BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Salah
satu produk perbankan syariah yang saat ini sedang dikembangkan adalah produk
dengan akad kafalah (jaminan). Perbankan sebagai lembaga penjamin terhadap
nasabah akan memperoleh pendapatan berupa fee (ujrah) dari nasabah atas jasa
yang diberikan bank tersebut. Pada hakikatnya pemberian kafalah ini akan
memberikan kepastian dan keamanan bagi pihak ketiga untuk melaksanakan isi
perjanjian/kontrak yang telah disepakati tanpa khawatir apabila terjadi sesuatu
dengan nasabah sehingga nasabah cidera janji untuk memenuhi prestasinya.
Begitu juga halnya dengan dunia perbankan, terdapat
praktek muamalah yang dijalankan dalam setiap produk yang ditawarkan.
Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan sehubungan dengan kegiatan
usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Islam, baik Bank Umum Syariah maupun Bank
Perkreditan Rakyat Syariah.[1]
Perbankan Syriah juga menerima jasa-jasa seperti Al-Kafalah, Al-Hiwalah, dan Hijaro sebagai bentuk keikutsertaan dalam kehidupan
bermuamalah di tengah masyarakat
B. Rumusan
Masalah
1.
Pengertian Al-Kafalah, Al-Hiwalah, dan
Hijaro?
2.
Apa landasan hukum Al-Kafalah,
Al-Hiwalah, dan Hijaro?
3.
Apa rukun Al-Kafalah,
Al-Hiwalah, dan Hijaro?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui dan memahami pengertian Al-Kafalah,
Al-Hiwalah, dan Hijaro.
2.
Mengetahui hukum Al-Kafalah, Al-Hiwalah, dan
Hijaro.
3.
Mengetahui rukun Al-Kafalah, Al-Hiwalah, dan
Hijaro.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kafalah
a. Pengertian Kafalah
Al-Kafalah secara etimologi berarti الضمان (jaminan),الحمالة (beban), dan الزعامة (tanggungan).
Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para
ulama fikih selain Hanafi, bahwa kafalah adalah,
"Menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang”. Definisi lain
adalah, "Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada
pihak ketiga yaitu pihak yang memberikan hutang/kreditor (makful
lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yaitu pihak yang berhutang/debitoratau
yang ditanggung (makful ‘anhu, ashil)”.
Dr
Muhammad Tahir Mansuri menyebutkan defenisi kafalah dalam buku ‘Islamic Law of
Contracts and business Transaction’, “as merging of one liability
with another in respcct of and for performance of an obligation”.
Dalam
buku “Ekonomi Syariah Versi Salaf “ Kafalah memilki definisi secara
lebih terssusun dan jelas sebagai kesanggupan untuk memenuhi hak yang telah
menjadi kewajiban orang lain , kesanggupan untuk mendatangkan barang yang
ditanggung atau untuk menghadirkan orang yang mempunyai kewajiban terhadap
orang lain . dalam dalam bukuEkonomi Syariah Versi Salaf itu juga
kembali disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu:
a.
Kafalah adalah akad yang mengandung kesanggupan
seseorang untuk menngganti atau menanggung kewajiban hutang orang lain apabila
orang tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannnya.
b.
kafalah sebagai akad
yang tertuang di dalamnya tentang kesanggupan seseorang untuk menanggung
hukuman yang seharuasnya diberikan kepada sang terhukum dengan menghadirkan
dirinya atau disebut juga sebagai kafalah An Nafs.
c.
kafalah yang tertuang di dalamnya tentang
kesanggupan seseorang dalam mengembalikan ‘ain madhmunah peda
orang yang berhak.
Pandangan beberapa mahzab
tentang Kafalah sebagai berikut;
a.
Menurut Hanafiyah
Ulama’-
ulama’ hanafiyah mengemukakan dua definisi umtuk kafalah, definisi pertama
adalah kafalah atau dhaman adalah mengumpulkan suatu tanggungan yang lain dalam
penuntutan terhadap jiwa, harta, atau benda. Definisi kedua adalah kafalah atau
dhaman adalah mengumpulkan tanggungan kepada tanggungan yang lain didalam pokok
utang.
Dari
kedua definisi tersebut, definisi pertama lebih shahih karena lebih umum,
yakni mencakup tiga jenis kafalah, yaitu kafalah terhadap jiwa, utang, atau
benda. Sedangkan definisi kedua hanya mencakup kafalah terhadap utang saja.
b. Menurut Malikiyah
Kafalah,
dhaman dan hamalah mempunyai arti yang sama, yaitu penggabungan oleh pemilik
hak terhadap tanggungan penanggung dengan tanggungan orang yang ditanggung,
baik penggabungan tanggungan tersebut bergantung kepada adanya sesuatu atau
tidak.
c. Menurut Syafiiyah
Dhamman
dalam pengertian syar’ adalah suatu akad yang menghendaki tetapnya suatu
hak yang ada dalam tanggungan orang lain, atau menghadirkan benda yang
dihadirkan atau menghadirkan badan yang harus dihadirkan.
d. Menurut Hanabilah
Dhaman adalah
menetapkan sesuatu yang wajib kepada orang lain sedangkan sesuatu itu tetap
dalam genggaman.[2]
Jadi dengan demikian yang dimaksud dengan kafalah adalah
jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga (makful
lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful ‘anhu)[3]
b. Landasan Hukum Kafala
1.
Al-Quran
Dasar hukum untuk akad
memberi kepercayaan ini dapat dipelajari dalam al-Qur’an pada bagian yang
mengisahkan Nabi Yusuf, yaitu firman Allah SWT :
Artinya : “Ya’kub berkata : sekali-sekali aku tidak akan
melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu sebelum kamu memberikan janji yang
teguh kepadaku atas nama Allah bahwa kamu pasti kembali kepadaku” (QS Yusuf :
66)7
Ayat al-Qur’an di atas
memberikan penjelasan bahwa dalam jaminan atau tanggungan (al kafalah) harus
terkandung suatu perjanjian akad yang kokoh antara para pihak serta harus
berlandaskan rasa saling percaya atas nama Allah, agar semata-mata akad itu
terjadi karena keyakinan seorang muslim.
2.
Hadist
Jabir bin Abdullah ra. Berkata:
وَعَنْ
جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا, فَغَسَّلْنَاهُ,
وَحَنَّطْنَاهُ, وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله
عليه وسلم فَقُلْنَا: تُصَلِّي عَلَيْهِ? فَخَطَا خُطًى, ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ
دَيْنٌ? قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ, فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ،
فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا
اَلْمَيِّتُ? قَالَ: نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو
دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ
Artinya :
Jabir Radliyallaahu 'anhu
berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami
memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami
mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan kami tanyakan: Apakah
baginda akan menyolatkannya?. Beliau melangkan beberapa langkah kemudian
bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjawab: Dua dinar.
Lalu beliau kembali.Maka Abu Qotadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami
mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Betul-betul engkau
tanggung dan mayit itu terbebas darinya." Ia menjawab: Ya. Maka beliau
menyolatkannya. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut
Ibnu Hibban dan Hakim.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan
hadits ini dari Salamah bin al-Akwa’ dan disebutkan bahwa utangnya tiga
dinar.Di dalam riwayat Ibn Majah dari Abu Qatadah, ia ketika itu berkata, “Wa
anâ attakaffalu bihi (Aku yang menanggungnya).” Di dalam riwayat al-Hakim dari
Jabir di atas terdapat tambahan sesudahnya: Nabi bersabda kepada Abu Qatadah,
“Keduanya menjadi kewajibanmu dan di dalam hartamu sedangkan mayit tersebut
terbebas?” Abu Qatadah menjawab, “Benar.” Lalu Nabi saw. menshalatkannya. Saat
bertemu Abu Qatadah Rasul saw. bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh dua
dinar?” Akhirnya Abu Qatadah berkata, “Aku telah membayar keduanya, ya
Rasulullah.” Nabi saw. bersabda, “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.”
(HR al-Hakim).
3.
Ijma’
Ulama
Para
ulama madzhab membolehkan akad kafalah ini. Orang-orang Islam pada masa
Nubuwwah mempraktekkan hal ini bahkan sampai saat ini, tanpa ada sanggahan dari
seorang ulama-pun. Kebolehan akad kafalah dalam Islam juga didasarkan pada
kebutuhkan manusia dan sekaligus untuk menegaskan madharat bagi orang-orang
yang berhutang .
Para
ulama sepakat dengan bolehnya kafalah karena sangat dibutuhkan dalam mu’amalah
masyarakat. Dan agar pihak yang berpiutang tidak dirugikan dengan
ketidakmampuan orang yang berutang. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam
beberapa hal. Perlu diketahui, kafalah yang dilakukan dengan niat yang ikhlas mempunyai nilai ibadah yang
berbuah pahala.
c.
Rukun dan Syarat Kafalah
Seperti halnya amalan yang lain
dalam muamalah, dalam kafalah pun mempunyai rukun dan syarat, rukun kafalah
adalah bagian-bagian yang harus ada dalam praktek kafalah, sedangkan syarat
kafalah adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh semua pihak dan objek
agar syah atau diterima oleh syariat praktek kafalah tersebut. Adapun Rukun dan
Syarat adalah sebagai berikut :
1. Rukun
a. Sighat Kafalah (ijab qabul),
adalah kata atau ucapan yang harus diucapkan dalam praktek kafalah
b. Makful bih (obyek tanggungan),
adalah barang atau uang yang digunakan sebagai tanggungan.
c. Kafil (penjamin/penanggung),
adalah orang atau barang yang menjamin dalam hutang atau uang sipeutang.
d. Makful’anhu (tertanggung), adalah
Pihak atau Orang yang Berpiutang.
e. Makful lahu (Penerima
tanggungan), adalah Pihak Orang yang berutang.
2. Syarat
a. Sighat diekspresikan secara
konkrit dan jelas’
b. Makful bih (Obyek tanggungan)
bersifat mengikat terhadap tertanggung dan tdk bisa dibatalkan secara syar’i.
c. Kafil : seorang yang berjiwa
filantropi (suka berbuat baik demi kemaslahatan orang lain).
d. Makful’ :anhu ada kemampuan utk
menerima obyek tanggungan baik atas dirinya atau yang mewakilinya. Makful ‘anhu
harus dikenal baik oleh kafil.
e. Makful lahu juga harus dikenal
dengan baik oleh kafil.
d.
Macam-macam kafalah
1. Kafalah bil Mal : jaminan
pembayaran barang atau pelunasan hutang. Bentuk kafalah ini merupakan sarana
yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada para nasabahnya
dengan imbalan/fee tertentu.
2. Kafalah bil Nafs : jaminan atas
diri seseorang karena nama baik atau ketokohannya. Dalam hal ini, bank dapat
bertindak sebagai Juridical Personality
yang dapat memberikan jaminan untuk tujuan tertentu.
3. Kafalah bit Taslim : Jaminan
pengembalian atas barang yang disewa, ketika batas sewa berakhir. Jenis
pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk keperluan nasabahnya
dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan, leasing company. Jaminan pembayaran bagi
bank dapat berupa deposito/tabungan, dan pihak bank diperbolehkan memungut uang
jasa/fee kepada nasabah tersebut.
4. Kafalah al-Munjazah : jaminan
mutlak yang tdk dibatasi oleh jangka waktu dan utk kepentingan/tujuan tertentu,
Dalam dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan bentuk performance
bond (jaminan prestasi).
5. Kafalah al-Muallaqah : jaminan
ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, di mana jaminan dibatasi
oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula.
B.
Hiwalah
a.
Pengertian
Hiwalah
Menurut bahasa, yang
dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka
Aburrahman Al-Jaziri, berpenapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah : “Pemindahan dari satu tempat
ke tempat yang lain.”
Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah, para
ulam berbea-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut :
1. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah :
“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang
kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.”
2. Al-Jazir sendiri sendiri berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan hiwalah ialah :
“Pernikahan utang dari tanggung jawab seseorang
menjadi tanggung jawab orang lain.”
3. Syihab Al-Din Al-Qalyubi berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan hiwalah ialah :
“Akad yang menetapkan pemindahan bebean utang dari
seseorang kepada yang lain.”
4. Ibrahim Al-Bajuri berpendapat bahwa hiwalah ialah :
b. Landasan Hukum Hiwalah
1. Al-Quran
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[4] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”
2.
Hadist
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّه عَنْهَ اَنَّ
رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ
فَإِذَا أَتْبَعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتَّبِعْ
Menunda (pembayaran hutang) oleh orang yang telah
mampu membayar itu suatu penganiayaan. Apabila salah seorang di antara kamu
hutangnya dilimpahkan kepada orang yang mampu, hendaklah kamu menerima.
3. Ijma’
Kesepakatan
ulama (ijma’) menyatakan bahwa hiwalah boleh dilakukan.
c. Rukun dan Syarat Hiwalah
Menurut
Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu yaitu ijab dan kabul yang dilakukan antara
yang menghiwalahkan dengan yang
menerima hiwalah. Syarat-syarat hiwalah hiwalah menurut Hanafiyah ialah
:
1.
Orang yang memindahkan
utang (muhil), adalah orang yang
berakal, maka batal hiwalah yang
dilakukan muhil dalam keadaan gila
atau masih kecil.
2.
Orang yang menerima hiwalah (rah al-dayn),
adalah orang yang berakal, maka batallah hiwalah
yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
3.
Orang yang di hiwalahkan (muhal alaih)
juga harus orang berakal dan disyaratkan juga ia meridhainya.
4.
Adanya utang muhil kepada muhal alaih.
Menurut Syafi’iyah,
rukun hiwalah itu ada empat, sebagai berikut :
1. Muhil, yaitu oran yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan utang.
2. Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai utang kepada muhil.
3. Muhal ‘alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.
4. Ada piutang muhal
‘alaih kepada muhil.
5. Shigat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya: “aku hiwalahkan
utangku yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul dari muhtal dengan kata-katanya : “aku terima hiwalah engkau
C. Ijaroh
a. Pengertian
Menurut etimologi, ijarah adalah بيع المنفعه (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut terminology
syara’. Untuk lebih jelasnya, di bawah akan dikemukakan beberapa definisi
ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqh:
a.
Ulama Hanafiyah:
عقد
عل المنا فع بعو ض
Artinya: Akad atas suatu kemanfaatan dengan
pengganti
b. Ulama Asy-Syafi’iyah:
“Akad atas suatu
kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti
atau kebolehan dengan pengganti tertentu”
c.
Ulama Malikiyah dan
Hanabilah
“Menjadikan milik suatu
kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti”.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, ijarah adalah
menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan menjadi sewa-menyewa dan
upah mengupah. Sewa-menyewa adalah المنفعة
بيع (menjual
manfaat) dan upah mengupah adalah بيع
القو ة (menjual
tenaga atau kekuatan).
Sewa digunakan untuk benda, seperti “seseorang menyewa
kamar untuk tempat tinggal.” Sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja ditoko
dibayar upahnya per hari”. Dalam bahasa arab upah dan sewa disebut ijarah.
Dengan demikian pengertian ijarah dapat di simpulkan
yaitu suatu transksi baik berupa barang maupun jasa dengan menjual manfaat dan
serta ada pengganti baik di awal transaksi atau di masa habis berlakunya ijarah
atau sewa itu sendiri.
b. Dasar Hukum
a.
Al-Quran
فَاِ نْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاءْتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ
(الطلاق: ١)
Artinya
“Jika mereka menyusukan
(anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka upahnya.” (QS.
Thalaq:6)
قَا لَتْ اِحْدَا هُمَا يَا اَبَتِ
اسْتَاءْجِرْهُ اِنَّ خَىْرَمَنِ اسْتَاءْجَرْتَ الْقَوِيُّ الاْءَمِىْنُ. قَا لَ
اِنِّىْ اُرِىْدُ اَنْ اُنْكِحَكَ اِحْدَى ابْتَيًّ هَا تَيْنِ عَلَى اَنْ
تَاءْجُرَنِى ثَمَا نِىَ حِجَجٍ فَاِ نْ اَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ...
القصص : ٢٦–٢٧
Artinya
“Salah
satu dari kedua orang itu berkata, “Ya ayahku, ambilah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita),karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Berkatalah dia (Syu’aib), “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan
salah seorang dari kedua anak ku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja dengan ku
delapan tahun.Dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan)
dari kamu.” (QS. Al-Qashash: 26-27)
b.
Hadist
اُعْطُوا لاْءَجِيْرَ اَحْرَهُ
قَبْلَ اَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ.
{رواه ابن ما جه عن ابن عمر}
Artinya
“Berikanlah
upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibn Majah dari Ibn Umar)
مَنِ اسْتَاءْجَرَ اَجِيْرًا
فَلْيَعْمَلْ اَجْرَهُ.
{رواه عبدالرزاق عن ابي هريره}
Artinya
“Barang
siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya.” (HR. Abd Razaq
dari Abu Hurairah)
c.
Ijma’
Umat
islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat
bagi manusia.
c.
Rukun
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan
qabul antara lain dengan meggunakan kaimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-ikhtira’
dan al-ikra.
Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada 4 yaitu:
1. ‘Aqid (orang yang berakad)
yaitu mu’jir (orang yang menyewakan atau memberikan upah) dan musta’jir (orang
yang menyewa atau menerima upah)
2.
Shighat akad yaitu ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir
3.
Ujrah (upah)
4.
Ma’qud ‘alaih(manfaat /barang yang disewakan atau sesuatu yang
dikerjakan)
d. Syarat
1.
Syarat terjadinya akad
Syarat in‘inqad
(terjadinya akad) berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad.Sebagaimana
telah dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang yang
melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7tahun), serta
tidak disyaratkan harus baligh.Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri,
akad ijarah anak mumayyiz, di anggap sah bila diizinkan walinya.
Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli, sedangkan baligh
adalah syarat penyerahan.Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah, tetapi
bergatung atas keridaan walinya.
Ulama Hanabilah dan
Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan
berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad.
2.
Syarat pelaksanaan
(an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana,
barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad
(ahliah).Dengan demikian, Ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang
yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat
menjadikan adanya ijarah.
3.
Syarat sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat
berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih (barang yang menjadi
objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-‘aqad), yaitu:
·
Adanya keridaan dari kedua
pihak yang akad.
·
Ma’qud ‘alaih bermanfaat
dengan jelas.
Adanya
kejelasan pada ma’qud ‘alaih atau barang menghilangkan pertentangan di antara
‘aqid. Di antara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih (barang) adalah dengan
menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika
ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
·
Penjelasan manfaat
·
Penjelasan waktu
·
Sewa bulanan
·
Penjelasan jenis pekerjaan
·
Penjelasan waktu kerja
·
Ma’qud ‘alaih (barang)
harus dapat memenuhi secara syara’.
·
Kemanfaatan benda
dibolehkan menurut syara’
·
Tidak menyewa untuk
pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
·
Tidak mengambil manfaat
bagi diri orang yang disewa
·
Manfaat ma’qud ‘alaih
sesuai dengan keadaan yang umum.
4.
Syarat Barang Sewaan
(Ma’qud’alaih)
Di antara barang sewaan
adalah dapat dipegang atau dikuasai.Hal itu didasarkan pada hadits Rasulullah
SAW yang melarang menjual barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai,
sebagaimana dalam hal jual-beli.
5.
Syarat Ujrah (Upah)
Para ulama telah
menetapkan syarat upah, yaitu:
·
Berupa harta tetap yang
diketahui
·
Tidak boleh sejenis dengan
barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan
menempati rumah tersebut.
6.
Syarat yang Kembali pada
Rasul Akad
Akad disyaratkan harus
terhindar dari syarat-syarat yang tidak diperlukan dalam akad atau
syarat-syarat yang merusak akad, seperti menyewakan rumah dengan syarat rumah
tersebut akan ditempati oleh pemiliknya selama sebulan, kemudian diberikan
kepada penyewa.
7.
Syarat Kelaziman
Syarat
kelaziman ijarah atas dua hal berikut:
·
Ma’qud ‘alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat
·
Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Kafalah secara etimologi berarti الضمان (jaminan),الحمالة (beban), dan الزعامة (tanggungan).
Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para
ulama fikih selain Hanafi, bahwa kafalah adalah,
"Menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang”. Definisi lain
adalah, "Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada
pihak ketiga yaitu pihak yang memberikan hutang/kreditor (makful
lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yaitu pihak yang berhutang/debitoratau
yang ditanggung (makful ‘anhu, ashil)”.
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya
ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka Aburrahman Al-Jaziri, berpenapat bahwa
yang dimaksud dengan hiwalah menurut
bahasa ialah : “Pemindahan dari satu
tempat ke tempat yang lain.
Menurut etimologi, ijarah
adalah بيع المنفعه (menjual manfaat).
B. Saran
Semoga
sebagai muslim kita dapat terus mengamalkan Al-Qur’an dan Hadist. Sehingga
Rahmat Allah selalu menyertai kita semua. Sekian makalah dari kami, kami
menyadari banyaknya kekurangan pada makalah
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan
makalah ini. Semoga isi dari makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua
khususnya untuk penulis. Amiinn..
DAFTAR
PUSTAKA
(n.d.).
Antonio, M. S. (2001). In Bank Syariah (p.
123). Jakarta: Gema Insani.
Muslich, A. W. (2010). In Fiqh Muamalah (pp.
433-435). Jakarta: Hamzah.
Wirdyaningsih, S. M. (2005). In Bank dan Asuransi
Islam di Indonesia (p. 125). Jakarta: Prenada Media.
[1]
Wirdyaningsih, SH., MH. Bank dan Asuransi
Islam di Indonesia. (Prenada Media : Jakarta). 2005. Hal. 125.
[2] Ahmad
Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2010) hlm.
433- 435
[3] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah, (Jakarta: Gema Insani, 2001)
hlm. 123
[4]
Bermu’amalh ialah seperti jual beli, hutang-piutang, sewa-menyewa dan lain
sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar