A.Pengertian
Hakikat
Filsafat
merupakan kegiatan berfikir yang dilakukan oleh manusia, ia berusaha untuk
menerawang serta menelaah segala yang ada di alam semesta. Penelaahan ini melahirkan
pengertian tentang realitas itu, tentang segala itu. Upaya mengetahui segala
itu dilakukan secara sistematis, artinya menggunakan hukum berpikir. Pikiran
filosofis ini mencari hakikat segala sesuatu itu sampai kepada pengertian yang
paling dasar dan paling dalam.[1]
Dalam kata lain, filsafat adalah berpikir untuk mengetahui tentang hakikat
segala sesuatu.
Kata
hakikat berasal dari bahasa Arab al-H{aqiqah
atau al-H{aqq. Secara etimologi
hakikat berarti inti sesuatu, puncak atau sumber dari segala sesuatu. Sedangkan
menurut kamus besar Bahasa Indonesia (kkbi) bermakna intisari atau dasar dan
kenyataan yang sesungguhnya atau sebenarnya.[2]
Filsafat
tentunya memiliki objek penelaahan, antara
lain: alam, manusia, masyarakat, dan Tuhan.[3] Kajian manusia tentang alam
melahirkan filsafat alam atau kosmologi. Kajian tentang manusia agak terlambat
dilakukan filsafat, oleh karena itu pengertian tentang apa hakikat manusia
sampai saat ini masih tetap menarik diikuti. Kajian filsafat tentang manusia
disebut filsafat manusia. Kajian manusia tentang Tuhan melahirkan filsafat
ketuhanan. Hal-hal tersebut merupakan permasalahan filsafat.
Islam
memandang bahwa Tuhan tidak menciptakan segala sesuatunya dengan sia-sia.[4]
Dalam artian segala ciptaan-Nya mengandung nilai-nilai yang patut direnungkan
serta dikaji sehingga seseorang mengerti akan hakikat pendidikan yang
sebenarnya. Demi tertanamnya nilai-nilai pendidikan tersebut, maka sangatlah
diperlukan kajian tersendiri serta pemahaman yang mendalam tentang hakikat alam
semesta, manusia dan Tuhan sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan.
Kamus besar bahasa
indonesia menyebut pendidikan dengan proses perubahan sikap dan tingkah laku
seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan latihan.[5] Sedangkan Pola pendidikan
dalam islam adalah pengertian yang terkandung dalam makna ta’li>m, ta’di>b, dan tarbiyyah.[6]
B. Hakikat Tuhan
dalam Pandangan Filsafat Pendidikan
Kata Tuhan dapat
dipahami sebagai Roh maha kuasa dan asas dari suatu kepercayaan atau suatu zat
abadi supranatural yang sering diartikan dengan mengawasi dan memerintah jagad
raya seisinya.[7]
Terdapat dua terma tentang Tuhan dalam bahasa Arab yang cukup populer, yaitu kata
Rabb dan Ilah yang keduanya mempunyai
persamaan dalam arti sempit dan perbedaan dalam arti yang cukup luas, namun
keduanya tetap dalam satu esensi.[8]
Allah swt adalah sang Maha alam semesta,
termasuk didalamnya adalah manusia. Posisi Tuhan dalam hal ini sebagai al-Kha>liq, namun sering disebut juga
dengan al-Rabb, Rabb al-‘Alamin, Rabb kulli shay’. Dari kata Rabb yang biasa diterjemahkan dengan
Tuhan yang mengandung arti sebagai Tarbiyyah (yang menumbuhkembangkan
sesuatu secara bertahap dan berangsur-angsur sampai sempurna), juga sebagai murabbi>
(yang mendidik).[9] Allah
dalam artian menumbuh kembangkan merupakan fungsi rubu>biyyah yang biasa dipahami sebagai fungsi kependidikan. Proses penciptaan alam semesta dan
manusia merupakan hakikat perwujudan atau realisasi dari fungsi rububiyah
(kependidikan). Allah berfirman:
اقرأ
باسم ربك الذي خلق. خلق الإنسان من علق. اقرأ وربك الأكرم. الذي علم بالقلم. علم
الإنسان ما لم يعلم.
“Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Qs.
Al-Alaq: 1-5).”
Pembahasan tentang adanya Tuhan secara
filosofis pada prinsipnya menuntut adanya pembuktian yang berdasarkan nalar.
Hal inilah yang menjadi wacana perdebatan antara kaum filosof, kaum teolog, dan
kaum Sufi.[10]
Dari berbagai perdebatan mengenai
konsep Tuhan, kiranya dapat memiliki dampak dan implikasi pedagogis yang perlu
diperhatikan oleh dunia pendidikan Islam. Oleh karena itu, argumen-argumen
mengenai keberadaan Tuhan ditinjau dari sudut pandang Filsafat Pendidikan Islam
hendaknya dapat melahirkan pemikiran yang berimplikasi kepada antara lain:
1. Allah
sebagai Pencipta, hendaknya dikenal dan diyakini oleh manusia melalui
tanda-tanda kekuasaan-Nya. Eksistensi Tuhan seperti ini harus dipahami sebagai
tujuan utama pendidikan Islam. Ini merupakan unsur keimanan (akidah) dalam
Filsafat Pendidikan Islam.[11]
2. Allah
sebagai Pencipta memiliki beberapa sifat yang disebut al-Asma>’ al-H{usna>.
Sifat-sifat tersebut hendaknya dapat ditransformasikan dalam dunia pendidikan
Islam, dalam rangka mewujudkan manusia sebagai khali>fah fi> al-Ard}
yang bertugas mengemban amanah di muka bumi. Ini merupakan unsur ihsa>n
(akhlak) dalam Filsafat Pendidikan Islam.[12]
3.
Allah sebagai Rabb mengandung
arti bahwa Allah adalah Pengatur dan Pemelihara alam raya ini. Allah telah
menentukan berbagai aturan (sunnatullah) yang harus diperhatikan dan
diikuti oleh manusia. Ini merupakan unsur Islam (shari>’ah) dalam
Filsafat Pendidikan Islam.[13]
4.
Melalui argumen teologis, Filsafat
Pendidikan Islam memformulasikan bahwa alam semesta dirancang dan diciptakan
Allah sebagai fasilitas bagi kehidupan manusia.[14]
Fasilitas ini sedemikian rupa harus dikembangkan oleh manusia melalui
kreativitas demi kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan.
C. Hakikat Manusia
dalam Pandangan Filsafat Pendidikan
Manusia dalam bahasa Inggris disebut man, asal kata dari bahasa
Anglo-Saxon yaitu mann. Arti dasar dari kata dapat dikaitkan dengan mens
(Latin) yang berarti ada yang berpikir.[15]
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia manusia diartikan sebagai makhluk yang berakal
budi (mampu menguasai makhluk yang lain).[16]
Sedikitnya ada empat konsep yang digunakan al-Qur’an untuk
menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian
yang berbeda, yaitu:
1.
Konsep al-Basha>r
Kata al-Basha>r dinyatakan
dalam al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat.[17]
Secara etimologi al-Basha>r juga diartikan mula>masah. Dengan demikian kehidupan manusia
terikat kepada kaidah kaidah prinsip kehidupan biologis lain seperti berkembang
biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat
kematangan serta kedewasan.
2. Konsep al-Insa>n
Kata al-Insa>n yang
berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali
dan tersebar dalam 43 surat.[18]
Secara etimologi, al-Insa>n dapat diartikan harmonis, lemah lembut,
tampak, atau pelupa. Dan ada juga dari
akar kata Naus yang mengandung arti
pergerakan atau dinamisme. Merujuk pada asal kata al-Insa>n dapat kita pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki
potensi yang positif untuk tumbuh serta berkembang secara fisik maupun mental
spiritual.[19]
3. Konsep al-Na>s
Kata al-Na>s dinyatakan
dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kata al-Na>s
di al-Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai
makhluk sosial.[20]
4. Konsep Bani Adam
Manusia sebagai Bani Adam, termaktub
di tujuh tempat dalam al-Qur’an. Manusia disebut
dengan Bani Adam karena manusia merupakan keturunan dari Nabi Adam.[21]
Menurut al-Qur’an ialah bahwa hakikat manusia itu terdiri dari
unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani. Ketiganya penting untuk di
kembangkan. Sehingga konsekuensinya pendidikan harus di desain untuk
mengembangkan jasmani, akal, dan ruhani manusia.[22]
Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah-nya
menambahkan bahwa hakikat manusia dapat dilihat dari beberapa segi,
diantaranya:
1.
Manusia
sebagai makhluq berfikir.[23]
2.
Manusia sebagai makhluq yang
berkepribadian utuh.[24]
3.
Manusia sebagai hamba Allah dan
khalifah di muka bumi.
4.
Manusia sebagai makhluq individu dan
sosial.[25]
Kesatuan wujud manusia antara pisik dan pisikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa
manusia sebagai ah{san at-taqwi>m dan merupakan manusia pada posisi
yang strategis, yaitu Hamba Allah (‘abd Allah) dan Khalifah Allah (khali>fah
fi al-ard}).[26]
Untuk melihat
bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka
setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos).
Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya
(ontology). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai pengapdi yang setia, maka
manusia diberi anugerah berbagai potensi baik jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind).[27]
Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal
memperoleh pengetahuan itu berjalan secara berjenjang dan bertahap (proses)
melalui pengembangan potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan (epistimologi), oleh karena itu
hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan Allah dan
hubungan dengan Allah harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan.
Adapun manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya
insaninya itu, manusia diikat oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam pandangan Filsafat Pendidkan
Islam, manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi ditawarkan
padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa manusia itu
makhluk alternatif (bebas) tetapi sekaligus terikat (tidak bebas nilai).
Adapun hakikat
manusia dalam pandangan UU Sisdiknas dapat dilihat dalam pasal 33 Bab II
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003, yang berbunyi:
“pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[28]
Meskipun pada pasal ini berkenaan dengan tujuan pendidikan nasional, akan tetapi kriteria
manusia yang dicita-citakan tidak terlepas dari pandangannya tentang manusia
itu sendiri.
D.Hakikat Alam
dalam Pandangan Filsafat Pendidikan
Menurut
KBBI, alam
adalah segala yang
ada dilangit dan dibumi.[29]
Kata alam berasal dari bahasa Arab ‘a-l-m,
satu akar kata dengan ‘ilm
(pengetahuan) dan ‘ala>mat
(pertanda). Disebut demikian karena jagad raya ini adalah pertanda adanya sang
Maha Pencipta, yaitu Tuhan yang Maha Esa. Dalam bahasa Yunani alam jagad raya
ini disebut cosmos yang berarti
serasi atau harmonis.[30]
Semua realitas yang empiris yang ada ini
selain Tuhan adalah alam (Kosmos). Alam semesta adalah media pendidikan
sekaligus sebagai sarana yang digunakan oleh menusia untuk melangsungkan proses
pendidikan. Didalam alam semesta ini manusia tidak dapat hidup dan mandiri
dengan sesungguhnya. Karena antara manusia dan alam semesta saling membutuhkan
dan saling melengkapi.
Islam memandang
bahwa alam adalah ciptaan Allah swt, sekaligus merupakan bukti karya agung-Nya,
sebagai konsekuensinya alam adalah pesan dan tanda-tanda Allah akan
keberadaan-Nya. Alam merupakan wahyu yang tidak
tertulis. Jadi setiap manusia harus membaca wahyu Allah yang baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis.[31]
Allah menegaskan bahwa Dia tidak menciptakan langit, bumi
dan apa yang ada diantara keduanya secara main-main, kecuali dengan al-haqq.[32] Disamping
sebagai sarana untuk menghantarkan manusia akan keberadaan dan keMaha-Kuasaan Allah. Fungsi konkret alam semesta adalah fungsi rubu>biyah yang diciptakan Allah kepada manusia, sehingga alam
ini akan marah manakala manusia bertindak serakah dan tidak bertanggung jawab.[33]
Para pemikir Islam abad XX,
khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan Islam di Makkah pada tahun
1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua kategori, yaitu:[34]
1.
Ilmu abadi (perennial knowledge) yang
berdasarkan wahyu. Ilahi yang tertera dalam Al-Quran dan Hadis serta segala
yang dapat diambil dari keduanya. Hanya diberikan kepada manusia.[35]
2.
Ilmu yang dicari (acquired
knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang
kualitatif dan penggandaan, selama tidak bertentangan dengan Syariah sebagai
sumber nilai.
Semua ilmu pengetahuan kealaman
berkembang secara induktif dan intiz}a>r,
maka dengan semakin dewasanya sains natural itu sendiri dan matematika, ia
dapat berkembang secara deduktif. Dengan matematika dapat dirumuskan
model-model alam atau gejala alamiyah yang sifat dan kelakuannya dapat
dijabarkan secara matematis. Namun dari sekian banyak model yang dapat
direkayasa, hanya mereka yang konsekuensinya sesuai dengan gejala alamiyah yang
teramatilah yang dapat diterima oleh masyarakat ilmuan yang bersangkutan. Tidaklah
ayat-ayat al-Qur’an satu pun yang menentang ilmu pengetahuan, tetapi sebaliknya
banyak ayat-ayat al-Qur’an mengusung dan menekankan kepentingan ilmu
pengetahuan.
Hasil penelitian tentang gejala alam
lebih bersifat eksak dan diuji validitasnya oleh para peneliti lainnya
sehinggan kebenarannya mendekati kata sempurna. Filsafat pendidikan menjadikan
seluruh hasil penelitian sebagai langkah awal menuju pemahaman mendalam
mengenai kedudukan alam bagi umat manusia sekarang dan akan datang. Manusia
wajib belajar pada alam dan mempelajari gejala alam agar ilmu pengetahuan dan
kecerdasan umat manusia terus meningkat.[36]
Dalam pandangan Filsafat Pendidikan
Islam, alam semesta atau universe yang terbagi dalam dua kategori (alam
materi dan alam ruh), harus dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Oleh sebab itu pendidikan Islam harus memperhatikan kedua hal ini
secara seimbang, karena kehidupan manusia yang sempurna tidak akan terwujud
hanya dengan memperhatikan salah satunya.
E. Daftar Pustaka
Ali, Hery Noer. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 1999.
Badaruddin, Kemas. Filsafat Pendidikan Islam (Analisis pemikiran Prof. Dr. Syed Muhammad
al-Naquib al-Attas). Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2009.
Basri, Hasan. Filsafat
Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka setia, 2009.
Hermawan, Heris. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI, 2012.
Jalaludin. Teologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001.
Kementrian Agama R.I. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yamunu, 1996.
Kosim, Muhammad. Pemikiran
Pendidikan Islam Ibnu Khaldun “Kristis, Humanis dan Religius”. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2012.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1992.
Salahudin, Anas. Filsafat
Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.
Syam, Mohammad Noor. Filsafat
Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
Tim penyusun silabus. ‘Ushul al-tarbiyyah wa al-ta’li>m, Vol: 1. Ponorogo: Darussalam
Press, 2007.
[1] Hery Noer Ali, ilmu pendidikan Islam (Jakarta: Logos,
1999), 22.
[2] Kbbi.web.id/hakikat.
[3] A. Tafsir (Guru
Besar filsafat pendidikan UIN Sunan Gunung Jati Bandung)
sebagaimana yang dikutip oleh haris hermawan, membagi objek filsafat menjadi
dua: Materia dan Forma. Materia dalam artian nampak terlihat oleh kasat mata
maupun mata hati yang diantara kajiannya meliputi Tuhan, manusia dan alam.
Sedangkan objek forma filsafat adalah penyelidikan yang mendalam. Artinya,
ingin mengetahui sesuatu bagian dalamnya atau secara mendalam. Kata mendalam,
artinya ingin mengetahui tentang objek yang tidak empiris). Lebih jelasnya
lihat: Heris Hermawan, Filsafat
Pendidikan Islam (Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI, 2012), 9.
[4] Al-Qur’an, 3:
191. Artinya: “yaitu orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau,
Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.
[5]W.J.S
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), 702. “Paulo freire, tokoh pendidikan
Amerika Latin mengatakan bahwa tujuan akhir dari proses pendidikan adalah
memanusiakan manusia (humanisasi)”.
[6] Hasil
konferensi
internasional pendidikan Islam pertama yang diselenggarakan oleh universitas
King Abdul Aziz di Jeddah, Saudi Arabia, tanggal 31 Maret sampai dengan 8 April
1977. Al-attas merupakan pemakalah utama didalamnya yang mengusung konsep ta’di>b dalam
pendidikan. lebih jelasnya, lihat: “Deliar Noer, Konferensi Pendidikan Islam se Dunia dalam Bunga Rampai dari Negeri
Kangguru (Jakarta: Panji Masyarakat, 1981), 115-130.”
[7]
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tuhan.
[8] Lihat al-Fa>tihah: 1, al-‘alaq: 1, al-Baqarah: 163 dan 255, dua kalimat syahadat: أشهد أن لا إله إلا الله al-naml: 26 (satu ayat
yang mencakup dua kata sekaligus yaituالله لا إله
إلا هو رب العرش العظيم
).
[9] Tim penyusun
silabus, ushu>l al-tarbiyyah wa al-ta’li>m, Vol. 1
(Ponorogo: Darussalam Press, 2007), 1. Lebih jelasnya lihat
al-isra>’: 24, al-shu’ara>’: 18.
[10] http://mediapaiku.blogspot.co.id/p/filasafat.html (artikel
diakses pada selasa 22 oktober 2015, pukul 22:00).
[11] Lihat Ali ‘Imra>n: 190-191.
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
yaitu orang-orang …”.
[12] Lihat al-Baqarah: 30 dan al-A’ra>f: 180.
[13] Lihat al-Kahfi: 84. Artinya: “Kami datangkan bagi setiap sesuatu dengan
adanya sebab”. Dalam bahasa modern dikenal dengan Kausalitas.
[14] Lihat al-Baqarah: 22 dan 29. Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang
ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya
tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”.
[15] Heris Hermawan,
Filsafat ..., 48.
[16] kbbi.web.id/manusia.
[17] Ibid. Heris, Filsafat ..., 53.
[18] Ibid.
[19] Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001), 21.
[20] Brian Fay, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, Vol. I
(Yogyakarta: Jendela, 2002), 69.
[21] Ahmad Tafsir
memasukan Bani Adam sebagai istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian
manusia. Meskipun kenyataannya menunjukan arti pada manusia, tetapi secara
khusus memiliki pengertian yang berbeda. Manusia dan Nabi pertama yang
diciptakan Allah Swt adalah Adam as dijuluki sebagai abu> al bashar (nenek moyang manusia). Lihat: Heris, Filsafat …, 54.
[22]
Menurut
konsep yang diusung oleh ibnu khaldun, manusia merupakan makhluq utuh yang
berdimensi jasmani dan rohani saja, sedangkan rohani tersebut telah mencakup
tiga unsur pokok yaitu: ru>h, ‘aql dan nafs. Lihat Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun “Kristis,
Humanis dan Religius” (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2012), 122.
[23] Dalam hal ini
terdapat Tiga jenjang yang distingtif dalam berfikir, yaitu al-‘aql al-tamyi>zi>, al-tajri>bi>
dan al-naz{ari>.
[24] Menurut ahli
psikologi terdapat tiga aspek didalamnya, yaitu: fisik (organisme), psikis
(hakikat) dan psikofisik (akhlaq/perbuatan).
[25] Ibid., 55.
[26] Lihat al-Ti>n: 4. Artinya: “sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
[27] Anas
Salahuddin, Filsafat …, 23.
[28] www.kemdikbud.go.id (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas).
[29] kbbi.web.id/alam.
[30] Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban
(Jakarta: Paramadina, 1992), 289.
[31] Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan Non Dikotomik (Yogyakarta: Gama
Media, 2002), 45.
[32] Lihat al-Dukha>n: 38-39. Artinya: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa
yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya
melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”.
[33] Hasan Basri, Filsafat … , 21-25.
[34] Dalam
konsep Islam (Timur), semua yang dipikirkan, dikehendaki, dirasakan dan
diyakini, membawa manusia kepada pengetahuan dan secara sadar menyusunnya ke
dalam sistem yang disebut Ilmu. Tetapi berbeda dengan konsep Barat, yang
mengelompokkan ilmu itu kepada tiga bagian, pertama: Sciences (ilmu-ilmu
kealaman, murni, biologi, fisika, kimia dam lainnya, kedua: Social Sciences
(ilmu-ilmu kemasyarakatan yang menyangkut perilaku manusia dalam interaksinya
dalam masyarakat, ketiga: The Humanities (humaniora) merupakan ilmu-ilmu
kemanusiaan yang menyangkut kesadaran akan perasaan kepribadian dan nilai-nilai
yang menyertainya sebagai manusia.
[35] Lihat al-Baqarah: 30, dan al-Ahza>b: 72. Artinya: “Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh”.
[36] Anas Salahudin, Filsafat ..., 105.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar