Jumat, 17 Juni 2022

Makalah Wadiah

 


I. Sekilas konsep wadî’ah (titipan).

            Perbankan menjadi penting dalam perekonomian negara karena menjadi salah satu tempat perputaran uang dan modal. Semakin besar perputaran uang ini  diarahkan untuk investasi semakin besar pengaruh positifnya terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan ekonomi negara pada umumnya.

            Jika bank konvensional memobilisasi modal melalui fasilitas kredit berbunga, maka bank islam melakukannya  melalui fasilitas wadi’ah (titipan). Menjadi tantangan bank islam agar lebih baik tidak hanya dalam memobilisasi dana tetapi juga dalam penyalurannya sebagai modal investasi, khususnya pada sektor-sektor riil seperti pertanian dan industri. 

            sekilas ada kemiripan antara bank islam dengan bank konvensional dalam memobilisasi dana lewat perangkat wadi’ah (titipan) ini, oleh karena itu tulisan ini akan menjelaskan secara terperinci perbedaan yang jauh antara keduanya baik dari substansi transaksi yang dilakukan atau kaidah syar’inya, undang – undang  perbankan, dan penerapannya.

 

A. Pengertian wadî’ah (titipan)

            Wadi’ah atau depository menurut bahasa adalah titipan atau simpanan.

            Dalam literatur fikih, para ulama berbeda-beda dalam mendefiniskan wadi’ah disebabkan perbedaan mereka dalam beberapa hukum yang berkenaan dengan wadi’ah tersebut yaitu perbedaan mereka dalam pemberian upah bagi pihak penerima titipan, transaksi ini dikategorikan taukil atau sekedar menitip, barang titipan tersebut harus berupa harta atau tidak.([1])

            Di antara definisi tersebut menjelaskan bahwa wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus di jaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.([2])

            Definisi ini sudah cukup mewakili wadi’ah (titipan) dalam perbankan islam.

 

B. Landasan syari'ah  dan hikmahnya.

            Wadî’ah/depository (titipan) ditegaskan kebolehannya dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’.

B.2 Al-Qur’an.

إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها.

 

            Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan) kepada  yang berhak menerimanya..” (an-nisa’ ; 58).

            Ayat ini turun berkenaan dengan tanggung jawab memegang kunci ka’bah, tugas ini kemudian diserahkan kembali kepada Utsman bin Tolhah untuk menjaganya.

            Ayat ini secara tegas menyuruh untuk menunaikan setiap amanat termasuk di dalamnya menjaga titipan orang lain.

 

B.2 As-Sunnah

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال النبي ص أد الأمانة من ائتمنك ولا تخن من خانك

             Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rosulullah saw bersabda, “sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.” (H.R Abu Dawud dan menurut Tirmidzi hadits ini hasan, sedangkan Imam Hakim mengkategorikannya shohih).

 

وروي عنه عليه السلام إنه كان عنده ودائع فلما أراد الهجرة أودعها عند أم أيمن وأمر عليا ان يردها إلى اهلها

             Dan diriwayatkan dari Rosulullah saw, bahwa ia mempunyai (tanggung jawab,pen) titipan, ketika ia akan berangkat hijrah ia menyerahkannya kepada Ummu Aiman dan ia (Ummu Aiman. Pen.) menyuruh Ali Bin Abi Tholib untuk menyerahkannya kepada yang berhak.

 

 B.3. Ijma

            Para ulama sudah sepakat bahwa wadî’ah (titipan) itu dibolehkan baik menitipkan barang atau menerima titipan. Hal ini sesuai dengan tuntutan kehidupan manusia yang tidak bisa menjaga sendiri seluruh harta miliknya, pada sa’at-sa’at tertentu ia membutuhkan orang lain untuk menitipkan hartanya.([3])

 

C. Kaidah-kaidah umum wadî’ah (titipan).

            Pembahasan setiap akad dalam muamalat lebih banyak menjelaskan transaksi antara individu sebaliknya transaksi dengan lembaga atau syakhsiyah maknawiyah tidak banyak dijelaskan dan menjadi pembahasan kontemporer oleh karena kaidah-kaidah ini bisa menjadi acuan penerapan transaksi wadi’ah dalam lembaga  seperti perbankan. Di antara kaidah-kaidah tersebut adalah,

C.1 Wadî’ah/titipan akad amanah.

            Para ulama sepakat jika penerima simpanan adalah yad amanah  (pihak amanah) artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena faktor-fakor di luar batas-batas kemampuan).

            Oleh karena itu wadî' (penerima titipan) adalah amîn (terpercaya), ia tidak bertanggungjawab atau dituntut atas setiap kerusakan atau kehilangan pada aset titipan tersebut.

            Kecuali salah satu riwayat ahmad yang mengatakan bahwa wadî’ (penerima titipan)  menjamin setiap aset titipan tersebut dengan dalil bahwa Umar bin Khottob meminta Anas bin Malik untuk menjamin titipannya yang hilang. Tetapi riwayat ini bisa ditafsirkan bahwa titipan tersebut hilang karena kelalaian Anas bin Malik.

            Di antara dalil yang menegaskan bahwa wadî’ah/titipan adalah akad amanah (tidak ada jaminan) adalah:

 

  1.  As-Sunnah

عن عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده أن النبي ص قال ليس على المستودع ضمان

      Umar bin Syuaib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, ia  meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda “penerima titipan itu tidak menjamin”

  1. Karena Allah menamakannya amanat, dan jaminan bertentangan dengan amanat.
  2. Wadi’ (penerima titipan) telah menjaga titipan tersebut tanpa ada imbalan (tabarru’) jika ia harus menjamin kehilangan titipan, maka masyarakat akan enggan untuk menerima titipan orang lain, padahal jasa ini sangat dibutuhkan masyarakat.([4])

 

C.2 Akad wakalah.

            Transaksi  wadî’ah (simpanan) ini termasuk akad wakalah, di mana penitip aset mewakilkan kepada penerima titipan untuk menjaganya. Ia tidak dibolehkan untuk memanfaatkan barang tersebut untuk keperluan pribadinya baik keperluan konsumtif ataupun produktif karena itu adalah pelanggaran terhadap akad wakalah tadi karena barang masih menjadi milik mudi’  (penitip). Jika wadî’ (penerima titipan) menggunakannya, maka ia menjamin untuk mengembalikan barang tersebut. Dengan begitu akad tersebut telah berubah dari akad wadî’ah (titipan) menjadi akad al-qordh (kredit), maka akadnya tidak boleh mensyaratkan tambahan atau apapun namanya karena itu termasuk riba yang diharamkan, sesuai dengan kaidah :

كل قرض جر نفعا فهو ربا 

           

“Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat itu termasuk riba”

 

            Walaupun begitu mudi’ (penitip) bisa memberikan upah atau bonus kepada wadî (penerima titipan) yang kadarnya diserahkan kepada mudi’ (penitip).

 

D. Perbedaaan wadîah dengan al-qordh dan al-iddikhor.

            Di antara akad-akad yang mempunyai kemiripan dalam penerapannya 

-terutama dalam perbankan islam- dengan akad ini adalah;

1. Akad al-qrdh, yaitu pemberian harta atas dasar sosial  untuk dimanfa'atkan dan harus di bayar dengan sejenisnya.

            Baik al-qordh ataupun wadî’ah (titipan) keduanya merupakan akad tabarru’ (sumbangan), apabila dalam akad wadî’ah (titipan) pemberi jasa adalah wadî’ (penerima titipan), sedangkan dalam  akad al-qordh (kredit) pemberi jasa adalah muqridh (pemberi pinjaman).

            Perbedaannya, dalam al-qordh yad muqtaridh (kepemilikan penerima piutang) adalah yad dhoman (tangan penjamin), ia menjamin pengembalian barang tersebut dengan utuh jika rusak atau hilang atau rugi jika modal digunakan untuk usaha baik di sengaja ataupun tidak.

            Sedangkan  dalam wadi’ah yad wadî’ (kepemilikan penerima titipan) adalah yad amanah (tidak menjamin), ia tidak menjamin barang titipan kecuali jika titipan tersebut hilang karena unsur taqshir  ataun ta’addi. Akad wadî’ah (titipan) akan berubah menjadi akad al-qordh (kredit)  jika titipan tersebut dimanafaatkan oleh wadî’ (penerima titipan).

 

 

 

 

 

2. Iddikor (menabung)

            Iddikhor atau dikenal dengan istilah menabung artinya “Menyisihkan sebagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan untuk diinvestasikan”.([5])

            Iddikhor (menabung) mempunyai kesamaan dengan wadi’ah (titipan), kedua-duanya harta yang disimpan. Yang pertama tabungan baik disimpan oleh pemiliknya ataupun diserahkan kepada orang lain, tetapi wadi’ah  (titipan) menyerahkan harta kepada orang lain untuk menjaganya. Dan jika seseorang menyerahkan titipan kepada orang lain untuk menjaganya itu berarti ada akad wadi’ah dengan tujuan iddikhor (menabung). Oleh karena dalam muamalat iddikhor (menabung) bukan sebuah akad karena tidak berhubungan dengan iltizamat (tanggung jawab) antara kedua belah pihak akad.      

 

E. Tanggung jawab Mudi’ (penitip) dan wadi’ (penerima titipan) dan pelanggaran amanat.

E.1 Tangung jawab

            Sebagai transaksi yang mengikat kedua belah pihak, keduanya mempunyai tanggung jawab yang harus dilaksanakan juga berkaitan dengan pelanggaran terhadap hal-hal yang bertentangan dengan substansi akad wadî’ah (titipan). Tanggung jawab mudi’ (penitip) akan lebih dahulu dijelaskan karena pada dasarnya ia yang menyerahkan tanggung jawab kepada wadî’ (penerima titipan), oleh karena itu  praktis  menjaga titipan menjadi tanggung jawab wadî’ (penerima titipan).

 

  1. Tanggung jawab mudi’ (penitip)

      Dalam syari’at islam tanggung jawab mudi’ (penitip) ada dua, yaitu

1.a  Memberikan upah kepada wadî’(penerima titipan).

            Pada dasarnya wadî’ah (titipan) adalah akad tabaru’ (sumbangan); tidak ada timbal balik, tetapi menurut pendapat yang râjih (unggul), wadi’ (penerima titipan) boleh menerima upah dari  mudi’ (penitip) atas jasanya menjaga titipan tersebut jika disyaratkan dalam akad atau tradisi setempat menuntut pemberian upah kepada wadî’ (penerima titipan).

            Bahkan jika kedua belah pihak telah menyepakati upah dalam akad wadî’ah (titipan) ini, maka menjadi wajib bagi mudi’ (penitip) untuk memberikan upah tersebut sebagai pemenuhan janji yang harus ditepati. Baik kesepakatan itu shorih (jelas) dalam kesepakatan atau dhimni (tersirat) misalnya pekerjaan wadî’ (penerima titipan) sebagai pekerja dalam sektor jasa atau amanat tersebut besar yang membutuhkan tenaga dan biaya.

 

1.b  Memberikan biaya menjaga titipan

            Jika penjagaan titipan tersebut  membutuhkan biaya seperti pemeliharaan rumah, mobil dan dan lain sebagainya, atau biaya administrasi seperti penitipan uang di bank, maka mudi’ (penitip) tersebut yang menanggung biaya tersebut.

            Bahkan jika wadî’ (penerima titipan) terpaksa harus mengeluarkan biaya penjagaan dari harta pribadinya, ia berhak menagih mudi’ (penitip) untuk mengganti biaya yang sudah dikeluarkan tersebut apabila pembiayaan tersebut atas seizin mudi’ (penitip). Kecuali jika keperluan biaya tersebut disebabkan kecerobohan atau pelanggaran wadî’ (penerima titipan) misalnya ketika barang tersebut dibawa bepergian atau biaya administrasi yang seharusnya tidak ada, maka mudi’ (penitip) tidak wajib menggantinya karena dalam hal ini wadî’ (penerima titipan)  dikategorikan ghosib (yang merampas) dan ia wajib bertanggung jawab atas pelanggarannya.

            Bahkan menurut qaul râjih (pendapat yang unggul) selain madzhab Hanafi, wadî’ (penerima titipan) berhak meminta ganti biaya yang dikeluarkannya unruk memelihara titipan tersebut walaupun pembiayaan tersebut tanpa seizin mudi’ (penitip) jika amanat membutuhkan pembiayaan, alasannya syara sudah membolehkan dan ini menempati idzin pemilik atau mudi’ (penitip).([6])   

           

  1. Tanggung jawab wadî’ (penerima titipan)

            Sesuai dengan karakteristik akad wadî’ah (titipan)  yaitu tabarru’ (sumbangan), wadî’ (penerima titipan)  berkewajiban untuk menjaga titipan tersebut  sebagai substansi akad wadî’ah (titipan).

2.a Batasan-batasan menjaga titipan

            Standarnya disesuaikan dengan  jenis akad wadî’ah (titipan) . Jika wadi’ah (titipan) tidak disertai dengan upah (al wadî’ah bighoiri al ajr), maka wadî’ (penerima titipan) wajib menjaga titipan tersebut sebagaimana ia menjaga hartanya sendiri. Oleh karena itu ia tidak menjamin setiap kerusakan atau kehilangan barang tersebut jika sudah menjaganya seperti halnya barangnya sendiri.

            Tetapi jika akad wadî’ah (titipan)  disertai upah (al wadî’ah bi al ajr), maka wadî’(peerima titipan) wajib menjaga titipan sesuai dengan tradisi barang itu  dijaga atau dalam ungkapan para ahli fikih fi hirz mitsliha  (mengikuti tradisi sejenis barang itu dijaga) karena syara’ tidak menentukan batasan tertentu, maka dikembalikan kepada tradisi masyarakat setempat. Jika usaha wadî’(penerima titipan) dalam menjaga titipan tersebut lebih ringan dari usahanya dalam menjaga hartanya sendiri maka ia harus menjamin terhadap setiap kerusakan atau kehilangan yang terjadi pada titipan tersebut.([7])

            Standar ini dianggap oleh para ahli fikih sebagai batasan yang jelas, walaupun jika dikaji lebih mendalam tidak setiap pemeliharaan yang ideal itu lebih baik dari pada penjagaan harta pribadi seseorang. Namun penulis memahami bahwa yang menjadi standar adalah al gholabah (keumuman) sebagai standar penjagaan sebuah titipan.

 

2.b Pelanggarannya,

i. Taqshir.

            Bentuk-bentuk taqshir dari pihak wadî’ (penerima titipan) bermacam-macam, namun yang akan disebutkan di sini sebab-sebab yang berhubungan erat dengan muamalah kontemporer khususnya perbankan, begitu juga dengan penjelasannya disesuaikan dengan keterkaitan sebab tersebut dengan aktualitasnya. Diantara sebab-sebab tersebut adalah

1. Menjaganya tidak sesuai dengan amanat.

            Dalam akad wadî’ah (titipan), pihak mudi’ (penitip) ada kalanya menyerahkan sepenuhnya kepada wadî’ (penerima  titipan) untuk menjaganya tanpa ada batasan apapun.  

            Dan adakalanya  pihak mudi’ (penitip) memberikan batasan-batasan tertentu yang harus dipatuhi oleh wadî’ (penerima  titipan). Oleh karena itu jika wadî’ (penerima  titipan) melanggar aturan ini, maka ia menjamin titipan tersebut. Seperti jika mudi’(penitip) meminta dalam akad agar uang titipannya disimpan di bank tertentu, maka jika wadî’ (penerima  titipan) tidak melakukannya, ia menjamin titipan tersebut.

            Namun mudi’ (penitip) tidak bisa sepenuhnya membatasi wadî’ (penerima  titipan) dalam menjaga titipan tersebut, oleh karena itu menurut madzhab Hanafi dan madzhab syi’ah zaidi jika syarat-syaratnya tidak memberikan manfaat terhadap titipan tersebut atau tidak mampu dilaksanakan oleh wadî’ (penerima  titipan), maka syarat tersebut malghi (gugur).    

 

 

2. Membawanya ketika bepergian (safar).

            Jika titipan tersebut diserahkan kepada wadî’ (penerima  titipan) pada waktu ia bepergian (safar), maka itu bukan pelanggaran dan taqshir (kecerobohan) dari  wadî’ (penerima  titipan) ehingga ia harus menjamin jika barang itu hilang karena akadnya dilakukan pada waktu safar.

            Berbeda ketika akad tersebut dilakukan pada waktu hador (tidak bepergian) menurut madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dan madzhab Syi’ah Zaidi wadî’ (penerima  titipan) tidak boleh membawanya ketika bepergian kecuali jika ada udzur, atau diizinkan oleh mudi’ (penitip) atau ia terbiasa bepergian dengan titipan yang ada padanya karena safar dengan  titipan itu tadyi’ lil mal (menjadi penyebab hilangnya harta) sesuai dengan hadits Nabi,

المسافر وماله على قلت إلا ما وقى الله

            Musafir dan harta ada dalam kerusakan kecuali atas perlindungan Allah swt.

3. Menitipkannya kepada orang lain.

            Ulama  sepakat jika ada  udzur wadî’ (penerima  titipan)  boleh mewakilkan kepada orang lain untuk menjaga titipannya, seperti kondisi di mana ia tidak bisa lagi menjaga titipannya.

            Jika bukan karena udzur, ada dua masalah yang berkenaan dengan hal ini yaitu:

3.a. Mewakilkan kepada orang lain (bukan kerabat).

            Dalam kondisi ini wadî’ (penerima  titipan) menjamin titipan tersebut karena sesuai dengan akad, mudi’ (penitip) hanya ridho jika titipannya dijaga oleh wadî’ (penerima  titipan) tersebut, ini adalah pendapat mayoritas fuqoha kecuali Ibnu Abi Laila yang mengatakan sebaliknya dengan alasan substansi akad adalah menjaga titipan tersebut dan ia telah menjaganya melalui orang lain.

3.b. Mewakilkan kepada kerabatnya,

            Yaitu orang-orang yang wajib diberi nafkah olehnya wadî’ (penerima  titipan) menurut mayoritas fuqoha itu dibolehkan karena kerabat termasuk yang menjaga harta pribadi wadî’ (penerima  titipan). Berbeda dengan madzhab Syafi’i yang mengatakan bahwa wadî’ (penerima  titipan) harus menjaminnya karena mudi’ (penitip) hanya ridho jika titipannya dijaga oleh wadî’ (penerima  titipan).

 

4. Tidak melindunginya dari hal-hal yang merusak atau hilang.

            Jika titipan tersebut hilang atau rusak karena ia lalai dalam menjaganya, maka jika ternyata hilang ia harus menggantinya dengan yang sejenisnya atau qimahnya (nilainya). Ini arti dari ungkapan patra ahli fikih inna al wadî’ yu’khodu bi dhomâni al aqdi (sesuai dengan akad wadî’ (penerima  titipan) menjamin titipan). Seperti halnya ketika  wadî’ (penerima  titipan) menaruh uang titipan dalam sebuah bank yang akan pailit ia menjamin titipan tersebut.

 

 

 

ii. Ta’addi.

            Perbedaan antara taqshir dengan ta’addi, yang pertama kelalaian wadî’ (penerima  titipan) karena ia tidak mematuhi akad  wadî’ah (titipan), sedangkan ta’addi  adalah setiap prilaku yang bertentangan dengan penjagaan barang tersebuut. Di antara bentuk taqshir tersebut menghilangkannya dengan sengaja. Maksudnya adalah ketika wadî’ (penerima  titipan) melakukan hal-hal yang menyebabkan titipan tersebut hilang atau rusak, maka ia harus menggantinya.

            Di samping itu memanfaatkan barang titipan, pelanggaran ini sebenarnya yang banyak terjadi pada muamalah kontemporer terutama perbankan. Ada tiga bentuk pemanfaatan titipan tersebut, yaitu ;

1. Mengkonsumsi titipan

            Dengan mengkonsumsi titipan tersebut ia menjamin jika habis atau rusak karena dikonsumsi, atau jika dipakainya dan barang tetap utuh, wadî’ (penerima  titipan) tetap harus menggantinya dengan upah berupa ujrotu al mitsl (upah seperti barang tersebut).

2. Menyewakannya.

            Jika wadî’ (penerima  titipan) menyewakan titipan tersebut untuk mendapatkan keuntungan dari hasil penyewaan tersebut, maka itu adalah ta’addi, yang mewajibkannya untuk menjamin titipan tersebut.

3. Meminjamkannya.

            Jika memanfa’atkan dan menyewakannya termasuk ta’addi terhadap amanah, terlebih lagi meminjamnya karena dengan meminjamnya wadî’ (penerima  titipan) memiliki manfaat barang dan menjadi dzimmahnya (tanggung jawab) tersebut. Oleh karena itu tanggung jawab wadî’ (penerima  titipan)  bukan lagi yad amanah  (tidak menjamin) tetapi yad dhoman (tangan penjamin) seperti yang telah dijelaskan di muka.

            Seperti halnya bank meminjam titipan setiap nasabah dan menyerahkannya kepada para pemanfaat dana dan bank menjamin uang yang dipinjamkan tersebut.

3. Menginvestasikanya.

            Wadî’ (penerima  titipan) juga tidak dibolehkan untuk menginvestasikannya seperti halnya meminjamkannya, karena kedua-duanya telah mengambil kepemilikan manfaat barang tersebut dalam dzimmahnya (tanggung jawab).

            Menginvestasikan modal tersebut tanpa seidzin mudi’ (penitip) hukumnya haram. Di samping itu wadî’ (penerima  titipan)  menjamin titipan yang diinvestasikan tersebut baik atas idzin dari  mudi’ (penitip) ataupun tidak, baik wadî’ (penerima  titipan) dalam kondisi mu’sir  (kesulitan) atau musir (berkecukupan).

            Jika investasi tersebut menghasilkan keuntungan, para ulama berbeda pendapat mengenai hak milik keuntungan ini,

Pertama, Menurut  madzhab Maliki, Laits, Abu Sufyan dan Abu Yusuf, keuntungan tersebut milik wadî’ (penerima  titipan) dengan dalil;

  1. Karena wadî’ (penerima  titipan)  yang menjamin titipan tersebat sampai dikembalikan kepada pemiliknya.
  2. Sesuai dengan kaidah al gunmu bi al gurmi (keuntungan sesuai dengan resiko kerugian).

Kedua, Menurut Abu Hanifah dan Muhammad, keuntungan tersebut harus disedekahkan oleh wadî’ (penerima  titipan) dan tidak boleh dimanfaatkan karena keuntungan tersebut hasil usaha yang dilarang yaitu investasi titipan, dan penyaluran keuntungan tersebut melalui sedekah sebagaimana perkataan Rosulullah saw kepada para pedagang di pasar.

 

يا معشر التجار إن تجارتكم هذه يحضرها اللغو والكذب فشوبوها باالصدقة

 

            Sesungguhnya tijaroh kamu ini ada lagh (main-main) dan kebohongan, maka bersihkanlah dengan shodakoh.

            Tetapi dalil ini seperti yang dikatakan Dr. Amin Abdullah menunjukan perintah kepada para pedagang untuk memperbanyak sedekah sebagai penghapus dosa-dosa dalam usaha mereka. Disamping itu jika penafsiran madzhab Hanafi ini diterapkan, maka orang enggan melakukan investasi karena tidak mendapatkan keuntungan.

Ketiga, Keuntungan di bagi antar wadî’ (penerima  titipan) dengan mudi’ (penitip) sesuai dengan akad mudhorobah (transaksi bagi hasil).

Dalilnya adalah Ketika Abu Musa al Asy’ari menitip uang kepada abdullah dan Ubaidillah ; putra Umar bin Khottob untuk diserahkankepada Umar dan menyuruhnya untuk menginvestasikannya, kemudian modalnya diserahkan kepada Umar dan sebagian keuntungannya diambil oleh Abdullah dan Ubaidillah.

            Syekh az Zarqoni mengomentari kisah ini, bahwa sebagian keuntungan saja yang dikembalikan oleh Umar kepada kedua anaknya itu hanya menunjukan kewara’an Umar karena ia hawatir pemberian itu disebabkan Abu Musa mengutamakan kedua anaknya dari anggota pasukan yang lain. Jika anggota pasukan lain yang melakukan hal tersebut pasti seluruh keuntungannya diberikan kepada mereka (wadî’/penerima  titipan). ([8])

 

II. Aplikasi  wadi’ah dalam perbankan

A. Bentuk wadi’ah dan jenis transaksinya.

A.1 Modal bank islam.

            Bagi bank konvensional, selain modal, sumber dana lainnya cenderung “manahan” uang. Hal ini sesuai dengan pendekatan yang dilakukan oleh Keynes yang mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan: transaksi, cadangan dan investasi. Oleh karena itu produk penghimpunan danapun disesuaikan dengan tiga fungsi tersebut, yaitu berupa giro, tabungan dan defosito.

            Berbeda dengan bank syari’ah yang melakukan pendekatan tunggal dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi nasabahnya. Misalnya pada tabungan beberapa bank memberlakukannya seperti giro, sementara itu ada pula yang memberlakukannya seperti defosito, bahkan ada yang tidak menyediakan tabungan sama sekali.

            Pada dasarnya, dilihat dari sumbernya, dana bank syari’ah terdiri atas:

a. Modal

            Modal adalah dana yang diserahkan oleh pemilik (owner). Pada akhir periode tahun buku, setelah dihitung keuntungan yang didapat pada tahun tersebut, pemilik modal akan memperoleh bagian dari hasil usaha yang dikenal dengan dividen. Dana modal dapat digunakan untuk pembelian gedung, tanah, perlengkapan dan sebagainya yang secara tidak langsung tidak menghasilkan (fixed asset/non earning asset). Selain itu, modal juga dapat digunakan untuk hal-hal yang produktif, yaitu disalurkan menjadi pembiayaan. Pembiayaan yang berasal dari modal, hasilnya tentunya saja bagi pemilik modal, tidak dibagikan kepada pemilik dana lainnya.

            Dalam perbankan syari’ah, Mekanisme penyertaan modal pemegang saham dapat dilakukan melalui musyarokah fi sahm asy-syarikah /equity participation (ikut serta dalam penanaman saham pen.)pada saham perseroan bank.

                Mekanisme penyertaan saham tersebut dapat digambarkan dalam skema berikut ini.

Sumber dana dari modal (pemegang saham)

 

 

 

 

Keterangan

            Salah satu sumber dana bank berasal dari pemegang saham dengan setoran modal, kemudian disalurkan menjadi pembiayaan. Dalam satu periode pembukuan, sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham, investor akan mendapatkan hasil dalam bentuk deviden.([9])

               

b. Wadî’ah (titipan) sebagai modal bank terbesar bank islam meliputi dua yaitu

Pertama, Titipan.

            Ada dua kategori titipan dalam bank islam yaitu,

i.        Wadi’ah jariyah (tahta tholab) yaitu suatu titipan, di mana penyimpan berhak mengambilnya kapan saja baik cash ataupun dengan cek atapun melalui nasabah pihak ketiga.

ii.      Wadi’ah Iddikhoriyah (at taufir), Ciri-ciri simpanan ini adalah kecinya simpanan dan banyaknya jumlah nasabah penyimpan dan bank menyalurkannya untuk investasi dengan akad mudhorobah muthlaqoh.

            Dua jenis simpanan ini pada prakteknya, bank memanfaatkannya untuk keperluan investasi dan mengembalikan simpanan. Berbeda dengan konsep wadi’ah dalam fiqh di mana wadî’ (penerima  titipan) harus mengembalikan barang simpanan tersebut. Maka dengan begitu yad (kepemilikan) bank islam terhadap simpanan tersebut adalah yad dhoman/guarantee Depository (penjamin).([10])

            Lebih lanjut Syafi’i Antonio menjelaskan karakteristik kedua jenis simpanan ini yaitu:

  1. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
  2. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. sekalipun demikian tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip.
  3. Produk perbankan yang sesuai dengan akad in adalah yaitu giro dan tabungan.
  4. Bank konvensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang dihitung berdasarkan presentase yang telah ditetapkan. Adapun pada bank syari’ah, pemberian bonus (semacam jasa giro) tidak boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi benar-benar pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.
  5. Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan manajemen bank syari’ah  karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.
  6. Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi'âh (titipan) karena pada prinsipnya tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa diambil setiap saat. Perbedaanya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat lain yang dipersamakan.

            Mekanisme wadî’ah yad ad dhomân (titipan yang dijamin) dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut,

 

 

Perbedaan antara jasa giro dan bonus([11])

 

No.

Jasa Giro

 

Bonus (‘Athoya)

1.

Diperjanjikan

Tidak diperjanjikan

2.

Disebutkan dalam akad

Benar-benar merupakan budi baik ban

3.

Ditentukan dalam presentase tetap

Ditentukan sesuai dengan keuntungan riil bank

 

Kedua, Titipan investasi (Wadî’ah istitsmâriyah).

            Investasi adalah jenis wadi'ah (titipan), ciri khasnya nasabah penitip (mudi') menyerahkan dananya ke bank dengan niat untuk di investasikan. Dengan begitu nasabah penitip sebagai pemilik modal sedangkan bank sebagai wakil atau pemanfaat dana.

            Dalam prakteknya, bank syari'ah menyediakan dua bentuk penerapan titipan investasi yaitu :

Pertama : General investment (investasi umum).

            Ciri bentuk ini adalah shohibu al-mal (pemilik dana) tidak membatasi bank syari'ah dengan batasan-batasan tertentu tetapi diberi wewenang untuk menginvestasikan modalnya dalam waktu dan jenis usaha yang di pilih oleh bank itu sendiri.  Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah time deposit biasa.

            Keterangan ini bisa digambarkan dalam skema berikut ini :

 

 

 

 

Syafi'i Antonio menjelaskan  bahwa dalam skema tersebut terdapat beberap hal yang sangat berbeda secara pundamental dalam hal nature of relationshif between bank and costumers pada bank konvensional, yaitu:

a.      Penabung atau deposan di bank syari'ah adalah investor dengan sepenuh-penuhnya  makna investor. Dia bukanlah lender atau creditor bagi bank seperti halnya bank umum. Dengan demikian, secara prinsip, penabung dan deposan entitled untuk risk dan return dari hasil bank.

b.      Bank memiliki dua fungsi : kepada deposan atau penabung, ia bertindak sebagai pengelola (mudhorib), sedangkan kepada dunia usaha, ia berpungsi sebagai pemilik dana (shohibul mal). Dengan demikian baik ke kiri maupun ke kanan, bank harus sharing risk dan return.

c.       Dunia usaha berpungsi sebagai pengguna dan pengelola dana yang harus berbagi hasil dengan pemilik dana, yaitu bank. Dalam pengembangannya, nasabah pengguna dana dapat juga menjalin hubungan dengan bank dalam bentuk jual beli, sewa dan fee based services.

Bentuk general investment (investasi umum pen.) ini yang lebih banyak digunakan dalam penyaluran dana investasi (wadi'ah istitsmariyah).

Di samping itu pada prakteknya, jumlah nasabah penitip (deposan) jumlahnya puluhan bahkan ratusan begitu pula halnya dengan nasabah pemanfaat dana. Hal ini terjadi dalam satu bidang investasi.)[12](

Oleh karena itu Dr Abd. Mun'im Abu Zaid mengusulkan  beberapa hal berkaitan dengan ini yaitu :

1.      ada menajemen khusus terhadap modal ini.

2.      Menyatakan waktu di mulai modal  ini di pakai investasi.

3.      Pembagian keuntungan secara independen pada setiap proyek.([13])

Kedua. Special investment (investasi khusus).

            Bentuk ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:

  1. Shôhib al-mâl (pemilik dana) memberikan batasan atas dana yang diinvestasikannya. Mudhorib hanya bisa mengelola dana tersebut sesuai dengan batasan yang diberikan oleh shôhib al-mâl. Misalnya hanya bentuk jenis usaha tertentu saja, tempat tertntu, waktu tertentu dan lain-lain.
  2. Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah special investment (investasi khusus).

Bantuk ini bisa digambarkan dalam skema berikut ini :

 

 

 

 

                        Dari skema ini jelas, bahwa dalam aplikasi bentuk ini, bank mencari proyek investasi terlebih dahulu kemudian menawarkannya kepada penitip dana.([14])  

 

2 Bank konvensional

            Sebagai perbandingan berikut ini akas dijelaskan bentuk – bentuk simpanan yang dipraktekan oleh bank-bank konvensional di Indonesia.

            Idealnya, dana yang berasal dari masyarakat ini, merupkan suatu tulang punggung (basic) dari dana yang harus dikelola oleh bank untuk memperoleh keuntungan. Dalam dunia perbankan, dana yang berasal dari masyarakat luas ini secara tradisional terdiri dari:

            Pertama : Simpanan Giro (demand-deposit)

            Giro dalam simpanan pihak ketiga kepada bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap sa’at dengan mempergunakan cek, surat pembayaran lainnya atau dengan cara pemindah bukuan, pasal 1 UU No. 14/1967). Sebagai imbalan bagi seorang yang penyimpan uangnya dalam bentuk simpanan giro, biasanya bank memberikan simpanan giro, biasanya bank memberikan “jasa giro”. Sayang pada sa’at ini jasa giro dikenakan pajak atas bunga , deviden dan royalti (PBDR), sehingga menjadi salah satu faktor penyebab mengapa giro agak menurun. Lazimnya disebut rekening koran (current account). Rekening ini digunakan juga untuk menata usahakan kredit yang diberikan dalam bentuk rekening koran.

            Kedua : Defosito

            Deposito adalah simpanan dari pihak ketiga kepada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu  menurut perjanjian antara pihak ketiga dan bank yang bersangkutan. Dalam praktek, kita mengenal adanya deposito berangka  dan sertifikat deposito. Definisi deposito berjangka adalah seperti yang termaksud dalam pengertian deposito di atas. Bila waktu yang ditentukan telah habis deposan dapat :

  1. Menarik deposito berjangka tersebut atau
  2. Memperpanjang dengan suatu periode yang diinginkan.

            Pemerintah tidak akan mengadakan pengusutan untuk keperluan pajak mengenai asal usul uang yang didepositokan. Pemerintah tidak akan mengenakan pajak kekayaan terhadap simpanan depsito berjangka, dan pajak pendapatan terhadap bunga deposito. Jangka waktu dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan yakni :

  1. 1 bulan
  2. 3 bulan
  3. 6 bulan
  4. 12 bulan
  5. 24 bulan

            Tarif bunga diberikan dengan sangat menarik sesuai dengan perkembangan pasar, dan bunga dibayarkan pada setiap bulan sesuai dengan tanggal jatuh temponya. Deposito berangka dikeluarkan atas nama pembelinya.

Ketiga : Tabungan

            Tabungan adalah simpanan dari pihak ketiga kepada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu. Pada dewasa ini terdapat empat jenis tabungan yaitu tabungan pembangunan nasional (Tabanas), tabungan asuransi berjangka (Taska), Tabungan ongkos naik haji (ONH), dan tabungan lainnya.

            Adapun bunga yang diberikan oleh bank, bisa dilihat dalam aplikasi  Tabanas yaitu :

a. Simpanan sampai dengan 1.000.000 diberikan jasa 15% p.a atau 1,25% p.b.

b. Di atas Rp 1.000.000 diberikan jasa 12% p.a atau 1% p.b ([15])

 

Kesimpulan (Perbedaan antara bank islam dan bank konfensional dalam menerapkan wadî’ah/titipan).

            Penulis tidak mengulangi pembahasan dalam penutup ini, tetapi satu hal yang lebih penting adalah bahwa inti perbeda’an antara  bank konvensional dengan bank islam dalam menerapkan simpanan.

            Dalam bank islam Simpanan dalam kategori simpanan investasi (wadîah istitsmâryah) adalah transaksi investasi antara deposan sebagai shôshib al-mâl  (pemilik dana) dengan bank sebagai pemanfaat dana atau pihak ketiga sebagai pemanfaat dana dengan keuntungan dan kerugian sesuai dengan kesepakatan bersama dan sesuai dengan jenis akad/usaha yang disepakati.

            Adapun dalam kategori simpanan (wadî’ah jâriyah atau tahta tholab) dana simpanan tersebut diinvestasikan oleh bank, oleh karena itu bank menjamin dana tersebut kapan saja deposan memerlukannya dengan tanpa memberikan bunga.

            Berbeda dengan simpanan dalam bank konvensional, simpanan itu adalah kredit yang diberikan jasa/bunga yang ditetapkan di muka baik dana simpanan itu digunakan untuk investasi ataupun tdak, baik investasi tersebut beruntung atau rugi.

            Untuk lebih jelasnya Syafi’i Antonio menjelaskan perbedaan tersebut dalam dua hal:

  1. Contoh kasus

Bank Syariah

Bank konvensional

Bapak A memiliki deposito nominal = Rp 10.000.00000

Jangka waktu : 1 bulan (1 Januari 2000 – 1 pebruari 2000).

Nisbah bagi hasil: Deposan 57% dan bank 43%

Bapak B memiliki deposito nominal: 10.000.000 jangka waktu : 1 bulan 1 bulan (1 Januari 2000 – 1 pebruari 2000).

Bunga : 20% p.a

Jika keuntungan yang diperoleh untuk deposito dalam 1 bulan sebesar Rp 30.000.000 dan rata-rata saldo deposito jangka waktu satu bulan adalah Rp. 950.000.000

 

Pertanyaan: Berapa keuntungan yang diperoleh bapak A?

Pertanyaan: Berapa bunga yang diperoleh bapak A?

Jawab:

Rp (10.000.000 : 950.000.000) X Rp 30.000.0000 X 57% : Rp 180.000

Jawab:

Rp 10.000.000 X (31 : 365 hari) X 20% : Rp 165.863

 

 b. Perbandingan ([16])

Bank  syariah

Bak Konvensonal

Besar-kecilnya bagi hasil yang diperoleh deposan bergantung pada:

  1. Pendapatan bank
  2. Nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank
  3. Nominal deposito nasabah
  4. Rata-rata saldo deposito untuk jangka waktu tertentu yang ada pada bank.
  5. Jangka waktu deposito berpengaruh pada lamanya investasi

Besar-kecilnya bunga yang diperoleh deposan bergantung pada:

  1. Tingkat bunga yang berlaku
  2. Nominal deposito
  3. Jangka waktu deposito

 

 

            Demikian penjelasan ini, semoga telah memperjelas aplikasi wadi’ah dalam bank islam dan bank konvensional. Wallahu a’lam.

 

Daftar Referensi:

1. Dr. Hasan Abdullah Amin, al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyyah wa istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy-Syurûq, 1983)

2. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001) hal. 85.

3. Dr. Qutub Mushtofa Sano, al-Muddakhorôt (Yordania dar an-Nafâ’is 2001)

4. Muh. Jalal Sulaiman, al-Wadâ’i al-istitsmâriyah fi al-bunûk al-islâmiyah, (Kairo IIIT 1996).

5. Dr. Mun’im Abd. Zaid, Nahwa tathwir nidhôm al-mudhôrobah fi al-mashôrif al-islâmiyah, (Kairo IIIT 2000)

6. Tim STIE – Perbanas, Kelembagaan perbankan nasional, Jakarta Gramedia 1999.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



([1])  Dr. Hasan Abdullah Amin, al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy-Syuruq,  1983)  hal 23 – 31.

([2])  Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001)  hal 85.

([3])  - Dr. Hasan Abdullah Amin, al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy Syuruq,  1983)  hal 33 dan 34.

       - Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001)  hal 85  dan  86.

 

([4])  - Dr. Hasan Abdullah Amin, al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy Syuruq,  1983)  hal 42 dan 43.

       - Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001)  hal  86.

 

([5])  Dr. Qutub Mushtofha Sano,  al-Muddakhorôt (Yordania Dar an-Nafâ’is 2001)

([6])  Dr. Hasan Abdullah Amin,  al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy Syuruq,  1983)  hal 169 dan 170 dengan         tambahan  keterangan  dari penulis.

([7]) Opcit  hal. 84 - 87

([8])  Lihat Dr. Hasan Abdullah Amin, ,  al-Wadâ’i al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitsmâriha fi al-islâm (Jeddah dar asy Syuruq,  1983)  dari hal 90 - 143 dengan tambahan  dari penulis berupa kesimpulan dan keterangan.

 

([9])  Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001)  hal  146 dan 147.

([10])  Muh. Jalal Sualiman, al-Wadâi’ al-istitsmâriyah fi al-bunûk al-islâmiyah, (Kairo, IIIT  1996) hal. 22 dan 23.

([11])  Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001)  hal  149 - 150

)[12](  Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001)  hal  151.

([13]) Dr. Muh. mun’im Abd. Zaid, Nahwa  tathwîr nidhôm al-mudhôrobah fi al-mashôrif al-islâmiyah, (Kairo IIIT 2000) hal 209.

([14])- Dr. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001)  hal  152.

       Dr. Muh. mun’im Abd. Zaid, Nahwa  tathwîr nidhôm al-mudhôrobah fi al-mashôrif al-islâmiyah, (Kairo IIIT 2000) hal 199.

 

([15])  Tim STIE-Perbanas, Kelembagaan perbankannasional, Jakarta Gramedia 1999 (hal 33-48)

([16])   Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik (Jakarta GIP 2001)  hal  144 – 145.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar