BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Islam
berkembang sangat pesat ke seluruh penjuru dunia dengan kecepatan yang
menakjubkan, yang sangat menarik dan perlu diketahui bahwa Dinul Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah suatu agama yang sekaligus menjadi
pandangan atau pedoman hidup. Banyak sumber-sumber ajaran Islam yang digunakan
mulai zaman muncul pertama kalinya Islam pada masa rasulullah sampai pada zaman
modern sekarang ini. Sumber-sumber yang berasal dari agama Islam merupakan
sumber ajaran yang sudah dibuktikan kebenarannya yaitu bertujuan untuk
kemaslahatan umat manusia, sumber-sumber ajaran Islam merupakan sumber ajaran
yang sangat luas dalam mengatasi berbagai permasalahan seperti bidang akhidah,
sosial, ekonomi, sains, teknologi dan sebagainya.
Islam sangat
mendukung umatnya untuk mempelajari ilmu pengetahuan, terutama yang bersumber
dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, Qiyas dan juga ijtihad.
Begitu sempurna dan lengkapnya sumber-sumber ajaran Islam. Namun permasalahan
disini adalah banyak umat Islam yang belum mengetahui betapa luas dan
lengkapnya sumber-sumber ajaran Islam guna mendukung umat Islam untuk maju
dalam bidang pengetahuan.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa saja
sumber-sumber ajaran Islam?
2.
Bagaimana
Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam?
3.
Bagaimana
Hadits sebagai sumber hukum kedua ajaran Islam?
4.
Bagaimana
Ijtihad sebagai sumber hukum ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan Hadits?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Macam-macam
sumber ajaran Islam
Sumber adalah tempat pengambilan, rujukan atau acuan dalam
penyelenggaraan ajaran Islam, karena itulah sumber memiliki peranan yang sangat
penting bagi pelaksanaan ajaran Islam. Dari sumber inilah umat Islam dapat
memiliki pedoman-pedoman tertentu untuk melaksanakan proses ajaran Islam, tanpa
adanya suatu sumber maka umat Islam akan terombang-ambing dalam menghadapi
ideologi dan bisa jadi akan berahir pada kesesatan atau kenistaan[1].
Dalam pembahasan disini akan diuraikan macam-macam sumber ajaran
Islam yang diantaranya meliputi:
1.
Al-Quran
2.
Sunah
3.
Ijtihad
B.
Al-Qur’an
sebagai sumber utama ajaran Islam
1.
Pengertian
Al-Qur’an
Secara etimologi Al-Qur’an berasal
dari kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan, qur’anan” yang berarti mengumpulkan dan
menghimpun huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara
teratur[2]. Ada
juga sumber lain mengatakan bahwa Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan
sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yng sungguh tepat, karena tiada
satu bacaanpun sejak anusia mengenl baca tulis yang dapat menandingi Al-Qur’an
al-Karim, secara terminologi Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan Tuhan
kepada Nabi Muhammad SAW. Yang diampaikan lewat malaikat jibril, yang
dikomunikasikan dengn bahasa arab, harus dipercayai tanpa syarat dan menjadi
pedoman bagi para pengikutnya yaitu umat Islam diseluruh dunia[3].
Pengertian Al-Qur’an dari segi
terminologinya dapat dipahami dari pandangan beberapa ulama, bahwa:
a
Muhammad Salim
Muhsin dalam bukunya “Tarikh Al-Qur’an al-Karim” menyatakan bahwa Al-Qur’an
adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Yang ditulis
dalam mushaf-mushf dan dinukilkan/ diriwayatkan kepada kita dengan jalan
mutawatir dan membacanya dipandang ibadah serta sebagai penentang (bagi yang
tidak percaya) ataupun surat terpendek.
b
Abdul Wahab
Khalaf mendefinisikan Al-Qur’an sebagai firman Allah SWT yang diturunkan
melalui Roh al-Amin (Jibril) kepada nabi Muhammad SAW. Dengan bahasa arab,
isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujah kerasulannya, undang-undang bagi
seluruh manusia dan petunjuk dalam beribadah serta dipandang ibadah dalam
membacanya, yang terhimpun dalam mushaf yang dimulai dari surat al-Fatihah dan
diakhiri surat an-Nas, yang diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir.
c
Muhammad abduh
mendefinisikan Al-Qur’an sbagai kalam mulia yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada nabi yang paling smpurna (Muhammad SAW) ajarannya mencakup keseluruhan
ilmu pengetahuan, ia merupakan sumber
yang mulia yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berjiwa suci
daan berakal cerdas.
2.
Asbabun nuzul Al-Qur’an
a.
Pengertian
asbabun nuzul
Ungkapan asbabun nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata asbab dan
nuzul. Secara etimologi, asbabun nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi
terjadinya sesuatu. Namun kata asbabun nuzul hanya dipergunakan khusus untuk
Al-Qur’an. Para ulama berpendapat bahwa ketika memaknai kata nuzul, inzal, dan
tanzil yang terdapat pada ayat Al-Qur’an, ada yang memaknai idhar yaitu
melahirkan Al-Qur’an. Ada juga yang memanai bahwa Allah SWT mengajarkannya
kepada malaikat jibril baik megenai bacaannya maupun pemahamannya lalu jibril
menyampaikannya kepada nabi Muhammad SAW yang ada di bumi.
Menurut
az-zarqani asbabun nuzul adalah khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada
hubungannya dengan turunnya Al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat
peristiwa itu terjadi[4].
b.
Urgensi Asbabun
Nuzul
Mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang terakumulasi
dalam riwayat-riwayat asbabun nuzul merupakan suatu hal yang signifikan untuk
memahami pesan-pesan Al-Qur’an. Bahkan al-wahidi menyatakan ketidakmungkinan
untuk menginterpretasikan Al-Qur’an tanpa mempertimbangkan aspek kisah dan
asbabun nuzul.
Dalam uraian yang lebih rinci, Az-Zarqani mengemukakan urgensi
asbabun nuzul dalam memahami Al-Qur’an sebagai berikut:
1)
Membantu dalam
memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan-pesan ayat
Al-Qur’an.
2)
Mengatasi
keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
3)
Mengkhususkan
hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an, bagi ulama yang berpendapat bahwa
yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus dan bukan lafazh yang
bersifat umum.
4)
Mengidentifikasikan
pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun.
5)
Memudahkan
untuk menghafalkan dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu ke dalam
hati orang yang mendengarnya
Taufiq Adnan
Amal dan Syamsul Rizal panggabean menyatakan bahwa pemahaman terhadap konteks
kesejarahn pra-qur’an dan pada masa Al-Qur’an menjanjikan beberapa manfaat
praktis, yaitu
1)
Pemahaman itu
memudahkan kita mengidentifikasi gejala-gejala moral dan sosial pada masyarakat
Arab saat itu, sikap Al-Qur’an terhadapnya, dan cara Al-Qur’an memodifikasi
atau mentransformasi gejala itu hingga sejalan dengan pandangan dunia
Al-Qur’an.
2)
Kesemuanya ini
dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam mengidentifikasi dan menangani
problem-problem yang mereka hadapi.
3)
Pemahaman
tentang konteks kesejarahan pra-qur’an dan masa qur’an dapat menghindarkan kita
dari praktik-praktik pemaksaan prakonsep dalam penafsiran.
c
Macam-macam
asbabun nuzul
1)
Dilihat dari
segi sudut pandang redaksi-redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbabun
nuzul. Ada dua jenis redaksi yang dipergunakan oleh perawi dalam mengungkapkan
riwayat asbabun nuzul yaitu:
·
Sharih
(visionable/jelas). Artinya riwayat yang sudah jelas menunjukkan asbabun nuzul
dan tidak mungkin pula menunjukkan yang lainnya. Contoh riwayat asbabun nuzul
yang menggunakan redaksi sharih adalah sebuah riwayat yang diawakan oleh Jabir
bahwa orang-orang yahudi berkata, “apabila suami mendatangi “qubul” istrinya
dari belakang, anaknya yang lahir akan juling”. Maka turunlah ayat
نساءكم حرث ئكم فأ تو حر ثكم انّى شئتم
Artinya: “istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok
tanam maka datangilah tanah bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu hendaki.”
(Q.S Al-Baqarah : 223)
·
Muhtamilah (kemungkinan). Artinya riwayat yang belum
jelas menunjukkan asbabun nuzul dan masih memungkinkan pula menunjukkan arti
lain.
2)
Dilihat dari
sudut pandang berbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat atau berbilangnya ayat
untuk asbabun nuzul.
a).
Berbilangnya
asbabun nuzul untuk satu ayat
Pada kenyataannya tidak setiap ayat memiliki riwayat asbabun nuzul
dalam satu versi. Ada kalanya satu ayat memiliki beberapa versi riwayat asbabun
nuzul. Bentuk variasi itu terkadang dalam redaksinya dan terkadang pula dalam
kualitasnya. Untuk mengatasi variasi riwayat asbabu nuzul dalam satu ayat dari
sisi redaksi, para ulama’ mengemukakan cara-cara berikut.
o
Tidak
mempermasalahkannya
o
Mengambil versi
riwayat asbabun nuzul yang menggunakan sharih
o
Melakukan studi
selektif (tarjih)
b).
Variasi ayat
untuk satu sebab
Terkadang suatu kejadian menjadi sebab bagi turunnya dua ayat atau
lebih.
d
Tahapan
turunnya Al-Qur’an
Turunnya Al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang sekaligus
menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan bumi. Turunnya Al-Qur’an yang
pertama kali pada malam lailatul qadar merupakan pemberitahuan kepada alam
tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan nabi Muhammad
SAW dan umatnya dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik yang dikeluarkan
bagi manusia. Allah menurunkan kepada manusia melalui 3 tahap yaitu:
1)
Al-Qur’an
diturunkan Allah dari Lauhul Mahfudz
Al-arqani tidak menyinggung lebih jauh tentang kapan penurunan
Al-Qur’an di Lauhul Mahfudz ini. Beliau hanya menyatakan tidak ada yang tahu
persis kapan Al-Qur’an diturunkan di Lauhul Mahfudz kecuali Allah sendiri.
2)
Dari Lauhul
Mahfudz ke Baitul ‘Izza
Yaitu langit yang pertama yang tampak ketika dilihat di dunia ini
namun tidak diketahui letak persisnya. Adapun jumlahnya adalah semuanya pada
waktu Lailatul Qadr. Namun tanggalnya tidak diketahui, dan pada bulan Ramadhan.
Al-Qurtubi
telah menukil dari Muqtil bin Hayyan riwayat tentang kesepakatan bahwa turunnya
Al-Qur’an sekaligus dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izza di langit di dunia. Sebetulnya
tidak hanya Al-Qur’an saja yang diturunkan pada bulan Ramadhan, tetapi ada juga
a) Taurat : 6 Ramadhan
b) Suhuf Ibrahim : 1 Ramadhan
c) Injil : 13 Ramadhan
d) Zabur : 12 Ramadhan
3)
Dari Baitul
‘Izza ke Rasulullah
Tahapan ketiga atau yang terakhir adalah Al-Qur’an diturunkan dari
Baitul ‘Izza kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat jibril.
Penurunannya tidak secara langsung sekaligus, namun diangsur-angsur selama dua
puluh tiga tahun berdasarkan kebutuhan, peristiwa atau bahkan melalui
permintaan malaikat jibril. Adapun kitab-kitab lain seperti tauraut, zabur dan
injil diturunkan oleh Allah SWT dengan cara sekaligus tidak secara
berangsur-angsur[5].
3.
Isi dan
pesan-pesan Al-Qur’an
Alqur’an diturunkan kepada nabi
Muhammad kurang lebih selama 23 tahun, dalam dua fase yaitu 13 tahun pada fase sebelum beliau hijrah ke Madinah
(Makiyah) dan 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke Madinah (Madaniyah). Isi
Al-Qur’an terdiri dari 114 surat, 6236 ayat, 74437 kalimat, dan 325345 huruf.
Proporsi masing-masing fase tersebuut adalah 86 surat untuk ayat-ayat Makiyah
dan 28 surat untuk ayat-ayat Madaniyah.
Dari keseluruhan isi Al-Qur’an itu,
pada dasarnya mengandung pesan-pesa sebagai berikut; masalah tauhid, termasuk
didalamnya masalah kepercayaaan pada yang gaib; masalah ibadah, yaitu
egiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan
didalam hati dan jiwa; masalah janji dan
ancaman yaitu janji dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan
sebaliknya ancaman siksa bagi mereka
yang berbuat jahat; jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat, berupa
ketentuan-ketentuan yang hendaknya dipenuhi untuk mencapai keridhaan Allah SWT;
riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah
bangsa-bangsa, tokoh-tokoh maupun Nabi dan Rosul.
Selanjutnya Abdul Wahab Khalaf lebih
memerinci pokok-pokok kandungan Al-Qur’an ke dalam 3 ktegori, yaitu:
1)
Masalah kepercayaan
(I’tiqadiyah), yang berhubungan dengan rukun iman kepada Allah, malaikat,
kitabullah, rasulullah, hari kebangkitan dan taqdir.
2)
Masalah etika
(khuluqiyah) berkaitan dengan hal-hal yang dijadikan perhisan bagi seseorang
untuk berbuat keutamaan dan meninggalkan kehinaan.
3)
Masalah
perbuatan dan ucapan (‘amaliyah) yang
terbagi dalam dua macam yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah berkaitan dengan rukun Islam, nazar, sumpah
dan ibadah-ibadah yang lain yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT.
Mu’amalah berkaitan dengan akad, pembelanjaan, hukuman, jual-beli dan lainnnya
yang mengtur hubungan manusia dengan sesama.
Ada dua segi pembahasan isi/kandungan Al-Qur’an, yaitu dimensi
keagamaan dan dimensi keilmuan.
a.
Dimensi
keagamaan
Al-Qur’an memberikan petunjuk dalam kaitannya dengan
persoalan-persoalan. Pertama, akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh
manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan
kepastian adanya hari pembalasan; kedua, mengenai syariat dan hukum,dengan
jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya; ketiga, mengenai akhlak yang murni,
dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti
oleh manusia dalam kehidupannya baik secara individual maupun kolektif
Menurut Prof. Dr. Mahmud Syaltut dalam “al-Islam wa al-syariah”
bahwa Al-Qur’an mengandung berbagai persoalan-persoalan :
1)
Akidah yang
wajib dimani.
2)
Budi pekerti
yang dapat membersihkan jiwa, membentukpribadi dan masyarakat yang baik
3)
Petunjuk dan
bimbingan untuk menyelidiki dan mentadaburi tentang rahasia-rahasia langit dan
bumi.
4)
Peringatan dan
ancaman
5)
Hukum-hukum
yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Sedangkan menurut Masyfuk Zuhdi bahwa isi atau kandungan ajaran
Al-Qur’an pada hakekatnya mengandung lima prinsip, yaitu:
1)
Tauhid
Sekalipun Nabi Adam AS sebagai manusia pertama dan Nabi pertama
adalah seorang monotheisme/muwahhid dan mengajarkan tauhid kepada turunannya,
namun kenyataannya tidak sedikit manusia keturunannya itu yang menyimpang dari
ajaran tauhid. Untuk meluruskan kepercayaan mereka yang menyimpang dari Tuhan
dan untuk membimbing mereka ke arah yang lurus dan diridlai Tuhan, maka
diutuslah para Nabi/Rasul secara silih berganti mulai Nabi Adam sampai Nabi
Muhammad sebagai nabi penutup.
Sebelum kelahiran Nabi Muhammad (pra Islam), keadaan manusia pada
umumnya telah menyimpang dari ajaran tauhid dan ajaran-ajaranlainnya dari para
nabi dan rasul sebelumnya, sekalipun sebagian mereka ada pula yang masih
mengaku percaya pada keesaan Tuhan, tetapi sebenarnya tauhidnya sudah tidak
murni lagi. Sebab Tuhan dianggap tidak tunggal sepenuhnya, melainkan ia terdiri
dari beberapa oknum, misalanya doktrin tri murti atau trinitas dari agama Hindu
dan Kristen.
2)
Janji dan
ancaman tuhan
Tuhan menjanjikan kepada setiap orang yang beriman dan selalu
mengikuti semua petunjuk-Nya akan mendapatkan kebahagiaan hidupnya di dunia dan
di akhirat. Sebaliknya Tuhan akan mengancam kepada siapa saja yang ingkar
kepada tuhan dan memusuhi nabi/rasul-Nya serta melanggar perintah-perintah dan
larangan-laranga-Nya, akan mendapat kesengsaraan hidup di dunia maupun akhirat.
3)
Ibadah
Tujuan hidup manusia didunia ini adalah untuk meribaddah kepada
Tuhan.pengertian ibadah menurut Islam adalah cukup luas,sebab tidak hanya
berbatas padaslat,puasa, haji dan semacamnya. Tetapi semua aktifitas yang
dilakukan manusia denga motivasi niat yang baik seprti untuk mencari ridlo
Allah, semuanya dipandang ibadah.
Ibadah bagi manusia adalah berfungsi sebagai manifestasi manusia
bersyukur kepada tuhan pencipta atas segala nikmat dan karunia. Dan juga
berfungsi sebagai relisasi dan konsekwensi manusia atas kepercayaannya terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
4)
Jalan dan cara
mencapai kebahagiaan
Setiap orang yang breagama pasti bercita-cita ingin mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat. Untuk bisa mencapai cita-citanya,
Tuhan dalam Al-Qur’an memberikan petunjuk-petunjuk-Nya bahwa manusia harus
menempuh jalan yang lurus dengan cara menghayati dan mematuhi segala aturan
agam yang ditetapkan Allah dan rasul-Nya.
5)
Cerita-cerita/sejarah-sejarah
umat manusia sebelum Nabi Muhammad SAW
Didalam Al-Qur’an terdapat cerita-cerita tentang para nabi dan
umatnya masing-masing. Cerita-cerita tersebut diungkapkan kembali didalam
al-quran dengan maksud agar dijadikan pelajaran bagi manusia sekarang tentang
bagiamna nasib manusia yang taat kepada tuhan. Disamping itu juga sebagai
hiburan bagi Nabi Muhamad dan umat Islam pada permulaan Islam, agar nabi dan
sahabat-sahabatnya tetap berteguh hati , tidak berkecil hati dalam menghadapi
segala macam hambatan-hambatan dan tantangan-tantangan yang sama bahkan yang
lebih.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa pada hakikatnya
Al-Qur’an adalah kitab keagamaan, dan bukan suatu kitab atau ensiklopedi ilmu
pengetahuan yang ddidlamnya membahas atau berisitentang teori-teori ilmiah.
b
Dimensi
keilmuan
Al-Qur’an adalah sumber segala pelajaran dan pengetahuan,
didalamnya pembicaraan-pembicaraan dan kandungan isinya tidak semata-mata
terbatas pada bidang-bidang keagamaan, ia meliputi berbagai aspek hidup dan
kehidupan manusia.\
Menurut Dr. Muhammad Ijazul Khatib dari Universitas Damaskus, tak
ada yang lebih menekankan pentingnya sains dari pada kenyataan bahwa: berbeda
dengan bagian legislatif yang hanya 250 ayat saja, sedangkan 750 ayat Al-Qur’an
–hampir seperdelapannya- menegur orang-orang mukmin untuk mempelajari alam
semesta, untuk berfikir, untuk menggunakan penalaran yang sebaik-baiknya, untuk
menjadikan kegiatan ilmiah ini sebagai bagian dari kehidupan umat.
Sekarang banyak ditemukan orang yang mencoba menafsirkan beberapa
ayat Al-Qur’andalam sorotan ilmiah modern. Dengan tujuan untuk menunjukkan
mu’jizat Al-Qur’an dalam lapangan keilmuan untuk meyakinkan orang-orang
non-muslim akan keagungan dan keunikan Al-Qur’an, dan untuk menjadikan kaum
muslimin bangga memiliki kitab seperti itu.
Pandangan mengenai Al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan
bukanlahmerupakan sesuatu yang baru, karena banyak ulama besar kaum muslimin
yang berpandangan demikian.
Dari keterangan diatas, para ulama berkeyakinan bahwa Al-Qur’an
merupakan kitab petunjuk bagi kemajuan manusia, dan mencakup apa yang
diperlukan manusia dalam wilayah iman dan amal. Al-Quran juga mengandung
rujukan-rujukan pada sebagian fenomena alam.
4.
Fungsi dan
tujuan Al-Qur’an
Al-Quran sebagai kitab suci umat
Islam merupakan kumpulan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW
yang mengandung petunjuk-petunjuk bagi umat manusia. Menurut Dr. M. Quraish
Shihab dalam “wawasan Al-Qur’an menyebutkan delapan tujuan diturunkannya
Al-Qur’an:
a
Untuk
menbersihkan dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta mementapkan
keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi tuhan semesta alam.
b
Untuk
mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat manusia
merupakan umat yang seharusnya dapat bekerja sama dalam pengapdian kepada Allah
dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
c
Untuk
menciptakan perstuan dan kesatuan.
d
Untuk mengajak
manusia berfikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
e
Untuk membasmi
kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit dan penderitaan
hidup,serta pemerasan manusia atas manusia dalam bidang sosial, ekonomi,
politik, dan juga agama.
f
Untuk memadukan
kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang.
g
Untuk
memberikan jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah
kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan
dan mencegah kemungkaran.
h
Untuk
menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan suatu peradaban yang
sejalan dengan jati diri manusia dengan panduan dan panduan Nur Ilahi.
Berikut adalah fungsi al-quran menurut nama-namanya:
a
Al-huda
(petunjuk). Dalam al-quran terdapat 3 kategori tentang posisi al-quran sebagai
petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum. Kedua, al-quran adalah
petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Ketiga, petunjuk bagi orang-orang
beriman.
b
Al-furqan
(pemisah). Dalam al-quran dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk membedakan dan
bahkan memisahkan antara yang hak dan batil.
c
Asy-syifa
(obat). Al-quran dikatakan berfungsi sebagai obat bagi penyakit-penyakit dalam
dada. Yang dimaksud penyakit dalam dada adalah penyakit-penyakit psikologis.
d
Al-mauizhah
(nasihat). Al-quran berfungsi sebagai nasihat orang-orang yang bertakwa.
C.
Hadits sebagai
sumber hukum Islam
Umat
Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an. Dan tidak boleh seorang
muslim hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari kedua sumber Islam
tersebut. Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum Islam yang tetap.
Umat Islam tidak mungkin dapat memahami tentang syari’at Islam dengan benar
sesuai dengan tanpa Al-Qur’an dan
Hadits. Banyak dari ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa hadits merupakan
sumber hukum Islam selain Al-Qur’an yang wajib diikuti. Baik itu dalam hal
perintah ataupun larangan. Al-Syatibiy dalam kaitan ini mengajukan tiga
argumen. Pertama, sunnah merupakan penjabaran dari Al-Qur’an. Secara rasional,
sunnah sebagai penjabaran (bayan) harus menempati posisi lebih rendah dari yang
dijabarkan (mubayyan) yakni Al-Qur’an. Apabila Al-Qur’an sebagai mubayyan tidak
ada, maka hadits sebagai bayyan tidak diperlukan. Akan tetapi jika tidak ada
bayyan, maka mubayyan tidak hilang. Kedua, Al-Qur’an bersifat qat’iy al-subut,
sedangkan sunnah bersifat zanniy al-subut.
Ketiga, secara tekstual terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan
kedudukan sunnah setelah Al-Qur’an seprti hadits yang sangat populer mengenai
pengutusan Mu’az Ibn Jabal menjadi hakim di Yaman. Semuanya menunjuka
subordinasi sunnah sebagai dalil terhadap Al-Qur’an[6].
Berikut uraian sedikit tentang kedudukan hadits sebagai sumber
hukum Islam:
1.
Dalil Al-Qur’an
Selain Allah SWT memerintahkan agar
umatnya percaya kepada Rasul juga dapat menaati semua perintah atau peraturan
yang telah ditetapkan atau dibawa oleh beliau. Taat kepada Rasul sama denga
taat kepada Allah. Sebagaimana firman Allah QS. Al- ‘Imran:32 yang berbunyi:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ
اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Artinya:
“"Katakanlah: 'Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang kafir'." – (QS. Al- ‘Imran
3:32)
Dari banyaknya
ayat Al-Qur’an ini membuktikan bahwa dimana setiap ada perintah taat kepada
Allah, pasti ada perintah taat kepada Rasul. Demikian pula mengenai ancaman.
Ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan dalam penetapan untuk taat kepada
semua yang diperintah Rasulullah SAW.
2.
Dalil al-hadits
Dalam salah satu pesan Rasulullah
SAW. Berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup.
Masih banyak hadits-hadits yang
menerangkan tentang pedoman hidup maupunpenetapan hukum. Hadits-hadits tersebut
menunjukkan terhadap kita bahwa berpegang teguh kepada hadits sebagai pedoman
hidup iitu wajib, sebagaimana wajib pada Al-Qur’an.
3.
Kesepakatan
ulama (ijma’)
Banyak peristiwa yang menunjukan
adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain:
a
Ketika abu
bakar di baiat menjadi kholifah, ia pernahberkata “saya tidak meninggalkan
sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya
saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
b
Saat umar
berada di hajar aswad ia berkata: “saya tahu bahwa engkau adalah batu.
Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu”.
c
Diceritakan
dari Sa’i bin Musayyab bahwa ‘usman bin ‘affan berkata: ”saya duduk sebagaimana
duduknya Rasulullah, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya sholat
sebagaimana Sholatnya Rasulullah[7].
Untuk mengukuhkan validitas sunnah sebagai otoritatif hukum Islam.
Al-syafi’i mengajukan analisis terhadap kata al-hikmah dalam Al-Qur’an. Dalam
banyak Al-Qur’an, kata tersebut selalu bergandengan dengan kata al-kitab
(Al-Qur’an)[8].
Namun al-syafi’i menyipulkan bahwa yang dimaksud al-kitab adalah
Al-Qur’an, sedangkan yang dimaksud al-hikmah adalah sunnah atau al-hadits.
Dalam sejarah tercatat, ada sekelompo kecil umat Islam yang menolak adanya
sunnah atau hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam. Dikenal sebagai inkar
al-sunnah dan munkir al-sunnah. Adanya kelompok tersebut diketahui melalui
tulisan al-syafi’i yang dikelompokkan dalam tiga golongan:
a).
Golongan yang
menolak sunnah secara keseluruhan
b).
Golongan yang
menolak sunnah kecuali jika sunnah itu memiliki kesamaan denga petunjuk Al-Qur’an
c).
Golngan yang
menolak sunnah yang berstatus ahad[9].
Hadits atau
sunnah sebagai sumber hukum Islam tidak hanya untuk kaitannya dalam hal iadah,
akan tetapi juga dalam masalah masyarakat sosial. Eksistensi sunnah atau hadits
dapat sumber hukum Islam dapat dilihat dari beberapa argumen Al-Qur’an,
ijma’ maupun argumen rasional.
Beberapa
implikasi pada perkembangan hukum Islam. Kosep sunnah ternyata mengalami proses
yang cukup panjang sebelum di identikkan dengan istilah hadits. Proses tersebut
disimpulkan dengan baik oleh Fazlur Rahman sebagai berikut:
“that the
sunnah-content left bythe prophet was not very large in quantity and that it
was not something meant tobe absolutely specific; that the concept sunnah after
the time of the propher himself but also the interpretation of the prophetic
sunnah; that the “sunnah” in this last sense is co-extensive with the ijma’ of
the community, which is essentially an ever-expanding process;and finally; that
after the mass-scale hadith movement the organic relationship between the
sunnah, ijtihad, and ijma’ was destroyed[10]”
Artinya:
Bahwa kandungan
sunnah yang bersumber dari Nabi tidak bayak jumlahnya dan tidak dimaksudkan
bersifat spesifik secara mutlak, bahwa konsep sunnah setelah Nabi wafat tidak
hanya mencakup sunnah Nabi tetapi juga penafsiran-penafsiran terhadap sunnah
Nabi tersebut, bahwa sunnah dalam pengertian terakhir ini sama luasnya dengan
ijma’ yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin meluas secara
terus-menerus, dan yang terkhir sekali bahwa setelah gerakan pemurnian hadits
besar-besaran, hubungan organis diantara sunnah, ijtihad dan ijma’ menjadi
rusak.
Ketika timbul
gerakan hadits pada paruh kedua abad hijriyah sunnah diekspresikan sebagai
hadits, sehingga pada tahap berikutnya hadits identik dengan sunnah. Namun
jalaluddin Rahmat membantah bahwa yang pertama kali beredar dikalangan umat
Islam untuk menunjuk pada Nabi adalah
hadits bukanlah sunnah.
Kondisi
kemudian berubah setelah dua khalifah mengadakan gerakan “penghilangan” hadits
yang kemudian melahirkan keenggangan para sahabat menuliskan hadits. Ini
mengakibatkan hilangnya sebagian besar hadits dan adanya kesempatan untuk
pealsuan hadits yang mengakibatkan merebaknya periwayatan dalam makna (riwayat
bi al ma’na). Dan karena orang hanya menerima hadits lewat lisan, maka ketika
menyampaikannyapun hanya menyampaikan maknanya, sehingga dalam periwayatan
hadits dapat berubah-ubah. Mengingat makna redaksi hadits itu berkembang sesuai
orang yang meriwayatkannya. Dan inilah yang menimbulkan banyaknya perbedaan
pendapat dalam penafsiran hadits. Kemudian memunculkan ra’y atau oleh Rahman
diidentifikasi sebagai sunnah. yangmana
orang lebih cenderung mencari petunjuk pada ra’y karena hilangnya sejumlah
hadits akibat perbedaan pendapat.
Ketika terjadi suasana
yang tidak ada acuan universal, maka munculah gerakan massif untuk membawa
konsep sunnah kedalam konsep hadits. hadits -hadits kemudian dihidupkan
kembali, namun upaya ini mengalami kesulitan yang besar menyangkut pengujian hadits yang dapat dipertanggungjawabkan
validitasnya yang kemudian dirumuskan kaidah-kaidah kesahihan hadits (‘ulum
al-hadits).
Dengan demikian
jika ada pernyataan mengenai hadits nabi telah ada sejak awal perkembangan
Islam itu adalah sebuah kenyatan yang tidak dapat diragukan lagi dan mematahkan
pernyataan bahwa hadits adalah produk belakangan. Perkembangan hadits berjalan
pararel dengan praktek para sahabat dan umat. Dalam hal ini hadits mengalami
tahapan yang panjang sebelum ia ditetapkan sebagai sentral keputusan hukum Islam.
Memang dulu pada masa-masa awal sunnah menjadi standar bagi manifestasi sunnah
ideal Nabi, akan tetapi pada masa al-Syafi’iy dan seterusnya haditslah yang
kemudian menjadi manifestasi teladan Nabi.
D.
Ijtihad sebagai
sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan Hadits
1.
Pengertian
Ijtihad
Ijtihad memiliki arti kesungguhan,
yaitu mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Ijtihad dari sudut istilah
berarti menggunakan seluruh potensi nalar secara maksimal dan optimal untuk
meng-istinbath suatu hukum agama yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
ulama yang memenuhi persyaratan tertentu, pada waktu tertentu untuk merumuskan
kepastian hukum mengenai suatu perkara yang tidak ada status hukumnya dalam
Al-Qur’an dan sunnah dengan tetap berpedoman pada dua sumber utama.
Dengan demikian, ijtihad bukan
berarti penalaran bebas dalam menggali hukum satu peristiwa yang dilakukan oleh
mujtahid, melainkan tetap berdasar pada Al-Qur’an dan sunnah. Walaupun ijtihad
diperbolehkan untuk dilakukan oleh mujtahid (orang yang berijtihad) yang
memenuhi syarat, namun tidak berarti bahwa ijtihad dapat dilakukan dalam semua
bidang. Ijtihad memiliki ruang lingkup tertentu.
Syaikh Muhammad Salut, misalnya
membagi lingkup ijtihad ke dalam dua bagian:
1.
Permasalahan
yang tidak ada atau tidak jelas ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an atau hadist
Nabi.
2.
Ayat-ayat
Al-Qur’an tertentu dan hadis tertentu tidak begitu jelas maksudnya yang mungkin
disebabkan oleh makna yang dikandung lebih dari satu sehingga perlu ditentukan
dengan jalan ijtihad untuk mengetahui makna-makna yang sesungguhnya yang
dimaksud[11].
3.
Macam-macam
Ijtihad\
a.
Ijmak.
Ijmak berarti menghimpun, mengumpulkan, atau bersatu dalam
pendapat, dengan kata lain ijmak merupakan consensus yang terjadi di kalangan
para mujtahid terhadap suatu masalah sepeninggal Rasulullah SAW. Ahli ushul
fikih mengemukakan bahwa ijmak adalah kesepatan para mujtahid kaum muslimin
dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syariat
mengenai suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa yang memerlukan
ketentuan hukum yang tidak ditemukan dalam kedua sumber sebelumnya (Al-Quran
dan sunnah) maka para mujtahid mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu
peristiwa dan jika disetujui atau disepakati oleh para mujtahid lain,
kesepakatan itulah yang disebut ijmak.
Ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki posisi kuat
dalm menetapkan hukum dari suatu peristiwa. Bahkan telah diakui luas sebagai
sumber hukum yang menempati posisi ketiga dalam hukum Islam. Sejumlah ayat dan
hadits nabi menjadi pembenaran teologis kekuatan ijmak sebagai sumber hukum
dalam Islam. Pemberian warisan kepada nenek laki-laki (jadd) ketika ia
berkumpul dengan laki-laki orang yang meninggal dunia yang dalam keadaan
seperti ini nenek laki-laki tersebut menggantikan ayah (orang yang meninggal)
untuk menerima seperenam dari harta warisan atau harta peninggalannya merupakan
contoh penetapan hukum berdasarkan ijmak sahabat.
Dalam transaksi jual beli, misalnya istishna’ atau pemesanan barang
yang baru akan dibuat yang seharusnya tidak boleh,karena dinilai sama seperti
halnya membeli barang yang tidak ada, merupakan contoh hukum yang bersumber
dari hasil ijmak sahabat (Hanafi, 1995: 61) Penggunaan ijmak sebagai sumber
hukum dalam menetapkan hukum suatu peristiwa secara historis terjadi pasca
wafatnya Nabi SAW. Selama beliau hidup, setiap peristiwa yang muncul selalu
diminta untuk ditetapkan hukumnya sehingga tidak mungkin terjadi perlawanan
hukum terhadap suatu masalah. Ijmak yang memiliki kehujahan sebagai sumber
hukum didasarkan pada sejumlah argumentasi teologis terutama ayat 59 surah
An-nisa’ yang didalamnya terdapat anjuran untuk taat pada ulil amri setelah
taat pada Allah SWT dan Rosul-Nya. Ulil amri dalam ayat tersebut dipahami
sebagai pemegang urusan dalam arti luas mencakup urusan dunia ( seperti kepala
Negara, menteri, legislative, dan lain-lain) dan pemegang urusan agama seperti
para mujtahid, mufti, dan ulama. Karena itu, apabila ulil amri telah sepakat
dalam status hukum suatu urusan maka wajib ditaati, diikuti, dan dilaksanakan
sebagaimana mentaati, mengikuti, dan melaksanakan perintah Allah SWT dan
Rosul-Nya dalam (QS. An-nisa’ [4] : 83 ):
وَإِذَا
جَآءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الاٌّمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ
إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِى الاٌّمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ
الَّذِينَ
يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ
لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَـنَ إِلاَّ قَلِيلاً
Artinya: Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).
Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu
mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (QS. An-nisa’ 4:
83)
Argumentasi
yang kedua yang dijadikan pembenaran kehujahan ijmak sebagai sumber hukum Islam
adalah sejumlah hadis Nabi SAW yang menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari
bersepakat membuat kesalahan dan kesesatan separti hadis Nabi SAW yang
diriwayatkan Ibnu Majah, yang mengatakan : “umatku tidak sepakat untuk membuat
kekeliruan.” Hal ini berarti bahwa kesepakatan yang telah dicapai oeh para
mujtahid memiliki kehujahan yang kuat sebagai sumber hukum dalam Islam dan wajib
diikuti oleh umat Islam pada umumnya.
b.
Qiyas
Secara harfiah berarti analogi atau mengumpamakan. Adapun menurut
pengertian para ahli fikih, qiyas adalah menetapkan hukum tentang sesuatu yang
belum ada nash atau dalilnya yang tegas, dengan sesuatu hukum yang sudah ada
nash atau dalilnya yang didasarkan atas persamaan illat antara keduanya.
Misalnya, menetapkan haramnya minuman bir yang tidak ada dalilnya dalam
Al-Qur’an dengan khamar yang ada hukumnya di dalam Al-Quran. Menyamakan atau
menganalogikan bir dengan khamar ini didasarkan pada adanya persamaan illat
antara keduanya, yaitu memabukkan.
c.
Al-mashlahat
al-mursalah
Secara harfiah berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi orang
banyak. Adapun menurut para ahli hukum Islam, Al-mashlahat al-mursalah adalah
sesuatu yang didalamnya mengandung kebaikan bagi masyarakat, sehingga walaupun
pada masa lalu hal tersebut tidak diberlakukan, namun dalam keadaan masyarakat
yang sudah makin berkembang, keadaan tersebut dianggap perlu dilakukan.
Misalnya, pembukuan Al-quran dalam bentuk mushaf seperti yang ada sekarang
perlu dilakukan, mengingat jumlah para penghafal Al-Quran makin sedikit karena
meninggal dunia, serta pertentangan dalam membaca Al-Quran sering terjadi.
d.
‘Urf
Secara harfiah berarti sesuatu yang berlaku atau yang sudah
dibiasakan. Adapun menurut para ahli hukum Islam, ‘urf adalah sesuatu yang
berlaku dimasyarakat atau tradisi yang mengandung nilai-nilai kebaikan bagi
masyarakat. Contonya kebiasaan merayakan hari raya yang pada zaman sebelum
Islam, namun dinilai mengandung kebaikan, maka tetap dilanjutkan.
e.
Istihsan
Secara harfiah berarti memandang sesuatu sebagai yang baik. Menurut
Islam, istihsan artinya segala sesuatu yang dipandang manusia pada umumnya
sebagai hal yang baik, dan tidak bertentangan dengan al-Quran dan sunnah.
Penggunaan istihsan ini antara lain didasarkan pada sabda Rasulullah SAW :
Artrinya : “segala sesuatu yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai sesuatu yang
baik, maka yang demikian itu disisi Allah dipandang sebagai hal yang baik.”
f.
Qaul
al-shahabat
Secara harfiah berarti ucapan sahabat. Dalam pengertian umum, Qaul
al-shahabat adalah pendapat, pandangan, pikiran, dan perbuatan para sahabat
yang sejalan denganAl-Quran dan sunnah. Penggunaan Qaul al-shahabat sebagai
dasar hukum, mengingat para sahabat selain sebagai orang yang dekat, bergaul
dan ikut berjuang dengan Rasulullah SAW, juga memang memiliki pemikiran,
gagasan, dan karya-karya yang layak untuk dijadikan bahan renungan dan
pertimbangan dalam mengembangkan ajaran Islam pada masa selanjutnya.
g.
Syar’un man
qablana
Secara harfiah
berarti agama sebelum kita. Dalam pengertian yang lazim, Syar’un man qablana
adlah ajaran yang terdapat didalam agama yang diturunkan Tuhan sebelum Islam
yang terdapat di dalam kitab Zabur, Taurat, Injil yang masih asli yang tidak
bertentangan dan masih sesuai dengan kebutuhan zaman. Di dalam kitab Taurat
yang ditinggalkan Nabi Musa misalnya terdapat ajaran mengesakan Tuhan, larangan
menyekutukan-Nya, memuliakan kedua orang tua, memiliki kepedulian terhadap kerabat,
orang miskin, ibnu sabil, bersikap boros, membunuh anak, berbuat zina, memakan
harta anak yatim, mengurangi timbangan, menjadi saksi palsu, dan larangan
bersikap sombong. Ajaran yang dibawa Nabi Musa ini terus dilanjutkan oleh Nabi
Muhammad SAW, sebagaimana terdapat dalam QS. Bani Israil (17) ayat 23 sampai
dengan ayat 37. Ajaran yang pernah berlaku pada zaman Nabi Musa itu, masih
tetap diberlakukan dimasa sekarang, karena masih dianggap cocok dan dibutuhkan
untuk zaman sekarang dan yang akan datang.
BAB
III
KESIMPULAN
\ Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa sumber ajaran islam ada tiga macam, yaitu Al-qur’an, hadits dan
ijtihad. Al-qur’n sebagai sumber hukum
Islam yang pertama yaitu Al-qu’an berisi tentang semua kehidupan yang ada di
alam, perintah, akidah dan kepercayaan, akhlak yang murni, mengenai syari’at
dan hukum dan sebagai petunjuk umat Islam. Sedangkan Hadits itu sebagai sumber
ajaran islam karena dalam Dalil al-qur’an mengajarkan kita untuk mempercayai
dan menerima apa yang telah disampaikan oleh Rasul untu dijadikan sebagai
pedoman hidup. Selain itu dalam hadits juga terdapat pertnyataan bahwa
berpedoman pada hadits itu wajib, bahkan juga terdapat dalam salah satu pesan
Rasulullah berkenaan menjadikan hadist sebagai pedoman hidup setelah Al-qur’an
sebagai sumber yang pertama. Ijtihad sebagai sumber ajaran karena melalui
konsep ijtihad, setiap peristiwa baru akan didapatkan ketentuan hukumnya Dari
pemaparan makalah kami tersebut kita tahu bahwa sumber ajaran islam sangat penting
sebagai pedoman hidup, untuk itu hendaknya apabila kita melenceng dari salah
satu sumber ajaran tersebut, maka akan menjadikan hal yang fatal.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd Az-‘azhim, Az-Zarqani Muhammad. Manhil al-‘irfan, Dar al-Fikr,
Bairut, t.t, jilid I hlm 106.
Amin, Muhammad Suma. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali, 2013
Didik ahmad supadi dan sarjuni, Pengantar studi Islam, Semarang:
Rajawali Pers, 2011
Mahfud, Rois. Al-Islam PendidikanAgama Islam, Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2011
Muhaimin, dkk. Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan,
Jakarta: kencana, 2012
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu,
anggota IKAPI, 2000
Nata, Abuddin. Studi Islam komperehensif, Jakarta: Kencana 2011
Suparta, Munzier. Ilmu Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002
Uhbiyati, Nur. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2013
[1]
Nur
Uhbiyati, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2013, halaman 25
[2]
Muhaimin,
dkk. Studi Islam dalam ragam dimensi dan pendekatan, Jakarta: kencana,
2012, halaman 81
[3]
]Didik
ahmad supadi dan sarjuni, Pengantar studi Islam, Semarang: Rajawali Pers, 2011 halaman
169
[4]
Muhammad
‘abd az-‘azhim az-zarqani, Manhil al-‘irfan, Dar al-Fikr, Bairut, t.t, jilid I
hlm 106.
[5]
Muhammad
Amin Suma. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali, 2013 halaman
[6]
Musahadi
HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang: CV. Aneka ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm
80
[7]
Drs.
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 56
[8]
Musahadi
HAM, Evolusi konsep sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 82
[9]
Musahadi
HAM, Evolusi konsep sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm
84
[10]
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah. Semarang: CV. Aneka ilmu,
anggota IKAPI, 2000, hlm 119
[11]
Rois Mahfud, Sumber Ajaran Islam, Palangka raya: Erlangga, 2011, halaman 117-118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar