BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pelopor aliran jabariyah
adalah Jaham Ibnu Sofwan yang diduga mendapat ajaran dari kaum Yahudi. Jaham
sangat giat mengajarkan fahamnya, sehingga aliran ini disebut juga “Jahamiyah”.
Jaham ibnu sofwan berasal dari Khurasan yang pada mulanya adalah seorang juru
tulis Harits bin Sureih. Nama Jaham terkenal karena ia seorang yang
sungguh-sungguh, dan rajin bertablib. Pada tahun 131 H Jaham terbunuh.
Sepeninggalnya, faham jabariyah terbabi menjadi tiga firqoh yaitu aliarn
Jabariyah Jahamiyah (ekstrim), Jaham Najjamiyah (moderat) dan Jabariyah
Dhirariyah[1].
Munculnya berbagai kelompok teologi dalam Islam tidak terlepas dari faktor
historis yang menjadi landasan kajian. Bermula ketika Nabi Muhammad saw wafat,
riak-riak perpecahan di antara kaum Muslim timbul kepermukaan. Perbedaan
pendapat dikalangan sahabat tentang siapa pengganti pemimpin setelah Rasul,
memicu pertikaian yang tidak bisa dihindari. Semua terbungkus dalam isu-isu
yang bernuansa politik, dan kemudian berkembang pada persoalan keyakinan
tentang tuhan dengan mengikut sertakan kelompok-kelompok mereka sebagai
pemegang “predikat kebenaran”. Perpecahan semakin meruncing ketika pada masa
pemerintahan Ali, hal yang sentral diperdebatkan adalah masalah ”Imamah” atau
kepemimpin. Golongan Syi’ah yang pro terhadap Ali sangat mendukung bahwa imamah
harus diserahkan kepada Ali dan keturunannya. Sedangakan Khawarij dan
Mu’tazilah menentang dengan pendapat mereka, bahwa siapapun berhak menduduki
kursi kepemimpinan, termasuk budak. Jika ia memang dari kaum Muslim yang cakap
dan berkualitas. Terjadinya pembunuhan Utsman ra. (17 Juni 656 M), oleh
pemberontak dari Mesir[2].
Merupakan fase kedua sengitnya perdebatan mengenai siapa yang benar dan siapa
yang salah. Tidak berhenti sampai di situ perdebatan semakin meluas tentang
persoalan “dosa kecil” sampai pada “dosa besar”. Bahkan pada ranah “keimanan”.
Dan penentuan siapa yang dianggap “mu’min”, “kafir”, “fasik”, dan bagaimana
kedudukan mereka di akhirat nanti, serta tindakan Tuhan bagi perbuatan mereka. Dari
persoalan “iman” inilah, muncul aliran-aliran teologi, diantaranya; Syi’ah,
Khowarij, Mu’tazilah, Asy-‘Ariyah, Al-Maturidi, Qodariyah, Jabariyah dan masih
banyak lagi.
Yang kemudian menjadi tema sentral dalam pembahasan makalah ini adalah memandang
“Perbuatan Manusia” dari kaca mata Jabariyah, sebagai salah satu aliran yang
pernah eksis dan menjadi bahan perbincangan oleh banyak orang.
Dalam makalah ini akan dibahas tenteng pengertian, latar belakang,
perkembangan, dokrin-dokrin, sekte-sekte dan para tokoh aliran jabariyah. Di
harapkan dengan adanya makalah ini pembaca dapat menambah wawasan dan
pengetahuan pembaca tentang aliran jabariyah baik dilihat dari pengertian,
latar belakang, perkembanagan, dokrin-dokrin, sekte-sekte-sekte dan para tokoh
aliran jabariyah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Penjabaran Tentang Jabariyah.
2. Seperti
Apa Latar Belakang dan
Perkembangan-nya.
3. Apa
Saja Dokrin-Dokrin
Jabariyah.
4. Apa
Saja Sekte-Sekte dan Pembagian Jabariyah.
5.
Bagaimana Implikasi
Pemikiran Jabariyah.
C.
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
Penjabaran Tentang Jabariyah.
2. Mengetahui
Latar Belakang dan Perkembangan.
3. Mengetahui
Dokrin-Dokrin Jabariyah.
4. Mengetahui
Sekte-Sekte dan Pembagian Jabariyah.
5. Mengetahui
Implikasi Pemikiran Jabariyah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Penjabaran
Tentang Jabariyah
Secara
bahasa jabariyah berasal dari kata جَبَرَ yang mengandung pengertian memaksa, dan mengharuskan melakukan sesuatu[3]. Di
dalam kamus Al-Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara
yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Sedangkan
secara istilah, jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan
menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia
mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur) . Menurut Harun Nasution
jabariyah adalah faham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah
ditentukan oleh qadha dan qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan
yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, namun diciptakan
oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya. Di sini manusia tidak mempunyai kebebasan
dalam berbuat karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa
jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Pengertian arti kata secara etimologi diatas telah
dipahami bahwa kata jabara merupakan suatu paksaan di dalam melakukan setiap
sesuatu. Atau dengan kata lain ada unsur keterpaksaan. Kata Jabara setelah
berubah menjadi Jabariyah (dengan menambah Yaa’ nisbah) mengandung pengertian
bahwa suatu kelompok atau suatu aliran (isme). Ditegaskan kembali dalam
berbagai referensi yang dikemukakan oleh Asy-Syahratsan bahwa paham Al-Jabar
berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan
menyandarkannya kepada Allah, dengan kata lain, manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam referensi Bahasa Inggris, Jabariyah
disebut Fatalism atau Predestination. Yaitu paham yang menyebutkan bahwa
perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadar Allah[4].
Dapat Kita simpulkan bahwa aliran Jabariyah adalah
aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan yang mereka
lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan
telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan. Jabariah adalah pendapat yang
tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab.
Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan
yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan
benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai
dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain
melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka
manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya
sendiri.
B. Latar Belakang Lahir-nya dan Perkembangan-nya
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran
jabariyah tidak ada penjelasan yang jelas. Abu Zahra menuturkan bahwa faham ini
muncul sejak zaman sahabat dan masa bani Umayyah. Ketika itu para ulama
membicarakan tentang masalah qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan
dengan kekuasaan mutlak Tuhan .
Pendapat lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah
muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa
Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar
dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air
yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata tidak dapat memberikan
kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh
hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya
musim serta keringnya udara.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi
demikian masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan di
sekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah
dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak bergantung
pada alam, sehingga menyebabkan mereka menganut faham fanatisme. Faham ini
pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm
bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai
tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah
sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan
Bani Umayah. Sebenarnya benih-benih faham jabariyah juga dapat dilihat dalam
beberapa peristiwa sejarah diantaranya :
1. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang
bertengkar dalam masalah takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk
memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran
tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir[5].
2. Khalifah Umar bin al-Khattab pernah menangkap seorang
pencuri. Ketika diinterogasi pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku
mencuri” mendengar itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu yaitu
hukuman potong tangan dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
3. Ketika Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan
dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang itu bertanya apabila (perjalanan
menuju perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada
pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa qadha dan qadar
Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan,
maka tidak ada pahala dengan siksa, gugur pula janji dan dan ancaman Allah, dan
tidak ada pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat
dosa.
4. Adanya bibit pengaruh faham jabariyah yang telah
muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan
mengatakan bahwa aliran jabariyah muncul karena ada pengaruh dari pemikiran
asing yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab qurra dan dar agama Kristen
bermazhab yacobit.
Paparan diatas menjelaskan bahwa, bibit faham
jabariyah telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, jabariyah sebagai suatu
pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi
pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah, yakni oleh kedua tokoh yang telah
disebutkan diatas.
C. Dokrin-Dokrin Jabariyah
Adapun dokrin-dokrin jabariyah yaitu:
1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini
lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep
iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akhirat.
2. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep
iman yang diajukan kaum Murji’ah[6].
3. Kalam Tuhan adalah Makhluk. Al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai
suatu yang baru (hadis). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham
berpendapat bahwa, Tuhan sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia
di akhirat kelak[7].
4. Surga dn neraka tidak kekal. tentang keberadaan syurga-neraka, setelah manusia
mendapatkan balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah syurga dan neraka itu. Dari
pandangan ini nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa, syurga dan neraka
adalah suatu tempat yang tidak kekal[8].
D.
Sekte-Sekte
dan Pembagian Jabariyah
1. Jabariyah Ekstrim
Doktrin Jabariyah ekstrim adalah segala perbuatan manusia bukan merupakan
perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan
atas dirinya sendiri . Misalnya , kalau seorang pencuri , perbuatan mencuri
bukanllah terjadi atas kehendaknya sendiri akan tetapi timbul karena
qadha dan qadar tuhan yang menghendaki demikian. Diantara pemuka jabariyah
ekstrim adalah:
a. Paham Jahm yang ada kaitannya dengan persoalan teologi adalah:
Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa.ia tidak mempumyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain tuhan.
Iman dan ma’rifat atau membenarkan dengan hati. Dalam hal ini, pendapatnya
sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum mur’jiah.
Kalam tuhan adalah makhluk. Allah mah asuci dari segala sifat dan
keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula
tuhan tidak dapat dilihat dengan indra diakhirat kelak.
b. Paham Ja‘ad adalah:
Al-Quran adalah mahluk. Oleh karena, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak
dapat disifatkan kepada allah.
Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluk, seperti berbigara,
melihat dan mendengar.
Manusia terpaksa oleh allah dalam segala-galanya[9].
2. Jabariyah Moderat
Jabariyah moderat mengatakan bahwa tuhan memang menciptakan perbuatan
manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai
bagian-bagian di dalamnya[10]. Tenaga
yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya
. inilah yang dimakud dengan kasab . Menurut faham kasab, manusia tidaklah
majbur (dipaksa oleh tuhan), tidak seperi wayang yang dikendalikan oleh dalang
dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan
yang diciptakan tuhan.
a.
Pendapat An-Najjar (wafat : 230 H) diantara
pendapatnya dari Jabariah Moderat dari golongan Jabariah Moderat adalah :
Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia menganbil bagian
atau peranan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu[11].
Dengan demikian manusia dalam pandangan an-Najjar tidak lagi seperti
wayang yang gerakannya bergantung kepada dalang, sebagai tenaga yang
diciptakan tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujdkan
perbuatan-perbutannya.
Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat. Akan tetapi , an-Najjar menyatakan
bahwa tuhan dapat saja memindahkan potensi hai (ma’rifat) pada mata sehingga
manusia dapat melihat[12].
b.
Pendapat Adh-Dhirar tentang perbuatan manusia sama
dengan husain An-Najjar, yakni :
Perbuatan manusia dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan,
artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh tuhan, tetapi juga oleh manusia.itu
sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbutan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat tuhan diakhirat, bahwa Tuhan dapat dilihat diakhirat
melalui indra keenam .
Hujjah yang dapat diterima setelah nabi adalah ijtihad. Hadist ahad tidak
dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum[13].
E. Implikasi Pemikiran
Jabariyah
Penjelasan yang tidak sedikit mengenai Jabariyah di
atas, memunculkan inspirsi untuk membicarakan Jabariyah lebih dalam lagi. Hal
pertama yang akan menjadi fokus utama pembicaraan adalah mengenai iktiqad
Jabariyah tentang penyerahan totalitas dalam qada dan Qadar kepada Tuhan.
Apakah buruknya orang yang berpegang kepada iktiqad
jabariah ini? Secara tidak langsung, dalam iktiqad ini mereka telah menuduh
Allah. Tanpa kesadaran, dia telah menuduh Allah, seolah-olah Dia itu
jahat dan zalim . kepada umat-Nya. Umpamanya, kalau seseorang itu miskin dan
kemudian dia mengiktiqadkan bahawa manusia ini tidak ada usaha dan ikhtiar,
kerana miskin itu sudah ditentukan kepada dirinya oleh qadha dan qadar Tuhan,
dan manusia ini terpaksa tunduk saja kepada kuasa-Nya, maka seolah-olah dia
telah menuduh bahawa Allah-lah yang telah memiskinkan dia, atau Allahlah yang
telah menyusahkan dia. Dia tidak ada usaha dan ikhtiar untuk terlepas dari
kemiskinan dan kesusahan tersebut.
Dalam pengalaman hidup kita sehari-hari, kebanyakan
manusia ini berpegang kepada iktiqad jabariah, dan mungkin juga terjadi pada
diri kita sendiri. Walaupun dalam hal ini dia tidak menginginkan dan tidak
mengaku berpegang kepada iktiqad jabariah dan walaupun alasan yang
dikemukakannya adalah berpegang pada iktiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah, tetapi
dalam sikapnya, perbuatannya dan kata-katanya, dia banyak melencong kepada
iktiqad jabariah. Apakah bukti bahawa kebanyakan manusia ini berpegang kepada
iktiqad jabariah dari segi sikap, perbuatan dan tutur katanya walaupun ia
mengkaji dan kitabnya adalah kitab dan pelajaran Ahli Sunnah Wal Jamaah?
Untuk membuktikannya, coba kita tanya seseorang yang
ditimpa kemiskinan tentang mengapa dia miskin. Nanti dia akan menjawab, “Apa
boleh buat, sudah taqdir Allah!” Artinya, dia sudah menuduh Allah memiskinkan
dirinya. Semua manusia telah terjebak kepada jabariah. Padahal dia belajar
iktiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah.
Tetapi dari kata-katanya, dia telah menunjukkan
seolah-olah tidak ada pilihan untuk dirinya. artinya, apa saja yang telah
menimpa dirinya, itulah yang telah ditentukan oleh Allah. Dia terpaksa tunduk
saja di bawah kekuasaan Allah. Dia tidak ada usaha untuk mengatasinya.
Dengan ini dia telah mengiktiqadkan bahawa Allah-lah yang menyusahkan dirinya,
dan sebagainya.
Akan tetapi kesimbangan dari analisis di atas, bahwa
mempercayai takdir tidak identik dengan mempercayai paham Jabariyah. Semuanya
akan menjadi demikian itu hanya apabila kita tidak memberikan peranan apapun
kepada manusia dalam menciptakan perilakunya sendiri, yakni dengan menyerahkannya
bulat-bulat kepada takdir. Padahal sungguh tak dapat diterima apabila kita
mengatakan bahwa Allah SWT melakukan segala sesuatu tanpa perantaraan. Bahkan,
yang benar ialah bahwa Allah SWT telah mengharuskan perwujudan segala sesuatu
melalui lantaran-lantaran dan sebab-sebabnya yang khusus.
Qadha dan qadar tidak memiliki arti lain kecuali
terbinanya sistem sebab akibat umum atas dasar pengetahuan dan kehendak Ilahi.
Di antara konsekuensi penerimaan teori kausal dan kemestian terjadinya akibat
pada saat adanya penyebab, serta keaslian hubungan antara keduanya, ialah bahwa
kita harus mengatakan bahwa nasib setiap yang telah terjadi berkaitan dengan
sebab-sebab yang mendahuluinya. Dan bahwa sebab-sebab itu berkaitan dengannya,
baik dengan anggapan adanya konsep Ilahi atau tidak, yakni baik sistem sebab
akibat ini merupakan sistem yang terpisah dan mandiri ataupun ia berdiri dengan
sesuatu yang lain dan bersandar kepada kehendak Ilahi. Sebab adanya sistem
sebab-akibat tersebut, baik terpisah dan mandiri ataupun tidak, tak ada
pengaruhnya terhadap masalah nasib dan kebebasan manusia.
Dari makna ini, kita berani mengatakan bahwa ucapan
yang menyebutkan bahwa kepercayaan Jabariyah berasal dari kepercayaan kepada
qadha dan qadar Ilahi, sungguh merupakan puncak kebodohan. Oleh sebab itu,
wajiblah kita menyanggah kepercayaan seperti ini agar terlepas dari kesimpulan
tersebut.
Sebab seandainya kita, dengan kepercayaan ini,
bermaksud menolak keterkaitan antara sebab dan akibat, yang di antaranya
termasuk kemampuan dan daya manusia, kehendak dan ikhtiarnya, maka qadha dan
qadar seperti ini adalah suatu khurafat (nonsens) yang mustahil bisa terwujud,
sesuai dengan dalil-dalil pasti yang ditegakkan oleh ilmu filsafat ketuhanan,
sehingga tak ada lagi tempat untuk syak dan ragu. Jika dengannya kita bermaksud
menetapkan keterikatan yang mesti antara sebab dan akibat, maka yang demikian
itu adalah suatu kebenaran yang diterima tanpa ragu, dan tidak hanya khusus
dikatakan oleh para ahli teologi saja, melainkan juga oleh setiap aliran yang
mempercayai prinsip kausal umum. Kendatipun terdapat perbedaan, yakni bahwa
kaum teologis mengangkat rangkaian sebab-sebab itu sampai ke suatu tingkat yang
tidak terikat oleh dimensi ruang dan waktu, yakni tempat bermuaranya segala
sesuatu atau sebab dari segala sebab, Zat yang Wajibul-Wujud, hakikat yang
berdiri sendiri dengan Zat-Nya, yang kepada-Nya bermuara segala ketetapan
(qadha) dan ketentuan (qadar). Namun perbedaan ini tidak berpengaruh sedikit
pun dalam menetapkan adanya jabr (determinisme) ataupun menafikannya
Pandangan sekilas tentang indikasi-indikasi paham
Jabariah, merupakan refleksi dari kehidupan manusia yang secara langsung maupun
tidak lansung, sengaja ataupun tidak berpulang kepada tawakal atau kepasrahan
kepada Tuhannya. Hal ini menimbulkan ketenangan tersendiri setelah adanya usaha
ataupun ikhtiar yang dilakukan oleh seorang hamba.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Faham al-jabar, kelihatannya ditonjolkan buat pertama kali
dalam sejarah teologi Islam oleh al-Ja’d ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya
adalah Jahm ibn Safwan dari Khurasan. Jahm yang terrdapat dalam aliran jabariyah sama
dengan Jahm yang mendirikan golongan al-Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai
sekretaris dari Syuraih ibn al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan
Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian
dihukum bunuh ditahan 131 H. Akan tetapi benih-benihnya telah ada sejak zaman
Rasulullah saw.
Para pemuka Jabariyah baik yang ekstrem dan moderat adalah; Jahm bin
Safwan, Ja’ad bin Dirham, An-Najja dan Adh-Dhirar. Adapun doktrin aliran ini;
Kelompok ekstrem memandang bahwa manusia tidak mempunyai daya,
tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam
perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan
pilihan baginya. sedangkan menurut kaum moderat, tuhan memang
menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia
mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai
efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab
(acquisition). Dalam fahamkasab, manusia tidaklah
majbur (dipaksa oleh tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang
tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang
diciptakan tuhan.
Ayat- ayat yang membawa pada kejabariyahan
diantaranya; QS. Al-An’am:111, QS. Ash-Shafat:96, QS. Al-Anfal :17,
QS.Al-Insaan:30.
Analisis tentang Jabariyah bermaksud mengaitkan iktiqad yang dipegangnya
dengan realitas kehidupan manusia sebagai hamba. Kepasrahan kepada Tuhan atas
segala usaha ataupun ikhtiar menunjukkan bahwa manusia akan kembali kepada
Tuhannnya sebagai pihak penentu.
Tersaji dan tersusunnya makalah dengan tema Jabariyah, berusaha mengungkap
historisasi pertumbuhannya, yang dimulai dari benih sampai pada terbentuknya
menjadi institusi dengan beberapa doktrin yang menjadi karakteristik aliran
tersebut. Para pemuka dan penjelasan lebih lanjut tentang doktrin yang
diajarkan menjadi ulasan kesekian kalinya.
Sampainya tulisan ini kepada para pembaca, diharapkan mampu memancing
gairah kepedulian untuk ikut berpartisipasi menuju pembahasan yang lebih
kompleks lagi. Oleh karena itu penulis sedikit menyengaja memberikan ruang
hampa untuk tempat para partisipator menyumbangkan ide-ide yang konstruktif dan
imajinatif sebagai calon pemuka intelektual masa depan.
Sehingga adanya kekurang puasan ketika membaca hasil karya ini, adalah
implikasi bahwa penulis termasuk hamba Tuhan yang eksis di alam semesta ini,
dan memerlukan potensi orang lain untuk lebih produktif. Karena itulah, tarian
lisan yang berupa gerak positif maupun negative terhadap kalimat-kalimat ini
adalah landasan bagi kesempurnaan hakikat yang dituju.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Mu’in, Taib Thakhir, Ilmu Kalam, Penerbit Wijaya, Jakarta,
Cet. Ke- 8, 1980.
Abdul Razak, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung , 2009.
Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1986.
K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern , PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, Cet. Ke-3, 2000.
Murif Yahya, Ilmu Kalam, Bandung, 2012.
M. Hanafi, Theologi Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1992.
Nasir A , Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1994.
Rosihon,Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung,
Cet.II, 2003.
[1] Murip yahya, Ilmu Kalam (Bandung; 2012), hlm.25.
[2] K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern ( Cet.
Ke-3,Jakarta;2000 ), hlm. 132.
[3]. Abdul Razak, Ilmu Kalam(Bandung;2009),hlm.63.
[4] . Harun Nasution, Teologi Islam(Jakarta;1986),hlm.31.
[5] Aziz dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam(Jakarta.1;87).hlm.27-29.
[6] Rosihon Anwar, Ilmu Kalam(Pustaka Setia;Bandung),hlm.67.
[7] Ibid.hlm.68.
[8] Taib Thakhir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam ( Cet. Ke- 8;
Jakarta;Penerbit Wijaya, 1980 ),hlm. 102.
[9] Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, hlm.68.
[10] Ibid.
[11] Asy-Syahratnasy Al-Milal wa An-Naha, (Darul Fikr,
Beirut).hlm.89.
[12] Rosihon Anwar.hlm.69.
[13] Ibid.
[1] Murip
yahya, Ilmu Kalam (Bandung;
2012), hlm.25
[2] K.
Ali, Sejarah Islam Tarikh
Pramodern ( Cet. Ke-3,Jakarta;2000 ), hlm. 132
[3] Abdul
Razak, Ilmu Kalam(Bandung;2009),hlm.63
[4] Harun
Nasution, Teologi Islam(Jakarta;1986),hlm.31
[5] Aziz
dahlan, Sejarah Perkembangan
Pemikiran Dalam Islam(Jakarta.1;87).hlm.27-29
[6] Rosihon
Anwar, Ilmu Kalam(Pustaka
Setia;Bandung),hlm.67
[7] Ibid.hlm.68
[8] Taib
Thakhir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam (
Cet. Ke- 8; Jakarta;Penerbit Wijaya, 1980 ),hlm. 102
[9] Rosihon
Anwar, Ilmu Kalam, hlm.68
[10] Ibid.
[11] Asy-Syahratnasy Al-Milal wa An-Naha, (Darul Fikr,
Beirut).hlm.89
[12] Rosihon
Anwar.hlm.69
[13] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar