Selasa, 04 Januari 2022

MAKALAH KERANGKA EKONOMI MIKRO DAN ASUMSI DASAR APBN

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Kerangka ekonomi makro adalah Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Departemen Keuangan. Kerangka ekonomi makro ini sebaiknya memiliki kredibilitas yang tinggi sehingga dapat digunakan oleh para investor dalam memperkirakan kondisi perekonomian ke depan. Untuk meningkatkan kredibilitas proyeksi, BKF mendiskusikan dan membandingkan proyeksi kerangka ekonomi makro yang ada dengan proyeksi yang dihasilkan oleh institusi lain, seperti Bank Indonesia (BI), Kementerian Negara PPN/Bappenas, Badan Pusat Statistik (BPS), Menko Perekonomian, Departemen Energi Sumber Daya Mineral, dan BP Migas. Berdasarkan kerangka ekonomi yang disepakati, akan ditinjau secara periodik dan dituangkan dalam laporan pemutahiran proyeksi ekonomi makro.

Langkah selanjutnya adalah menyusun kerangka ekonomi makro yang akan dibahas dalam sidang kabinet untuk meningkatkan komitmen bersama anggota kabinet terhadap asumsi dasar ekonomi yang ditetapkan untuk kemudian diajukan ke DPR dalam Pembicaraan Pendahuluan dengan Panitia Anggaran DPR. Perkiraan asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan di dalam pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya ke DPR, merupakan refleksi dari perkiraan prospek perekonomian nasional secara keseluruhan pada tahun berjalan, yang dipengaruhi oleh pencapaian kinerja ekonomi pada tahun sebelumnya, baik yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada perekonomian Indonesia. Indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai asumsi dasar ekonomi makro tersebut dapat mengalami perubahan sesuai dengan kinerja perekonomian Indonesia dan berbagai perkembangan kondisi perekonomian dunia terkini. Asumsi dasar ekonomi makro memang sulit diperkirakan secara tepat dan akurat karena tingginya ketidakpastian faktor-faktor yang mempengaruhinya. Namun demikian, pemerintah senantiasa melakukan exercises dari waktu ke waktu dalam rangka mengantisipasi pergerakan perkembangan asumsi dasar ekonomi makro.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa dan bagaimana asumsi dasar APBN ?

2.      Apa saja indikator ekonomi makro?

3.      Bagamana lifiting minyak di Indonesia ?

4.      Apa dampak dampak asumsi dasar APBN yang meleset ?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN APBN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, atau disingkat dengan APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.

Setiap tahun pemerintah menyusun APBN. Landasan hukum serta tata cara penyusunan APBN terdapat di dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat 1, 2 dan 3. Pada pasal 23 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besanya kemakmuran rakyat”.  Pada pasal 23 ayat 2 disebutkan bahwa “Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah”. Pada pasal 23 ayat 3 disebutkan “apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan Presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun lalu”.

             Setelah APBN ditetapkan dengan Undang-Undang, pelaksanaan APBN dituangkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Berdasarkan perkembangan, di tengah-tengah berjalannya tahun anggaran, APBN dapat mengalami revisi/perubahan. Untuk melakukan revisi APBN, Pemerintah harus mengajukan RUU Perubahan APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR. Dalam keadaan darurat (misalnya terjadi bencana alam), Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya. Selambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir, Presiden menyampaikan RUU tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN kepada DPR berupa Laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

·         Tujuan penyusunan APBN adalah :

     sebagai pedoman pengeluaran dan penerimaan negara agar terjadi keseimbangan yang dinamis dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan kenegaraan demi tercapainya peningkatan produksi, peningkatan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta pada akhirnya ditujukan untuk tercapainya masyarakat adil dan makmur material maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[1]

      Kebijakan ekonomi makro Indonesia pada dasarnya merupakan kesinambungan dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini mengingat bahwa konsistensi kebijakan sangat diperlukan dalam mencapai sasaran pembangunan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh karena itu kebijakan ekonomi makro tersebut ditujukan untuk memperkuat fundamental ekonomi yang sudah membaik dan mengantisipasi berbagai tantangan baru yang mungkin timbul. Tantangan dan sasaran kebijakan ekonomi. akro tersebut adalah menjaga stabilitas ekonomi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang didasarkan atas peningkatan kualitas dan kinerja perekonomian.

 Asumsi ekonomi makro digunakan sebagai dasar penyusunan besaran-besaran dalam APBN, baik pendapatan, belanja, maupun pembiayaan. Selain itu, asumsi ekonomi makro juga penting kaitannya dengan penyusunan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) berdasarkan perhitungan prakiraan maju (forward estimate) yang dihitung dari besaran asumsi ekonomi makro dalam APBN.

Pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan pertambahan jumlah output yang dihasilkan dalam suatu negara. Tingkat perumbuhan ekonomi yang dihitung dari Produk Domestik Bruto (PDB) Gross Domestic Product (GDP) juga penting untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu negara melalui pendapatan per kapita. Dengan ditentukannya pertumbuhan ekonomi, maka akan didapat besaran yang dapat digunakan sebagai indikator pengambilan kebijakan dalam APBN.

Stabilitas perekonomian merupakan prasyarat yang sangat mendasari bagi para pelaku ekonomi. Oleh karena itu diperlukan pertumbuhan dengan kualitas yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi yang baik dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja sehingga dapat mengurangi penduduk miskin. Sementara itu pertumbuhan ekonomi yang dicapai dalam tahun sebelumnya dipandang masih moderat dibandingan dengan masa-masa sebelum krisis. Pertumbuhan tersebut masih didukung oleh relatif tingginya kontribusi konsumsi, sedangkan dukungan sumber-sumber ekonomi produktif seperti investasi dan ekspor masih harus dioptimalkan.[2]

 

B. ASPEK-ASPEK TERKAIT APBN

1. Aspek teoritis ( Agenor et al, 1999 )

                     Pola dari government budget ( kebijakan fiskal ) cenderung berbeda antara Negara maju dengan Negara berkembang. Tidak seperti Negara maju, pemerintahan dinegara berkrmbang ( termasuk Indonesia ) umumnya , mengambil peran aktif non-finance. Kebijkan dibidang non finance biasanya dilaksanakan oleh institusi dari pemerintah, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga-lembaga yang khusus dibentuk untuk menangani sektor tertentu, dan badan usaha milik Negara ( BUMN ) non-finance. Dan kebijakan ini berdampak terhadap fiskal stance dari Negara tersebut.

                     Untuk kebijakan dibidang finance, hal ini biasanya dilakukan melalui BUMN non bank. Kebijakan dibidang finance memiliki dampak kepada neraca moneter dan neraca pembayaran. Dari sisi teori hubungan antara fiscal ( yang cenderung defisit ) dan moneter ( yang diwakili oleh base monay dan tingkat inflasi ) serta maraca pembayaran ( dimana defisit neraca perdagangan hampir selalu ditutup oleh suplus neraca transaksi yang berjalan ) selalu menjadi bahan perdebatan oleh dua golongan mainstream  yakni : mereka adalah golongan monetaris yang juga dikenal kaum “ orthodox “ dan golongan skulturalis. Golongan pertama yang dianggap sebagai penganut market mechanism, berpendapat bahwa dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi dapat terlaksana melalui free trade dan non intervensionist domestic policy ( karena kebijakan intervensi justru akan menimbulkan distori alokasi sumber daya ).

      Interversi pemerintah diperlukan dalam konsi jangka waktu pendek saja dimana tingginya tingkat inflasi ( di Negara berkembang relatif terhadap negara maju ) Inflasi erat kaitannya dengan kesejhteraan dan pendapatan riil masyarakat. Jika terjadi inflasi yang persentasenya lebih tinggi daripada kenaikan pendapatan nominal, maka kesejahteraan masyarakat akan turun. Pemerintah perlu memperhatikan tingkat inflasi dalam penyusunan APBN. Ketika terjadi inflasi dan harga barang-barang secara umum naik, maka diperlukan lebih banyak anggaran dalam APBN.  dan defisit neraca pembayaran, yang timbul sebagai akibat excessive demand for money yang dibiayai oleh defisit fiskal, perlu ditangani melalui kebijakan tight fiscal and money policies dalam bentuk penurunan defisit fiskal dan kenaikan suku bunga dalam negeri. Golongan kedua yakni strukturalis dapat dibagi menjadi dua  yakni:

·         Early stricturalist dan

Berpendapat bahwa rendahnya tingkat elastisitas pendapatan atas permintaan terhadap bahan mentah relatif terhadap barang industri, akan menurunkan trems of  trade negara berkembang exsportir barang jadi.

·         New structuralist.

( melalui penelitian bahwa tight fiscal and monetary policies justru dalam jangka pendek akan menciptakan stagflasi, atau stagnasi dan inflasi, tanpa menurunkan defisit neraca pembayaran ).

      Pengalaman negara berkembang  dan hasil penelitian menunjukan bahwa outward orientation dan more market mechanism memberikan hasil yang lebih baik sebagai kebijakan jangka panjang, relatif terhadap inward orientation dan too much ontertention. Pada saat yang sama, defisit fiskal memang merupakan salah satu sumber internal dan tingginya steady-state inflation. Namun demikian, persistance dari defisit fiskal dapat saja terjadi akibat macroeconimic instability yang bersumber dari distrib utional conflict.

      Bagian berikut membahas hubungan antara kebijakan fiskal, moneter dan neraca pembayaran dengan menggunakan kombinasi dari kedua mainsteram diatas, dimana kebijakan fiskal lebih ditekankan pada kebijakan yang bersifat defisit. Dengan berbagai asumsi lain antara lain bentuk perekonomian yang sifatnya terbuka, kecendrungan sebagai capital inporter, relatif besarnya debs services, masih besarnya peran pemerintah relatif terhadap swasta dan rumah tangga, dan yang paling penting adalah komposisi data time series anggaran belanja negara yang lebih banyak. Aspek ekonomis ( Agenor et al 1999; Blanchard et al, 1989; Torsten et al, 1994 ).

 Aspek fiskal APBN secara ekonomis terutama berfokus pada:  

a.      Pola perhitungan

Kebijakan fiskal pada prinsipnya adalah pengelolaan penerimaan dan pengeluaran negara. Apabila pengeluara lebih besar dari penerimaan, maka berarti pemerintah melaksanakan kebijakan defisit anggaran belanja. Dengan kata lain terjadi Gap dalam anggaran pemerintah. Gap ini dapat dibiayai melaui berbagai sumber, yakni antara lain melalui penerbitan surat berharga di dalam negeri, atau meminjam dari bank sentral. Sudah pasti pembiayaan seperti ini akan menimbulkan beban baru, yakni beban bunga atas berbagai pinjaman diatas, dimana beban ini akan memperbesar Gap yang sudah ada. Dengan demikian, bugdet identity dari keuangan negara adalah sebagai berikut : total pinjaman ( dari bank sentral, dari surat berharga dalam negeri, dan dari pinjaman pemerintah ditambah dengan beban bunga pinjaman.

Berdasarkan bugdet identity diatas, ada beberapa konsep defisit anggaran belanja pemerintah, disebut pertama adalah selisih pengeluaran dan penerimaan, disebut dengan defist primer . konsep kedua adalah defisit primer ditamabah dengan beban bunga pinjaman. Disebut dengan defisit konvensional dikurangi dengan komponen inflasi dan bunga pinjaman dalam negeri, disebut sebagi oprasional defisit.

Disisi lain, tingkat suku bunga sektor informal ( apabila ada ) yang cenderung memiliki risk premi yang tinggi ( karena kekhawatiran akan terjadi default disektor tersebut ), apabila digunakan dalam perhitungan anggaran pemerintah akan menyebabkan defisit menjadi overestimed. Hal lain yang sering dihadapi oleh negara berkembang adalah pelaksanaannya quasi fiscal oleh bank sentral, antara lain nilai pajak implist atas nilai tukar.

Disini terjadi apabila bank sentral membeli valuta asing kepada exsportir dengan kurs yang lebih rendah relatif terhadap importir. Sebaliknya implist subsidi terjadi apabila bank sentral menjual valuta asing pada sektor tertentu dengan kurs lebih rendah relatif terhadap kurs yang dibayar terhadap exsportir. Berbagai bentuk quasi fiscal juga dilaksanakan oleh beberapa bank sentral, antara lain :  pemberian preferential credits, dan pemberian pinjaman darurat terhadap sistem keuangan atau industri lain yang menghadapi persoalan likuiditas atau solvabilitas.

Quasi fiscal merupakan aktivitas anggaran sehingga layak dimasukkan kedalam penghitungan defisit fiskal sektor publik.  Tidak dimasukkannya quasi fiskal, baik yang dilaksanakan oleh bank sentral maupun badan pemerintahan lainnya, kedalam perhitungan consolidated public sentor bugdet, akan menyebabkan terdistorsinya pperhitungan anggaran pemerintah. Memang ada beberapa masalah yang akan dihadapi dalam penggabungan tindakan quasi fiskal, antara lain perbedaan sistem akuntasi antara pemerintah dan bank sentral.

 

b.       Seignorage dan perpajakan

Seignorage merupakan pajak implisit yang sering diterapkan pemerintah. Pada prinsipnya, jika pemerintah membiayai defisit melalui penciptaan atau percetakan uang masyarakat akan menyerap dana tersebut untuk menutupi inflasi yang menggerogoti uangnya. Total uang dengan tambahan uang tersebut seharusnya tidak berubah karena terdapat faktor inflasi. Tambahan yang dipakai pemerintah untuk membiayai defisit ini disebut sebagai inflation tax revenue. Inflation tax revenue diperoleh dari inflasi dikalikan dengan real money base.

 

Kondisi dimana seignorage sama dengan inflation tax akan tercapai pada stationary state. Sepanjang tingkat inflasi dapat ditetapkan secara optimal oleh pemerintah, maka inflation tax sebagai sumber penting dari penerimaan pemerintah dapat pula dioptimalkan. Selama sumber penerimaan negara-negara berkembang seperti pajak belum dapat diandalkan, pemerintah cenderung menggunakan inflation tax. Kencenderungan ini terjadi mengingat antara lain basis pajak disebagaian besar negara berkembang masih belum memadai, tax evasion masih banyak terjadi, admidtrasi pengelolaan pajak masih lemah serta tidak efisien, Dan mayoritas penduduk tergolong kedalam penduduk berpendapatan menengah ke bawah/

Penelitian menunjukan bahwa rendahnya tingkat efisiensi pengelolaan pajak cenderung akan mendorong kenaikan inflation tax. Sebaliknya, kenaikan tingkat efisiensi pengelolaan pajak akan mengurangi ketergantungan pemerintah atas inflation tax sebagai sumber utama penerimaan. Penelitian lain juga menunjukan bahwa faktor politik, misalnya ( tingkat kompetensi dari pengelola keuangan negara )., dan tingkat keterbukaan atas perdagangan internasional, juga memiliki dampak terhadap tingkat efisiensi pengelolaan pajak.

Dengan kata lain selain faktor struktural dan adminitratif, ketertutupan dan ketidakstabilan politik akan berdampak terhadap tingkat efisisensi pengelolaan pajak sehingga pemerintah dinegaraa yang mengalami hal diatas akan lebih bergantung pada penerimaan dan inflation tax.[3]

Aspek Moneter

Dari sisi moneter kajian difokuskan pada:

a.       Dampak fiskal terhadap inflasi

Penelitian menunjukan bahwa di beberapa negara berkembang, dalam jangka panjang, fiskal defisit berdampak terhadap tingkat inflasi. Satu dan lain karena bank sentral cenderung membiayai pengeluaran pemerintah melalui pencetakan uang. Dalam jangka pendek, sepanjang defisit lebih banyak dibiayai oleh surat berharga di bandingkan dengan pencetakan uang, kenaikan defisit cenderung tidak inflatoir (meskipun kebijakan tersebut dibatasi oleh solvency constraint, yakni kemampuan pemerintah dimasa mendatang untuk membaayar kembali).

            Selain itu, korelasi antara defisit fiskal dan tingkat inflasi cenderung rendah sepanjang ekspektasi lambat untuk adjusted, atau sebagai akibat dari adanya  staggered wage contracts dimana hal ini akan melambat laju inflasi  dalam perekonomian. Beberapa penelitian lain menunjukan  hubungan antara kebijakan fiskal dan tingkat inflasi melalui expectational effects yang dikaitkan dengan persepsi arah kebijakan pemerintah dimasa mendatang. Apabila pemerintah pada periode ini melaksanakan kebijakan fiskal defisit, pelaku ekonomi dapat saja berasumsi bahwa pemerintah pada periode berikutnya akan menekan fiskal defisit melalui kebijakan kenaikan harga (yang akan menggerus nilai nominal dari hutang pemerintah).

            Dalam hal ini, tingkat inflasi pada periode ini (yang merupakan cerminan dari ekspektasi kenaikan harga dimasa mendatang) akan meningkat. Pada periode berikutnya, apabila pelaku ekonomi berasumsi bahwa pemerintah akan melaksanakan program penurunan defisit yang credible, maka ekspektasi akan inflasi akan menurun sehingga inflasi pada periode ini (lagi-lagi cerminan dari ekspektasi dari perilaku inflasi di periode berikutnya) akan menurun.

 

b.      Dampak fiskal dan tingkat bunga

Secara teoritis, di negara dimana sistem keuangannya relatif sudah maju dan tingkat bunganya ditentukan oleh pasar apabila pembiayaan fiskal lebih banyak bersumber dari pinjaman dalam negeri (melalui penerbitan surat hutang negara), setiap gerakan dalam anggaran belanja pemerintah akan memiliki dampak relatif besar terhadap tingkat bunga didalam negeri, makin besar kemungkinan akan terjadi default dan makin rendah tingkat kepercaayaan pelaku pasar terhadap sustainability dari fiscal stance.

Hal ini selanjutnya akan mendorong kenaikan tingkat bunga sehingga dapat menimbulkan destabilisasi. Berbagai penelitian secara empiris akan hal ini tidak memberikan hasil yang significant. Lemahnya hubungan antara defisit fiskal dan tingkat bunga mungkin terjadi karena adanya intervensi dari bank sentral atas tingkat bunga sehingga tingkat bunga yang digunakan tidak mencerminkan tingkat bunga yang seharusnya.

Kemungkinan lain adalah faktor ekspektasi dari pelaku pasar dimana apabila pelaku pasar memperkirakan (dengan tingkat akurasi tinggi) bahwa pengeluaran akan meningkat, tingkat bunga pasar sudah bergerak terlebih dahulu, sehingga pada saat pengeluaran betul-betul meningkat, efeknya sudah tidak ada lagi. Faktor ekspektasi ini juga dapat dikaitkan dengan reaksi pelaku pasar terhadap kombinasi kebijakan yaang akan dilaksanakan oleh pemerintah.

Apabila pemerintah melaksanakan defisit fiskal (baik melalui penurunan pajak ataupun peningkatan pengeluaran) yang dibiayai dengan penerbitan surat berharga pemerintah selama satu periode dan pada periode berikutnya akan menutup defisit tersebut baik melalui peningkatan pajak ataupun melalui money finence, maka ekspektasi tingkat inflasi pada periode ini akan naik yang langsung tercermin dalam kenaikan tingkat bunga nominal. Hal ini akan mendorong pelaku pasar untuk menggunakan uangnya membeli surat berharga, sehingga tingkat bunga riil turun. Dengan kata lain, tergantung dari jenis kebijakan fiskal yang dipilih dan tingkat ekspektasi pelaku pasar, defisit fiskal dapat saja menurunkan tingkat bunga riil.

Dari sisi lain, tanpa faktor ekspektasi dengan tingkat bunga yang relatif flexible, defisit fiskal yang sebagian besar dibiayai melalui pasar kredit domestik akan mendorong naiknya tingkat bunga riil. Hal ini akan menurunkan investasi swasta dan selanhutnya menekan total output. Apabila sistem ekonomi yang dianut adalah repressive dimana pemerintah mengatur tingkat bunga, maka hal diatas akan menimbulkan efek crowding out melalui alokasi kredit perbankan yang tidak merata.

Dalam hal pasar kredit informal memiliki peran dalam perekonomian, ketatnya kredit formal  akan mendorong debitor untuk beralih ke pasar informal sehingga tingkat bunga di pasar informal tersebut cenderung akan naik. Bila biaya transaksi berperan besar dalam penentuan harga, hal diatas akan mendorong naiknya tingkat inflasi. Dengan demikian, dalam kondisi tertentu (antara lain perekonomian yang repressive dan besarnya peran pasar informal), defisit fiskal dapat saja mendorong kenaikan inflasi dan menekan tingkat output.

Dampak negatif dari defisit fiskal ini dapat dihindari sepanjang kenaikan pengeluaran pemerintah tersebut digunakan untuk investasi publik, dimana investasi swasta dan investasi publik merupakan barang pelengkap (saling melengkapi), bukan substitusi. Dengan kata lain, dampak dari defisit fiskal, apakah negatif atau positif, kembali tergantung kepada sumber pembiayaannya dan tujuan dari pengeluarannya (komposisinya).

Aspek Neraca Pembayaran

Sepanjang net private saving given, dimana kesempatan untuk meminjam dari publik di dalam negeri sangat terbatas, kebijakan fiskal harus di biayai melalui pinjaman luar negeri sehingga akan berdampak terhadap neraca transaksi berjalan atau current account. Dalam hai ini, defisit fiskal akan mendorong timbulnya defisit neraca transaknsi berjalan. Faktor ekspektasi juga dapat menetukan keterkaitan antara defisit fiskal dengan neraca transaksi berjalan. Katakanlah pemerintah pada periode ini melaksanakan kebijakan defisit fiskal yang dibiayai melalui penerbitan obligasi.

Apabila pelaku ekonomi berasumsi bahwa pemerintah pada periode berikutnya akan menutup defisit tersebut melalui tax finance regime, pelaku ekonomi akan menganggap bahwa telah terjadi defisit pada neraca transaksi berjalan. Sebaliknya, apabila pelaku ekonomi berasumsi bahwa pemerintah pada periode berikutnya akan menutup defisit melalui money finance atau seignorage regime, maka pelaku ekonomi akan menganggap bahwa telah terjadi surplus pada neraca transaksi berjalan. Istilah twin deficit dengan demikian  timbul karena pelaku ekonomi berasumsi bahwa pemerintah akan meningkatkan pajak pada periode berikutnya untuk menutup defisit pada periode ini.

Berdasarkan Ricardian Equivalence, defisit fiskal tidak terkait dengan defisit neraca transaksi berjalan. Sepanjang ada debt neutrality, penurunan defisit melalui kenaikan pajak dampaknya bukan pada neraca transaksi berjalan, namun pada penurunan tabungan swasta dalam jumlah yang sama. Penurunan pengeluaran pemerintah yang bersifat permanen hanya akan menaikkan konsumsi masyarakat, bukan pada neraca transaksi berjalan. Namun berbagai penelitian menunjukan bahwa debt neutrality seringkali tidak berlaku sehingga Ricardian Equavalence dalam hal ini relatif tidak valid.

Kritik terhadap Rricardian Equavalence antara lain timbul dimana tidak selalu defisit fiskal akan ditutup dengan kenaikan pajak. Dapat saja di masa mendatang pemerintah menekan pengeluaran. Selain itu kenaikan pajak (apabila memang dilaksanakan pemerintah untuk menutup defisit periode ini) dapat dilaksanakan kapan saja, tidak harus pada periode berikutnya mengingat kenaikan pajak sering kali memiliki dampak politis yang tinggi.

 

Aspek Akuntabilitas (Premchand, 1983)

                        Aspek  akuntabilitas dari fiskal lebih banyak dikaitkan dengan proses politik dari budgeting. Faktor legislator sebagai bagian dari sistem politik sangat berperan dalam hal ini. Aspek akuntabilitas secara umum terkadang di dalam prinsip-prinsip sistem penganggaran, seperti unity (seluruh transaksi pemerintah yang comprehend), regularity (anggaran disampaikan setiap tahun secara reguler), accuracy (estimasi penerimaan dan pengeluaran diketahui  oleh legislator), clarity (isinya jelas dan dapat dimengerti public dan legislator), publicity (seluruh informasi disampaikan), dan operationally adequate (memadai sebagai alat administrasi pemerintah).

 

 

 

 

 

 

C. ASUMSI DASAR APBN

Mengingat peranan pemerintah yang cukup besar sebagai regulator perekonomian, kebijakan fiskal pemerintah pada gilirannya juga akan mempengaruhi besaran-besaran asumsi dasar ekonomi makro. Dengan demikian, besaran-besaran dasar ekonomi makro yang digunakan sebagai langkah awal untuk menghitung besaran APBN sudah mempertimbangkan rencana kebijakan fiskal yang akan diambil pemerintah.

Lembaga yang bertanggung jawab menyusun kerangka ekobomi makro adalah Badan Kebijakan Fiskal (BKF), departemen keungan. Kerangka ekonomi makro ini sebaiknya memiliki kredibilitas yang tinggi sehingga dapat digunakan oleh para investor dalam memperkirakan kondisi perekonomian kedepan. Untuk meningkatkan kredibilitas proyeksi, BKF mendiskusikan dan membandingkan proyeksi kerangka ekonomi makro yang ada dengan proyeksi yang dihasilkan oleh institusi lain, seperti Bank Indonesia (BI), Kementrian Negara PPN atau Bappenas, badan pusat statistik (BPS), Menko perekonomian, Departemen Energi Sumber Daya Mineral, dan BP Migas.

Berdasarkan kerangka  ekonomi yang disepakati, akan ditinjau secara periodik dan dituangkan dalam laporan pemutahiran proyeksi ekonomi makro. Langkah selanjutnya adalah menyusun kerangka ekonomi makro yang akan dibahas dalam sidang kabinet untuk meningkatkan komitmen bersama anggota kabinet terhadap asumsi dasar ekonomi yang ditetapkan yang kemudian diajukan ke DPR dalam pembicaraan pendahuluan dengan panitia Anggota DPR.

Perkiraan asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan didalam pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya ke DPR, merupakan refleksi dari perkiraan prospek perekonomian nasional secara keseluruhan pada tahun berjalan, yang dipengaruhi oleh pencapaian kinerja ekonomi pada tahun sebelumnya, baik yang secara langsung maupun yang tidak langsung berdampak pada perekonomian indonesia.

Indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai asumsi dasar ekonomi makro tersebut dapat mengalami perubahan sesui dengan kinerja perekonomian indonesia dan berbagai perkembangan kondisi perekonomian dunia terkini. Asumsi dasar ekonomi makro memang sulit diperkirakan secara tepat dan akurat karena tinggi nya ketidak pastian faktor-faktor yang mempengaruhinya. Namun demikian, pemerintah senantiasa melakukan exercises dari waktu kewatu dalam rangka mengantisipasi pergerakan perkembangan asumsi dasar ekonomi makro.[4]

Pada laporan APBN, termasuk pula pada R-APBN dicantumkan indikator-indikator perekonomian yang dijadikan sebagai asumsi APBN. Indikator-indikator ekonomi tersebut menandakan hasil dari proses perancangan APBN yang disesuaikan dengan perkiraan atau harapan kondisi ekonomi pada periode diberlakukannya APBN. Pemerintah menjalankan fungsi fiskal yang didalamnya terdapat aktivitas untuk menghimpun pendapatan melalui pemungutan seperti pajak, cukai, dan jenis pungutan lainnya, serta melakukan aktivitas belanja pemerintah yang nantinya akan berdampak kepada perekonomian nasional.

Ada 3 macam asumsi dasar dalam pengelolaan APBN, yaitu asumsi makro ekonomi, asumsi moneter, dan asumsi energi. Asumsi makro ekonomi terdiri atas asumsi pertumbuhan ekonomi, asumsi Produk Domestik Bruto (PDB), dan asumsi inflasi. Asumsi moneter menggunakan tingkat suku bunga pada Sertifikat Bank Indonesia atau SBI dan kurs mata uang Rupiah terhadap US Dollar. Sedangkan untuk asumsi energi menggunakan harga minyak dunia dan produksi minyak dalam barel per hari. Keseluruhan asumsi-asumsi tersebut merupakan perkiraan dan sekaligus espektasi yang dibuat oleh pemerintah. Asumsi-asumsi tersebut dipergunakan ketika melakukan perencanaan atas sejumlah aktivitas pemerintah seperti pemungutan pajak, belanja pegawai/modal, pengeluaran untuk sejumlah program kesejahteraan, pemberian subsidi, dan aktivitas-aktivitas pemerintah lainnya.

Asumsi-asumsi ekonomi yang digunakan dalam APBN tidak selalu sesuai dengan perkiraan. Misalnya, akibat memburuknya kondisi perekonomian di Eropa ataupun gejolak politik di Timur Tengah menyebabkan terkoreksinya beberapa asumsi-asumsi seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, ataupun harga minyak dunia. Pemerintah dapat melakukan koreksi ulang atas asumsi-asumsi APBN dan atau dapat pula melakukan koreksi atas pos-pos anggaran di dalam APBN. Penyesuaian atas koreksi asumsi-asumsi tersebut nantinya akan dituliskan ke dalam APBN Penyesuaian atau APBN-P.

 

Mengapa indikator ini mencadi asumsi:

1.      Produk Domestik Bruto (PDB) dalam rupiah

Produk domestik bruto (PDB) adalah nila i pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional.

PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per tahun). PDB hanya menghitung total produksi dari suatu negara tanpa memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi dalam negeri atau tidak. Sebaliknya, PNB memperhatikan asal usul faktor produksi yang digunakan.

PDB Nominal merujuk kepada nilai PDB tanpa memperhatikan pengaruh harga. Sedangkan PDB riil (atau disebut PDB Atas Dasar Harga Konstan) mengoreksi angka PDB nominal dengan memasukkan pengaruh dari harga. PDB dapat dihitung dengan memakai dua pendekatan, yaitu pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan. Rumus umum untuk PDB dengan pendekatan pengeluaran adalah:

PDB = konsumsi + investasi + pengeluaran pemerintah + (ekspor - impor)

Dimana konsumsi adalah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, investasi oleh sektor usaha, pengeluaran pemerintah oleh pemerintah, dan ekspor dan impor melibatkan sektor luar negeri. Dengan mengetahui keadaan PDB sekarang, kita bisa memprediksikan dan menargetkan PDB pada tahun yang akan datang.

2.      Pertumbuhan ekonomi tahunan

Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.

3.      Inflasi

Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilaimata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi.

 Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Stabilnya inflasi membuat harga barang menjadi terkontrol akibatnya daya beli masyarakat akan meningkat.

4.      Nilai tukar rupiah per USD

Nilai rupiah  pada tahun ini di hargai berapa dalam pasar internasional. Agar transaksi internaisonal kita, yang membutuhkan nilai dolar bisa stabil.

5.      Suku bunga SBI 3 bulan (%)

Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem diskonto/bunga. SBI merupakan salah satu mekanisme yang digunakan Bank Indonesia untuk mengontrol kestabilan nilaiRupiah. Dengan menjual SBI, Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan SBI ditentukan oleh mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang. Sejak awal Juli 2005, BI menggunakan mekanisme "BI rate" (suku bunga BI), yaitu BI mengumumkan target suku bunga SBI yang diinginkan BI untuk pelelangan pada masa periode tertentu. BI rate ini kemudian yang digunakan sebagai acuan para pelaku pasar dalam mengikuti pelelangan.

 

Asumsi Makro  Apbn 2015

Perekonomian dunia pada tahun 2015 diperkirakan mengalami ketidak pastian yang dipicu oleh perlambatan di berbagai negara terutama Tiongkok, melemahnya harga komoditas di pasar internasional, dan rencana kenaikan suku bunga di Amerika Serikat.

Kondisi tersebut memengaruhi perekonomian dalam negeri, seperti melambatnya pertumbuhan ekspor dan investasi yang berdampak signifikan terhadap beberapa jenis pendapatan negara dalam APBN tahun 2015. Sementara itu, melambatnya perekonomian domestik dalam tahun 2014 juga berdampak negatif terhadap realisasi pendapatan negara tahun 2014. Dengan demikian, melambatnya pertumbuhan ekspor dan investasi serta melemahnya harga komoditas akan berdampak signifikan terhadap beberapa asumsi dasar ekonomi makro dalam APBN tahun 2015.

Akhir minggu lalu, Menteri Keuangan menyampaikan perubahan asumsi makro dalam rancangan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang telah disepakati oleh pemerintah dengan Panitia Kerja (Panja),  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bersumber dari lKementerian Keuangan, Perubahan asumsi makro RAPBN-P 2015 tersebut disampaikan Menkeu dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR untuk menetapkan postur sementara APBN-P 2015 pada Jumat (06/02) di Jakarta.

Pertumbuhan ekonomi menjadi 5,7 persen, atau 0,1 persen lebih rendah dibandingkan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi dalam nota keuangan RAPBN-P 2015 yang sebesar 5,8 persen. Asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga disepakati melemah, yakni menjadi sebesar Rp12.500 per dolar AS. Sebelumnya, dalam nota keuangan RAPBN-P 2015, asumsi nilai tukar tercatat sebesar Rp12.200 per dolar AS.

Asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) juga mengalami penurunan menjadi 60 dolar AS per barel, dan asumsi lifting minyak diturunkan menjadi 825 ribu barel per hari, dari sebelumnya 849 ribu barel per hari. Asumsi lifting gas mengalami peningkatan dari 1,17 juta barel per hari setara minyak menjadi 1,22 juta barel per hari setara minyak. Sementara, asumsi inflasi dan tingkat suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan masing-masing disepakati tetap pada 5 persen dan 6,2 persen.[5]

Proyeksi Asumsi Dasar Ekonomi Makro Jangka Menengah

Bersumber dari Nota Keuangan RAPBN-P 2015, pertumbuhan ekonomi selama periode 2016 hingga 2018 diperkirakan bergerak pada kisaran 6,3 persen hingga 7,8 persen dengan kecenderungan terus meningkat. Faktor-faktor eksternal dan domestik akan menjadi pendorong kinerja pertumbuhan ekonomi.

Indikato Ekonomi

2016

2017

2018

Pertumbuhan Ekonomi (%,yoy)

6,3-6,9

6,8-7,4

7,2-7,8

Inflasi (%,yoy)

3,0-5,0

3,0-5,0

2,5-4,5

Tingkat bunga SPN 3bulan (%)

5,0-7,0

5,0-7,0

4,5-6,5

Nilai tukar (Rp/USD)

11.750-12.150

11.700-12.100

11.650-12.050

Harga Minyak Mentah Indonesi (USD/barel)

65-85

75-100

75-100

Lifiting Minyak (ribu barel per hari)

850-900

750-800

700-750

Lifiting Gas (ribu barel setara minyak per hari)

1.100-1.200

1.100-1.200

1.100-1.300

 

Dari sisi eksternal, semakin membaiknya pertumbuhan ekonomi global yang mulai tumbuh di atas 4,0 persen dan disertai peningkatan volume perdagangan berdampak pada membaiknya neraca perdagangan Indonesia. Dari sisi domestik, berbagai pelaksanaan program pembangunan infrastruktur dari kebijakan pengalihan subsidi akan mendorong peningkatan kegiatan investasi. Langkah-langkah tersebut juga akan mendorong perbaikan iklim usaha dan aktivitas investasi oleh pihak swasta dan pada gilirannya kapasitas produksi nasional.

Dari sisi konsumsi, struktur demografi masih menjadi modal dasar kuatnya konsumsi domestik. Selain itu, berbagai program sosial, antara lain Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang akan dilaksanakan oleh pemerintahan diharapkan akan mendorong naiknya daya beli masyarakat.

Terlebih apabila kolaborasi kebijakan pemerintah di bidang fiskal dan moneter yang baik akan menurunkan laju inflasi. Tingkat inflasi pada periode 2016-2017 ditetapkan pada kisaran 4,0 ± 1 persen menurun menjadi 3,5 ± 1 persen pada periode 2018. Perkembangan nilai tukar rata rata selama periode 2016-2018 diperkirakan bergerak pada kisaran Rp12.150 hingga Rp11.650 per USD, dengan kecenderungan menguat bertahap. Pergerakan tersebut antara lain didorong oleh prestasi neraca perdagangan Indonesia, masuknya arus modal, baik Foreign Direct Investment (FDI) maupun portofolio, serta semakin menguatnya sumber-sumber pembiayaan domestik. Namun di sisi lain, peningkatan aktivitas investasi dan produksi masih mendorong peningkatan kebutuhan barang modal dan bahan baku impor. Kombinasi faktor-faktor tersebut menyebabkan apresiasi nilai tukar selama periode 2016-2018 tidak terlalu signifikan.

Seiring dengan menurunnya tekanan inflasi dan perbaikan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri, serta sentimen positif terhadap posisi fiskal yang semakin sehat telah menyebabkan minat investor terhadap instrumen obligasi pemerintah semakin baik. Selain itu, berkurangnya tekanan dari sisi global terkait perkiraan berakhirnya normalisasi kebijakan moneter di AS serta kebijakan moneter yang longgar di negara industri utama seperti Eropa dan Jepang menjadi faktor yang memengaruhi penurunan yield obligasi pemerintah, termasuk suku bunga SPN 3 bulan. Suku bunga SPN 3 bulan dalam periode 2016-2018 diperkirakan bergerak pada kisaran 7,0 sampai dengan 4,5 persen dengan kecenderungan menurun.[6]

 

D. INDIKATOR EKONOMI MAKRO

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang menjadi dasar dalam penggunaan biaya dalam pelaksanaan program-program negara disusun melalui berbagai indikator ekonomi makro. Indikator ekonomi makro tersebut dijadikan tolak ukur sebelum menyusun anggaran yang dibutuhkan dan dikeluarkan oleh negara.[7]          

Mengingat peranan pemerintah yang cukup besar sebagai regulator perekonomian, kebijakan fiskal pemerintah pada gilirannya juga akan mempengaruhi besaran-besaran asumsi dasar ekonomi makro. Dengan demikian, besaran-besaran asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan sebagai langkah awal untuk menghitung besaran APBN sudah mempertimbangkan rencana kebijakan fiskal yang akan diambil pemerintah.

Lembaga yang bertanggung jawab menyusun kerangka ekonomi makro adalah Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Departemen Keuangan. Kerangka ekonomi makro ini sebaiknya memiliki kredibilitas yang tinggi sehingga dapat digunakan oleh para investor dalam memperkirakan kondisi perekonomian ke depan. Untuk meningkatkan kredibilitas proyeksi, BKF mendiskusikan dan membandingkan proyeksi kerangka ekonomi makro yang ada dengan proyeksi yang dihasilkan oleh institusi lain, seperti Bank Indonesia (BI), Kementerian Negara PPN/Bappenas, Badan Pusat Statistik (BPS), Menko Perekonomian,

            Departemen Energi Sumber Daya Mineral, dan BP Migas. Berdasarkan kerangka ekonomi yang disepakati, akan ditinjau secara periodik dan dituangkan dalam laporan pemutahiran proyeksi ekonomi makro. Langkah selanjutnya adalah menyusun kerangka ekonomi makro yang akan dibahas dalam sidang kabinet untuk meningkatkan komitmen bersama anggota kabinet terhadap asumsi dasar ekonomi yang ditetapkan untuk kemudian diajukan ke DPR dalam Pembicaraan Pendahuluan dengan Panitia Anggaran DPR.

                  Perkiraan asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan di dalam pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya ke DPR, merupakan refleksi dari perkiraan prospek perekonomian nasional secara keseluruhan pada tahun berjalan, yang dipengaruhi oleh pencapaian kinerja ekonomi pada tahun sebelumnya, baik yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada perekonomian Indonesia. Indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai asumsi dasar ekonomi makro tersebut dapat mengalami perubahan sesuai dengan kinerja perekonomian Indonesia dan berbagai perkembangan kondisi perekonomian dunia terkini. Asumsi dasar ekonomi makro memang sulit diperkirakan secara tepat dan akurat karena tingginya ketidakpastian faktor-faktor yang mempengaruhinya. Namun demikian, pemerintah senantiasa melakukan exercises dari waktu ke waktu dalam rangka mengantisipasi pergerakan perkembangan asumsi dasar ekonomi makro.

                  Dalam penyusunan APBN banyak pertimbangan yang dilakukan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disusun setiap tahun oleh Pemerintah dan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Penyusunan APBN tidak terlepas dari kebijakan fiskal yg ditetapkan Pemerintah melalui Menteri Keuangan. Disamping itu, penyusunan APBN juga tidak terlepas dari Asumsi Makro Ekonomi yg ditetapkan Pemerintah. Asumsi makro ekonomi yg biasa dijadikan barometer dan patokan dlm penyusunan APBN meliputi:

·         Pertumbuhan Ekonomi

·         Tingkat Inflasi

·         Nilai Tukar Rupiah Terhadap Us Dollar

·         Suku Bunga Sbi 3 Bulan Kedepan

·         Harga Minyak (Icp)[8]

 

1.      Pertumbuhan Ekonomi

Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara. Pertumbuhan ekonomi yang merupakan hasil  output yang dibentuk oleh berbagai sektor ekonomi ini memengaruhi proses penyusunan APBN dengan dasar dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang telah dicapai oleh sektor ekonomi tersebut pada suatu waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat menunjukkan sejauhmana aktivitas perekonomian yang akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada dasarnya aktivitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output, maka proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat sebagai pemilik faktor produksi. Dengan melihat kondisi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, akan dapat dilihat gambaran terkait dengan komponen-komponen kegiatan yang dimasukkan ke dalam APBN.               

         Bahwa Stabilitas Ekonomi diperlukan dalam rangka mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Sebagaimana anggapan ekonom kapitalis, bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil merupakan jalan untuk menyelesaikan problem perekonomian. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan dicapai bergeraknya sektor ekonomi sehingga akan melahirkan banyak lapangan pekerjaan. Dengan demikian, pengangguran akan dapat diatasi, begitu pula angka kemiskinan secara otomatis dapat dikurangi.

         Pada tahun 2010 diperkirakan tumbuh pada kisaran 5 – 6%. Stimulus fiskal yang dilaksanakan pada tahun 2009 diharapkan dapat mendorong pemulihan perekonomian nasional yang disumbangkan oleh peningkatan investasi dan pertumbuhan volume dan harga ekspor komoditas non migas. Keserasian peraturan pusat dan daerah serta peningkatan pengelolaan APBD diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan investasi yang pada saatnya akan mendukung pertumbuhan ekonomi secara agregat. Sedangkan laju inflasi akan dijaga pada kisaran 4,5 – 5,5%.

 

2.      Tingkat Inflasi

                     Terkait naik turunnya depresiasi mata uang rupiah dengan mata uang asing serta kebijakan politik ekonomi yang tidak pro-rakyat dapat mempengaruhi perekonomian. Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi.

Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidak lancaran distribusi barang. Inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi merupakan salah satu penyakit ekonomi yang tidak bisa diabaikan, karena dapat menimbulkan dampak yang sangat luas. Oleh karena itu inflasi sering menjadi target kebijakan pemerintah. Inflasi yang tinggi bisa menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang lambat dan pengangguran yang meningkat.  Dengan keadaan yang demikian, stabilitas APBN juga dipertimbangkan dengan tinggi atau rendahnya inflasi yang terjadi. Maka dari itu, inflasi menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam menyusun APBN.

Inflansi adalah suatu keadaan dalam perekonomian dimana terjadi kenaikan harga-harga secara umum. Kenaikan dalam harga barang dan jasa yang bisa terjadi jika permintaan bertambah dibandingkan dengan jumlah penawaran atau persediaan barang di pasar, dalam hal ini lebih banyak uang yang beredar yang digunakan untuk membeli barang dibanding dengan jumlah barang dan jasa. Perleu diketahui bahwa setiap kenaikan barang bukan inflansi misalnya, harga barang-barang pada saat lebaran, ini hanya gejolak yang hadir hanya sesaat yang tidak berlangsung terus-menerus.sedangkan deflansi adalah penurunan harga barang-barang sehingga kemampuan orang membeli barang-barang meningkat pada saat periode tertentu.[9]

Inflansi digunakan sebagai salah satu asumsi dasar makro ekonomi karena inflansi mempengaruhi postur RAPBN/RAPBN-P, baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi belanja. Karakteristik inflansi dapat digambarkan melalui penjelasan mengenai sebab terjadinya inflansi.

 

3.      Nilai Tukar Rupiah terhadap US dollar

                     Nilai tukar merupakan variabel dalam perekonomian terbuka seperti dewasa ini. Dalam penentuan nilai APBN selalu berdasarkan pada asumsi nilai tukar. Karena dalam APBN terdapat komponen belanja pembayaran bunga hutang luar negeri yang harus dibayarkan dalam mata uang asing. Jika suatu ketika nilai tukar terhadap mata uang Indonesia tinggi, maka akan semakin rendah pembayaran hutang negara tersebut. Dan sebaliknya, jika suatu ketika nilai tukar terhadap mata uang Indonesia rendah, maka Indonesia berupaya untuk menyediakan anggaran yang lebih. Selain itu juga ada beberapa jenis penerimaan yang diterima dalam bentuk mata uang asing.  Maka dari itu, nilai tukar ini sangat penting diketahui dalam menyusun APBN.

Di Indonesia Dollar Amerika digunakan sebagai pembanding karena Dollar Amerika merupakan mata uang yang kuat, dan Amerika merupakan partner dagang yang dominan di Indonesia. Nilai tukar ditentukan berdasarkan permintaan dan penawaran terhadap rupiah dan valuta asing. Jenis-jenis kurs:

·         Kurs jual, adalah kurs yang dipakai apabila bank menjual valuta asing kepada nasabahnya.

·         Kurs beli, adalah kurs yang dipakai pada saat bank membeli Valuta asing dari nasabahnya.

·         Kurs Tengah, adalah kurs yang ditetapkan berdasarkan kurs beli dan kurs jual dibagi dua. Gunanya untuk mendapatkan kurs untuk perhitunganperhitungan yang bersifat umum.

·         Rata-rata nilai kurs bulanan, adalah jumlah nilai kurs tengah dalam periode 1 bulan dibagi dengan jumlah periode waktu selama 1 bulan.

·         Rata-rata nilai kurs tahunan, adalah jumlah rata-rata nilai kurs tengah bulanan selama 1 tahun dibagi dengan jumlah periode waktu 12 bulan.

 

4.      Suku Bunga SBI 3 Bulan Kedepan

                     Tingkat suku bunga merupakan salah satu variabel yang memengaruhi masyarakat dalam memilih bentuk kekayaan yang ingin dimilikinya, apakah dalam bentuk uang,  financial asset, atau benda-benda riil seperti tanah, rumah, mesin, barang dagangan dan lain-lain. Mana yang memberikan tingkat bunga yang lebih tinggi akan lebih diminati. Tingkat suku bunga digunakan sebagai salah satu variabel dalam kebijakan menyusun APBN di Indonesia. Hal ini didasari bahwa suku bunga dapat menggambarkan kondisi perekonomian negara dengan kekayaan-kekayaan yang dimiliki oleh negara.            

                     Secara sederhana, bunga dapat diartikan sebagai bentuk imbalan jasa atau kompensasi atas pinjaman yang diberikan oleh suatu pihak. Uang, yang dipinjam disebut pokok utang. Sedangkan, persentase dari pokok utang yang dibayarkan sebagai balas jasa disebut suku bunga. Dalam hubungannya dengan perbankan, suku bunga dibedakan atas suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman.

 

5.      Harga Minyak (ICP)

                     Seperti yang diketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memproduksi minyak mentah ke internasional. Dengan kekayaan alam berupa minyak mentah yang dimiliki oleh Indonesia tersebut, dapat menjadi salah satu penerimaan anggaran yang diterima oleh negara. Semakin besar produksi minyak mentah di Indonesia, maka akan semakin besar penerimaan yang diterima oleh Indonesia. Dan sebaliknya, semakin kecil produksi minyak mentah di Indonesia, maka akan semakin kecil penerimaan yang diterima oleh Indonesia. Tentunya hal ini akan berpengaruh pada penyusunan APBN yangmana didasarkan pada besar atau kecilnya penerimaan yang diterima oleh negara.                      

Memperhatikan perkembangan harga minyak dunia yang menunjukkan kecenderungan menurun, harga minyak dunia tahun 2010 diasumsikan sebesar 45 – 60 dolar AS per barel dan produksi minyak 950 – 970 juta barel per hari. Pada kisaran harga tersebut diprediksi Pemerintah tidak akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, sehingga diharapkan akan membantu memperbaiki kondisi ekonomi nasional termasuk menurunkan inflasi.

                               APBN dalam suatu negara adalah tonggak atau pondasi bagi seluruh aktifitas negara beserta besaran anggarannya sehingga di dalam proses perancangannya pun harus memikirkan beberapa asumsi-asumsi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sehingga nantinya ketika anggaran tersebut sudah berjalan tidak terjadi kesalahan prediksi ataupun hal-hal yang tidak terduga yang dapat mempengaruhi jalannya aktifitas-aktifitas dan anggaran negara.[10]

            APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. Dalam menyusun APBN dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.

Dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara, penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud diatas harus berpedoman pada kerja Pemerintah. Dalam hal anggaran diperkirakan dfisit, maka sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN. Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 30% dari produk domestik bruto dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari produk domestik bruto[11].

Dalam hal anggaran surplus, pemerintah pusat dapat mengajukan rencana surplus anggaran kepada dewan perwakilan rakyat. Penggunaan surplus anggaran tersebut perlu mempertimbangkan prinsip pertanggung jawaban antargenerasi sehingga penggunaannya diutamakan untuk utang, pembentukan dana cadangan dan penungkatan jaminan sosial.[12]

 

E. LIFITING  MINYAK BUMI INDONESIA

Lifting migas adalah produksi migas yang siap jual. Besaran lifting ini bisa berbeda dengan besaran produksi karena tidak semua produksi migas yang baru keluar dari dalam bumi bisa langsung dijual. Dalam beberapa kasus, produksi migas masih harus diproses atau diangkut sebelum menjadi lifting. Istilah lifting juga kerap dipakai untuk menggambarkan proses penyerahan migas dari produsen kepada pembeli. Pada proses inilah penerimaan negara dari kegiatan hulu migas terealisasi.  

 Selain itupengertian lifiting minyak  bumi adalah  sejumlah minyak mentah dan atau gas bumi yang  dijual atau dibagi di titik penyerahan atau kepemilikan sebuah perusahaan secara fisik dan legal atas hak minyak mentah yang dalam kontrak bagi hasil biasanya mengandung dua komponen  yang terdiri atas baiaya dan keuntungan, produksi minyak hasil tambang siap jual, atau tingkat produksi hasil tambang minyak.asumsi lifiting minyak tersebut dalam APBN difungsikan sebagai dasar perhitungan penerimaan PNBP migas. Berikut ini sebagian contoh di Indonesia asumsi lifiting minyak di Indonesia :

JAKARTA - Pemerintah dan DPR menyepakati asumsi makro dari target lifting minyak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN2016, sebesar 800.000-830.000 barel per hari (bph).

"Kesimpulan yang disepakati range lifting minyak berada di level 800.000-830.000 bph," ujar Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika saat membahas asumsi makro R-APBN 2016 bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Gedung DPR, Jakarta, Senin (15/6/2015).

Menurutnya, besaran ditetapkannya besaran lifting merupakan angka kisaran yang diajukan masing-masing setiap fraksi. Dalam menentukan target lifting minyak, setiap kelompok fraksi (poksi) telah melakukan diskusi secara internal. Adapun besaran yang diusulkan antara lain, Fraksi PDI-P mengusulkan besaran lifting di kisaran 810.000-830.000 bph, Partai Golkar 820.000-850.000 bph, Partai Gerindra 800.000-830.000 bph, Partai Demokrat 810.000-830.000 bph.

Selain itu, Feraksi PAN mengusulkan besaran lifting 800.000-830.000 bph, PKB 760.000-800.000 bph, PKS 800.000-830.000 bph, Nasdem 800.000 bph, PPP 800.000-830.000 bph, Hanura 820.000-850.000 bph.

"Berdasarkan usulan masing-masing poksi akhirnya diputuskan besaran lifting minyak di kisaran 800.000-830.000 bph.Semua fraksi pun menyepakati usulan itu," kata dia.

Sementara itu, Menter ESDM Sudirman Said menyepakati usulan Komisi VII DPR untuk lifting minyak di kisaran 800.000-830.000 bph.Sejalan putusan itu, pihaknya terus memantau pergerakan produksi minyak setiap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

"Melihat kinerja tahun ini maka range lifting sebesar itu cukup realistis. Kami akan terus memantau jalannya produksi minyak di akhir tahun sehingga bisa menentukan patokan lifting di tahun depan," ujar Sudirman.[13]

Sedangkan realistis tahun ini adalah  sebagai berikut:

JAKARTA - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) merilis data produksi minyak bumi nasional (lifting) bulan ini mengalami kenaikan 24.000 barel per hari (bph) dibanding bulan lalu.

Sekretaris SKK Migas Budi Agustyono merinci produksi rata-rata minyak bumi pada Agustus lalu sebanyak 776.500 bph, sedangkan rata-rata produksi minyak bumi bulan ini sebanyak 800.500 bph.

Sementara rata-rata periode Januari-September 783.000 bph atau telah mencapai 95% dari target Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 825.000 bph.

“Namun untuk gas, produksinya cenderung stagnan di angka 8.000 juta kaki kubik per hari,” kata dia di Jakarta, Selasa (15/9/2015).

Menurut dia, produksi migas secara total sebanyak 2,21 juta barel ekuivalen per hari. Pihaknya optimistis rata-rata produksi akan terus meningkat hingga akhir tahun seiring diselesaikannya proyek-proyek migas.

“Industri hulu migas dituntut bekerja keras untuk mencapai target lifting migas yang ditetapkan pemerintah,” ujarnya.

Sementara untuk kontribusi hulu migas wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Jabanusa) kontribusinya lebih dari 300.000 barel ekuivalen minyak per hari atau 15% dari total produksi minyak dan gas bumi nasional.

Jumlah ini akan meningkat cukup signifikan saat Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu mencapai produksi puncak sebanyak 205.000 bph pada akhir 2015. “Saat ini, produksi Banyu Urip berkisar 80.000 bph,” katanya.

Di sisi penerimaan negara, Budi menjelaskan, realisasi per 4 September 2015 tercatat sebesar USD10,03 miliar atau sekitar Rp140 triliun. Jumlah itu sekitar 67% dari penerimaan sebesar USD14,99 miliar.

“Pencapaian target nasional tidaklah mudah karena terdapat kendala dalam pelaksanaan dilapangan, terlebih di tengah turunnya harga minyak dunia, industri hulu migas dituntut melaksanakan efisiensi biaya operasi,” kata dia.[14]

F. DAMPAK ASUMSI MELESET

Mengingat peranan pemerintah yang cukup besar sebagai regulator perekonomian, kebijakan fiskal pemerintah pada gilirannya juga akan mempengaruhi besaran-besaran asumsi dasar ekonomi makro. Dengan demikian, besaran-besaran asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan sebagai langkah awal untuk menghitung besaran APBN sudah mempertimbangkan rencana kebijakan fiskal yang akan diambil pemerintah.

Dalam penyusunan APBN banyak pertimbangan yang dilakukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disusun setiap tahun oleh Pemerintah dan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Penyusunan APBN tidak terlepas dari kebijakan fiskal yg ditetapkan Pemerintah melalui Menteri Keuangan. Disamping itu, penyusunan APBN juga tidak terlepas dari Asumsi Makro Ekonomi yg ditetapkan Pemerintah. Asumsi makro ekonomi yg biasa dijadikan barometer dan patokan dlm penyusunan APBN meliputi;

1.      pertumbuhan ekonomi

2.      tingkat inflasi

3.      nilai tukar rupiah terhadap US dollar

4.      suku bunga SBI 3 bulan kedepan

5.      harga minyak (ICP)

6.      lifting oils (kapasitas produksi minyak per hari).[15]

Namun dalam perkembanganya, bila terjadi perubahan dan perkembangan yang cukup berarti pada faktor-faktor internal dan eksternal yang berdampak signifikan pada berbagai indikator ekonomi makro, maka pada giliranya akan berpengaruh pula pada besaran-besaran APBN. Berdasarkan ketentuan pasal 27 ayat 3 UU nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara, yang antara lain menetapkan bahwa dalam hal terjadi perkembangan dan perubahan keadaan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN, dan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, maka pemerintah bersama DPR melakuakan pembahasan untuk penyesuaiaan APBN tahun berjalan. 

Dengan demikian, ketentuan ini menetapkan kewajiban bagi pemerintah bersama-sama DPR untuk melakuakan penyesuaiaan atas APBN tahun berjalan, apabila terjadi perkembangan atau perubahan keadaan. Unruk lebih memahami bagaimana pergerakan indikator ekonomi makro terus mengalami perubahan dan dampaknya terhadap besaran-besaran APBN, dapat dilihat dari kasus berikut:

APBN-P 2015 Dalam Bayang-bayang Krisis.

IndonesianReview.com -- Hampir semua asumsi pada APBN-P 2015 meleset. Sanggupkah pemerintahan Jokowi-JK mengatasi semua ini?

Sepertinya perjalanan pemerintahan Jokowi dalam mengarungi bahtera ekonomi nasional  bakal menemui jalan terjal. Simak saja apa yang tergambar dari realisaisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, hampir seluruh sektor meleset dari asumsi makro.

Banyak ekonom menilai, melesetnya asumsi makro pada APBN-P 2015 karena sejumlah faktor internal dan eksternal. Dari eksternal, tak lain adanya data perbaikan ekonomi Amerika Serikat dan melambatnya pertumbuhan ekonomi China.

Memang, angka yang diperoleh dari data Badan Pusat Statistik (PS)  masih bersifat sementara, karena dalam tiga minggu ke depan angka realisasi pencapaian APBN-P 2015 masih  terus berubah. Dari angka sementara tersebut, tampaknya hampir semua asumsi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah, tingkat suku bunga, lifting minyak, sulit untuk mencapai target sesuai angka dalam APBN-P 2015. 

Rilis yang dibuat Indef  mengatakan akan sulit rasanya  pertumbuhan ekonomi yang direncanakan pemerintah sebesar 5,7% bisa tercapai, jika dolar AS masih berada pada level  Rp 14.667.

Dalam rangkuman data Indef, untuk mencapai angka prosentase tersebut, pemerintah harus terus menangkis gempuran dolar AS agar nilai  rupiah terhadap dolar  mencapai nilai kestabilan di kisaran Rp 12.500. Dengan begitu, target pertumbuhan ekonomi sekitar 5,7% bisa tercapai. Tapi kalau melihat pergerakan rupiah terhadap dolar AS belakangan ini, rasanya sulit mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi itu.

Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro pun mengakui dengan perkembangan nilai kurs rupiah terhadap dolar seperti saat ini, pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai pada tingkat 5,1%, atau lebih rendah dari asumsi pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan dalam APBN-P 2015 sebesar 5,7%.

Hanya saja,  melambatnya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia bukan hanya dipengaruhi oleh melemahnya rupiah, tapi  juga dipengaruhi oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia. Kondisi tersebut mengakibatkan investasi dan ekspor Indonesia menjadi lemah.Lemahnya ekspor berpengaruh pada kecilnya kontribusi terhadap pemangkasan defisit neraca berjalan.

Seperti diketahui, defisit neraca berjalan turun menjadi US$ 6,8 miliar,  atau 3,1%  dari PDB awal 2015  atau lebih rendah sebesar 0,8 poin  dibanding PDB awal tahun lalu. Hal lain yang cukup merisaukan kehidupan sebagian masyarakat adalah naik turunnya inflasi pada tingkat yang kadang melampui  kewajaran. Faktor yang sangat memengaruhi tingkat inflasi saat ini adalah soal logistik, tata niaga dan infrastruktur plus iklim yang selalu berubah.Inflasi secara khusus seharusnya mendapat perhatian dari seorang Presiden. Sebab,   inflasi tahunan Desember lalu tercatat 8,36 %,  sementara target inflasi pada APBN-P 2015 sebesar 5,3%.

Kebijakan penyesuaian harga BBM yang jelas bertujuan dapat meningkatkan inflasi sampai ke tingkat paling  wajar saja tetap tidak bisa mencapai inflasi di bawah 5%. Namun sebaliknya, dengan kondisi geografis yang relatif sama, negara tetangga seperti Filipina, Thailand, Malaysia bisa mengendalikan inflasi di kisaran 2% -3%. 

Pada tatanan tingkat suku bunga, Indonesia seperti ekor dari seekor cicak, mudah kagetan dan mudah terputus.Hanya dengan pengumumun BPS terjadi deflasi pada bulan Februari saja, Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga acuan (BI Rate). Anehnya,  depresiasi nilai tukar rupiah terus saja berlangsung.

Terpaan terhadap rupiah, selain faktor masih tingginya defisit neraca pembayaran, tapi juga adanya  rencana bank sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga acuan pada Juni dan Oktober mendatang. Begitu pula halnya dengan lifting minyak. Tahun ini realisasi lifting minyak yang diproyeksikan 825.000 barel per hari, saat ini  hanya baru mencapai target minimal yakni 800.500 barel per hari.

Kondisi ekonomi negara makin panas dingin tatkala data SKK Migas mencatat, dari rencana 132 kegiatan eksplorasi migas tahun ini, hanya 60% saja yang terealisasi dan sisanya gagal. Alasan lainnya, KKKS masih terganjal masalah birokrasi seperti regulasi, perizinan hingga perpajakan.

Oleh karena itu, SKK Migas sangat mengkhawatirkan jika target lifting minyak dalam APBN-P 2015 sebesar 845.000 barel per hari, tidak akan tercapai. “Dari work program and budgeting (WPnP) yang sedang berjalan, kami lihat di bawah 825.000 barel per hari,” ujar Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana.

Dalam kondisi ekonomi sedang  panas dingin, dihantui pula berkurangnya sokongan dividen dari perusahaan-perusahaan yang sebagian sahamnya dipegang oleh pemerintah. Dapat dipastikan tahun ini setoran dividen dari perusahaan milik negara tidak bisa mencapai target.Salah satu sebabnya PT Freeport Indonesia, di mana pemerintah memiliki saham di perusahaan itu, tidak menyetorkan dividennya.

Padahal tahun sebelumnya, PT Freeport Indonesia selalu memberikan komitmen setoran dalam bentuk dividen ke dalam kas negara sebesar Rp 1,5 triliun per tahun. Karena itu pula setoran dari perusahaan tambang di Papua itu sangat memengaruhi pencapaian target APBN-P 2015 dari hasil setoran dividen perusahaan milik negara sebesar Rp 40 triliun.

Wakil Menteri BUMN Mahmuddin Yasin pun memperkuat hal itu, dengan menuturkan bahwa setoran dividen yang mampu diberikan oleh 141 perusahaan negara tahun ini, perkiraannya mentok pada kisaran Rp 37,5 triliun - Rp 38,5 triliun. Capaian makro ekonomi di triwulan pertama APBN-P 2015 hampir semuanya meleset, sementara dari sisi kesiapan dan kesesuaian dalam menghadapi gejolak ekonomi, sampai kini belum punya strategi yang triki. Lebih lagi Kabinet Kerja yang dipimpin Jokowi minim pengalaman dan pastinya kurang piawai.

Padahal bukan kali ini saja kondisi kritis bakal menghampiri. Rentang enam bulan ke depan masalah yang dihadapi akan makin riuh. Utang luar negeri yang jatuh tempo, suhu politik yang belum juga mereda, tampaknya semakin memusingkan pemerintah. Apalagi,  politik luar negeri pemerintahan Jokowi-JK bakal mendapat  ujian berat dari negara-negara yang menolak eksekusi hukuman mati.

Anggota Komisi XI DPR RI,  Ecky Awal Mucharam, terkait hal tersebut, dalam release yang diterima jabarprov.go.id, Rabu (23/9) mengungkapkan diharapkan pemerintah agar bekerja keras untuk merealisasikan hal tersebut dan harapannya hal tersebut bisa dicapai.

Untuk mengejar harapan tersebut,  pemerintah harus konsisten memperkuat kepercayaan pasar dan publik. pemerintah harus fokus dan bekerja sama dengan BI untuk mewujudkanya. Selain itu, pemerintah diharapkan dapat belajar dari pengalaman realisasi APBN-P 2015 yang banyak meleset dari asumsinya.

"Pemerintah harus belajar dari pengalaman realisasi APBN-P 2015 yang banyak meleset dari asumsinya. Jangan ada lagi kegaduhan-kegaduhan politik dari mulai intrik antar penegak hukum, hingga perang statemen di publik antar menteri  yang membawa sentimen negatif kepada publik dan pasar.

Pemerintah juga diharapkan dapat  mendorong belanja negara yang efektif. Anggaran perlu terserap dengan baik sebab belanja pemerintah akan memberi stimulus bagi perekonomian serta  pemerintah perlu menjaga daya beli masyarakat dan memberikan dukungan yang maksimal bagi sektor riil. Sudah siapkah pemerintahan Jokowi menerima kenyataan pahit yang bakal terjadi? Kita lihat saja episode yang akan datang.[16]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Asumsi dasar APBN adalah dugaan yang diterima sebagai dasar anggaran pendapatan dan belanja negara. Asumsi makro ekonomi yg biasa dijadikan barometer dan patokan dlm penyusunan APBN meliputi:

·         Pertumbuhan Ekonomi

·         Tingkat Inflasi

·         Nilai Tukar Rupiah Terhadap Us Dollar

·         Suku Bunga Sbi 3 Bulan Kedepan

·         Harga Minyak (Icp)

Asumsi-asumsi ini digunakan ketika melakukan perencanaan atas sejumlah aktifitas pemerintah, seperti pemungutan pajak, belanja pegawai, pengeluaran untuk program kesejahteraan, pemberian subsidi, dan lain-lain.

Lifting migas adalah produksi migas yang siap jual. Besaran lifting ini bisa berbeda dengan besaran produksi karena tidak semua produksi migas yang baru keluar dari dalam bumi bisa langsung dijual.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

http://apbnnews.com/artikel-opini/asumsi-makro-apbn-p-2015-telah-disepakati-dpr/#ixzz3n5b0ntbP

http://apbnnews.com/artikel-opini/asumsi-makro-apbn-p-2015-telah-disepakati-dpr/

http://apbnnews.com/artikel-opini/asumsi-makro-apbn-p-2015-telah-disepakati-dpr/#ixzz3nDlwBBuQ

http://www.migas.esdm.go.id/post/read/lifting-minyak-2016-ditetapkan-800.000-hingga-830.000-bph

http://indonesianreview.com/ds-muftie/apbn-p-2015-dalam-bayang-bayang-krisis

http://ekbis.sindonews.com/read/1044963/34/produksi-minyak-bumi-bulan-ini-naik-24-000-barel-1442310007

Rahayu Ani Sri, 2007, Pengantar Kebijkan Fiskal, (Jakarta: Bumi Aksara)

Seda Frans, 2004, Kebijakan Fiskal Dan Anggaran Pendapat Dan Belanja Negara, Dalam Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, Dan Implementasi, (Jakarta: Kompas)

Yoesoef  Fatullah, 2013, Fiskal dan Moneter, (Yogyakarta: Ideapers).

 

 

 



[2] http://joniiskandar12345.blogspot.co.id/

 

[3] Yoesof Fatullah, Ekonomi Fiskal dan Moneter, (Yogyakarta: Idea Press, Cet Pertama, 2013) Hlm 119

[4] Fatullah Yoesoef, Fiskal dan Moneter, Yogyakarta, Ideapers, 2013, hal. 126-131

[7] Ani Sri Rahayu, Pengantar Kebijkan Fiskal, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal.288

[8]Pengantar Kebijakan Fiskal, Op.Cit., hal.290

[9] Pengantar Kebijakan Fiskal, Op.Cit., hal.20

[10] Frans Seda, Kebijakan Fiskal Dan Anggaran Pendapat Dan Belanja Negara, Dalam Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, Dan Implementasi, (Jakarta: Kompas, 2004), hlm.34

[11] Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2003, Tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD

[12] Pengantar Kebijakan Fiskal, Op.Cit., hlm.292

[15] Joniiskandar12345.blogspot.co.id Diposkan 29th May 2012, di akses pada, Selasa, 29 September 2015 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar