sanak keluarganya ke gerbang kekafiran.
Pemikiran yang mengatakan bahwa tidak ada salahnya
memberikan semua harta yang dimilkinya kepada siapa saja yang dikehendikannya
sebagaimana yang dikemukakan oleh jumhur fiqoha’ bukanlah pendapat seluruhnya
salah. Sebaiknya para praktisi hukum dilingkungan Peradilan Agama juga
memperhatikan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Ibnu Hasan dan sebagian
paentahkik mazhab hanafi bahwa tidak sah menghibahkan semua harta meskipun
dalam kebaikan, orang yang berbuat demikian adalah orang yang dungu dan patut
dibatasi hukumnya. Pendapat ini adalah
sejalan dengan apa yang dibenarkan Dalam
Kompilasi Hukum Islam yang mengatakan bahwa hibah itu seperiga dari seluruh
harta yang dimilkinya. Apabila ada kelebihan dari hibah yang diterima itu, maka
dapat dijadikan bagian warisan yang diterima para ahli waris.
Selain itu ayat alqur’an
Surat Ali-Imran:92 yang berbunyi:
“ Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”
Ayat diatas dalam beberapa arti lafadz “ مِماَ” diartikan “sebagian hartamu”.
Jadi manusia diperintahkan oleh Allah untuk menginfakkan hartanya di jalan Allah dengan cukup sekedarnya saja.
Bahkan Pada lingkungan hukum adat di Indonesia, diakui
bahwa proses pewarisan harta seorang pewaris dapat mulai dilaksanakan sejak
pewaris masih hidup. meskipun secara umum pembagian harta warisan dilakukan
setelah pewaris meninggal, tidak jarang terjadi pembagian tersebut dilaksanakan
jauh sebelum pewaris meninggal. Penyerahan harta warisan kepada ahli waris atau
seorang yang tidak termasuk ahli waris
sebelum pewaris meninggal, disebut hibah.
Dalam hal pewaris menghibahkan hartanya kepada bukan
ahli waris, penghibahan dibatasi sepanjang tidak merugikan hak para ahli
waris.
Walaupun begitu, meskipun hibah terhadap selain ahli
waris dibatasi sebanyak-banyaknya 1/3, maka bukan berarti hibah kepada
anak-anak si pemberi hibah itu diperbolehkan lebih dari sepertiga. Justru dalam
hal ini aspek keadilan kepada semua anak-anaknya harus diperhatikan.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Pengertian Hibah adalah
memberikan hak memilik sesuatu benda kepada orang lain yang dilandasi oleh
ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada sesame manusia dalam hal
kebaikan.
- Hibah
pada dasarnya memang tidak ada kaitannya dengan kewarisan, karena berdasarkan
pelaksanaan sudah jauh berbeda. Hibah diberikan ketika si penghibah masih
hidup sedangakan kewarisan dilakukan setelah adanya kematian. Namun dengan
adanya permasalahan yang ada, tak menutup kemungkinan seseorang memberikan
atau menghadiahkan seluruh hartanya kepada orang lain, yang mana bisa
merugikan ahli warisnya kelak.
- Esensi
Kompilasi Hukum Islam, dalam memberikan Batasan pemberian hibah adalah baik kepada anak-anaknya sendiri atau
kepada selain ahli waris. Jika batasan hibah kepada selain ahli waris
karena ada kaitannya dengan kecukupan ahli waris kelak, maka hibah kepada
anak-anaknya dibatasi juga untuk rasa keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Aneka masalah Hukum perdata Islam di
Indonesia.
Abdur Rahman Al Jaziri, Al Figih ‘Ala Madzahib Al
Arba’ah. juz 3
Kompilasi Hukum Islam. Citra Media Wacana. 2008
Muhammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam, zakat dan WAkaf.
UI-Press.
1988
Muhammad
Idris Ramulyo, Perbandingan
Hukum Kewarisan Islam di PA dan Kewarisan menurut Undang-Undang HUkum Perdata
di PN. Pedoman ILmu Jaya, Jakarta. 1992
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz 3, Darul Fikr: Beirut,
LIbanon.
Tamakiran, S. Asas-asas hukum
waris menurut tiga sitem hukum, Pioner Jaya, Bandung. 1987
CD ROM Al-musu’ah Al
hadist. Global Islamic Software Companiy. 1991
CD
Holly qur’an. Sakhr. 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar