Latar Belakang
Manusia dijadikan Allah SWT sebagi makhluksosial yang
saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini
sebagai sumber ekonomi. Dalam kehidupam sosial Nabi Muhmmad mengajarkan kepda
kita semua tentang bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta
memberikan keuntungan bersama.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Muzaro’ah/Mukhabarah?
2. Apa yang dimaksud dengan Musyaqoh?
3. Bagaimana rukun dan syarat Muzaro’ah dan
Musyaqoh?
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan
Muzaro’ah/Mukhabrah
2. Mengetahui yang dimaksud dengan Musyaqoh
3. Agar mengerti tentang rukun dan syarat
Muzaro’ah dan Musyaqoh
A.
AL-MUZARA’AH / AL-MUKHABARAH
a.
Pengertian
Secara etimologi, al-muzara’ah
berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani
penggarap. Sedangkan dalam terminologi fiqh terdapat beberapa definisi yang di
kemukakan ulama’ fiqh. Ulama’ Malikiyah mendefinisikan dengan “perserikatan
dalam pertanian”. Menurut ulama Hanabilah “Penyerahan tanah pertanian kepada
seorang petani untuk di garap dan hasilnya di bagi dua.[1]
Dalam al-muzara’ah bibit yang akan di tanam boleh dari
pemilik.
الشركة
فى الزرع
Perserikatan dalam pertanian.
Menurut ulama Hanabilah al-muzara’ah adalah.
دفع الارض الى من يزرعها اؤ يعمل عليها والزرع بينهما
Penyerahan tanah pertanian kepada seorang
petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.
Kedua definisi ini dalm kebiyasaan Indonesia
disebut sebagai “paroan sawah” penduduk Irak menyebutnya “al-mukhabarah’ tetapi
dalam al-mukhabrah, bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.
Imam as-Syafi’i mendefinisikan mukahbarah
dengan:
عمل الارض ببعض ما يخرج منها والبذر من العامل
Pengelolaan tanah oleh petani dengan imbalan
hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah.
Dalam al-mudhrabah bibit yang akan ditanam
disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan dalam al-muzara’ah bibit yang akan
di tanam boleh dari pemilik.
1.
Hukum Akad
Al-Muzara’ah
Terjadi perbedaan pendapat
para ulama’ dalam membahas hukum al-muzara’ah. Imam Abu Hanifah (80-150
H 699-767 M) dan Zulfar Ibnu Huzail (728-774 M), pakar fiqh Hanafi, berpendapat
bahwa akad al-muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, akad al-muzara’ah
dengan bagi hasil, seperempat dan seperdua, hukumnya batal.
Rasulullah saw, melarang al-muzara’ah (HR Muslim)
Menurut mereka, obyek akad dalam al;muzara’ah
belum ada dan tidak jelas kadarnya, karena yang di jadikan imbalan untuk
petani adalah hasil pertanian yang belum ada (al-ma’dum) dan tidak jelas
(al-jahalah) ukurannya, sehingga keu ntungan yang akan di bagi, sejak semula
tidak jelas. Boleh saja pertanian itu tidak
menghasilkan, sehingga petani tidak mendapatkan apa-apa dari hasil kerjanya.
Obyek akad yang bersifat al-ma’dum
dan al-jahalah inilah yang membuat akad ini tidak sah. Adapun perbuatan
Rasulullah saw. Dengan penduduk Khaibar dalam hadits yang di riwayatkan al-jama’ah
(mayoritas pakar hadits), menurut mereka, bukan merupakan akad
al-muzara’ah, adalah berbentuk al-kharaj al-muqasamah, yaitu ketentuan
pajak yang harus di bayarkan petani kepada Rasulullah setiap kali panen dalam
prosentase tertentu.
Ulama Syafi’iyah juga berpendapat bahwa akad al;muzara’ah
tidak sah, kecuali apabila al-muzara’ah mengikut pada akad al-musaqah
(kerjasama pemilik kebun dengan petani dalam mengelola pepohonan yang ada
di kebun itu, yang hasilnya nanti di bagi menurut kesepakatan bersama). Misalnya,
apabila terjadi kerjasama dalam pengolahan perkebunan, kemudian ada tanah
kosong yang boleh di manfaatkan untuk al-muzara’ah(pertanian), maka
menurut ulama Syafi’iyah, akad al-muzara’ah boleh di lakukan. Akad ini tidak berdiri sendiri, tetapi mengikut pada akad al-musaqah.
Ulama Malikiyah, Hanabilah, Abu Yusuf (113-182
H 731-798 M), Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani(748-804 M), keduanya sahabat
Abu Hanifah, dan ulama azh-Zhahiriyah berpendapat bahwa akad al-muzara’ah
hukumnya boleh, karena akadnya cukup jelas, yaitu menjadikan petani sebagai
serikat dalam penggarapan sawah.
Menurut Mereka, dalam sebuah riwayat di katakana bahwa:
Rasulullah saw. Melakukan akad
muzara’ah dengan penduduk Khaibar, yang hasilnya di bagi antara Rasul dengan
para pekerja. (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah,
at-Tirmizi, dan Imam Ahmad ibn Hanbal dari Abdullah ibn Umar).
Menurut mereka akad ini bertujuan
untuk saling membantu antara petani dengan pemilik tanah pertanian. Pemilik
tanah tidak mampu untuk mengerjakan tanahnya, sedangkan petani tidak mempunyai
tanah pertanian. Oleh sebab itu, wajar apabila antara pemilik tanah persawahan
bekerjasama dengan petani penggarap, dengan ketentuan bahwa hasilnya mereka
bagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Menurut ulama Malikiyah danHanabilah,
akad seperti ini termasuk dalam firman Allah dalam surah al-Ma’idah, 5:2 ynag berbunyi:
Bertolong-tolonganlah kamu atas kebajikan dan ketaqwaan dan jangan
bertolong-tolongan atas dosa dan permusuhan.
2.
Rukun al-Muzara’ah
Jumhur ulama, yang membolehkan akad
al-muzara’ah, mengemukakan rukun dan
syarat yang harus di penuhi, sehingga akad di anggap sah. Rukun al-muzara’ah menurut mereka adalah:
a)
Pemilik tanah
b)
Petani
penggarap
c)
Obyek
al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani.
d)
Ijab (ungkapan penyerahan tanah dari pemilik tanah) dan qabul
(pernyataan menerima tanah untuk digarap dari petani). Contoh ijab qabul
itu adalah “ Saya serahkan tanah pertanian saya ini kepada kamu untuk di garap,
dan hasilnya nanti kita bagi berdua”. Kemudian petani penggarap menawab: “Saya
terima tanah pertanian ini untuk di garap dengan imbalan hasilnya di bagi dua”.
Jika hal ini telah terlaksana, maka akad itu telah sah dan mengikat. Namun,
ulama Hanabilah mangatakan bahwa penerimaan (qabul) al-muzara’ah tidak
perlu dengan ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu petani langsung
menggarap tanah itu.
3.
Syarat-syarat al-Muzara’ah
Adapun syarat-syarat al-muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang
menyangkut orang yang berakad, benih yang akan di tanam, tanah yang di
kerjakan, hsil yang akan di panen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya
akad.
Untuk orang yang melakukan akad
disyaratkan bahwa keduanya harus orang yang telah balig dan berakal. Karena
kedua syarat inilah yang membuat seseorang di anggap telah cukup bertindak
hukum. Pendapat lain kalangan ulama Hanafiyah menambahkan bahwa salah seorang
atau keduanya bukan orang yang murtad (keluar dari agma islam), karena tindakan
hukum orang yang murtad di anggap mauquf (tidak punya efek hukum, sampai
ia masuk islam kembali).
Akan tetapi, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani tidak
menyetujui syarat tambahan ini, karena, menurut mereka, akad al-muzara’ah boleh
dilakukan antara muslim dengan non islam, termasuk orang murtad.
Syarat yang menyangkut benih yang akan di tanam harus jelas, sehingga
sesuai dengan kebiasaan tanah itu benih yang di tanam itu jelas dan akan
menghasilkan. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:
a.
Menurut adat di
kalangan para petani, tanah itu boleh di garap dan menghasilkan. Jika tanah itu
adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga tidak memungkinkan di jadikan
tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak sah.
b.
Batas-batas
tanah itu jelas.
c.
Tanah itu di
serahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa
pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad al-muzara’ah tidak sah.
Syarat-syarat yang
menyangkut dengan hasil panen adalah sebagai berikut:
1) Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
2) Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang ber-akad, tanpa
boleh ada pengkhususan.
3) Pembagian hasil panen itu di tentukan
setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari awal akad, sehingga tidak
timbul perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya tidak boleh berdasarkan
jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kuintal untuk pekerja, atau satu
karung; karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh di bawah jumlah itu atau
dapat juga jauh melampaui jumlah itu.
Syarat yang menyangkut jangka waktu uga harus di jelaskan dalam akad sejak
semula, karena akad al muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah
(sewa-menyewa atau upah mengupah) dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh
sebab itu, jangka waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini,
biasanya di sesuaikan dengan adat kebiasaan setempat.
Untuk obyek akad, jumhur ulama yang membolehkan al-muzara’ah mensyaratkan
juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan di tanam
datangnya dari pemilik tanah, maupun pemanfaatan tanah, maupun pemanfaatan
tanah, sehingga benihnya dari petani.
Abu yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani menyatakan bahwa dilihat
dari segi sah atau tidaknya akad al-muzara’ah, ada 4 bentuk yaitu:
1) Apabila tanah dan bibit dari pemilik tanah,
kerja dan alat dari petani, sehingga yang menjadi obyek al-muzara’ah
adalah jasa petani, maka hukumnya sah.
2) Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah,
sedangkan petani menyediakan bibit, alat, dan kerja, sehingga yang menjadi
obyek al-muzara’ah adalah manfaat tanah, maka akad al-muzara’ah juga
sah.
3) Apabila tanah,, alat, dan bibit dari pemilik
tanah dan kerja dari petani, sehingga yang menjadi obyek dari al-muzara’ah
adalah asa petani, maka akad al-muzara’ah juga sah.
4) Apabila tanah pertanian dan alat di sediakan pemilik tanah dan
bibit serta kerja dari petani, maka akad ini tidak sah. Menurut Abu Yusuf dan
Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani, menentkan alat pertanian dari pemilik tanah
membuat akad ini jadi rusak, karena alat pertanian tidak boleh mengikut pada
tanah. Menurut mereka, manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat
tanah, karena tanah adalah untuk menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan buah,
sedangkan manfaat alat hanya untuk menggarap tanah. Alat pertanian, menurut mereka, harus mengikut kepada petani
penggarap, bukan kepada pemilik tanah.
4. Akibat Akad al-muzara’ah
Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad al-muzara’ah,
apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya
adalah sebagai berikut:
a) Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya
pemeliharaan pertanian itu.
b) Biaya pertanian, seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya
pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik tanah sesuai dengan
prosentase bagian masing-masing.
c) Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
d) Pengairan di laksanakan sesuai dengan kesepakatan kedua belah
pihak. Apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan di tempat
masing-masing. Apabila kebiasaan tanah itu diairi dengan air hujan, maka
masing-masing pihak tidak boleh dipaksa untuk mengairi tanah itu dengan melalui
irigasi. Apabila tanah pertanian itu biasanya diairi melalui irigasi, sedangkan
dalam akad disepakati menjadi tanggung jawab petani, maka petani bertanggung jawab
mengairi pertanian itu dengan irigasi.
e) Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum
panen, akad tetap berlaku sampai panen, dan yang meninggal di wakili oleh ahli
warisnya, karena jumhur ulama berpendapat bahwa akad upah-mengupah(al-ijarah)
bersifat mengikat kedua belah pihak dan boleh di wariskan. Oleh sebab itu, menurut mereka, kematian salah satu pihak yang
berakad tidak membatalkan akad ini.
5.
Berakhirnya
Akad al-Muzara’ah
Para ulama fiqh yang membolehkan
akad al-muzara’ah mengatakan bahwa akad ini akan berakhir apabila:
1)
Jangka waktu
yang di sepakati berakhir. Akan tetapi, apabila jangka waktunya sudah habis,
sedangkan hasil pertanian itu belum layak panen, maka akad itu tidak di
batalkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
diwaktu akad. Oleh sebab itu, dalam menunggu panen itu, menurut jumhur ulama,
petani berhak mendapatkan upah sesuai dengan upah minimal yang berlaku bagi
petani setempat. Selanjutnya, dalam menunggu masa panen itu biaya tanaman,
seperti pupuk, biaya pemeliharaan, dan pengairan merupakan tanggung jawab
bersama pemilik tanah dan petani, sesuai dengan prosentase pembagian
masing-masing.
2)
Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, apabila salah
seorang yang berakad wafat, maka akad ini berakhir, karena mereka berpendapat
bahwa akad al-ijarah tidak boleh di wariskan. Akan
tetapi ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa akad al-muzara’ah
itu dapat di wariskan. Oleh sebab itu tidak berakhir dengan wafatnya salah satu
pihak yang berakad.
3)
Adanya uzur dari salah satu pihak, baik dari pihak
pemilik tanah maupun dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak boleh
melanjutkan akad al-muzara’ah itu. Uzur
dimaksud antara lain adalah:
a.
Pemilik tanah
terbelit utang, sehingga tanah pertanian itu harus ia jual, karena tidak ada
harta lain yang dapat melunasi utang itu. Pembatalan ini harus dilaksanakan
melalui campur tangan haki. Akan tetapi, apabila tumbuh-tumbuhan itu telah
berbuah, tetapi belum layak panen, maka tanah itu tidak boleh di jual sampai
panen.
b. Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus
melakukan suatu perjalanan ke luar kota, sehingga ia tidak mampu melaksanakan
pekerjaanya.
B.
MUSYAQAH
1.
Arti, Landasan,
Rukun dan Perbedaan dengan Mujaro’ah
a)
Arti Musyaqoh
Menurut
etimologi, musyaqoh adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang Madinah
menyebutnya dengan istilah muamalah. Akan tetapi, istilah yang lebih
dikenal adalah musyaqoh.
Adapun menurut
terminologi Islam adalah:[2]
معاقدة دفعالاشجار الى من يعمل فيها على ان
الثمرة بينهما
Artinya:
Sesuatu akad dengan memberikan pohon kepada penggaran agar di kelola dan
hasilnya di bagi diantara keduanya.
b) Asas Legalitas
Musyaqah menurut
ulama Hanafiyah seperti mujara’ah, baik dalam hukum dan persyaratan yang
memungkinkan terjadi musyaqah. Abu hanifah dan
Abu jarah tidak membolehkan nya,dengan mendasarkan pendapatnya pada hadits:
من كانت له ارض فاليزرعها ولايكريها بثلث لابربع
ولابطعام (متفاق عليه)
Artinya:
Barang siapa yang memiliki tanah, hendaklah mengelolanya, tidak boleh menyewakan
nya dengan sepertiga atau seperempat, dan tidak pula dengan makanan yang telah
di tentuka. (Muttafaq alaih).
Abu yusuf dan
muhammad (dua sahabat abu hanifah), dan jumhur ulama (imam Malik,imam
Syafi’I,dan imam Ahmad) memperbolehkan musyaqah yang didasarkan pada muamalah
rasulullah SAW bersama orang Khaibar.
c) Perbedaan antara musyaqah dan mujara’ah
Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa musyaqah, sama dengan mujara’ah, kecuali dalam
empat perkara:
1) Jika salah seorang yang menyepakati akad tidak
memenuhi akad, dalam musyaqah, ia harus di paksa,tetapi dalam mujara’ah,
ia tidak boleh di paksa.
2) Jika waktu musyaqah habis,akad di
teruskan sampai berbuah tanpa pemberian upah, sedangkan dalam mujara’ah. Jika
waktu habis, pekerjaan di teruskan dengan pemberian upah.
3) Waktu dalam musyaqah di tetapkan
berdasarkan ihtisan, sebab dapat diketahui dengan tepat, sedangkan waktu
dalam mujara’ah terkadang tertentu.
4) Jika pohon di minta oleh selain pemilik tanah pengara di beri upah.
Sedangkan dalam mujara’ah jika di minta sebelum menghasilkan sesuatu penggarap
tidak mendapatka apa-apa.
2.
Syarat-Syarat
Musyaqoh
Syarat-Syarat
Musyaqoh sebenarnya tidak berbeda dengan persyaratan yang ada dalam mujaro’ah.
Hanya saja pada musyaqoh tidak disyaratkan untuk menjelaskan jenis benih,
pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan waktu. Beberapa Syarat Musyaqoh adalah:
a. Ahli dalam akad
b. Menjelaskan bagian penggarap
c. Membebaskan pemilik dari pohon
d. Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
e. Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir
3. Rukun Musyaqoh
Jumhur Ulama’ menetapkan bahwa rukun Musyaqoh ada 5,
yaitu berikut ini:
1) Dua orang yang akad (al-aqidani). Al-Aqidani
disyaratkan harus baligh dan berakal.
2) Objek Musyaqoh. Objek Musyaqoh menurut ulama
Hanafiyah[3] adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti
kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah lainnya dibolehkan musyaqoh
atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan
siraman.
3) Buah. Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
4) Pekerjaan. Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan bahwa
pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak
sah.
5) Shigat. Menurut ulama Syafi’iyah, tidak
dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musyaqoh sebab berlainan
akad.
4. Hukum Musyaqah Shahih dan fasid (Rusak)
a) Hukum Musyaqah Shahih
Musyaqah Shahih menurut para ulama memiliki beberapa
hukum dan ketetapan.
1) Menurut ulama Hanafiyah, hukum musyaqah
shahih adalah berikut ini.
a. Segala perkerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon yang di
serahkan kepada penggarap. Sedangkan biaya yang di perlukan dalam pemeliharaan
di bagu dua.
b. Hasil dari musyaqah dibagi berdasarkan
kesepakatan.
c. Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu,
keduanya tidak mendapatkan apa-apa.
d. Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak
yang berakad tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.
e. Pemilik boleh memeriksa penggarap untuk bekerja, kecuali ada udzur.
f. Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah di sepakati.
g. Penggarap tidak mendapatkan musyaqah kepada
penggarap lain, kecuali di izinkan oleh pemilik,namun demikian,penggarap awal
tidak mendapat apa-apa dari hasil, sedangkan penggarap kedua berhak mendapatkan
upah sesuai dengan pekerjaannya.
2) Menurut Ulama malikiyah pada umumnya
menyepakati hukum-hukum yang di tetapkan ulama hanafiyah di atas. Namun
demikian, mereka berpendapat dalam
pengarapan.
a. Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib di kerjakan
tidak boleh di syaratkan.
b. Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah, tidak
wajib di bebeni oleh penggarap.
c. Sesuatu yang berkaitan dengan buah, tetapi tidak tetap adalah
kewajiban penggarap,seperti menyiram atau menyediakan alat garapan.dan
lain-lain.
3) Ulama syafi’iyah dan hanabilah sepakat dengan
ulama malikiyah dalam membatasi pekerjaan penggarap di atas.dan menambahkan
bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap,
sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.
b) Hukum dan dampak musyaqah fasid.
Musyaqah
fasid adalah akad yang tidak memenuhi persayaratan yang telah di tetapkan
syara’. Beberapa keadaan yang telah di tetapkan syara’.beberapa keadaan yang
dapat di katgorikan musyaqah fasidah menurut ulama Hanafiyah antara
lain.
1. Mensyaratkan hasil musyaqah bagi salah seorang dari yang akad.
2. Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.
3. Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarap.
4. Mensyaratka
pemetik dan kelebihan kepada penggarap, sebab penggarap hanya
berkewajiban memelihara tanaman sebelum dipetik hasilnya. Dengan demikian, pemeriksa dan hal tambahan merupakan kewajiban dua
orang yang akad.
5. Mensayaratkan penjagaan kepada penggarap setelah pembagian.
6. Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis
waktu akad.
7. Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
8. Musyaqoh digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi
kepada penggarap lainnya.
Dampak Musyaqoh
fasid menurut para ulama:
1) Menurut ulama Hanafiyah:
a. Pemilik tidak boleh memaksa penggarap untuk bekerja.
b. Semua hasil adalah hak pemilik kebun.
c. Jika Musyaqoh rusak, penggarap berhak mendapatkan upah.
2) Menurut ulama Malikiyah, jika musyaqoh rusak sebelum penggarapan,
upah tidak berikan. Sebaliknya, apabila musyaqoh rusak setelah penggarap
bekerja atau pada pertengahan musyaqoh, penggarap berhak mendapatkan upah atas
pekerjaannya, baik sedikit maupun banyak.
3) Ulama Hanifiyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa jika buah yang keluar setelah penggarapan ternyata bukan milik orang yang
melangsungkan akad dengannya, si penggarap berhak mendapatkan upah atas
pekerjaannya sebab dia telah kehilangan manfaat dari jeri payahnya dalam
musyaqoh.
5. Habis Waktu Musyaqah
a. Menurut Ulama Hanafiyah
1. Habis waktu yang telah disepakati
2. Meninggalnya salah seorang yang akad
3. Membatalkannya, baik dengan ucapan secara
jelas atau adanya uzur
b. Menurut Ulama Malikiyah
Ulama malikiyah berpendapat bahwa musyaqah adalah akad
yang dapat diwariskan. Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak untuk
meneruskan garapan. Akan tetapi, jika ahli warisnya menolak, pemilik harus
menggarapnya.
Musyaqah dianggap tidak batal jika penggarap
diketahui seorang pencuri, tukang berbuat zalim atau tidak dapat bekerja.
Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk bekerja. Jika tidak memilik modal,
ia boleh mengambil bagiannya dari upah yang diperolehnya bila tanaman telah
berbuah. Ulama Malikiyah beralasan bahwa musyaqah adalah akad yang lazim yang
tidak dapat dibatalkan karena adanya uzur, juga tidak dapat dibatalkan dengan
pembatalan sepihak sebab harus ada kerelaan diantara keduanya.
c. Menurut Ulama Syafi’iyah
Ulam syafi’iayah berpendapat bahwa musyaqah tidak batal
dengan adanya uzur, walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi,
pekerjaan penggarap harus diawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap
menyelesaikan pekerjaannya. Jika pengawas tidak mampu mengawasinya, tanggung
jawab dicabut kemudian diberikan kepada penggarap yang upahnya diambil dari
harta penggarap.
Menurut ulama Syafi’iyah, musayaqah slesai jika habis
waktunya.jika buah kluar setelah habis waktu, penggarap tudak berhak atas
hasilnya. Akan tetapi, jika akhir waktu musyaqah buah belum matang, penggarap
berhak atas bagiannya dan meneruskan pekerjaanya.
Musyaqah dipandang btala jika penggarap meninggal,
tetapitidak dianggap batal jika pemiliknya meninggal. Penggarap meneruskan
pekerjaannya sampai mendapatkan hasilnya. Akan tetapi, jika seorang ahli
warisnya pun meninggal, akad menjadi batal.
d. Menurut Ulama Hanabilah
Ulama hanabilah berpendapat bahwa musyaqah sama dengan
mujara’ah, yakni termasuk akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan
demikian, setiap sisi dari musyaqah dapat membatalkannya. Jika musyaqah rusak
setelah tampak buah , buah tersebut dibagikan kepada pemilik dan penggarap
sesuai dengan perjanjian awal waktu dan dengan catatan penggarap berkewajiban
menyempurnakan pekerjaannya meskipun musyaqah rusak.
Jika penggarap meninggal, musyaqah di pandang tidak
rusak, tetapi dapt diteruskan oleh ahli warisnya. Jika ahli waris menolak,
mereka tidak boleh dipaksa, tetappi hakim dapat menyuruh orang lainuntuk
mengelolanya dan upah diambil dari tirkah (peninggalannya). Akan tetapi jika
tidak memilki tirkah, upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas yang
dibutuhkan ssehingga musyaqah sempurna.
Daftar Pustaka
Nasrun, Haroen. 2007. Fiqih muamalah.
Jakrta: Gaya Media Pratama.
Rachmad, Syafe’I. 2001. Fiqih Muamalah,
Pustaka setia: Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar