Jumat, 17 Juni 2022

Makalah Kafalah, Hiwalah, Muawalah

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.   Latar Belakang

 Salah satu produk perbankan syariah yang saat ini sedang dikembangkan adalah produk dengan akad kafalah (jaminan). Perbankan sebagai lembaga penjamin terhadap nasabah akan memperoleh pendapatan berupa fee (ujrah) dari nasabah atas jasa yang diberikan bank tersebut. Pada hakikatnya pemberian kafalah ini akan memberikan kepastian dan keamanan bagi pihak ketiga untuk melaksanakan isi perjanjian/kontrak yang telah disepakati tanpa khawatir apabila terjadi sesuatu dengan nasabah sehingga nasabah cidera janji untuk memenuhi prestasinya.

Begitu juga halnya dengan dunia perbankan, terdapat praktek muamalah yang dijalankan dalam setiap produk yang ditawarkan. Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan sehubungan dengan kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Islam, baik Bank Umum Syariah maupun Bank Perkreditan Rakyat Syariah.[1] Perbankan Syriah juga menerima jasa-jasa seperti Al-Kafalah, Al-Hiwalah, dan Hijaro sebagai bentuk keikutsertaan dalam kehidupan bermuamalah di tengah masyarakat

B.   Rumusan Masalah

1.      Pengertian Al-Kafalah, Al-Hiwalah, dan Hijaro?

2.      Apa landasan hukum Al-Kafalah, Al-Hiwalah, dan Hijaro?

3.      Apa rukun Al-Kafalah, Al-Hiwalah, dan Hijaro?

C.   Tujuan Penulisan

1.      Mengetahui dan memahami pengertian Al-Kafalah, Al-Hiwalah, dan Hijaro.

2.      Mengetahui hukum Al-Kafalah, Al-Hiwalah, dan Hijaro.

3.      Mengetahui rukun Al-Kafalah, Al-Hiwalah, dan Hijaro.


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.   Kafalah

a. Pengertian Kafalah

Al-Kafalah secara etimologi berarti الضمان  (jaminan),الحمالة  (beban), dan الزعامة   (tanggungan).

Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih selain Hanafi, bahwa kafalah adalah, "Menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang”. Definisi lain adalah, "Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga­ yaitu pihak yang memberikan hutang/kreditor (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yaitu pihak yang berhutang/debitoratau yang ditanggung (makful ‘anhu, ashil)”.

Dr Muhammad Tahir Mansuri menyebutkan defenisi kafalah dalam buku ‘Islamic Law of Contracts and business Transaction’, “as merging of one liability with another in respcct of and for performance of an obligation”.

Dalam buku “Ekonomi Syariah Versi Salaf “ Kafalah memilki definisi secara lebih terssusun dan jelas sebagai kesanggupan untuk memenuhi hak yang telah menjadi kewajiban orang lain , kesanggupan untuk mendatangkan barang yang ditanggung atau untuk menghadirkan orang yang mempunyai kewajiban terhadap orang lain . dalam dalam bukuEkonomi Syariah Versi Salaf itu juga kembali disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu:

a.       Kafalah adalah akad yang mengandung kesanggupan seseorang untuk menngganti atau menanggung kewajiban hutang orang lain apabila orang tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannnya.

b.       kafalah sebagai akad yang tertuang di dalamnya tentang kesanggupan seseorang untuk menanggung hukuman yang seharuasnya diberikan kepada sang terhukum dengan menghadirkan dirinya atau disebut juga sebagai kafalah An Nafs.

c.       kafalah yang tertuang di dalamnya tentang kesanggupan seseorang dalam mengembalikan ‘ain madhmunah peda orang yang berhak.

Pandangan beberapa mahzab tentang Kafalah sebagai berikut;

a.       Menurut Hanafiyah

Ulama’- ulama’ hanafiyah mengemukakan dua definisi umtuk kafalah, definisi pertama adalah kafalah atau dhaman adalah mengumpulkan suatu tanggungan yang lain dalam penuntutan terhadap jiwa, harta, atau benda. Definisi kedua adalah kafalah atau dhaman adalah mengumpulkan tanggungan kepada tanggungan yang lain didalam pokok utang.

Dari kedua definisi tersebut,  definisi pertama lebih shahih karena lebih umum, yakni mencakup tiga jenis kafalah, yaitu kafalah terhadap jiwa, utang, atau benda. Sedangkan definisi kedua hanya mencakup kafalah terhadap utang saja.

b.      Menurut Malikiyah

Kafalah, dhaman dan hamalah mempunyai arti yang sama, yaitu penggabungan oleh pemilik hak terhadap tanggungan penanggung dengan tanggungan orang yang ditanggung, baik penggabungan tanggungan tersebut bergantung kepada adanya sesuatu atau tidak.

c.       Menurut Syafiiyah

Dhamman dalam pengertian syar’ adalah suatu  akad yang menghendaki tetapnya suatu hak yang ada dalam tanggungan orang lain, atau menghadirkan benda yang dihadirkan atau menghadirkan badan yang harus dihadirkan.

d.      Menurut Hanabilah

Dhaman adalah menetapkan sesuatu yang wajib kepada orang lain sedangkan sesuatu itu tetap dalam genggaman.[2]

 

Jadi dengan demikian yang dimaksud dengan kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful ‘anhu)[3]

b. Landasan Hukum Kafala

1.      Al-Quran

Dasar hukum untuk akad memberi kepercayaan ini dapat dipelajari dalam al-Qur’an pada bagian yang mengisahkan Nabi Yusuf, yaitu firman Allah SWT :

 

Artinya : “Ya’kub berkata : sekali-sekali aku tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu sebelum kamu memberikan janji yang teguh kepadaku atas nama Allah bahwa kamu pasti kembali kepadaku” (QS Yusuf : 66)7

 

Ayat al-Qur’an di atas memberikan penjelasan bahwa dalam jaminan atau tanggungan (al kafalah) harus terkandung suatu perjanjian akad yang kokoh antara para pihak serta harus berlandaskan rasa saling percaya atas nama Allah, agar semata-mata akad itu terjadi karena keyakinan seorang muslim.

2.      Hadist

Jabir bin Abdullah ra. Berkata:

 

وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا, فَغَسَّلْنَاهُ, وَحَنَّطْنَاهُ, وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا: تُصَلِّي عَلَيْهِ? فَخَطَا خُطًى, ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ? قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ, فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ? قَالَ: نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ

                                                                                                                                   

Artinya :

Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyolatkannya?. Beliau melangkan beberapa langkah kemudian bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali.Maka Abu Qotadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya." Ia menjawab: Ya. Maka beliau menyolatkannya. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini dari Salamah bin al-Akwa’ dan disebutkan bahwa utangnya tiga dinar.Di dalam riwayat Ibn Majah dari Abu Qatadah, ia ketika itu berkata, “Wa anâ attakaffalu bihi (Aku yang menanggungnya).” Di dalam riwayat al-Hakim dari Jabir di atas terdapat tambahan sesudahnya: Nabi bersabda kepada Abu Qatadah, “Keduanya menjadi kewajibanmu dan di dalam hartamu sedangkan mayit tersebut terbebas?” Abu Qatadah menjawab, “Benar.” Lalu Nabi saw. menshalatkannya. Saat bertemu Abu Qatadah Rasul saw. bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh dua dinar?” Akhirnya Abu Qatadah berkata, “Aku telah membayar keduanya, ya Rasulullah.” Nabi saw. bersabda, “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.” (HR al-Hakim).

 

3.      Ijma’ Ulama

Para ulama madzhab membolehkan akad kafalah ini. Orang-orang Islam pada masa Nubuwwah mempraktekkan hal ini bahkan sampai saat ini, tanpa ada sanggahan dari seorang ulama-pun. Kebolehan akad kafalah dalam Islam juga didasarkan pada kebutuhkan manusia dan sekaligus untuk menegaskan madharat bagi orang-orang yang berhutang .

Para ulama sepakat dengan bolehnya kafalah karena sangat dibutuhkan dalam mu’amalah masyarakat. Dan agar pihak yang berpiutang tidak dirugikan dengan ketidakmampuan orang yang berutang. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal. Perlu diketahui, kafalah yang dilakukan dengan  niat yang ikhlas mempunyai nilai ibadah yang berbuah pahala.

 

c. Rukun dan Syarat Kafalah

Seperti halnya amalan yang lain dalam muamalah, dalam kafalah pun mempunyai rukun dan syarat, rukun kafalah adalah bagian-bagian yang harus ada dalam praktek kafalah, sedangkan syarat kafalah adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh semua pihak dan objek agar syah atau diterima oleh syariat praktek kafalah tersebut. Adapun Rukun dan Syarat adalah sebagai berikut :

1.      Rukun

a.       Sighat Kafalah (ijab qabul), adalah kata atau ucapan yang harus diucapkan dalam praktek kafalah

b.      Makful bih (obyek tanggungan), adalah barang atau uang yang digunakan sebagai tanggungan.

c.       Kafil (penjamin/penanggung), adalah orang atau barang yang menjamin dalam hutang atau uang sipeutang.

d.      Makful’anhu (tertanggung), adalah Pihak atau Orang yang Berpiutang.

e.       Makful lahu (Penerima tanggungan), adalah Pihak Orang yang berutang.

 

2.      Syarat

a.       Sighat diekspresikan secara konkrit dan jelas’

b.      Makful bih (Obyek tanggungan) bersifat mengikat terhadap tertanggung dan tdk bisa dibatalkan secara syar’i.

c.       Kafil : seorang yang berjiwa filantropi (suka berbuat baik demi kemaslahatan orang lain).

d.      Makful’ :anhu ada kemampuan utk menerima obyek tanggungan baik atas dirinya atau yang mewakilinya. Makful ‘anhu harus dikenal baik oleh kafil.

e.       Makful lahu juga harus dikenal dengan baik oleh kafil.

 

d. Macam-macam kafalah

1.      Kafalah bil Mal : jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang. Bentuk kafalah ini merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada para nasabahnya dengan imbalan/fee tertentu.

2.      Kafalah bil Nafs : jaminan atas diri seseorang karena nama baik atau ketokohannya. Dalam hal ini, bank dapat bertindak sebagai Juridical Personality  yang dapat memberikan jaminan untuk tujuan tertentu.

3.      Kafalah bit Taslim : Jaminan pengembalian atas barang yang disewa, ketika batas sewa berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan, leasing company. Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan, dan pihak bank diperbolehkan memungut uang jasa/fee  kepada nasabah tersebut.

4.      Kafalah al-Munjazah : jaminan mutlak yang tdk dibatasi oleh jangka waktu dan utk kepentingan/tujuan tertentu, Dalam dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan bentuk performance bond  (jaminan prestasi).

5.      Kafalah al-Muallaqah : jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula.

B.   Hiwalah

a.   Pengertian Hiwalah

Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka Aburrahman Al-Jaziri, berpenapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah : “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.”

Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah, para ulam berbea-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut :

1.      Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah :

“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.”

2.      Al-Jazir sendiri sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah ialah :

“Pernikahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain.”

3.      Syihab Al-Din Al-Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah ialah :

“Akad yang menetapkan pemindahan bebean utang dari seseorang kepada yang lain.”

4.      Ibrahim Al-Bajuri berpendapat bahwa hiwalah ialah :

 

b.  Landasan Hukum Hiwalah

1.      Al-Quran

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[4] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar

 

2.      Hadist

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّه عَنْهَ اَنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أَتْبَعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتَّبِعْ

Menunda (pembayaran hutang) oleh orang yang telah mampu membayar itu suatu penganiayaan. Apabila salah seorang di antara kamu hutangnya dilimpahkan kepada orang yang mampu, hendaklah kamu menerima.

 

3.       Ijma’

Kesepakatan ulama (ijma’) menyatakan bahwa hiwalah boleh dilakukan.

 

c. Rukun dan Syarat Hiwalah

Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu yaitu ijab dan kabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Syarat-syarat hiwalah hiwalah menurut Hanafiyah ialah :

1.      Orang yang memindahkan utang (muhil), adalah orang yang berakal, maka batal hiwalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau masih kecil.

2.      Orang yang menerima hiwalah (rah al-dayn), adalah orang yang berakal, maka batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.

3.      Orang yang di hiwalahkan (muhal alaih) juga harus orang berakal dan disyaratkan juga ia meridhainya.

4.      Adanya utang muhil kepada muhal alaih.

 

Menurut Syafi’iyah, rukun hiwalah itu ada empat, sebagai berikut :

1.      Muhil, yaitu oran yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan utang.

2.      Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai utang kepada muhil.

3.      Muhal ‘alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.

4.      Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil.

5.      Shigat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya: “aku hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul dari muhtal dengan kata-katanya : “aku terima hiwalah engkau

 

C.   Ijaroh

a.     Pengertian

Menurut etimologi, ijarah adalah بيع المنفعه (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut terminology syara’. Untuk lebih jelasnya, di bawah akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqh:

a.       Ulama Hanafiyah:

عقد عل المنا فع بعو ض

Artinya:  Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti

b.      Ulama Asy-Syafi’iyah:

“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu”

c.       Ulama Malikiyah dan Hanabilah

“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti”.

Berdasarkan definisi-definisi diatas, ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan menjadi sewa-menyewa dan upah mengupah. Sewa-menyewa adalah المنفعة بيع (menjual manfaat) dan upah mengupah adalah بيع القو ة (menjual tenaga atau kekuatan).

Sewa digunakan untuk benda, seperti “seseorang menyewa kamar untuk tempat tinggal.” Sedangkan upah digunakan untuk  tenaga, seperti “para karyawan bekerja ditoko dibayar upahnya per hari”. Dalam bahasa arab upah dan sewa disebut ijarah.

Dengan demikian pengertian ijarah dapat di simpulkan yaitu suatu transksi baik berupa barang maupun jasa dengan menjual manfaat dan serta ada pengganti baik di awal transaksi atau di masa habis berlakunya ijarah atau sewa itu sendiri.

b.    Dasar Hukum

a.       Al-Quran

فَاِ نْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاءْتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ (الطلاق: ١)

Artinya

“Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka upahnya.” (QS. Thalaq:6)

قَا لَتْ اِحْدَا هُمَا يَا اَبَتِ اسْتَاءْجِرْهُ اِنَّ خَىْرَمَنِ اسْتَاءْجَرْتَ الْقَوِيُّ الاْءَمِىْنُ. قَا لَ اِنِّىْ اُرِىْدُ اَنْ اُنْكِحَكَ اِحْدَى ابْتَيًّ هَا تَيْنِ عَلَى اَنْ تَاءْجُرَنِى ثَمَا نِىَ حِجَجٍ فَاِ نْ اَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ...

القصص : ٢٦–٢٧

Artinya

      “Salah satu dari kedua orang itu berkata, “Ya ayahku, ambilah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita),karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Berkatalah dia (Syu’aib), “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak ku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja dengan ku delapan tahun.Dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu.” (QS. Al-Qashash: 26-27)

 

 

b.      Hadist

اُعْطُوا لاْءَجِيْرَ اَحْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ.

{رواه ابن ما جه عن ابن عمر}

Artinya

      “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibn Majah dari Ibn Umar)

مَنِ اسْتَاءْجَرَ اَجِيْرًا فَلْيَعْمَلْ اَجْرَهُ.

{رواه عبدالرزاق عن ابي هريره}

Artinya

      “Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya.” (HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)

 

c.       Ijma’

      Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.

 

 

c.      Rukun

Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul antara lain dengan meggunakan kaimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-ikhtira’ dan al-ikra.

Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada 4 yaitu:

1.      ‘Aqid (orang yang berakad) yaitu mu’jir (orang yang menyewakan atau memberikan upah) dan musta’jir (orang yang menyewa atau menerima upah)

2.      Shighat akad yaitu ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir

3.      Ujrah (upah)

4.      Ma’qud ‘alaih(manfaat /barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan)

d.    Syarat

1.      Syarat terjadinya akad

Syarat in‘inqad (terjadinya akad) berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad.Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh.Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz, di anggap sah bila diizinkan walinya.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan.Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah, tetapi bergatung atas keridaan walinya.

Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad.

 

2.      Syarat pelaksanaan (an-nafadz)

Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah).Dengan demikian, Ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.

3.      Syarat sah Ijarah

Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-‘aqad), yaitu:

·         Adanya keridaan dari kedua pihak yang akad.

·         Ma’qud ‘alaih bermanfaat dengan jelas.

            Adanya kejelasan pada ma’qud ‘alaih atau barang menghilangkan pertentangan di antara ‘aqid. Di antara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.

·         Penjelasan manfaat

·         Penjelasan waktu

·         Sewa bulanan

·         Penjelasan jenis pekerjaan

·         Penjelasan waktu kerja

·         Ma’qud ‘alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’.

·         Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’

·         Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya

·         Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa

·         Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum.

4.      Syarat Barang Sewaan (Ma’qud’alaih)

Di antara barang sewaan adalah dapat dipegang atau dikuasai.Hal itu didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang melarang menjual barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam hal jual-beli.

 

 

 

5.      Syarat Ujrah (Upah)

Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu:

·         Berupa harta tetap yang diketahui

·         Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.

6.      Syarat yang Kembali pada Rasul Akad

Akad disyaratkan harus terhindar dari syarat-syarat yang tidak diperlukan dalam akad atau syarat-syarat yang merusak akad, seperti menyewakan rumah dengan syarat rumah tersebut akan ditempati oleh pemiliknya selama sebulan, kemudian diberikan kepada penyewa.

7.      Syarat Kelaziman

            Syarat kelaziman ijarah atas dua hal berikut:

·         Ma’qud ‘alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat

·         Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad.

 


 

BAB III

PENUTUP

 

A.   Kesimpulan

Al-Kafalah secara etimologi berarti الضمان  (jaminan),الحمالة  (beban), dan الزعامة   (tanggungan).

Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih selain Hanafi, bahwa kafalah adalah, "Menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang”. Definisi lain adalah, "Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga­ yaitu pihak yang memberikan hutang/kreditor (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yaitu pihak yang berhutang/debitoratau yang ditanggung (makful ‘anhu, ashil)”.

Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka Aburrahman Al-Jaziri, berpenapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah : “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.

Menurut etimologi, ijarah adalah بيع المنفعه (menjual manfaat).

B.   Saran

Semoga sebagai muslim kita dapat terus mengamalkan Al-Qur’an dan Hadist. Sehingga Rahmat Allah selalu menyertai kita semua. Sekian makalah dari kami, kami menyadari banyaknya kekurangan pada  makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Semoga isi dari makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya untuk penulis. Amiinn..

 

DAFTAR PUSTAKA

(n.d.).

Antonio, M. S. (2001). In Bank Syariah (p. 123). Jakarta: Gema Insani.

Muslich, A. W. (2010). In Fiqh Muamalah (pp. 433-435). Jakarta: Hamzah.

Wirdyaningsih, S. M. (2005). In Bank dan Asuransi Islam di Indonesia (p. 125). Jakarta: Prenada Media.

 

 



[1] Wirdyaningsih, SH., MH. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. (Prenada Media : Jakarta). 2005. Hal. 125.

[2] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2010) hlm. 433- 435

[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, (Jakarta: Gema Insani, 2001) hlm. 123

[4] Bermu’amalh ialah seperti jual beli, hutang-piutang, sewa-menyewa dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar