Jumat, 17 Juni 2022

MAKALAH “ Muzara’ah, Mukhabarah dan Musyaqoh”

 

Latar Belakang

Manusia dijadikan Allah SWT sebagi makhluksosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi. Dalam kehidupam sosial Nabi Muhmmad mengajarkan kepda kita semua tentang bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan bersama.

 

Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan Muzaro’ah/Mukhabarah?

2.      Apa yang dimaksud dengan Musyaqoh?

3.      Bagaimana rukun dan syarat Muzaro’ah dan Musyaqoh?

 

Tujuan Penulisan

1.      Mengetahui yang dimaksud dengan Muzaro’ah/Mukhabrah

2.      Mengetahui yang dimaksud dengan Musyaqoh

3.      Agar mengerti tentang rukun dan syarat Muzaro’ah dan Musyaqoh

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

A.    AL-MUZARA’AH / AL-MUKHABARAH

a.       Pengertian

  Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminologi fiqh terdapat beberapa definisi yang di kemukakan ulama’ fiqh. Ulama’ Malikiyah mendefinisikan dengan “perserikatan dalam pertanian”. Menurut ulama Hanabilah “Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk di garap dan hasilnya di bagi dua.[1]

Dalam al-muzara’ah bibit yang akan di tanam boleh dari pemilik.

الشركة فى الزرع

Perserikatan dalam pertanian.

Menurut ulama Hanabilah al-muzara’ah adalah.

دفع الارض الى من يزرعها اؤ يعمل عليها والزرع بينهما

Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.

Kedua definisi ini dalm kebiyasaan Indonesia disebut sebagai “paroan sawah” penduduk Irak menyebutnya “al-mukhabarah’ tetapi dalam al-mukhabrah, bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.

Imam as-Syafi’i mendefinisikan mukahbarah dengan:

عمل الارض ببعض ما يخرج منها والبذر من العامل

Pengelolaan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah.

Dalam al-mudhrabah bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan dalam al-muzara’ah bibit yang akan di tanam boleh dari pemilik.

 

 

1.      Hukum Akad Al-Muzara’ah

 Terjadi perbedaan pendapat para ulama’ dalam membahas hukum al-muzara’ah. Imam Abu Hanifah (80-150 H 699-767 M) dan Zulfar Ibnu Huzail (728-774 M), pakar fiqh Hanafi, berpendapat bahwa akad al-muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, akad al-muzara’ah dengan bagi hasil, seperempat dan seperdua, hukumnya batal.

Rasulullah saw, melarang al-muzara’ah (HR Muslim)

Menurut mereka, obyek akad dalam al;muzara’ah belum ada dan tidak jelas kadarnya, karena yang di jadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian yang belum ada (al-ma’dum) dan tidak jelas (al-jahalah) ukurannya, sehingga keu ntungan yang akan di bagi, sejak semula tidak jelas. Boleh saja pertanian itu tidak menghasilkan, sehingga petani tidak mendapatkan apa-apa dari hasil kerjanya. Obyek akad yang bersifat  al-ma’dum dan al-jahalah inilah yang membuat akad ini tidak sah. Adapun perbuatan Rasulullah saw. Dengan penduduk Khaibar dalam hadits yang di riwayatkan al-jama’ah (mayoritas pakar hadits), menurut mereka, bukan merupakan akad al-muzara’ah, adalah berbentuk al-kharaj al-muqasamah, yaitu ketentuan pajak yang harus di bayarkan petani kepada Rasulullah setiap kali panen dalam prosentase tertentu.

Ulama Syafi’iyah juga berpendapat bahwa akad al;muzara’ah tidak sah, kecuali apabila al-muzara’ah mengikut pada akad al-musaqah (kerjasama pemilik kebun dengan petani dalam mengelola pepohonan yang ada di kebun itu, yang hasilnya nanti di bagi menurut kesepakatan bersama). Misalnya, apabila terjadi kerjasama dalam pengolahan perkebunan, kemudian ada tanah kosong yang boleh di manfaatkan untuk al-muzara’ah(pertanian), maka menurut ulama Syafi’iyah, akad al-muzara’ah boleh di lakukan. Akad ini tidak berdiri sendiri, tetapi mengikut pada akad al-musaqah.

Ulama Malikiyah, Hanabilah, Abu Yusuf (113-182 H 731-798 M), Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani(748-804 M), keduanya sahabat Abu Hanifah, dan ulama azh-Zhahiriyah berpendapat bahwa akad al-muzara’ah hukumnya boleh, karena akadnya cukup jelas, yaitu menjadikan petani sebagai serikat dalam penggarapan sawah.

Menurut Mereka, dalam sebuah riwayat di katakana bahwa:

Rasulullah saw. Melakukan akad muzara’ah dengan penduduk Khaibar, yang hasilnya di bagi antara Rasul dengan para pekerja. (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, at-Tirmizi, dan Imam Ahmad ibn Hanbal dari Abdullah ibn Umar).

Menurut mereka akad ini bertujuan untuk saling membantu antara petani dengan pemilik tanah pertanian. Pemilik tanah tidak mampu untuk mengerjakan tanahnya, sedangkan petani tidak mempunyai tanah pertanian. Oleh sebab itu, wajar apabila antara pemilik tanah persawahan bekerjasama dengan petani penggarap, dengan ketentuan bahwa hasilnya mereka bagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Menurut ulama Malikiyah danHanabilah, akad seperti ini termasuk dalam firman Allah dalam surah al-Ma’idah, 5:2 ynag berbunyi: Bertolong-tolonganlah kamu atas kebajikan dan ketaqwaan dan jangan bertolong-tolongan atas dosa dan permusuhan.

2.      Rukun al-Muzara’ah

 Jumhur ulama, yang membolehkan akad al-muzara’ah, mengemukakan rukun      dan syarat yang harus di penuhi, sehingga akad di anggap sah. Rukun al-muzara’ah menurut mereka adalah:

a)      Pemilik tanah

b)      Petani penggarap

c)      Obyek al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani.

d)     Ijab (ungkapan penyerahan tanah dari pemilik tanah) dan qabul (pernyataan menerima tanah untuk digarap dari petani). Contoh ijab qabul itu adalah “ Saya serahkan tanah pertanian saya ini kepada kamu untuk di garap, dan hasilnya nanti kita bagi berdua”. Kemudian petani penggarap menawab: “Saya terima tanah pertanian ini untuk di garap dengan imbalan hasilnya di bagi dua”. Jika hal ini telah terlaksana, maka akad itu telah sah dan mengikat. Namun, ulama Hanabilah mangatakan bahwa penerimaan (qabul) al-muzara’ah tidak perlu dengan ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu petani langsung menggarap tanah itu.

 

3.      Syarat-syarat al-Muzara’ah

Adapun syarat-syarat al-muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut orang yang berakad, benih yang akan di tanam, tanah yang di kerjakan, hsil yang akan di panen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad.

Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya harus orang yang telah balig dan berakal. Karena kedua syarat inilah yang membuat seseorang di anggap telah cukup bertindak hukum. Pendapat lain kalangan ulama Hanafiyah menambahkan bahwa salah seorang atau keduanya bukan orang yang murtad (keluar dari agma islam), karena tindakan hukum orang yang murtad di anggap mauquf (tidak punya efek hukum, sampai ia masuk islam kembali).

Akan tetapi, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani tidak menyetujui syarat tambahan ini, karena, menurut mereka, akad al-muzara’ah boleh dilakukan antara muslim dengan non islam, termasuk orang murtad.

Syarat yang menyangkut benih yang akan di tanam harus jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu benih yang di tanam itu jelas dan akan menghasilkan. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:

a.       Menurut adat di kalangan para petani, tanah itu boleh di garap dan menghasilkan. Jika tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga tidak memungkinkan di jadikan tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak sah.

b.      Batas-batas tanah itu jelas.

c.       Tanah itu di serahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad al-muzara’ah  tidak sah.

Syarat-syarat  yang menyangkut dengan hasil panen adalah sebagai berikut:

1)      Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.

2)      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang ber-akad, tanpa boleh ada pengkhususan.

3)      Pembagian hasil panen itu di tentukan setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kuintal untuk pekerja, atau satu karung; karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh di bawah jumlah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.

Syarat yang menyangkut jangka waktu uga harus di jelaskan dalam akad sejak semula, karena akad al muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah (sewa-menyewa atau upah mengupah) dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini, biasanya di sesuaikan dengan adat kebiasaan setempat.

Untuk obyek akad, jumhur ulama yang membolehkan al-muzara’ah mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan di tanam datangnya dari pemilik tanah, maupun pemanfaatan tanah, maupun pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari petani.

Abu yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani menyatakan bahwa dilihat dari segi sah atau tidaknya akad al-muzara’ah, ada 4 bentuk yaitu:

1)      Apabila tanah dan bibit dari pemilik tanah, kerja dan alat dari petani, sehingga yang menjadi obyek al-muzara’ah adalah jasa petani, maka hukumnya sah.

2)      Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan petani menyediakan bibit, alat, dan kerja, sehingga yang menjadi obyek al-muzara’ah adalah manfaat tanah, maka akad al-muzara’ah juga sah.

3)      Apabila tanah,, alat, dan bibit dari pemilik tanah dan kerja dari petani, sehingga yang menjadi obyek dari al-muzara’ah adalah asa petani, maka akad al-muzara’ah juga sah.

4)      Apabila tanah pertanian dan alat di sediakan pemilik tanah dan bibit serta kerja dari petani, maka akad ini tidak sah. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani, menentkan alat pertanian dari pemilik tanah membuat akad ini jadi rusak, karena alat pertanian tidak boleh mengikut pada tanah. Menurut mereka, manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat tanah, karena tanah adalah untuk menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan buah, sedangkan manfaat alat hanya untuk menggarap tanah. Alat pertanian, menurut  mereka, harus mengikut kepada petani penggarap, bukan kepada pemilik tanah.

 

4.      Akibat Akad al-muzara’ah

Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad al-muzara’ah, apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut:

a)      Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan pertanian itu.

b)      Biaya pertanian, seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik tanah sesuai dengan prosentase bagian masing-masing.

c)      Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

d)     Pengairan di laksanakan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan di tempat masing-masing. Apabila kebiasaan tanah itu diairi dengan air hujan, maka masing-masing pihak tidak boleh dipaksa untuk mengairi tanah itu dengan melalui irigasi. Apabila tanah pertanian itu biasanya diairi melalui irigasi, sedangkan dalam akad disepakati menjadi tanggung jawab petani, maka petani bertanggung jawab mengairi pertanian itu dengan irigasi.

e)      Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, akad tetap berlaku sampai panen, dan yang meninggal di wakili oleh ahli warisnya, karena jumhur ulama berpendapat bahwa akad upah-mengupah(al-ijarah) bersifat mengikat kedua belah pihak dan boleh di wariskan. Oleh sebab itu, menurut mereka, kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalkan akad ini.

 

5.      Berakhirnya Akad al-Muzara’ah

Para ulama fiqh yang membolehkan akad al-muzara’ah mengatakan bahwa akad ini akan berakhir apabila:

1)      Jangka waktu yang di sepakati berakhir. Akan tetapi, apabila jangka waktunya sudah habis, sedangkan hasil pertanian itu belum layak panen, maka akad itu tidak di batalkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama diwaktu akad. Oleh sebab itu, dalam menunggu panen itu, menurut jumhur ulama, petani berhak mendapatkan upah sesuai dengan upah minimal yang berlaku bagi petani setempat. Selanjutnya, dalam menunggu masa panen itu biaya tanaman, seperti pupuk, biaya pemeliharaan, dan pengairan merupakan tanggung jawab bersama pemilik tanah dan petani, sesuai dengan prosentase pembagian masing-masing.

2)      Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, apabila salah seorang yang berakad wafat, maka akad ini berakhir, karena mereka berpendapat bahwa akad al-ijarah tidak boleh di wariskan. Akan tetapi ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa akad al-muzara’ah itu dapat di wariskan. Oleh sebab itu tidak berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang berakad.

3)      Adanya uzur dari salah satu pihak, baik dari pihak pemilik tanah maupun dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak boleh melanjutkan akad al-muzara’ah itu. Uzur dimaksud antara lain adalah:

a.       Pemilik tanah terbelit utang, sehingga tanah pertanian itu harus ia jual, karena tidak ada harta lain yang dapat melunasi utang itu. Pembatalan ini harus dilaksanakan melalui campur tangan haki. Akan tetapi, apabila tumbuh-tumbuhan itu telah berbuah, tetapi belum layak panen, maka tanah itu tidak boleh di jual sampai panen.

b.      Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan suatu perjalanan ke luar kota, sehingga ia tidak mampu melaksanakan pekerjaanya.

 

B.     MUSYAQAH

1.      Arti, Landasan, Rukun dan Perbedaan dengan Mujaro’ah

a)      Arti Musyaqoh

Menurut etimologi, musyaqoh adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang Madinah menyebutnya dengan istilah muamalah. Akan tetapi, istilah yang lebih dikenal adalah musyaqoh.

Adapun menurut terminologi Islam adalah:[2]

معاقدة دفعالاشجار الى من يعمل فيها على ان الثمرة بينهما

Artinya: Sesuatu akad dengan memberikan pohon kepada penggaran agar di kelola dan hasilnya di bagi diantara keduanya.

b)      Asas Legalitas

 Musyaqah menurut ulama Hanafiyah seperti mujara’ah, baik dalam hukum dan persyaratan yang memungkinkan terjadi musyaqah. Abu hanifah dan Abu jarah tidak membolehkan nya,dengan mendasarkan pendapatnya pada hadits:

من كانت له ارض فاليزرعها ولايكريها بثلث لابربع ولابطعام (متفاق عليه)

Artinya:

Barang siapa yang memiliki tanah, hendaklah mengelolanya, tidak boleh menyewakan nya dengan sepertiga atau seperempat, dan tidak pula dengan makanan yang telah di tentuka. (Muttafaq alaih).

 Abu yusuf dan muhammad (dua sahabat abu hanifah), dan jumhur ulama (imam Malik,imam Syafi’I,dan imam Ahmad) memperbolehkan musyaqah yang didasarkan pada muamalah rasulullah SAW bersama orang Khaibar.

c)      Perbedaan antara musyaqah dan mujara’ah

 Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa musyaqah, sama dengan mujara’ah, kecuali dalam empat perkara:

1)      Jika salah seorang yang menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam musyaqah, ia harus di paksa,tetapi dalam mujara’ah, ia tidak boleh di paksa.

2)      Jika waktu musyaqah habis,akad di teruskan sampai berbuah tanpa pemberian upah, sedangkan dalam mujara’ah. Jika waktu habis, pekerjaan di teruskan dengan pemberian upah.

3)      Waktu dalam musyaqah di tetapkan berdasarkan ihtisan, sebab dapat diketahui dengan tepat, sedangkan waktu dalam mujara’ah terkadang tertentu.

4)      Jika pohon di minta oleh selain pemilik tanah pengara di beri upah. Sedangkan dalam mujara’ah jika di minta sebelum menghasilkan sesuatu penggarap tidak mendapatka apa-apa.

 

2.      Syarat-Syarat Musyaqoh

Syarat-Syarat Musyaqoh sebenarnya tidak berbeda dengan persyaratan yang ada dalam mujaro’ah. Hanya saja pada musyaqoh tidak disyaratkan untuk menjelaskan jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan waktu. Beberapa Syarat Musyaqoh adalah:

a.       Ahli dalam akad

b.      Menjelaskan bagian penggarap

c.       Membebaskan pemilik dari pohon

d.      Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad

e.       Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir

 

3.      Rukun Musyaqoh

Jumhur Ulama’ menetapkan bahwa rukun Musyaqoh ada 5, yaitu berikut ini:

1)      Dua orang yang akad (al-aqidani). Al-Aqidani disyaratkan harus baligh dan berakal.

2)      Objek Musyaqoh. Objek Musyaqoh menurut ulama Hanafiyah[3] adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah lainnya dibolehkan musyaqoh atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.

3)      Buah. Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.

4)      Pekerjaan. Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah.

5)      Shigat. Menurut ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musyaqoh sebab berlainan akad.

 

 

 

 

 

4.      Hukum Musyaqah Shahih dan fasid (Rusak)

a)      Hukum Musyaqah Shahih

Musyaqah Shahih menurut para ulama memiliki beberapa hukum dan ketetapan.

1)      Menurut ulama Hanafiyah, hukum musyaqah shahih adalah berikut ini.

a.       Segala perkerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon yang di serahkan kepada penggarap. Sedangkan biaya yang di perlukan dalam pemeliharaan di bagu dua.

b.      Hasil dari musyaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.

c.       Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa.

d.      Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak yang berakad tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.

e.       Pemilik boleh memeriksa penggarap untuk bekerja, kecuali ada udzur.

f.       Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah di sepakati.

g.      Penggarap tidak mendapatkan musyaqah kepada penggarap lain, kecuali di izinkan oleh pemilik,namun demikian,penggarap awal tidak mendapat apa-apa dari hasil, sedangkan penggarap kedua berhak mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya.

2)      Menurut Ulama malikiyah pada umumnya menyepakati hukum-hukum yang di tetapkan ulama hanafiyah di atas. Namun demikian,  mereka berpendapat dalam pengarapan.

a.       Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib di kerjakan tidak boleh di syaratkan.

b.      Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah, tidak wajib di bebeni oleh penggarap.

c.       Sesuatu yang berkaitan dengan buah, tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap,seperti menyiram atau menyediakan alat garapan.dan lain-lain.

3)      Ulama syafi’iyah dan hanabilah sepakat dengan ulama malikiyah dalam membatasi pekerjaan penggarap di atas.dan menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.

b)      Hukum dan dampak musyaqah fasid.

Musyaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persayaratan yang telah di tetapkan syara’. Beberapa keadaan yang telah di tetapkan syara’.beberapa keadaan yang dapat di katgorikan musyaqah fasidah menurut ulama Hanafiyah antara lain.

1.      Mensyaratkan hasil musyaqah bagi salah seorang dari yang akad.

2.      Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.

3.      Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarap.

4.      Mensyaratka  pemetik dan kelebihan kepada penggarap, sebab penggarap hanya berkewajiban memelihara tanaman sebelum dipetik hasilnya. Dengan demikian, pemeriksa dan hal tambahan merupakan kewajiban dua orang yang akad.

5.      Mensayaratkan penjagaan kepada penggarap setelah pembagian.

6.      Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad.

7.      Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.

8.      Musyaqoh digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.

Dampak Musyaqoh fasid menurut para ulama:

1)      Menurut ulama Hanafiyah:

a.       Pemilik tidak boleh memaksa penggarap untuk bekerja.

b.      Semua hasil adalah hak pemilik kebun.

c.       Jika Musyaqoh rusak, penggarap berhak mendapatkan upah.

2)      Menurut ulama Malikiyah, jika musyaqoh rusak sebelum penggarapan, upah tidak berikan. Sebaliknya, apabila musyaqoh rusak setelah penggarap bekerja atau pada pertengahan musyaqoh, penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik sedikit maupun banyak.

3)      Ulama Hanifiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jika buah yang keluar setelah penggarapan ternyata bukan milik orang yang melangsungkan akad dengannya, si penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sebab dia telah kehilangan manfaat dari jeri payahnya dalam musyaqoh.

 

5.      Habis Waktu Musyaqah

a.       Menurut Ulama Hanafiyah

1.      Habis waktu yang telah disepakati

2.      Meninggalnya salah seorang yang akad

3.      Membatalkannya, baik dengan ucapan secara jelas atau adanya uzur

b.      Menurut Ulama Malikiyah

Ulama malikiyah berpendapat bahwa musyaqah adalah akad yang dapat diwariskan. Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan. Akan tetapi, jika ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.

Musyaqah dianggap tidak batal jika penggarap diketahui seorang pencuri, tukang berbuat zalim atau tidak dapat bekerja. Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk bekerja. Jika tidak memilik modal, ia boleh mengambil bagiannya dari upah yang diperolehnya bila tanaman telah berbuah. Ulama Malikiyah beralasan bahwa musyaqah adalah akad yang lazim yang tidak dapat dibatalkan karena adanya uzur, juga tidak dapat dibatalkan dengan pembatalan sepihak sebab harus ada kerelaan diantara keduanya.

c.       Menurut Ulama Syafi’iyah

Ulam syafi’iayah berpendapat bahwa musyaqah tidak batal dengan adanya uzur, walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan penggarap harus diawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap menyelesaikan pekerjaannya. Jika pengawas tidak mampu mengawasinya, tanggung jawab dicabut kemudian diberikan kepada penggarap yang upahnya diambil dari harta penggarap.

Menurut ulama Syafi’iyah, musayaqah slesai jika habis waktunya.jika buah kluar setelah habis waktu, penggarap tudak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika akhir waktu musyaqah buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya dan meneruskan pekerjaanya.

Musyaqah dipandang btala jika penggarap meninggal, tetapitidak dianggap batal jika pemiliknya meninggal. Penggarap meneruskan pekerjaannya sampai mendapatkan hasilnya. Akan tetapi, jika seorang ahli warisnya pun meninggal, akad menjadi batal.

d.      Menurut Ulama Hanabilah

Ulama hanabilah berpendapat bahwa musyaqah sama dengan mujara’ah, yakni termasuk akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, setiap sisi dari musyaqah dapat membatalkannya. Jika musyaqah rusak setelah tampak buah , buah tersebut dibagikan kepada pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian awal waktu dan dengan catatan penggarap berkewajiban menyempurnakan pekerjaannya meskipun musyaqah rusak.

Jika penggarap meninggal, musyaqah di pandang tidak rusak, tetapi dapt diteruskan oleh ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak boleh dipaksa, tetappi hakim dapat menyuruh orang lainuntuk mengelolanya dan upah diambil dari tirkah (peninggalannya). Akan tetapi jika tidak memilki tirkah, upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas yang dibutuhkan ssehingga musyaqah sempurna.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Nasrun, Haroen. 2007. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama.

Rachmad, Syafe’I. 2001. Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.

[2] Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm. 212

[3] Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm 212-221.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar