BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
masalah
Salah satu hal
mendasar yang membedakan bank kovensional dengan bank syariah adalah perbedaan
dalam pembayaran imbalan kepada pemilik dana (investor). Baik pembayaran
imbalan dari bank ke nasabah atau dari peminjam dana bank ke bank. Dalam
mekanisme perbankan konvensional pembayaran imbalan menggunakan instrumen
bunga, dimana besarnya imbalan telah ditetapkan diawal perjanjian. Sedangkan
mekanisme pembayaran imbalan diperbankan syariah adalah menggunakan instrumen
bagi hasil, yaitu imbalan yang diterima berdasarkan hsil usaha yang
diperoleh.saat ini Kebanyakan dari kaum muslimin hanya mengetahui sebatas itu
saja, tanpa mengetahui secara rinci bagaimana mekanisme dari sistem pembagian
hasi usaha bank syariah. Sehingga ketertarikan kaum muslimin untuk bertransaksi
dibank syariah pun kurang. Mereka menganggap hampir sama mekanisme bagi hasil
dalam Bank Syariah dan bunga dalam Bank Konvensional. Pemahaman seperti ini
haruslah diluruskan.Prinsip pendistribusian hasil usaha dalam Bank Syariah atau
lembaga Syariah Non-Bank telah ditetapkan oleh MUI. Dalam fatwa DSN No.
14/DSN-MUI/IX/2000 telah ditentukan cara pencatatan hasil usaha bank dan
Lembaga keuangan Syariah.
2.
Rumusan masalah
a.
Apa pengertian
revenue sharing ?
b.
Pola bagi hasil
menggunakan revenue sharing ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Revenue Sharing
Revenue Sharing berasal dari bahasa
Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue yang berarti; hasil,
penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kata kerja dari share yang
berarti bagi atau bagian.[1] Revenue
sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan. Revenue
(pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu
perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang
dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue)[2].
Dalam arti lain revenue merupakan
besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari
kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi
tersebut[3].
Di dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total
cost) dan laba (profit). Laba bersih (net profit) merupakan laba kotor (gross
profit) dikurangi biaya distribusi penjualan, administrasi dan keuangan[4].
Berdasarkan devinisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa arti revenue pada
prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam
kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang
ataupun jasa dikalikan dengan harga barang tersebut. Unsur yang terdapat di
dalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah dengan total
selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi
modal (capital) ditambah dengan keuntungannya (profit).
Berbeda dengan revenue di dalam arti
perbankan.Yang dimaksud dengan revenue bagi bank adalah jumlah dari penghasilan
bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun
titipan yang diberikan oleh bank[5]. Revenue pada perbankan Syari'ah adalah hasil
yang diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva
produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan
selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank. Perbankan
Syari'ah memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan istilah Revenue Sharing,
yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana
tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana.
B.
Pola bagi hasil
dengan revenue sharing
kad
berpola bagi hasil ( mudharabah dan musyarakah ) pada prinsipnya merupakan
suatu transaksi yang mengupayakan suatu nilai tambah ( added value )
dari suatu kerja sama antar pihak dalam memproduksi barang dan jasa.
Sumber: Buchori, et.al. (2004)
Skema transaksi Mudharabah dan musyarakah
Pada kontrak mudharabah pihak pemilik modal atau
shahibul mal (P) menyerahkan modal berupa uang sebesar pokok (Mu) untuk dikelola oleh pengusaha atau mudharib
(A). Dalam kontrak mudharabah, , pihak pemilik dana tidak berwenang untuk
melakukan intervensi pada proses pengambilan keputusan usaha. Dengan kata lain,
pemilik dana bersikap sebagai sleeping partner.
Kontrak musyarakah
hampir sama dengan kontrak mudharabah dengan dua perbedaan yaitu :
1.
Dalam transaksi
musyarakah, pihak pengusaha harus ikut serta dalam permodalan, dan
2.
Pihak pemilik
dana memiliki hak untuk melakukan intervensi dalam kegiatan usaha sesuai dengan
peran yang telah disepakati oleh kedua belah pihak pada saat kontrak pertama
kali di tanda tangani.
Dalam hal pembiayaan
kepada pihak pengusaha, banyak pihak berpendapat bahwa jenis transaksi
musyarakah bersifat superior terhadap transaksi mudharabah karena adanya
kesempatan bagi pemilik dana untuk melakukan pengawasan serta adanya kesempatan
bagi pemilik dana untuk melakukan pengawasan serta adanya kewajiban pihak
pengusaha untuk berpartisipasi dalam permodalan akan berpotensi menurunkan
intensitas moral hazard dlm melakukan usahanya.
Dalam perjanjian
kontrak bagi hasil, jumlah yang menjadi dasar pembagian dapat bervariasi:
berdasarkan profit (dan loss) atau revenue. Yang menjadi issue utama dalam
pemilihan tersebut adalah pengakuan atas biaya-biaya yang muncul pada proses
usaha ketika standarisasi akunting akan menjadi salah satu pertimbangan utama.
Pada situasi ketika standart akunting sudah dapat diterapkan secara baik,
penerapan profit and loss akan semakin mudah diterapkan. Sebaliknya, jika
standart akuntansi belumdapat di implementasikan dengan baik, maka ke dua belah
pihak akan berpotensi untuk menghadapi perselisihan akibat perbedaan persepsi
yang terjadi. Selain itu, pemilihan basis bagi hasil akan sangat tergantung
pada tingkat preferensi resiko dari pihak –pihak yang berkontrak.
Pada transaksi
berbasis revenue sharing, pendapatan pemegang modal hanya akan tergantung pada
tingkat ketidak pastian usaha sementara tingkat pendapatan bagi mudharib akan
tergantung pada tingkat ketidakpastian dari kondisi usaha serta biaya-biaya
yang timbul dalam proses realisasi kegiatan usaha tersebut. Dengan kata lain,
perjanjian dengan berbasis revenue sharing memiliki tingkat ketidakpastian/
resiko yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrak profit and loss sharing
jika dilihat dari kaca mata pemilik dana. Struktur biaya dan bagi hasil bagi
kedua jenis bentuk bagi hasil digambarkan dalam tabel .
Tabel. Bagi hasil untuk profit and loss sharing dan revenue
sharing
|
Profit
and loss sharing |
Revenue
sharing |
||
Pengusaha |
Pemilik
dana |
Pengusaha |
Pemilik
dana |
|
Penerimaan
kotor |
X |
X |
||
Biaya |
C |
C |
- |
|
Nisbah
bagi hasil |
a |
(1-a) |
B |
(1-b) |
Nilai
nominal bagi hasil |
A(X-C) |
(1-a)(X-C) |
(bX-C) |
(1-b)X |
Sumber: buchori, et.al.
(2004), diolah
Yang termasuk dalam
penerimaan kotor (X) adalah pendapatan operasi utama yang meliputi:
1.
Bagi hasil
(pendapatan dari pembiayaan bagi hasil)
2.
Margin
(pendapatan dari pembiayaan berpola jual beli)
3.
Sewa
(pendapatan dari pembiayaan berpola sewa) dan
4.
Pendapatan
lainnya ( dari penempatan pada SWBI, SIMA, dan sebagainya)
Sementara itu,
yang termasuk dalam biaya (C) adalah beban bagi hasil yang meliputi:
1.
Beban tenaga
kerja
2.
Beban adm
3.
Beban
penyusutan
4.
Beban
operasional lainnya.
Pemilik dana yang bersifat risk-averse
akan memilih bentuk kontrak revenue sharing dapat mereduksi risiko financial
walaupun masih memiliki tingkat return yang sama, karena nilai X selalu > 0, sedangkan nilai (X-C) bisa >
0 atau < 0. Artinya dengan revenue sharing pemilik
dana tidak pernah rugi (minimal bagi hasil =
0 tetapi modalnya utuh), sedangkan dengan profit and loss sharing
pemilik dana mengalami kerugian sampai sebatas modalnya.
Dalam muamalat islam, sebenarnya akad
mudharabah merupakan salah satu bentuk dari akad musyarakah. Bila dalam akad mudharabah
ditentukan bahwa penyertaan si pelaksana harus nihil, sehingga penyertaan si
pemodal harus 100%, maka dalam akad musyarakah tidak ditentukan seperti itu
sehingga yang terjadi adalah penyertaan dari dua orang pemodal.
Antara dua orang pemodal ini harus di
sepakati nisbah bagi hasil yang akan menjadi pedoman pembagian bila usaha
tersebut menghasilkan untung. Namun, bila usaha tersebut malah menimbulkan
kerugian, maka pemodal yang akan menanggung sesuai pernyataan modalnya.
Misalnya si A modal pernyertaannya 100 juta,sedangka si B 200juta, mereka
sepakat nisbahnya bagi hasilnya 50:50. Bila usaha mereka untung 10 juta, maka
masing-masing mendapat 5juta. Bila usaha mereka rugi 9 juta, maka si A menanggung
3juta dan si B menanggung 6 juta.
C.
Mekanisme Perhitungan Bagi Hasil
Belum adanya standar pola operasi yang
dikeluarkan oleh otoritas moneter menjadikan bank-bank syariah yang pada saat
ini sudah beroperasi melakukan adopsi atau menyusun pola operasi secara
sendiri-sendiri. Ketidakseragaman pola operasi yang diterapkan yang pada
akhirnya akan mempersulit otoritas moneter, pemilik dana serta bank yang
bersangkutan melakukan kontrol serta mengukur tingkat kepatuhan dan
keberhasilan dari usaha bank-bank tersebut. Berikut contoh cara menghitung bagi
hasil pada bank syari’ah:
a. Hitung saldo rata-rata harian sumber
dana sesuai klasifikasi dana yang dimiliki.
b. Hitung saldo rata-rata tertimbang
sumber dana yang telah tersalurkan ke dalam investasi dan produk-produk aset
lainnya.
c. Hitung total pendapatan yang diterima
dalam priode berjalan.
d. Alokasikan total pendapatan kepada
masing-masing klasifikasi dana yang dimiliki sesuai dengan data-data saldo
rata-rata tertimbang.
e. Perhatikan nisbah sesuai
dengan kesepakatan yang tercantum dalam akad.
f. Distribusikan bagi hasil sesuai nisbah kepada
pemilik dana sesuai klasifikasi dana yang dimiliki.
Rumus
Distribusi Pendapatan (RDP)
DP = (R/T) x P |
Di mana: R =
Saldo Rata-rata Tertimbang
T = Total
Rata-rata Tertimbang Per Klasifikasi Dana
P = Total
Pendapatan Yang Diterima Periode Berjalan
Umpama:
Saldo
rata-rata harian;]
- Simpanan mudarabah =
Rp 660.000.000,-
- Investasi mudarabah 01 =
Rp 1.000.000.000,-
- Investasi mudarabah 03 =
Rp 820.000.000,-
- Investasi mudarabah 06 =
Rp 320.000.000,-
- Investasi mudarabah 12 =
Rp 600.000.000,-
Total
saldo rata-rata harian Rp 3.400.000.000,-
Total
pendapatan = Rp 102.000.000,-
Maka distribusi
pendapatan untuk klasifikasi dana sebagai berikut:
Simpanan mudarabah
=
Rp 660.000.000,- : Rp 3.400.000.000,- x Rp 102.000.000,-
=
Rp 19.800.000,-
Investasi mudarabah 01
=
Rp 1.000.000.000,- : Rp 3.400.000.000,- x Rp 102.000.000,-
=
Rp 30.000.000,-
Investasi mudarabah 03
=
Rp 820.000.000,- : Rp 3.400.000.000,- x Rp 102.000.000,-
=
Rp 24.600.000,-
Investasi mudarabah 06
=
Rp 320.000.000,- : Rp 3.400.000.000,- x Rp 102.000.000,-
=
Rp 9.600.000,-
Investasi mudarabah 12
=
Rp 600.000.000,- : Rp 3.400.000.000,- x Rp 102.000.000,-
=
Rp 18.000.000,-
Sehuingga total
pendapatan yang didistribusikan sesuai dengan klasifikasi dana adalah sebesar
Rp 102.000.000,- dan jumlah ini akan dibagikan kepada nasabah pemilik dana (sahibul
maal) dan porsi bank sebagai pengelola dana (mudarib), berdasarkan
atas nisbah yang telah disepakati pada akad/perjanjian awal.
D. Mekanisme
perhitungan musyarakah
Paijo
Ramelan mempunyai modal Rp. 10.000.000, ingin membuat usaha pabrik tahu, tetapi
modalnya belum mencukupi. Paijo mendapat pembiayaan musyarakah dari bank
syariah sebesar Rp. 15.000.000. Jangka waktu 1 tahun, diangsur tiap bulan
beserta bagi hasil. Nisbah disepakati Paijo:BMT = 70% : 30%.
Angsuran
pokok per bulan = Rp. 15.000.000 : 12 = Rp. 1.250.000
Bulan
I
Keuntungan
pabrik tahu Rp. 2.000.000
Bagi
hasil untuk BMT = 30% x Rp. 2.000.000 = Rp. 600.000
Jadi
angsuran bulan I = Rp. 1.250.000 + Rp. 600.000 = Rp. 1.850.000
Yang
seperti contoh di atas tersebut disebut sebagai musyarakah menurun, artinya
bagian modal salah satu mitra menurun terus secara bertahap sampai pada waktu
yang ditentukan (dalam contoh di atas 1 tahun), salah satu mitra yang akan
memiliki usaha tersebut. Dalam contoh di atas, bagian modal BMT terus menurun
dari bulan ke bulan, karena sudah dikembalikan Paijo. Hingga nanti pada bulan
ke-12 ketika pembiayaan musyarakah Paijo lunas, BMT sudah tidak memiliki modal
(kepemilikan/kepesertaan) pada usaha pabrik tahu. Sehingga yang memiliki pabrik
tahu tinggal si Paijo saja.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa masalah kecilnya pembiayaan
bagi hasil merupakan masalah yang multi dimensi karena ada berbagai macam pihak
yang terkait, oleh karenanya masalah ini merupakan masalah bersama. Perlu
adanya kerja sama antara berbaga macam pihak yang terkait untuk meningkatkan
komposisi pembiayaan bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan di dalam
perbankan syari’ah terbagi kepada dua sistem, yaitu; pertama, profit sharing
yaitu sistem bagi hasil yang didasarkan pada hasil bersih dari pendapatan yang
diterima atas kerjasama usaha, setelah dilakukan pengurangan-pengurangan atas
beban biaya selama proses usaha tersebut. Kedua. revenue sharing adalah sistem
bagi hasil yang didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima
sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan
tersebut.
Di
dalam perbankan syari’ah Indonesia sistem bagi hasil yang diberlakukan adalah
sistem bagi hasil dengan berlandaskan pada sistem revenue sharing. Bank
syari’ah dapat berperan sebagai pengelola maupun sebagai pemilik dana, ketika
bank berperan sebagai pengelola maka biaya tersebut akan ditanggung oleh bank,
begitu pula sebaliknya jika bank berperan sebagai pemilik dana akan membebankan
biaya tersebut pada pihak nasabah pengelola dana.
[1]
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT.
Gramedia, 1995), Cet. ke-21
[2] Cristopher
Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta : Erlangga, 1994), Edisi
ke-2, h. 583
[3] Murasa
Sarkaniputra (Direktur Pusat Pengkajian dan Pengambangan Ekonomi Islam), surat
kepada Ketua Umum MUI, tentang fatwa MUI No.15/DSN-MUI/IX/2000, Tgl 18 Februari
2003
[4] Cristopher
Pass dan Bryan Lowes, Op.cit., h. 473
Tidak ada komentar:
Posting Komentar