Selasa, 04 Januari 2022

Makalah Revenue Sharing

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.        Latar belakang masalah

          Salah satu hal mendasar yang membedakan bank kovensional dengan bank syariah adalah perbedaan dalam pembayaran imbalan kepada pemilik dana (investor). Baik pembayaran imbalan dari bank ke nasabah atau dari peminjam dana bank ke bank. Dalam mekanisme perbankan konvensional pembayaran imbalan menggunakan instrumen bunga, dimana besarnya imbalan telah ditetapkan diawal perjanjian. Sedangkan mekanisme pembayaran imbalan diperbankan syariah adalah menggunakan instrumen bagi hasil, yaitu imbalan yang diterima berdasarkan hsil usaha yang diperoleh.saat ini Kebanyakan dari kaum muslimin hanya mengetahui sebatas itu saja, tanpa mengetahui secara rinci bagaimana mekanisme dari sistem pembagian hasi usaha bank syariah. Sehingga ketertarikan kaum muslimin untuk bertransaksi dibank syariah pun kurang. Mereka menganggap hampir sama mekanisme bagi hasil dalam Bank Syariah dan bunga dalam Bank Konvensional. Pemahaman seperti ini haruslah diluruskan.Prinsip pendistribusian hasil usaha dalam Bank Syariah atau lembaga Syariah Non-Bank telah ditetapkan oleh MUI. Dalam fatwa DSN No. 14/DSN-MUI/IX/2000 telah ditentukan cara pencatatan hasil usaha bank dan Lembaga keuangan Syariah.

 

2.        Rumusan masalah

a.       Apa pengertian revenue sharing ?

b.      Pola bagi hasil menggunakan revenue sharing ?

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Pengertian Revenue Sharing

Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue yang berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kata kerja dari share yang berarti bagi atau bagian.[1] Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan. Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue)[2].

Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut[3]. Di dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total cost) dan laba (profit). Laba bersih (net profit) merupakan laba kotor (gross profit) dikurangi biaya distribusi penjualan, administrasi dan keuangan[4]. Berdasarkan devinisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa arti revenue pada prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang ataupun jasa dikalikan dengan harga barang tersebut. Unsur yang terdapat di dalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah dengan total selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi modal (capital) ditambah dengan keuntungannya (profit).

Berbeda dengan revenue di dalam arti perbankan.Yang dimaksud dengan revenue bagi bank adalah jumlah dari penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh bank[5].  Revenue pada perbankan Syari'ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank. Perbankan Syari'ah memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan istilah Revenue Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana.

 

B.       Pola bagi hasil dengan revenue sharing

kad berpola bagi hasil ( mudharabah dan musyarakah ) pada prinsipnya merupakan suatu transaksi yang mengupayakan suatu nilai tambah ( added value ) dari suatu kerja sama antar pihak dalam memproduksi barang dan jasa.

 

 

                                                                                         

 

                                                                 

 

                                                                                                                                    

 

 

 

 

 

 

 

 

                          

Sumber: Buchori, et.al. (2004)

Skema transaksi Mudharabah dan musyarakah

          Pada  kontrak mudharabah pihak pemilik modal atau shahibul mal (P) menyerahkan modal berupa uang sebesar pokok (Mu)  untuk dikelola oleh pengusaha atau mudharib (A). Dalam kontrak mudharabah, , pihak pemilik dana tidak berwenang untuk melakukan intervensi pada proses pengambilan keputusan usaha. Dengan kata lain, pemilik dana bersikap sebagai sleeping partner.

          Kontrak musyarakah hampir sama dengan kontrak mudharabah dengan dua perbedaan yaitu :

1.        Dalam transaksi musyarakah, pihak pengusaha harus ikut serta dalam permodalan, dan

2.        Pihak pemilik dana memiliki hak untuk melakukan intervensi dalam kegiatan usaha sesuai dengan peran yang telah disepakati oleh kedua belah pihak pada saat kontrak pertama kali di tanda tangani.

          Dalam hal pembiayaan kepada pihak pengusaha, banyak pihak berpendapat bahwa jenis transaksi musyarakah bersifat superior terhadap transaksi mudharabah karena adanya kesempatan bagi pemilik dana untuk melakukan pengawasan serta adanya kesempatan bagi pemilik dana untuk melakukan pengawasan serta adanya kewajiban pihak pengusaha untuk berpartisipasi dalam permodalan akan berpotensi menurunkan intensitas moral hazard dlm melakukan usahanya.

          Dalam perjanjian kontrak bagi hasil, jumlah yang menjadi dasar pembagian dapat bervariasi: berdasarkan profit (dan loss) atau revenue. Yang menjadi issue utama dalam pemilihan tersebut adalah pengakuan atas biaya-biaya yang muncul pada proses usaha ketika standarisasi akunting akan menjadi salah satu pertimbangan utama. Pada situasi ketika standart akunting sudah dapat diterapkan secara baik, penerapan profit and loss akan semakin mudah diterapkan. Sebaliknya, jika standart akuntansi belumdapat di implementasikan dengan baik, maka ke dua belah pihak akan berpotensi untuk menghadapi perselisihan akibat perbedaan persepsi yang terjadi. Selain itu, pemilihan basis bagi hasil akan sangat tergantung pada tingkat preferensi resiko dari pihak –pihak yang berkontrak.

          Pada transaksi berbasis revenue sharing, pendapatan pemegang modal hanya akan tergantung pada tingkat ketidak pastian usaha sementara tingkat pendapatan bagi mudharib akan tergantung pada tingkat ketidakpastian dari kondisi usaha serta biaya-biaya yang timbul dalam proses realisasi kegiatan usaha tersebut. Dengan kata lain, perjanjian dengan berbasis revenue sharing memiliki tingkat ketidakpastian/ resiko yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrak profit and loss sharing jika dilihat dari kaca mata pemilik dana. Struktur biaya dan bagi hasil bagi kedua jenis bentuk bagi hasil digambarkan dalam tabel .

 

 

Tabel. Bagi hasil untuk profit and loss sharing dan revenue sharing

 

Profit and loss sharing

Revenue sharing

Pengusaha

Pemilik dana

Pengusaha

Pemilik dana

Penerimaan kotor

X

X

Biaya

C

C

-

Nisbah bagi hasil

a

(1-a)

B

(1-b)

Nilai nominal bagi hasil

A(X-C)

(1-a)(X-C)

(bX-C)

(1-b)X

 Sumber: buchori, et.al. (2004), diolah

 

          Yang termasuk dalam penerimaan kotor (X) adalah pendapatan operasi utama yang meliputi:

1.      Bagi hasil (pendapatan dari pembiayaan bagi hasil)

2.      Margin (pendapatan dari pembiayaan berpola jual beli)

3.      Sewa (pendapatan dari pembiayaan berpola sewa) dan

4.      Pendapatan lainnya ( dari penempatan pada SWBI, SIMA, dan sebagainya)

Sementara itu, yang termasuk dalam biaya (C) adalah beban bagi hasil yang meliputi:

1.      Beban tenaga kerja

2.      Beban adm

3.      Beban penyusutan

4.      Beban operasional lainnya.

       Pemilik dana yang bersifat risk-averse akan memilih bentuk kontrak revenue sharing dapat mereduksi risiko financial walaupun masih memiliki tingkat return yang sama, karena nilai X selalu  > 0, sedangkan nilai (X-C) bisa >  0 atau <   0. Artinya dengan revenue sharing pemilik dana tidak pernah rugi (minimal bagi hasil =  0 tetapi modalnya utuh), sedangkan dengan profit and loss sharing pemilik dana mengalami kerugian sampai sebatas modalnya.

       Dalam muamalat islam, sebenarnya akad mudharabah merupakan salah satu bentuk dari akad musyarakah. Bila dalam akad mudharabah ditentukan bahwa penyertaan si pelaksana harus nihil, sehingga penyertaan si pemodal harus 100%, maka dalam akad musyarakah tidak ditentukan seperti itu sehingga yang terjadi adalah penyertaan dari dua orang pemodal.

       Antara dua orang pemodal ini harus di sepakati nisbah bagi hasil yang akan menjadi pedoman pembagian bila usaha tersebut menghasilkan untung. Namun, bila usaha tersebut malah menimbulkan kerugian, maka pemodal yang akan menanggung sesuai pernyataan modalnya. Misalnya si A modal pernyertaannya 100 juta,sedangka si B 200juta, mereka sepakat nisbahnya bagi hasilnya 50:50. Bila usaha mereka untung 10 juta, maka masing-masing mendapat 5juta. Bila usaha mereka rugi 9 juta, maka si A menanggung 3juta dan si B menanggung 6 juta.

C.      Mekanisme Perhitungan Bagi Hasil

        Belum adanya standar pola operasi yang dikeluarkan oleh otoritas moneter menjadikan bank-bank syariah yang pada saat ini sudah beroperasi melakukan adopsi atau menyusun pola operasi secara sendiri-sendiri. Ketidakseragaman pola operasi yang diterapkan yang pada akhirnya akan mempersulit otoritas moneter, pemilik dana serta bank yang bersangkutan melakukan kontrol serta mengukur tingkat kepatuhan dan keberhasilan dari usaha bank-bank tersebut. Berikut contoh cara menghitung bagi hasil pada bank syari’ah:

a. Hitung saldo rata-rata harian sumber dana sesuai klasifikasi dana yang dimiliki.

b. Hitung saldo rata-rata tertimbang sumber dana yang telah tersalurkan ke dalam investasi dan produk-produk aset lainnya.

c. Hitung total pendapatan yang diterima dalam priode berjalan.

d. Alokasikan total pendapatan kepada masing-masing klasifikasi dana yang dimiliki sesuai dengan data-data saldo rata-rata tertimbang.

e. Perhatikan nisbah sesuai dengan kesepakatan yang tercantum dalam akad.

f. Distribusikan bagi hasil sesuai nisbah kepada pemilik dana sesuai klasifikasi dana yang dimiliki.

Rumus Distribusi Pendapatan (RDP)

DP = (R/T) x P

Di mana: R = Saldo Rata-rata Tertimbang

T = Total Rata-rata Tertimbang Per Klasifikasi Dana

P = Total Pendapatan Yang Diterima Periode Berjalan

Umpama:

Saldo rata-rata harian;]

- Simpanan mudarabah = Rp 660.000.000,-

- Investasi mudarabah 01 = Rp 1.000.000.000,-

- Investasi mudarabah 03 = Rp 820.000.000,-

- Investasi mudarabah 06 = Rp 320.000.000,-

- Investasi mudarabah 12 = Rp 600.000.000,-

Total saldo rata-rata harian Rp 3.400.000.000,-

Total pendapatan = Rp 102.000.000,-

Maka distribusi pendapatan untuk klasifikasi dana sebagai berikut:

Simpanan mudarabah

= Rp 660.000.000,- : Rp 3.400.000.000,- x Rp 102.000.000,-

= Rp 19.800.000,-

Investasi mudarabah 01

= Rp 1.000.000.000,- : Rp 3.400.000.000,- x Rp 102.000.000,-

= Rp 30.000.000,-

Investasi mudarabah 03

= Rp 820.000.000,- : Rp 3.400.000.000,- x Rp 102.000.000,-

= Rp 24.600.000,-

Investasi mudarabah 06

= Rp 320.000.000,- : Rp 3.400.000.000,- x Rp 102.000.000,-

= Rp 9.600.000,-

Investasi mudarabah 12

= Rp 600.000.000,- : Rp 3.400.000.000,- x Rp 102.000.000,-

= Rp 18.000.000,-

Sehuingga total pendapatan yang didistribusikan sesuai dengan klasifikasi dana adalah sebesar Rp 102.000.000,- dan jumlah ini akan dibagikan kepada nasabah pemilik dana (sahibul maal) dan porsi bank sebagai pengelola dana (mudarib), berdasarkan atas nisbah yang telah disepakati pada akad/perjanjian awal.

 

D.      Mekanisme perhitungan musyarakah

Paijo Ramelan mempunyai modal Rp. 10.000.000, ingin membuat usaha pabrik tahu, tetapi modalnya belum mencukupi. Paijo mendapat pembiayaan musyarakah dari bank syariah sebesar Rp. 15.000.000. Jangka waktu 1 tahun, diangsur tiap bulan beserta bagi hasil. Nisbah disepakati Paijo:BMT = 70% : 30%.

Angsuran pokok per bulan = Rp. 15.000.000 : 12 = Rp. 1.250.000

Bulan I

Keuntungan pabrik tahu Rp. 2.000.000

Bagi hasil untuk BMT = 30% x Rp. 2.000.000 = Rp. 600.000

Jadi angsuran bulan I = Rp. 1.250.000 + Rp. 600.000 = Rp. 1.850.000

Yang seperti contoh di atas tersebut disebut sebagai musyarakah menurun, artinya bagian modal salah satu mitra menurun terus secara bertahap sampai pada waktu yang ditentukan (dalam contoh di atas 1 tahun), salah satu mitra yang akan memiliki usaha tersebut. Dalam contoh di atas, bagian modal BMT terus menurun dari bulan ke bulan, karena sudah dikembalikan Paijo. Hingga nanti pada bulan ke-12 ketika pembiayaan musyarakah Paijo lunas, BMT sudah tidak memiliki modal (kepemilikan/kepesertaan) pada usaha pabrik tahu. Sehingga yang memiliki pabrik tahu tinggal si Paijo saja.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Dari pembahasan diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa masalah kecilnya pembiayaan bagi hasil merupakan masalah yang multi dimensi karena ada berbagai macam pihak yang terkait, oleh karenanya masalah ini merupakan masalah bersama. Perlu adanya kerja sama antara berbaga macam pihak yang terkait untuk meningkatkan komposisi pembiayaan bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari’ah terbagi kepada dua sistem, yaitu; pertama, profit sharing yaitu sistem bagi hasil yang didasarkan pada hasil bersih dari pendapatan yang diterima atas kerjasama usaha, setelah dilakukan pengurangan-pengurangan atas beban biaya selama proses usaha tersebut. Kedua. revenue sharing adalah sistem bagi hasil yang didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.

Di dalam perbankan syari’ah Indonesia sistem bagi hasil yang diberlakukan adalah sistem bagi hasil dengan berlandaskan pada sistem revenue sharing. Bank syari’ah dapat berperan sebagai pengelola maupun sebagai pemilik dana, ketika bank berperan sebagai pengelola maka biaya tersebut akan ditanggung oleh bank, begitu pula sebaliknya jika bank berperan sebagai pemilik dana akan membebankan biaya tersebut pada pihak nasabah pengelola dana.                       

 

 

 



[1] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia, 1995), Cet. ke-21

[2] Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta : Erlangga, 1994), Edisi ke-2, h. 583

[3] Murasa Sarkaniputra (Direktur Pusat Pengkajian dan Pengambangan Ekonomi Islam), surat kepada Ketua Umum MUI, tentang fatwa MUI No.15/DSN-MUI/IX/2000, Tgl 18 Februari 2003

[4] Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Op.cit., h. 473

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar