BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerangka ekonomi makro adalah Badan
Kebijakan Fiskal (BKF) Departemen Keuangan. Kerangka ekonomi makro ini
sebaiknya memiliki kredibilitas yang tinggi sehingga dapat digunakan oleh para
investor dalam memperkirakan kondisi perekonomian ke depan. Untuk meningkatkan
kredibilitas proyeksi, BKF mendiskusikan dan membandingkan proyeksi kerangka
ekonomi makro yang ada dengan proyeksi yang dihasilkan oleh institusi lain,
seperti Bank Indonesia (BI), Kementerian Negara PPN/Bappenas, Badan Pusat
Statistik (BPS), Menko Perekonomian, Departemen Energi Sumber Daya Mineral, dan
BP Migas. Berdasarkan kerangka ekonomi yang disepakati, akan ditinjau secara
periodik dan dituangkan dalam laporan pemutahiran proyeksi ekonomi makro.
Langkah selanjutnya adalah menyusun
kerangka ekonomi makro yang akan dibahas dalam sidang kabinet untuk
meningkatkan komitmen bersama anggota kabinet terhadap asumsi dasar ekonomi
yang ditetapkan untuk kemudian diajukan ke DPR dalam Pembicaraan Pendahuluan dengan
Panitia Anggaran DPR. Perkiraan asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan di
dalam pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran
berikutnya ke DPR, merupakan refleksi dari perkiraan prospek perekonomian
nasional secara keseluruhan pada tahun berjalan, yang dipengaruhi oleh
pencapaian kinerja ekonomi pada tahun sebelumnya, baik yang secara langsung
maupun tidak langsung berdampak pada perekonomian Indonesia. Indikator ekonomi
makro yang digunakan sebagai asumsi dasar ekonomi makro tersebut dapat
mengalami perubahan sesuai dengan kinerja perekonomian Indonesia dan berbagai
perkembangan kondisi perekonomian dunia terkini. Asumsi dasar ekonomi makro
memang sulit diperkirakan secara tepat dan akurat karena tingginya
ketidakpastian faktor-faktor yang mempengaruhinya. Namun demikian, pemerintah
senantiasa melakukan exercises dari waktu ke waktu dalam rangka mengantisipasi
pergerakan perkembangan asumsi dasar ekonomi makro.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa dan bagaimana
asumsi dasar APBN ?
2.
Apa saja indikator
ekonomi makro?
3.
Bagamana lifiting
minyak di Indonesia ?
4.
Apa dampak dampak
asumsi dasar APBN yang meleset ?
BAB I
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
atau disingkat dengan APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara
Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan
terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu
tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan
Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.
Setiap tahun pemerintah menyusun APBN.
Landasan hukum serta tata cara penyusunan APBN terdapat di dalam UUD 1945 Pasal
23 ayat 1, 2 dan 3. Pada pasal 23 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa “Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)sebagai wujud dari pengelolaan keuangan
Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara
terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besanya kemakmuran rakyat”. Pada pasal 23 ayat 2 disebutkan bahwa “Rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara diajukan oleh Presiden
untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Daerah”. Pada pasal 23 ayat 3 disebutkan “apabila DPR tidak menyetujui
RAPBN yang diusulkan Presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun lalu”.
Setelah APBN ditetapkan dengan Undang-Undang,
pelaksanaan APBN dituangkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Berdasarkan perkembangan, di tengah-tengah
berjalannya tahun anggaran, APBN dapat mengalami revisi/perubahan. Untuk
melakukan revisi APBN, Pemerintah harus mengajukan RUU Perubahan APBN untuk
mendapatkan persetujuan DPR. Dalam keadaan darurat (misalnya terjadi bencana
alam), Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya. Selambatnya 6 bulan setelah
tahun anggaran berakhir, Presiden menyampaikan RUU tentang Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBN kepada DPR berupa
Laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
·
Tujuan penyusunan APBN adalah :
sebagai
pedoman pengeluaran dan penerimaan negara agar terjadi keseimbangan yang dinamis dalam rangka
melaksanakan kegiatan-kegiatan kenegaraan demi tercapainya peningkatan
produksi, peningkatan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
serta pada akhirnya ditujukan untuk tercapainya masyarakat adil dan makmur
material maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[1]
Kebijakan ekonomi makro Indonesia pada dasarnya merupakan kesinambungan
dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini mengingat bahwa konsistensi kebijakan
sangat diperlukan dalam mencapai sasaran pembangunan, baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Oleh karena itu kebijakan ekonomi makro tersebut
ditujukan untuk memperkuat fundamental ekonomi yang sudah membaik dan
mengantisipasi berbagai tantangan baru yang mungkin timbul. Tantangan dan
sasaran kebijakan ekonomi. akro tersebut adalah menjaga stabilitas ekonomi dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang didasarkan atas peningkatan kualitas dan
kinerja perekonomian.
Asumsi ekonomi makro digunakan sebagai dasar penyusunan besaran-besaran dalam APBN, baik pendapatan, belanja, maupun pembiayaan.
Selain itu, asumsi ekonomi makro juga penting kaitannya dengan penyusunan
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium
Term Expenditure Framework) berdasarkan perhitungan prakiraan maju (forward estimate) yang
dihitung dari besaran asumsi ekonomi makro dalam APBN.
Pertumbuhan ekonomi
erat kaitannya dengan pertambahan jumlah output yang dihasilkan dalam suatu
negara. Tingkat perumbuhan ekonomi yang dihitung dari Produk Domestik Bruto
(PDB) Gross Domestic Product
(GDP) juga penting untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu negara melalui
pendapatan per kapita. Dengan ditentukannya pertumbuhan ekonomi, maka akan
didapat besaran yang dapat digunakan sebagai indikator pengambilan kebijakan
dalam APBN.
Stabilitas perekonomian merupakan prasyarat yang
sangat mendasari bagi para pelaku ekonomi. Oleh karena itu diperlukan
pertumbuhan dengan kualitas yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi yang baik
dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja sehingga dapat mengurangi penduduk
miskin. Sementara itu pertumbuhan ekonomi yang dicapai dalam tahun sebelumnya
dipandang masih moderat dibandingan dengan masa-masa sebelum krisis.
Pertumbuhan tersebut masih didukung oleh relatif tingginya kontribusi konsumsi,
sedangkan dukungan sumber-sumber ekonomi produktif seperti investasi dan ekspor
masih harus dioptimalkan.[2]
B. ASPEK-ASPEK TERKAIT APBN
1. Aspek teoritis ( Agenor et al, 1999 )
Pola
dari government budget ( kebijakan fiskal ) cenderung berbeda antara Negara
maju dengan Negara berkembang. Tidak seperti Negara maju, pemerintahan dinegara
berkrmbang ( termasuk Indonesia ) umumnya , mengambil peran aktif non-finance.
Kebijkan dibidang non finance biasanya dilaksanakan oleh institusi dari
pemerintah, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga-lembaga yang
khusus dibentuk untuk menangani sektor tertentu, dan badan usaha milik Negara (
BUMN ) non-finance. Dan kebijakan ini berdampak terhadap fiskal stance dari
Negara tersebut.
Untuk
kebijakan dibidang finance, hal ini biasanya dilakukan melalui BUMN non bank.
Kebijakan dibidang finance memiliki dampak kepada neraca moneter dan neraca
pembayaran. Dari sisi teori hubungan antara fiscal ( yang cenderung defisit )
dan moneter ( yang diwakili oleh base monay dan tingkat inflasi ) serta maraca
pembayaran ( dimana defisit neraca perdagangan hampir selalu ditutup oleh
suplus neraca transaksi yang berjalan ) selalu menjadi bahan perdebatan oleh
dua golongan mainstream yakni : mereka
adalah golongan monetaris yang juga dikenal kaum “ orthodox “ dan golongan
skulturalis. Golongan pertama yang dianggap sebagai penganut market mechanism,
berpendapat bahwa dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi dapat terlaksana
melalui free trade dan non intervensionist domestic policy ( karena kebijakan intervensi
justru akan menimbulkan distori alokasi sumber daya ).
Interversi
pemerintah diperlukan dalam konsi jangka waktu pendek saja dimana tingginya
tingkat inflasi ( di Negara berkembang relatif terhadap negara maju ) Inflasi erat kaitannya dengan kesejhteraan
dan pendapatan riil masyarakat. Jika terjadi inflasi yang persentasenya lebih
tinggi daripada kenaikan pendapatan nominal, maka kesejahteraan masyarakat akan
turun. Pemerintah perlu memperhatikan tingkat inflasi dalam penyusunan APBN.
Ketika terjadi inflasi dan harga barang-barang secara umum naik, maka
diperlukan lebih banyak anggaran dalam APBN. dan
defisit neraca pembayaran, yang timbul sebagai akibat excessive demand for
money yang dibiayai oleh defisit fiskal, perlu ditangani melalui kebijakan
tight fiscal and money policies dalam bentuk penurunan defisit fiskal dan
kenaikan suku bunga dalam negeri. Golongan kedua yakni strukturalis dapat
dibagi menjadi dua yakni:
·
Early
stricturalist dan
Berpendapat bahwa rendahnya tingkat elastisitas pendapatan atas
permintaan terhadap bahan mentah relatif terhadap barang industri, akan
menurunkan trems of trade negara
berkembang exsportir barang jadi.
·
New
structuralist.
( melalui penelitian bahwa tight fiscal and monetary policies
justru dalam jangka pendek akan menciptakan stagflasi, atau stagnasi dan
inflasi, tanpa menurunkan defisit neraca pembayaran ).
Pengalaman negara berkembang dan hasil penelitian menunjukan bahwa outward
orientation dan more market mechanism memberikan hasil yang lebih baik sebagai
kebijakan jangka panjang, relatif terhadap inward orientation dan too much
ontertention. Pada saat yang sama, defisit fiskal memang merupakan salah satu
sumber internal dan tingginya steady-state inflation. Namun demikian,
persistance dari defisit fiskal dapat saja terjadi akibat macroeconimic
instability yang bersumber dari distrib utional conflict.
Bagian berikut membahas hubungan antara
kebijakan fiskal, moneter dan neraca pembayaran dengan menggunakan kombinasi
dari kedua mainsteram diatas, dimana kebijakan fiskal lebih ditekankan pada
kebijakan yang bersifat defisit. Dengan berbagai asumsi lain antara lain bentuk
perekonomian yang sifatnya terbuka, kecendrungan sebagai capital inporter,
relatif besarnya debs services, masih besarnya peran pemerintah relatif
terhadap swasta dan rumah tangga, dan yang paling penting adalah komposisi data
time series anggaran belanja negara yang lebih banyak. Aspek ekonomis ( Agenor
et al 1999; Blanchard et al, 1989; Torsten et al, 1994 ).
Aspek fiskal APBN secara ekonomis terutama
berfokus pada:
a.
Pola perhitungan
Kebijakan
fiskal pada prinsipnya adalah pengelolaan penerimaan dan pengeluaran negara.
Apabila pengeluara lebih besar dari penerimaan, maka berarti pemerintah
melaksanakan kebijakan defisit anggaran belanja. Dengan kata lain terjadi Gap
dalam anggaran pemerintah. Gap ini dapat dibiayai melaui berbagai sumber, yakni
antara lain melalui penerbitan surat berharga di dalam negeri, atau meminjam
dari bank sentral. Sudah pasti pembiayaan seperti ini akan menimbulkan beban
baru, yakni beban bunga atas berbagai pinjaman diatas, dimana beban ini akan
memperbesar Gap yang sudah ada. Dengan demikian, bugdet identity dari keuangan
negara adalah sebagai berikut : total pinjaman ( dari bank sentral, dari surat
berharga dalam negeri, dan dari pinjaman pemerintah ditambah dengan beban bunga
pinjaman.
Berdasarkan
bugdet identity diatas, ada beberapa konsep defisit anggaran belanja
pemerintah, disebut pertama adalah selisih pengeluaran dan penerimaan, disebut
dengan defist primer . konsep kedua adalah defisit primer ditamabah dengan
beban bunga pinjaman. Disebut dengan defisit konvensional dikurangi dengan
komponen inflasi dan bunga pinjaman dalam negeri, disebut sebagi oprasional
defisit.
Disisi lain,
tingkat suku bunga sektor informal ( apabila ada ) yang cenderung memiliki risk
premi yang tinggi ( karena kekhawatiran akan terjadi default disektor tersebut
), apabila digunakan dalam perhitungan anggaran pemerintah akan menyebabkan
defisit menjadi overestimed. Hal lain yang sering dihadapi oleh negara
berkembang adalah pelaksanaannya quasi fiscal oleh bank sentral, antara lain
nilai pajak implist atas nilai tukar.
Disini terjadi
apabila bank sentral membeli valuta asing kepada exsportir dengan kurs yang
lebih rendah relatif terhadap importir. Sebaliknya implist subsidi terjadi
apabila bank sentral menjual valuta asing pada sektor tertentu dengan kurs
lebih rendah relatif terhadap kurs yang dibayar terhadap exsportir. Berbagai
bentuk quasi fiscal juga dilaksanakan oleh beberapa bank sentral, antara lain : pemberian preferential credits, dan pemberian
pinjaman darurat terhadap sistem keuangan atau industri lain yang menghadapi
persoalan likuiditas atau solvabilitas.
Quasi fiscal
merupakan aktivitas anggaran sehingga layak dimasukkan kedalam penghitungan
defisit fiskal sektor publik. Tidak
dimasukkannya quasi fiskal, baik yang dilaksanakan oleh bank sentral maupun
badan pemerintahan lainnya, kedalam perhitungan consolidated public sentor
bugdet, akan menyebabkan terdistorsinya pperhitungan anggaran pemerintah.
Memang ada beberapa masalah yang akan dihadapi dalam penggabungan tindakan
quasi fiskal, antara lain perbedaan sistem akuntasi antara pemerintah dan bank
sentral.
b.
Seignorage dan perpajakan
Seignorage merupakan pajak implisit yang sering diterapkan
pemerintah. Pada prinsipnya, jika pemerintah membiayai defisit melalui
penciptaan atau percetakan uang masyarakat akan menyerap dana tersebut untuk
menutupi inflasi yang menggerogoti uangnya. Total uang dengan tambahan uang
tersebut seharusnya tidak berubah karena terdapat faktor inflasi. Tambahan yang
dipakai pemerintah untuk membiayai defisit ini disebut sebagai inflation tax
revenue. Inflation tax revenue diperoleh dari inflasi dikalikan dengan real
money base.
Kondisi dimana seignorage sama dengan inflation tax akan tercapai pada
stationary state. Sepanjang tingkat inflasi dapat ditetapkan secara optimal
oleh pemerintah, maka inflation tax sebagai sumber penting dari penerimaan
pemerintah dapat pula dioptimalkan. Selama sumber penerimaan negara-negara
berkembang seperti pajak belum dapat diandalkan, pemerintah cenderung
menggunakan inflation tax. Kencenderungan ini terjadi mengingat antara lain
basis pajak disebagaian besar negara berkembang masih belum memadai, tax
evasion masih banyak terjadi, admidtrasi pengelolaan pajak masih lemah serta
tidak efisien, Dan mayoritas penduduk tergolong kedalam penduduk berpendapatan
menengah ke bawah/
Penelitian menunjukan bahwa rendahnya tingkat efisiensi pengelolaan
pajak cenderung akan mendorong kenaikan inflation tax. Sebaliknya, kenaikan
tingkat efisiensi pengelolaan pajak akan mengurangi ketergantungan pemerintah
atas inflation tax sebagai sumber utama penerimaan. Penelitian lain juga
menunjukan bahwa faktor politik, misalnya ( tingkat kompetensi dari pengelola
keuangan negara )., dan tingkat keterbukaan atas perdagangan internasional,
juga memiliki dampak terhadap tingkat efisiensi pengelolaan pajak.
Dengan kata lain selain faktor struktural dan adminitratif,
ketertutupan dan ketidakstabilan politik akan berdampak terhadap tingkat efisisensi
pengelolaan pajak sehingga pemerintah dinegaraa yang mengalami hal diatas akan
lebih bergantung pada penerimaan dan inflation tax.[3]
Aspek Moneter
Dari sisi moneter kajian difokuskan pada:
a.
Dampak
fiskal terhadap inflasi
Penelitian menunjukan bahwa di beberapa negara berkembang, dalam
jangka panjang, fiskal defisit berdampak terhadap tingkat inflasi. Satu dan
lain karena bank sentral cenderung membiayai pengeluaran pemerintah melalui
pencetakan uang. Dalam jangka pendek, sepanjang defisit lebih banyak dibiayai
oleh surat berharga di bandingkan dengan pencetakan uang, kenaikan defisit
cenderung tidak inflatoir (meskipun kebijakan tersebut dibatasi oleh solvency
constraint, yakni kemampuan pemerintah dimasa mendatang untuk membaayar
kembali).
Selain itu,
korelasi antara defisit fiskal dan tingkat inflasi cenderung rendah sepanjang
ekspektasi lambat untuk adjusted, atau sebagai akibat dari adanya staggered wage contracts dimana hal
ini akan melambat laju inflasi dalam
perekonomian. Beberapa penelitian lain menunjukan hubungan antara kebijakan fiskal dan tingkat
inflasi melalui expectational effects yang dikaitkan dengan persepsi
arah kebijakan pemerintah dimasa mendatang. Apabila pemerintah pada periode ini
melaksanakan kebijakan fiskal defisit, pelaku ekonomi dapat saja berasumsi
bahwa pemerintah pada periode berikutnya akan menekan fiskal defisit melalui
kebijakan kenaikan harga (yang akan menggerus nilai nominal dari hutang
pemerintah).
Dalam hal ini,
tingkat inflasi pada periode ini (yang merupakan cerminan dari ekspektasi
kenaikan harga dimasa mendatang) akan meningkat. Pada periode berikutnya,
apabila pelaku ekonomi berasumsi bahwa pemerintah akan melaksanakan program
penurunan defisit yang credible, maka ekspektasi akan inflasi akan
menurun sehingga inflasi pada periode ini (lagi-lagi cerminan dari ekspektasi
dari perilaku inflasi di periode berikutnya) akan menurun.
b.
Dampak
fiskal dan tingkat bunga
Secara teoritis, di negara dimana sistem keuangannya relatif sudah
maju dan tingkat bunganya ditentukan oleh pasar apabila pembiayaan fiskal lebih
banyak bersumber dari pinjaman dalam negeri (melalui penerbitan surat hutang
negara), setiap gerakan dalam anggaran belanja pemerintah akan memiliki dampak
relatif besar terhadap tingkat bunga didalam negeri, makin besar kemungkinan
akan terjadi default dan makin rendah tingkat kepercaayaan pelaku pasar
terhadap sustainability dari fiscal stance.
Hal ini selanjutnya akan mendorong kenaikan tingkat bunga sehingga
dapat menimbulkan destabilisasi. Berbagai penelitian secara empiris akan hal
ini tidak memberikan hasil yang significant. Lemahnya hubungan antara
defisit fiskal dan tingkat bunga mungkin terjadi karena adanya intervensi dari
bank sentral atas tingkat bunga sehingga tingkat bunga yang digunakan tidak
mencerminkan tingkat bunga yang seharusnya.
Kemungkinan lain adalah faktor ekspektasi dari pelaku pasar dimana
apabila pelaku pasar memperkirakan (dengan tingkat akurasi tinggi) bahwa
pengeluaran akan meningkat, tingkat bunga pasar sudah bergerak terlebih dahulu,
sehingga pada saat pengeluaran betul-betul meningkat, efeknya sudah tidak ada
lagi. Faktor ekspektasi ini juga dapat dikaitkan dengan reaksi pelaku pasar
terhadap kombinasi kebijakan yaang akan dilaksanakan oleh pemerintah.
Apabila pemerintah melaksanakan defisit fiskal (baik melalui
penurunan pajak ataupun peningkatan pengeluaran) yang dibiayai dengan
penerbitan surat berharga pemerintah selama satu periode dan pada periode
berikutnya akan menutup defisit tersebut baik melalui peningkatan pajak ataupun
melalui money finence, maka ekspektasi tingkat inflasi pada periode ini
akan naik yang langsung tercermin dalam kenaikan tingkat bunga nominal. Hal ini
akan mendorong pelaku pasar untuk menggunakan uangnya membeli surat berharga,
sehingga tingkat bunga riil turun. Dengan kata lain, tergantung dari jenis
kebijakan fiskal yang dipilih dan tingkat ekspektasi pelaku pasar, defisit
fiskal dapat saja menurunkan tingkat bunga riil.
Dari sisi lain, tanpa faktor ekspektasi dengan tingkat bunga yang relatif
flexible, defisit fiskal yang sebagian besar dibiayai melalui pasar kredit
domestik akan mendorong naiknya tingkat bunga riil. Hal ini akan menurunkan
investasi swasta dan selanhutnya menekan total output. Apabila sistem ekonomi
yang dianut adalah repressive dimana pemerintah mengatur tingkat bunga, maka
hal diatas akan menimbulkan efek crowding out melalui alokasi kredit
perbankan yang tidak merata.
Dalam hal pasar kredit informal memiliki peran dalam perekonomian,
ketatnya kredit formal akan mendorong
debitor untuk beralih ke pasar informal sehingga tingkat bunga di pasar
informal tersebut cenderung akan naik. Bila biaya transaksi berperan besar
dalam penentuan harga, hal diatas akan mendorong naiknya tingkat inflasi.
Dengan demikian, dalam kondisi tertentu (antara lain perekonomian yang repressive
dan besarnya peran pasar informal), defisit fiskal dapat saja mendorong
kenaikan inflasi dan menekan tingkat output.
Dampak negatif dari defisit fiskal ini dapat dihindari sepanjang
kenaikan pengeluaran pemerintah tersebut digunakan untuk investasi publik,
dimana investasi swasta dan investasi publik merupakan barang pelengkap (saling
melengkapi), bukan substitusi. Dengan kata lain, dampak dari defisit fiskal,
apakah negatif atau positif, kembali tergantung kepada sumber pembiayaannya dan
tujuan dari pengeluarannya (komposisinya).
Aspek Neraca Pembayaran
Sepanjang net private saving given, dimana kesempatan untuk
meminjam dari publik di dalam negeri sangat terbatas, kebijakan fiskal harus di
biayai melalui pinjaman luar negeri sehingga akan berdampak terhadap neraca
transaksi berjalan atau current account. Dalam hai ini, defisit fiskal
akan mendorong timbulnya defisit neraca transaknsi berjalan. Faktor ekspektasi juga
dapat menetukan keterkaitan antara defisit fiskal dengan neraca transaksi
berjalan. Katakanlah pemerintah pada periode ini melaksanakan kebijakan defisit
fiskal yang dibiayai melalui penerbitan obligasi.
Apabila pelaku ekonomi berasumsi bahwa pemerintah pada periode
berikutnya akan menutup defisit tersebut melalui tax finance regime, pelaku
ekonomi akan menganggap bahwa telah terjadi defisit pada neraca transaksi
berjalan. Sebaliknya, apabila pelaku ekonomi berasumsi bahwa pemerintah pada
periode berikutnya akan menutup defisit melalui money finance atau seignorage
regime, maka pelaku ekonomi akan menganggap bahwa telah terjadi surplus
pada neraca transaksi berjalan. Istilah twin deficit dengan
demikian timbul karena pelaku ekonomi berasumsi
bahwa pemerintah akan meningkatkan pajak pada periode berikutnya untuk menutup
defisit pada periode ini.
Berdasarkan Ricardian Equivalence, defisit fiskal tidak terkait
dengan defisit neraca transaksi berjalan. Sepanjang ada debt neutrality, penurunan
defisit melalui kenaikan pajak dampaknya bukan pada neraca transaksi berjalan,
namun pada penurunan tabungan swasta dalam jumlah yang sama. Penurunan
pengeluaran pemerintah yang bersifat permanen hanya akan menaikkan konsumsi
masyarakat, bukan pada neraca transaksi berjalan. Namun berbagai penelitian
menunjukan bahwa debt neutrality seringkali tidak berlaku sehingga
Ricardian Equavalence dalam hal ini relatif tidak valid.
Kritik terhadap Rricardian Equavalence antara lain timbul dimana
tidak selalu defisit fiskal akan ditutup dengan kenaikan pajak. Dapat saja di
masa mendatang pemerintah menekan pengeluaran. Selain itu kenaikan pajak
(apabila memang dilaksanakan pemerintah untuk menutup defisit periode ini)
dapat dilaksanakan kapan saja, tidak harus pada periode berikutnya mengingat
kenaikan pajak sering kali memiliki dampak politis yang tinggi.
Aspek Akuntabilitas (Premchand, 1983)
Aspek akuntabilitas dari
fiskal lebih banyak dikaitkan dengan proses politik dari budgeting. Faktor
legislator sebagai bagian dari sistem politik sangat berperan dalam hal ini.
Aspek akuntabilitas secara umum terkadang di dalam prinsip-prinsip sistem
penganggaran, seperti unity (seluruh transaksi pemerintah yang comprehend),
regularity (anggaran disampaikan setiap tahun secara reguler), accuracy
(estimasi penerimaan dan pengeluaran diketahui oleh legislator), clarity (isinya
jelas dan dapat dimengerti public dan legislator), publicity (seluruh
informasi disampaikan), dan operationally adequate (memadai sebagai alat
administrasi pemerintah).
C. ASUMSI DASAR
APBN
Mengingat
peranan pemerintah yang cukup besar sebagai regulator perekonomian, kebijakan
fiskal pemerintah pada gilirannya juga akan mempengaruhi besaran-besaran asumsi
dasar ekonomi makro. Dengan demikian, besaran-besaran dasar ekonomi makro yang
digunakan sebagai langkah awal untuk menghitung besaran APBN sudah
mempertimbangkan rencana kebijakan fiskal yang akan diambil pemerintah.
Lembaga yang
bertanggung jawab menyusun kerangka ekobomi makro adalah Badan Kebijakan Fiskal
(BKF), departemen keungan. Kerangka ekonomi makro ini sebaiknya memiliki
kredibilitas yang tinggi sehingga dapat digunakan oleh para investor dalam
memperkirakan kondisi perekonomian kedepan. Untuk meningkatkan kredibilitas
proyeksi, BKF mendiskusikan dan membandingkan proyeksi kerangka ekonomi makro
yang ada dengan proyeksi yang dihasilkan oleh institusi lain, seperti Bank
Indonesia (BI), Kementrian Negara PPN atau Bappenas, badan pusat statistik
(BPS), Menko perekonomian, Departemen Energi Sumber Daya Mineral, dan BP Migas.
Berdasarkan
kerangka ekonomi yang disepakati, akan
ditinjau secara periodik dan dituangkan dalam laporan pemutahiran proyeksi
ekonomi makro. Langkah selanjutnya adalah menyusun kerangka ekonomi makro yang
akan dibahas dalam sidang kabinet untuk meningkatkan komitmen bersama anggota
kabinet terhadap asumsi dasar ekonomi yang ditetapkan yang kemudian diajukan ke
DPR dalam pembicaraan pendahuluan dengan panitia Anggota DPR.
Perkiraan
asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan didalam pokok-pokok kebijakan fiskal
dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya ke DPR, merupakan refleksi
dari perkiraan prospek perekonomian nasional secara keseluruhan pada tahun
berjalan, yang dipengaruhi oleh pencapaian kinerja ekonomi pada tahun
sebelumnya, baik yang secara langsung maupun yang tidak langsung berdampak pada
perekonomian indonesia.
Indikator
ekonomi makro yang digunakan sebagai asumsi dasar ekonomi makro tersebut dapat
mengalami perubahan sesui dengan kinerja perekonomian indonesia dan berbagai
perkembangan kondisi perekonomian dunia terkini. Asumsi dasar ekonomi makro
memang sulit diperkirakan secara tepat dan akurat karena tinggi nya ketidak pastian
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Namun demikian, pemerintah senantiasa
melakukan exercises dari waktu kewatu dalam rangka mengantisipasi pergerakan
perkembangan asumsi dasar ekonomi makro.[4]
Pada laporan APBN, termasuk pula pada R-APBN dicantumkan
indikator-indikator perekonomian yang dijadikan sebagai asumsi APBN.
Indikator-indikator ekonomi tersebut menandakan hasil dari proses perancangan
APBN yang disesuaikan dengan perkiraan atau harapan kondisi ekonomi pada
periode diberlakukannya APBN. Pemerintah menjalankan fungsi fiskal yang
didalamnya terdapat aktivitas untuk menghimpun pendapatan melalui pemungutan
seperti pajak, cukai, dan jenis pungutan lainnya, serta melakukan aktivitas
belanja pemerintah yang nantinya akan berdampak kepada perekonomian nasional.
Ada 3 macam asumsi dasar dalam pengelolaan APBN, yaitu asumsi makro
ekonomi, asumsi moneter, dan asumsi energi. Asumsi makro ekonomi terdiri atas
asumsi pertumbuhan ekonomi, asumsi Produk Domestik Bruto (PDB), dan asumsi
inflasi. Asumsi moneter menggunakan tingkat suku bunga pada Sertifikat Bank
Indonesia atau SBI dan kurs mata uang Rupiah terhadap US Dollar. Sedangkan
untuk asumsi energi menggunakan harga minyak dunia dan produksi minyak dalam
barel per hari. Keseluruhan asumsi-asumsi tersebut merupakan perkiraan dan
sekaligus espektasi yang dibuat oleh pemerintah. Asumsi-asumsi tersebut dipergunakan
ketika melakukan perencanaan atas sejumlah aktivitas pemerintah seperti
pemungutan pajak, belanja pegawai/modal, pengeluaran untuk sejumlah program
kesejahteraan, pemberian subsidi, dan aktivitas-aktivitas pemerintah lainnya.
Asumsi-asumsi ekonomi yang digunakan dalam APBN tidak selalu sesuai dengan
perkiraan. Misalnya, akibat memburuknya kondisi perekonomian di Eropa ataupun
gejolak politik di Timur Tengah menyebabkan terkoreksinya beberapa
asumsi-asumsi seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, ataupun harga minyak dunia.
Pemerintah dapat melakukan koreksi ulang atas asumsi-asumsi APBN dan atau dapat
pula melakukan koreksi atas pos-pos anggaran di dalam APBN. Penyesuaian atas
koreksi asumsi-asumsi tersebut nantinya akan dituliskan ke dalam APBN Penyesuaian
atau APBN-P.
Mengapa indikator ini mencadi asumsi:
1. Produk Domestik Bruto (PDB) dalam rupiah
Produk domestik
bruto (PDB) adalah nila i pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh
suatu negara pada periode tertentu. PDB merupakan salah satu metode untuk
menghitung pendapatan nasional.
PDB diartikan sebagai
nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah
tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per tahun). PDB hanya menghitung
total produksi dari suatu negara tanpa memperhitungkan apakah produksi itu
dilakukan dengan memakai faktor produksi dalam negeri atau tidak. Sebaliknya,
PNB memperhatikan asal usul faktor produksi yang digunakan.
PDB
Nominal merujuk kepada nilai PDB tanpa memperhatikan pengaruh harga.
Sedangkan PDB riil (atau disebut PDB Atas Dasar Harga Konstan) mengoreksi angka
PDB nominal dengan memasukkan pengaruh dari harga. PDB dapat dihitung dengan
memakai dua pendekatan, yaitu pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan.
Rumus umum untuk PDB dengan pendekatan pengeluaran adalah:
PDB = konsumsi + investasi + pengeluaran
pemerintah + (ekspor - impor)
Dimana konsumsi adalah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, investasi oleh sektor usaha, pengeluaran pemerintah oleh pemerintah, dan ekspor dan impor melibatkan sektor luar negeri. Dengan mengetahui keadaan PDB
sekarang, kita bisa memprediksikan dan menargetkan PDB pada tahun yang akan
datang.
2. Pertumbuhan ekonomi tahunan
Pertumbuhan
ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara
berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu.
Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas
produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan
nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan
pembangunan ekonomi.
3. Inflasi
Inflasi adalah
suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu)
berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di
pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat
adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga
merupakan proses menurunnya nilaimata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan
tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi
belum tentu menunjukan inflasi.
Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat
perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara
terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Stabilnya inflasi membuat harga
barang menjadi terkontrol akibatnya daya beli masyarakat akan meningkat.
4. Nilai tukar rupiah per USD
Nilai rupiah pada
tahun ini di hargai berapa dalam pasar internasional. Agar transaksi internaisonal
kita, yang membutuhkan nilai dolar bisa stabil.
5. Suku bunga SBI 3 bulan (%)
Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem diskonto/bunga. SBI merupakan salah satu mekanisme yang digunakan Bank Indonesia untuk
mengontrol kestabilan nilaiRupiah. Dengan menjual SBI, Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan
SBI ditentukan oleh mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang. Sejak awal Juli
2005, BI menggunakan mekanisme "BI rate" (suku bunga BI), yaitu BI
mengumumkan target suku bunga SBI yang diinginkan BI untuk pelelangan pada masa
periode tertentu. BI rate ini kemudian yang digunakan sebagai acuan para pelaku
pasar dalam mengikuti pelelangan.
Asumsi
Makro Apbn 2015
Perekonomian
dunia pada tahun 2015 diperkirakan mengalami ketidak pastian yang dipicu oleh
perlambatan di berbagai negara terutama Tiongkok, melemahnya harga komoditas di
pasar internasional, dan rencana kenaikan suku bunga di Amerika Serikat.
Kondisi
tersebut memengaruhi perekonomian dalam negeri, seperti melambatnya pertumbuhan
ekspor dan investasi yang berdampak signifikan terhadap beberapa jenis
pendapatan negara dalam APBN tahun 2015. Sementara itu, melambatnya
perekonomian domestik dalam tahun 2014 juga berdampak negatif terhadap
realisasi pendapatan negara tahun 2014. Dengan demikian, melambatnya
pertumbuhan ekspor dan investasi serta melemahnya harga komoditas akan
berdampak signifikan terhadap beberapa asumsi dasar ekonomi makro dalam APBN
tahun 2015.
Akhir
minggu lalu, Menteri Keuangan menyampaikan perubahan asumsi makro dalam
rancangan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang
telah disepakati oleh pemerintah dengan Panitia Kerja (Panja), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bersumber dari
lKementerian Keuangan, Perubahan asumsi makro RAPBN-P 2015 tersebut disampaikan
Menkeu dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR untuk menetapkan postur
sementara APBN-P 2015 pada Jumat (06/02) di Jakarta.
Pertumbuhan
ekonomi menjadi 5,7 persen, atau 0,1 persen lebih rendah dibandingkan dengan asumsi
pertumbuhan ekonomi dalam nota keuangan RAPBN-P 2015 yang sebesar 5,8 persen.
Asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga disepakati
melemah, yakni menjadi sebesar Rp12.500 per dolar AS. Sebelumnya, dalam nota
keuangan RAPBN-P 2015, asumsi nilai tukar tercatat sebesar Rp12.200 per dolar
AS.
Asumsi
harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) juga mengalami
penurunan menjadi 60 dolar AS per barel, dan asumsi lifting minyak diturunkan
menjadi 825 ribu barel per hari, dari sebelumnya 849 ribu barel per hari.
Asumsi lifting gas mengalami peningkatan dari 1,17 juta barel per hari setara
minyak menjadi 1,22 juta barel per hari setara minyak. Sementara, asumsi
inflasi dan tingkat suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan
masing-masing disepakati tetap pada 5 persen dan 6,2 persen.[5]
Proyeksi
Asumsi Dasar Ekonomi Makro Jangka Menengah
Bersumber
dari Nota Keuangan RAPBN-P 2015, pertumbuhan ekonomi selama periode 2016 hingga
2018 diperkirakan bergerak pada kisaran 6,3 persen hingga 7,8 persen dengan
kecenderungan terus meningkat. Faktor-faktor eksternal dan domestik akan
menjadi pendorong kinerja pertumbuhan ekonomi.
Indikato Ekonomi |
2016 |
2017 |
2018 |
Pertumbuhan Ekonomi (%,yoy) |
6,3-6,9 |
6,8-7,4 |
7,2-7,8 |
Inflasi (%,yoy) |
3,0-5,0 |
3,0-5,0 |
2,5-4,5 |
Tingkat bunga SPN 3bulan (%) |
5,0-7,0 |
5,0-7,0 |
4,5-6,5 |
Nilai tukar (Rp/USD) |
11.750-12.150 |
11.700-12.100 |
11.650-12.050 |
Harga Minyak Mentah Indonesi (USD/barel) |
65-85 |
75-100 |
75-100 |
Lifiting Minyak (ribu barel per hari) |
850-900 |
750-800 |
700-750 |
Lifiting Gas (ribu barel setara minyak per hari) |
1.100-1.200 |
1.100-1.200 |
1.100-1.300 |
Dari sisi
eksternal, semakin membaiknya pertumbuhan ekonomi global yang mulai tumbuh di
atas 4,0 persen dan disertai peningkatan volume perdagangan berdampak pada
membaiknya neraca perdagangan Indonesia. Dari sisi domestik, berbagai
pelaksanaan program pembangunan infrastruktur dari kebijakan pengalihan subsidi
akan mendorong peningkatan kegiatan investasi. Langkah-langkah tersebut juga
akan mendorong perbaikan iklim usaha dan aktivitas investasi oleh pihak swasta
dan pada gilirannya kapasitas produksi nasional.
Dari sisi
konsumsi, struktur demografi masih menjadi modal dasar kuatnya konsumsi
domestik. Selain itu, berbagai program sosial, antara lain Kartu Indonesia
Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS)
yang akan dilaksanakan oleh pemerintahan diharapkan akan mendorong naiknya daya
beli masyarakat.
Terlebih
apabila kolaborasi kebijakan pemerintah di bidang fiskal dan moneter yang baik
akan menurunkan laju inflasi. Tingkat inflasi pada periode 2016-2017 ditetapkan
pada kisaran 4,0 ± 1 persen menurun menjadi 3,5 ± 1 persen pada periode 2018.
Perkembangan nilai tukar rata rata selama periode 2016-2018 diperkirakan bergerak
pada kisaran Rp12.150 hingga Rp11.650 per USD, dengan kecenderungan menguat
bertahap. Pergerakan tersebut antara lain didorong oleh prestasi neraca
perdagangan Indonesia, masuknya arus modal, baik Foreign Direct Investment
(FDI) maupun portofolio, serta semakin menguatnya sumber-sumber pembiayaan
domestik. Namun di sisi lain, peningkatan aktivitas investasi dan produksi
masih mendorong peningkatan kebutuhan barang modal dan bahan baku impor.
Kombinasi faktor-faktor tersebut menyebabkan apresiasi nilai tukar selama
periode 2016-2018 tidak terlalu signifikan.
Seiring
dengan menurunnya tekanan inflasi dan perbaikan sumber-sumber pembiayaan dalam
negeri, serta sentimen positif terhadap posisi fiskal yang semakin sehat telah
menyebabkan minat investor terhadap instrumen obligasi pemerintah semakin baik.
Selain itu, berkurangnya tekanan dari sisi global terkait perkiraan berakhirnya
normalisasi kebijakan moneter di AS serta kebijakan moneter yang longgar di
negara industri utama seperti Eropa dan Jepang menjadi faktor yang memengaruhi
penurunan yield obligasi pemerintah, termasuk suku bunga SPN 3 bulan. Suku
bunga SPN 3 bulan dalam periode 2016-2018 diperkirakan bergerak pada kisaran
7,0 sampai dengan 4,5 persen dengan kecenderungan menurun.[6]
D. INDIKATOR EKONOMI MAKRO
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang menjadi dasar
dalam penggunaan biaya dalam pelaksanaan program-program negara disusun melalui
berbagai indikator ekonomi makro. Indikator ekonomi makro tersebut dijadikan
tolak ukur sebelum menyusun anggaran yang dibutuhkan dan dikeluarkan oleh
negara.[7]
Mengingat peranan pemerintah yang cukup besar sebagai regulator
perekonomian, kebijakan fiskal pemerintah pada gilirannya juga akan
mempengaruhi besaran-besaran asumsi dasar ekonomi makro. Dengan demikian,
besaran-besaran asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan sebagai langkah awal
untuk menghitung besaran APBN sudah mempertimbangkan rencana kebijakan fiskal
yang akan diambil pemerintah.
Lembaga yang bertanggung jawab menyusun kerangka ekonomi makro
adalah Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Departemen Keuangan. Kerangka ekonomi makro
ini sebaiknya memiliki kredibilitas yang tinggi sehingga dapat digunakan oleh
para investor dalam memperkirakan kondisi perekonomian ke depan. Untuk
meningkatkan kredibilitas proyeksi, BKF mendiskusikan dan membandingkan
proyeksi kerangka ekonomi makro yang ada dengan proyeksi yang dihasilkan oleh
institusi lain, seperti Bank Indonesia (BI), Kementerian Negara PPN/Bappenas,
Badan Pusat Statistik (BPS), Menko Perekonomian,
Departemen Energi
Sumber Daya Mineral, dan BP Migas. Berdasarkan kerangka ekonomi yang
disepakati, akan ditinjau secara periodik dan dituangkan dalam laporan
pemutahiran proyeksi ekonomi makro. Langkah selanjutnya adalah menyusun
kerangka ekonomi makro yang akan dibahas dalam sidang kabinet untuk
meningkatkan komitmen bersama anggota kabinet terhadap asumsi dasar ekonomi
yang ditetapkan untuk kemudian diajukan ke DPR dalam Pembicaraan Pendahuluan
dengan Panitia Anggaran DPR.
Perkiraan asumsi dasar ekonomi
makro yang digunakan di dalam pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi
makro tahun anggaran berikutnya ke DPR, merupakan refleksi dari perkiraan
prospek perekonomian nasional secara keseluruhan pada tahun berjalan, yang
dipengaruhi oleh pencapaian kinerja ekonomi pada tahun sebelumnya, baik yang
secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada perekonomian Indonesia.
Indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai asumsi dasar ekonomi makro
tersebut dapat mengalami perubahan sesuai dengan kinerja perekonomian Indonesia
dan berbagai perkembangan kondisi perekonomian dunia terkini. Asumsi dasar
ekonomi makro memang sulit diperkirakan secara tepat dan akurat karena
tingginya ketidakpastian faktor-faktor yang mempengaruhinya. Namun demikian, pemerintah
senantiasa melakukan exercises dari waktu ke waktu dalam rangka mengantisipasi
pergerakan perkembangan asumsi dasar ekonomi makro.
Dalam penyusunan APBN banyak
pertimbangan yang dilakukan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
disusun setiap tahun oleh Pemerintah dan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) RI. Penyusunan APBN tidak terlepas dari kebijakan fiskal yg
ditetapkan Pemerintah melalui Menteri Keuangan. Disamping itu, penyusunan APBN
juga tidak terlepas dari Asumsi Makro Ekonomi yg ditetapkan Pemerintah. Asumsi
makro ekonomi yg biasa dijadikan barometer dan patokan dlm penyusunan APBN
meliputi:
·
Pertumbuhan
Ekonomi
·
Tingkat
Inflasi
·
Nilai
Tukar Rupiah Terhadap Us Dollar
·
Suku
Bunga Sbi 3 Bulan Kedepan
·
Harga
Minyak (Icp)[8]
1.
Pertumbuhan
Ekonomi
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total
dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan
disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan
pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara. Pertumbuhan ekonomi yang
merupakan hasil output yang dibentuk
oleh berbagai sektor ekonomi ini memengaruhi proses penyusunan APBN dengan
dasar dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang telah dicapai
oleh sektor ekonomi tersebut pada suatu waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi
dapat menunjukkan sejauhmana aktivitas perekonomian yang akan menghasilkan
tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada
dasarnya aktivitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor
produksi untuk menghasilkan output, maka proses ini pada gilirannya akan
menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki
oleh masyarakat sebagai pemilik faktor produksi. Dengan melihat kondisi
pertumbuhan ekonomi di Indonesia, akan dapat dilihat gambaran terkait dengan
komponen-komponen kegiatan yang dimasukkan ke dalam APBN.
Bahwa Stabilitas
Ekonomi diperlukan dalam rangka mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang
diharapkan. Sebagaimana anggapan ekonom kapitalis, bahwa pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan stabil merupakan jalan untuk menyelesaikan problem
perekonomian. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan dicapai bergeraknya
sektor ekonomi sehingga akan melahirkan banyak lapangan pekerjaan. Dengan
demikian, pengangguran akan dapat diatasi, begitu pula angka kemiskinan secara
otomatis dapat dikurangi.
Pada tahun 2010
diperkirakan tumbuh pada kisaran 5 – 6%. Stimulus fiskal yang dilaksanakan pada
tahun 2009 diharapkan dapat mendorong pemulihan perekonomian nasional yang
disumbangkan oleh peningkatan investasi dan pertumbuhan volume dan harga ekspor
komoditas non migas. Keserasian peraturan pusat dan daerah serta peningkatan
pengelolaan APBD diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan investasi yang pada
saatnya akan mendukung pertumbuhan ekonomi secara agregat. Sedangkan laju
inflasi akan dijaga pada kisaran 4,5 – 5,5%.
2.
Tingkat
Inflasi
Terkait naik
turunnya depresiasi mata uang rupiah dengan mata uang asing serta kebijakan
politik ekonomi yang tidak pro-rakyat dapat mempengaruhi perekonomian. Inflasi
adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus
(kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas
di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga
akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga
merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah
proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Inflasi
adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika
proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling
pengaruh-memengaruhi.
Inflasi adalah
suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu)
berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di
pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat
adanya ketidak lancaran distribusi barang. Inflasi juga merupakan proses
menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi merupakan salah satu
penyakit ekonomi yang tidak bisa diabaikan, karena dapat menimbulkan dampak
yang sangat luas. Oleh karena itu inflasi sering menjadi target kebijakan
pemerintah. Inflasi yang tinggi bisa menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang
lambat dan pengangguran yang meningkat.
Dengan keadaan yang demikian, stabilitas APBN juga dipertimbangkan
dengan tinggi atau rendahnya inflasi yang terjadi. Maka dari itu, inflasi
menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam menyusun APBN.
Inflansi adalah
suatu keadaan dalam perekonomian dimana terjadi kenaikan harga-harga secara
umum. Kenaikan dalam harga barang dan jasa yang bisa terjadi jika permintaan
bertambah dibandingkan dengan jumlah penawaran atau persediaan barang di pasar,
dalam hal ini lebih banyak uang yang beredar yang digunakan untuk membeli barang
dibanding dengan jumlah barang dan jasa. Perleu diketahui bahwa setiap kenaikan
barang bukan inflansi misalnya, harga barang-barang pada saat lebaran, ini
hanya gejolak yang hadir hanya sesaat yang tidak berlangsung
terus-menerus.sedangkan deflansi adalah penurunan harga barang-barang sehingga
kemampuan orang membeli barang-barang meningkat pada saat periode tertentu.[9]
Inflansi
digunakan sebagai salah satu asumsi dasar makro ekonomi karena inflansi
mempengaruhi postur RAPBN/RAPBN-P, baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi
belanja. Karakteristik inflansi dapat digambarkan melalui penjelasan mengenai
sebab terjadinya inflansi.
3.
Nilai
Tukar Rupiah terhadap US dollar
Nilai tukar merupakan variabel dalam
perekonomian terbuka seperti dewasa ini. Dalam penentuan nilai APBN selalu
berdasarkan pada asumsi nilai tukar. Karena dalam APBN terdapat komponen
belanja pembayaran bunga hutang luar negeri yang harus dibayarkan dalam mata
uang asing. Jika suatu ketika nilai tukar terhadap mata uang Indonesia tinggi,
maka akan semakin rendah pembayaran hutang negara tersebut. Dan sebaliknya,
jika suatu ketika nilai tukar terhadap mata uang Indonesia rendah, maka
Indonesia berupaya untuk menyediakan anggaran yang lebih. Selain itu juga ada
beberapa jenis penerimaan yang diterima dalam bentuk mata uang asing. Maka dari itu, nilai tukar ini sangat penting
diketahui dalam menyusun APBN.
Di Indonesia Dollar Amerika digunakan sebagai pembanding karena
Dollar Amerika merupakan mata uang yang kuat, dan Amerika merupakan partner
dagang yang dominan di Indonesia. Nilai tukar ditentukan berdasarkan permintaan
dan penawaran terhadap rupiah dan valuta asing. Jenis-jenis kurs:
·
Kurs
jual, adalah kurs yang dipakai apabila bank menjual valuta asing kepada
nasabahnya.
·
Kurs
beli, adalah kurs yang dipakai pada saat bank membeli Valuta asing dari
nasabahnya.
·
Kurs
Tengah, adalah kurs yang ditetapkan berdasarkan kurs beli dan kurs jual dibagi
dua. Gunanya untuk mendapatkan kurs untuk perhitunganperhitungan yang bersifat
umum.
·
Rata-rata
nilai kurs bulanan, adalah jumlah nilai kurs tengah dalam periode 1 bulan
dibagi dengan jumlah periode waktu selama 1 bulan.
·
Rata-rata
nilai kurs tahunan, adalah jumlah rata-rata nilai kurs tengah bulanan selama 1
tahun dibagi dengan jumlah periode waktu 12 bulan.
4.
Suku
Bunga SBI 3 Bulan Kedepan
Tingkat suku bunga merupakan salah
satu variabel yang memengaruhi masyarakat dalam memilih bentuk kekayaan yang
ingin dimilikinya, apakah dalam bentuk uang,
financial asset, atau benda-benda riil seperti tanah, rumah, mesin,
barang dagangan dan lain-lain. Mana yang memberikan tingkat bunga yang lebih
tinggi akan lebih diminati. Tingkat suku bunga digunakan sebagai salah satu
variabel dalam kebijakan menyusun APBN di Indonesia. Hal ini didasari bahwa
suku bunga dapat menggambarkan kondisi perekonomian negara dengan
kekayaan-kekayaan yang dimiliki oleh negara.
Secara sederhana, bunga dapat
diartikan sebagai bentuk imbalan jasa atau kompensasi atas pinjaman yang
diberikan oleh suatu pihak. Uang, yang dipinjam disebut pokok utang. Sedangkan,
persentase dari pokok utang yang dibayarkan sebagai balas jasa disebut suku
bunga. Dalam hubungannya dengan perbankan, suku bunga dibedakan atas suku bunga
simpanan dan suku bunga pinjaman.
5.
Harga
Minyak (ICP)
Seperti yang diketahui
bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memproduksi minyak mentah ke
internasional. Dengan kekayaan alam berupa minyak mentah yang dimiliki oleh
Indonesia tersebut, dapat menjadi salah satu penerimaan anggaran yang diterima
oleh negara. Semakin besar produksi minyak mentah di Indonesia, maka akan
semakin besar penerimaan yang diterima oleh Indonesia. Dan sebaliknya, semakin
kecil produksi minyak mentah di Indonesia, maka akan semakin kecil penerimaan
yang diterima oleh Indonesia. Tentunya hal ini akan berpengaruh pada penyusunan
APBN yangmana didasarkan pada besar atau kecilnya penerimaan yang diterima oleh
negara.
Memperhatikan
perkembangan harga minyak dunia yang menunjukkan kecenderungan menurun, harga
minyak dunia tahun 2010 diasumsikan sebesar 45 – 60 dolar AS per barel dan
produksi minyak 950 – 970 juta barel per hari. Pada kisaran harga tersebut
diprediksi Pemerintah tidak akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
bersubsidi, sehingga diharapkan akan membantu memperbaiki kondisi ekonomi
nasional termasuk menurunkan inflasi.
APBN
dalam suatu negara adalah tonggak atau pondasi bagi seluruh aktifitas negara
beserta besaran anggarannya sehingga di dalam proses perancangannya pun harus
memikirkan beberapa asumsi-asumsi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
sehingga nantinya ketika anggaran tersebut sudah berjalan tidak terjadi
kesalahan prediksi ataupun hal-hal yang tidak terduga yang dapat mempengaruhi
jalannya aktifitas-aktifitas dan anggaran negara.[10]
APBN disusun sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintah negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan
negara. Dalam menyusun APBN dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak
melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara, penyusunan
Rancangan APBN sebagaimana dimaksud diatas harus berpedoman pada kerja
Pemerintah. Dalam hal anggaran diperkirakan dfisit, maka sumber-sumber
pembiayaan untuk menutup defisit tersebut ditetapkan dalam undang-undang tentang
APBN. Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 30% dari produk domestik
bruto dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari produk domestik bruto[11].
Dalam hal anggaran surplus, pemerintah pusat dapat mengajukan
rencana surplus anggaran kepada dewan perwakilan rakyat. Penggunaan surplus
anggaran tersebut perlu mempertimbangkan prinsip pertanggung jawaban
antargenerasi sehingga penggunaannya diutamakan untuk utang, pembentukan dana
cadangan dan penungkatan jaminan sosial.[12]
E. LIFITING
MINYAK BUMI INDONESIA
Lifting
migas adalah produksi migas yang siap jual. Besaran lifting ini bisa berbeda
dengan besaran produksi karena tidak semua produksi migas yang baru keluar dari
dalam bumi bisa langsung dijual. Dalam beberapa kasus, produksi migas masih
harus diproses atau diangkut sebelum menjadi lifting. Istilah lifting juga
kerap dipakai untuk menggambarkan proses penyerahan migas dari produsen kepada
pembeli. Pada proses inilah penerimaan negara dari kegiatan hulu migas
terealisasi.
Selain itupengertian lifiting minyak bumi adalah
sejumlah minyak mentah dan atau gas bumi yang dijual atau dibagi di titik penyerahan atau
kepemilikan sebuah perusahaan secara fisik dan legal atas hak minyak mentah
yang dalam kontrak bagi hasil biasanya mengandung dua komponen yang terdiri atas baiaya dan keuntungan,
produksi minyak hasil tambang siap jual, atau tingkat produksi hasil tambang
minyak.asumsi lifiting minyak tersebut dalam APBN difungsikan sebagai dasar
perhitungan penerimaan PNBP migas. Berikut ini sebagian contoh di Indonesia
asumsi lifiting minyak di Indonesia :
JAKARTA - Pemerintah
dan DPR menyepakati asumsi makro dari target lifting minyak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (RAPBN) 2016, sebesar 800.000-830.000 barel per
hari (bph).
"Kesimpulan yang
disepakati range lifting minyak berada di level 800.000-830.000 bph," ujar
Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika saat membahas asumsi makro R-APBN 2016
bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Gedung DPR, Jakarta,
Senin (15/6/2015).
Menurutnya, besaran
ditetapkannya besaran lifting merupakan angka kisaran yang diajukan
masing-masing setiap fraksi. Dalam menentukan target lifting minyak, setiap
kelompok fraksi (poksi) telah melakukan diskusi secara internal. Adapun besaran
yang diusulkan antara lain, Fraksi PDI-P mengusulkan besaran lifting di kisaran
810.000-830.000 bph, Partai Golkar 820.000-850.000 bph, Partai Gerindra
800.000-830.000 bph, Partai Demokrat 810.000-830.000 bph.
Selain itu, Feraksi PAN
mengusulkan besaran lifting 800.000-830.000 bph, PKB 760.000-800.000 bph, PKS
800.000-830.000 bph, Nasdem 800.000 bph, PPP 800.000-830.000 bph, Hanura
820.000-850.000 bph.
"Berdasarkan usulan
masing-masing poksi akhirnya diputuskan besaran lifting minyak di kisaran
800.000-830.000 bph.Semua fraksi pun menyepakati usulan itu," kata dia.
Sementara itu, Menter ESDM
Sudirman Said menyepakati usulan Komisi VII DPR untuk lifting minyak di kisaran
800.000-830.000 bph.Sejalan putusan itu, pihaknya terus memantau pergerakan
produksi minyak setiap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
"Melihat kinerja tahun ini
maka range lifting sebesar itu cukup realistis. Kami akan terus memantau
jalannya produksi minyak di akhir tahun sehingga bisa menentukan patokan
lifting di tahun depan," ujar Sudirman.[13]
Sedangkan realistis tahun ini
adalah sebagai berikut:
JAKARTA
- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK
Migas) merilis data produksi minyak bumi nasional (lifting) bulan ini mengalami
kenaikan 24.000 barel per hari (bph) dibanding bulan lalu.
Sekretaris
SKK Migas Budi Agustyono merinci produksi rata-rata minyak bumi pada Agustus
lalu sebanyak 776.500 bph, sedangkan rata-rata produksi minyak bumi bulan ini
sebanyak 800.500 bph.
Sementara
rata-rata periode Januari-September 783.000 bph atau telah mencapai 95% dari
target Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 825.000 bph.
“Namun
untuk gas, produksinya cenderung stagnan di angka 8.000 juta kaki kubik per
hari,” kata dia di Jakarta, Selasa (15/9/2015).
Menurut
dia, produksi migas secara total sebanyak 2,21 juta barel ekuivalen per hari.
Pihaknya optimistis rata-rata produksi akan terus meningkat hingga akhir tahun
seiring diselesaikannya proyek-proyek migas.
“Industri
hulu migas dituntut bekerja keras untuk mencapai target lifting migas yang
ditetapkan pemerintah,” ujarnya.
Sementara
untuk kontribusi hulu migas wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Jabanusa)
kontribusinya lebih dari 300.000 barel ekuivalen minyak per hari atau 15% dari
total produksi minyak dan gas bumi nasional.
Jumlah
ini akan meningkat cukup signifikan saat Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu
mencapai produksi puncak sebanyak 205.000 bph pada akhir 2015. “Saat ini,
produksi Banyu Urip berkisar 80.000 bph,” katanya.
Di
sisi penerimaan negara, Budi menjelaskan, realisasi per 4 September 2015
tercatat sebesar USD10,03 miliar atau sekitar Rp140 triliun. Jumlah itu sekitar
67% dari penerimaan sebesar USD14,99 miliar.
“Pencapaian
target nasional tidaklah mudah karena terdapat kendala dalam pelaksanaan
dilapangan, terlebih di tengah turunnya harga minyak dunia, industri hulu migas
dituntut melaksanakan efisiensi biaya operasi,” kata dia.[14]
F. DAMPAK
ASUMSI MELESET
Mengingat
peranan pemerintah yang cukup besar sebagai regulator perekonomian, kebijakan
fiskal pemerintah pada gilirannya juga akan mempengaruhi besaran-besaran asumsi
dasar ekonomi makro. Dengan demikian, besaran-besaran asumsi dasar ekonomi
makro yang digunakan sebagai langkah awal untuk menghitung besaran APBN sudah
mempertimbangkan rencana kebijakan fiskal yang akan diambil pemerintah.
Dalam
penyusunan APBN banyak pertimbangan yang dilakukan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) disusun setiap tahun oleh Pemerintah dan ditetapkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Penyusunan APBN tidak terlepas dari kebijakan
fiskal yg ditetapkan Pemerintah melalui Menteri Keuangan. Disamping itu,
penyusunan APBN juga tidak terlepas dari Asumsi Makro Ekonomi yg ditetapkan
Pemerintah. Asumsi makro ekonomi yg biasa dijadikan barometer dan patokan dlm
penyusunan APBN meliputi;
1. pertumbuhan ekonomi
2. tingkat inflasi
3. nilai tukar rupiah terhadap US
dollar
4. suku bunga SBI 3 bulan kedepan
5. harga minyak (ICP)
6. lifting oils (kapasitas produksi
minyak per hari).[15]
Namun dalam perkembanganya, bila
terjadi perubahan dan perkembangan yang cukup berarti pada faktor-faktor
internal dan eksternal yang berdampak signifikan pada berbagai indikator
ekonomi makro, maka pada giliranya akan berpengaruh pula pada besaran-besaran
APBN. Berdasarkan ketentuan pasal 27 ayat 3 UU nomor 17 tahun 2003 tentang
keuangan Negara, yang antara lain menetapkan bahwa dalam hal terjadi
perkembangan dan perubahan keadaan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan
asumsi yang digunakan dalam APBN, dan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, maka
pemerintah bersama DPR melakuakan pembahasan untuk penyesuaiaan APBN tahun
berjalan.
Dengan demikian, ketentuan ini
menetapkan kewajiban bagi pemerintah bersama-sama DPR untuk melakuakan
penyesuaiaan atas APBN tahun berjalan, apabila terjadi perkembangan atau
perubahan keadaan. Unruk lebih memahami bagaimana pergerakan indikator ekonomi
makro terus mengalami perubahan dan dampaknya terhadap besaran-besaran APBN,
dapat dilihat dari kasus berikut:
APBN-P 2015
Dalam Bayang-bayang Krisis.
IndonesianReview.com
-- Hampir semua asumsi pada APBN-P 2015 meleset. Sanggupkah pemerintahan
Jokowi-JK mengatasi semua ini?
Sepertinya perjalanan pemerintahan
Jokowi dalam mengarungi bahtera ekonomi nasional bakal menemui jalan
terjal. Simak saja apa yang tergambar dari realisaisi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, hampir seluruh sektor meleset dari
asumsi makro.
Banyak ekonom menilai, melesetnya
asumsi makro pada APBN-P 2015 karena sejumlah faktor internal dan eksternal.
Dari eksternal, tak lain adanya data perbaikan ekonomi Amerika Serikat dan
melambatnya pertumbuhan ekonomi China.
Memang, angka yang diperoleh dari
data Badan Pusat Statistik (PS) masih bersifat sementara, karena dalam
tiga minggu ke depan angka realisasi pencapaian APBN-P 2015 masih terus
berubah. Dari angka sementara tersebut, tampaknya hampir semua asumsi makro,
yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah, tingkat suku
bunga, lifting minyak, sulit untuk mencapai target sesuai
angka dalam APBN-P 2015.
Rilis yang dibuat Indef
mengatakan akan sulit rasanya pertumbuhan ekonomi yang direncanakan
pemerintah sebesar 5,7% bisa tercapai, jika dolar AS masih berada pada
level Rp 14.667.
Dalam rangkuman data Indef, untuk
mencapai angka prosentase tersebut, pemerintah harus terus menangkis gempuran
dolar AS agar nilai rupiah terhadap dolar mencapai nilai kestabilan
di kisaran Rp 12.500. Dengan begitu, target pertumbuhan ekonomi sekitar 5,7%
bisa tercapai. Tapi kalau melihat pergerakan rupiah terhadap dolar AS
belakangan ini, rasanya sulit mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi itu.
Menteri Keuangan Bambang PS
Brodjonegoro pun mengakui dengan perkembangan nilai kurs rupiah terhadap dolar
seperti saat ini, pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai pada tingkat 5,1%,
atau lebih rendah dari asumsi pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan dalam APBN-P
2015 sebesar 5,7%.
Hanya saja, melambatnya laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia bukan hanya dipengaruhi oleh melemahnya
rupiah, tapi juga dipengaruhi oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia.
Kondisi tersebut mengakibatkan investasi dan ekspor Indonesia menjadi
lemah.Lemahnya ekspor berpengaruh pada kecilnya kontribusi terhadap pemangkasan
defisit neraca berjalan.
Seperti diketahui, defisit neraca
berjalan turun menjadi US$ 6,8 miliar, atau 3,1% dari PDB awal 2015
atau lebih rendah sebesar 0,8 poin dibanding PDB awal tahun lalu. Hal
lain yang cukup merisaukan kehidupan sebagian masyarakat adalah naik turunnya
inflasi pada tingkat yang kadang melampui kewajaran. Faktor yang sangat
memengaruhi tingkat inflasi saat ini adalah soal logistik, tata niaga dan
infrastruktur plus iklim yang selalu berubah.Inflasi secara khusus seharusnya
mendapat perhatian dari seorang Presiden. Sebab, inflasi tahunan
Desember lalu tercatat 8,36 %, sementara target inflasi pada APBN-P 2015
sebesar 5,3%.
Kebijakan penyesuaian harga BBM yang
jelas bertujuan dapat meningkatkan inflasi sampai ke tingkat paling wajar
saja tetap tidak bisa mencapai inflasi di bawah 5%. Namun sebaliknya, dengan kondisi
geografis yang relatif sama, negara tetangga seperti Filipina, Thailand,
Malaysia bisa mengendalikan inflasi di kisaran 2% -3%.
Pada tatanan tingkat suku bunga,
Indonesia seperti ekor dari seekor cicak, mudah kagetan dan mudah
terputus.Hanya dengan pengumumun BPS terjadi deflasi pada bulan Februari saja,
Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga acuan (BI Rate). Anehnya,
depresiasi nilai tukar rupiah terus saja berlangsung.
Terpaan terhadap rupiah, selain
faktor masih tingginya defisit neraca pembayaran, tapi juga adanya
rencana bank sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga acuan
pada Juni dan Oktober mendatang. Begitu pula halnya dengan lifting minyak.
Tahun ini realisasi lifting minyak yang diproyeksikan 825.000
barel per hari, saat ini hanya baru mencapai target minimal yakni 800.500
barel per hari.
Kondisi ekonomi negara makin panas
dingin tatkala data SKK Migas mencatat, dari rencana 132 kegiatan eksplorasi
migas tahun ini, hanya 60% saja yang terealisasi dan sisanya gagal. Alasan
lainnya, KKKS masih terganjal masalah birokrasi seperti regulasi, perizinan
hingga perpajakan.
Oleh karena itu, SKK Migas sangat
mengkhawatirkan jika target lifting minyak dalam APBN-P 2015
sebesar 845.000 barel per hari, tidak akan tercapai. “Dari work program
and budgeting (WPnP) yang sedang berjalan, kami lihat di bawah 825.000
barel per hari,” ujar Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana.
Dalam kondisi ekonomi sedang
panas dingin, dihantui pula berkurangnya sokongan dividen dari
perusahaan-perusahaan yang sebagian sahamnya dipegang oleh pemerintah. Dapat
dipastikan tahun ini setoran dividen dari perusahaan milik negara tidak bisa
mencapai target.Salah satu sebabnya PT Freeport Indonesia, di mana pemerintah
memiliki saham di perusahaan itu, tidak menyetorkan dividennya.
Padahal tahun sebelumnya, PT
Freeport Indonesia selalu memberikan komitmen setoran dalam bentuk dividen ke
dalam kas negara sebesar Rp 1,5 triliun per tahun. Karena itu pula setoran dari
perusahaan tambang di Papua itu sangat memengaruhi pencapaian target APBN-P
2015 dari hasil setoran dividen perusahaan milik negara sebesar Rp 40 triliun.
Wakil Menteri BUMN Mahmuddin Yasin
pun memperkuat hal itu, dengan menuturkan bahwa setoran dividen yang mampu
diberikan oleh 141 perusahaan negara tahun ini, perkiraannya mentok pada
kisaran Rp 37,5 triliun - Rp 38,5 triliun. Capaian makro ekonomi di triwulan
pertama APBN-P 2015 hampir semuanya meleset, sementara dari sisi kesiapan dan
kesesuaian dalam menghadapi gejolak ekonomi, sampai kini belum punya strategi
yang triki. Lebih lagi Kabinet Kerja yang dipimpin Jokowi minim pengalaman dan
pastinya kurang piawai.
Padahal bukan kali ini saja kondisi
kritis bakal menghampiri. Rentang enam bulan ke depan masalah yang dihadapi
akan makin riuh. Utang luar negeri yang jatuh tempo, suhu politik yang belum
juga mereda, tampaknya semakin memusingkan pemerintah. Apalagi, politik
luar negeri pemerintahan Jokowi-JK bakal mendapat ujian berat dari
negara-negara yang menolak eksekusi hukuman mati.
Anggota Komisi XI DPR RI, Ecky
Awal Mucharam, terkait hal tersebut, dalam release yang diterima
jabarprov.go.id, Rabu (23/9) mengungkapkan diharapkan pemerintah agar bekerja
keras untuk merealisasikan hal tersebut dan harapannya hal tersebut bisa
dicapai.
Untuk mengejar harapan tersebut,
pemerintah harus konsisten memperkuat kepercayaan pasar dan publik.
pemerintah harus fokus dan bekerja sama dengan BI untuk mewujudkanya. Selain
itu, pemerintah diharapkan dapat belajar dari pengalaman realisasi APBN-P
2015 yang banyak meleset dari asumsinya.
"Pemerintah harus belajar dari
pengalaman realisasi APBN-P 2015 yang banyak meleset dari asumsinya. Jangan ada
lagi kegaduhan-kegaduhan politik dari mulai intrik antar penegak hukum, hingga
perang statemen di publik antar menteri yang membawa sentimen negatif
kepada publik dan pasar.
Pemerintah juga diharapkan dapat
mendorong belanja negara yang efektif. Anggaran perlu terserap dengan
baik sebab belanja pemerintah akan memberi stimulus bagi perekonomian serta
pemerintah perlu menjaga daya beli masyarakat dan memberikan dukungan
yang maksimal bagi sektor riil. Sudah siapkah pemerintahan Jokowi menerima
kenyataan pahit yang bakal terjadi? Kita lihat saja episode yang akan datang.[16]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Asumsi
dasar APBN adalah dugaan yang diterima sebagai dasar anggaran pendapatan dan
belanja negara. Asumsi makro
ekonomi yg biasa dijadikan barometer dan patokan dlm penyusunan APBN meliputi:
·
Pertumbuhan
Ekonomi
·
Tingkat
Inflasi
·
Nilai
Tukar Rupiah Terhadap Us Dollar
·
Suku
Bunga Sbi 3 Bulan Kedepan
·
Harga
Minyak (Icp)
Asumsi-asumsi ini digunakan ketika melakukan perencanaan atas
sejumlah aktifitas pemerintah, seperti pemungutan pajak, belanja pegawai,
pengeluaran untuk program kesejahteraan, pemberian subsidi, dan lain-lain.
Lifting migas adalah produksi migas
yang siap jual. Besaran lifting ini bisa berbeda dengan besaran produksi karena
tidak semua produksi migas yang baru keluar dari dalam bumi bisa langsung
dijual.
DAFTAR PUSTAKA
http://apbnnews.com/artikel-opini/asumsi-makro-apbn-p-2015-telah-disepakati-dpr/#ixzz3n5b0ntbP
http://apbnnews.com/artikel-opini/asumsi-makro-apbn-p-2015-telah-disepakati-dpr/
http://apbnnews.com/artikel-opini/asumsi-makro-apbn-p-2015-telah-disepakati-dpr/#ixzz3nDlwBBuQ
http://www.migas.esdm.go.id/post/read/lifting-minyak-2016-ditetapkan-800.000-hingga-830.000-bph
http://indonesianreview.com/ds-muftie/apbn-p-2015-dalam-bayang-bayang-krisis
Rahayu
Ani Sri, 2007, Pengantar Kebijkan Fiskal, (Jakarta: Bumi Aksara)
Seda Frans,
2004, Kebijakan Fiskal Dan Anggaran Pendapat Dan Belanja Negara, Dalam
Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, Dan Implementasi, (Jakarta: Kompas)
Yoesoef Fatullah, 2013, Fiskal dan Moneter, (Yogyakarta:
Ideapers).
[1] http://apbnnews.com/artikel-opini/asumsi-makro-apbn-p-2015-telah-disepakati-dpr/#ixzz3n5b0ntbP
diakses pada hari senintgal 28 september 2015
[2] http://joniiskandar12345.blogspot.co.id/
[3] Yoesof Fatullah, Ekonomi Fiskal dan Moneter, (Yogyakarta: Idea Press,
Cet Pertama, 2013) Hlm 119
[4] Fatullah Yoesoef, Fiskal dan Moneter, Yogyakarta, Ideapers,
2013, hal. 126-131
[5] http://apbnnews.com/artikel-opini/asumsi-makro-apbn-p-2015-telah-disepakati-dpr/, Di akses Rabu, pada 30
September 2015
[6] : http://apbnnews.com/artikel-opini/asumsi-makro-apbn-p-2015-telah-disepakati-dpr/#ixzz3nDlwBBuQ,
di akses pada Rabu, 30 September 2015
[7] Ani Sri Rahayu, Pengantar Kebijkan Fiskal, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2007), hal.288
[8]Pengantar Kebijakan Fiskal, Op.Cit., hal.290
[9] Pengantar Kebijakan Fiskal, Op.Cit., hal.20
[10] Frans Seda, Kebijakan Fiskal Dan Anggaran Pendapat Dan Belanja
Negara, Dalam Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, Dan Implementasi,
(Jakarta: Kompas, 2004), hlm.34
[11] Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2003, Tentang Pengendalian Jumlah
Kumulatif Defisit APBN dan APBD
[12] Pengantar Kebijakan Fiskal, Op.Cit., hlm.292
[13]http://www.migas.esdm.go.id/post/read/lifting-minyak-2016-ditetapkan-800.000-hingga-830.000-bph,
di akses pada, Selasa 29 September 2015
[14]http://ekbis.sindonews.com/read/1044963/34/produksi-minyak-bumi-bulan-ini-naik-24-000-barel-1442310007, di akses pada, Selasa, 29 September 2015
[15] Joniiskandar12345.blogspot.co.id Diposkan 29th May 2012,
di akses pada, Selasa, 29 September 2015
[16]http://indonesianreview.com/ds-muftie/apbn-p-2015-dalam-bayang-bayang-krisis, di akses pada, Selasa, 29 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar