Selasa, 04 Januari 2022

MAKALAH POLITIK PERPAJAKAN

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang Masalah

Politik dan pajak adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Setiap negara yang menganut demokrasi memberlakukan pemungutan pajak sebagai penghasilan negara. Bahkan negara non demokratispun hidup melalui pajak. Prinsipnya, dalam negara demokratis pajak tidak sekedar pungutan pksa yang dilakukan negara terhadap rakyatnya. Tapi pajak sudah menjadi kesadaran bagi warga negaranya sebagai dana untuk membangun negara.

Demokrasi suatu negara tersebut sangagt menentukan arah politik pajak di negara tersebut. Politik pajak ikut andil dalam menentukan stabilitas negara. Ketika kesadaran warga negara semakin tinggi unntuk membayar pajak, maka peranan mereka dalam mengintrol pemerintah akan semakin kuat, karena pemerintah akan semakin berhati-hati dalam menggunakan uang pajak.

Adanya hubungan timbal balik antara warga negara dengan pemerintah yang bersifat mutual (saling menguntungkan) akan menjadi cerminan sebagai negara yang demokrasi. Maka dalam hal ini warga negara memiliki peran yang cukup banyak mulai dari perencaan, pengelolaan, dan evaluasi kebijakan pemerintah. Oleh karena pentingnya warga negara memgetahui lebih dalam tentang perpajakan di Indonesia, maka penulis akan membahas tentang Politik Perpajakan dalam makalah ini.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian pajak?

2.      Bagaimana politik perpajakan di Indonesia?

3.      Apa yang dimaksud dengan desentralisasi politik perpajakan?

4.      Bagaimana peran negara dan rakyat dalam demokratisasi pajak?

5.      Bagaimana politik perpajakan yang ideal?

 

C.    Tujuan

1.      Mahasiswa memilki pengetahuan yang lebih dalam tentanng politik perpajakan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBBAHASAN

 

A.    Definisi Pajak

Politik Pajak

Politik dan pajak adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Setiap negara yang menganut demokrasi memberlakukan pungutan pajak sebagai penghasilan negara. Bahkan negara yang non demokratis sekalipun hidup melalui pajak. Namun, relasi antara pajak dan politik diantara kedua paham tersebut memiliki perbedaan.

Prinsipnya, dalam negara demokratis pajak tidak sekedar pungutan paksa yang dilakukan negara kepada rakyatnya. Tapi, pajak sudah menjadi kesadaran bagi warga negara karena dengan membayar pajak negara dapat melindungi setiap usaha penduduknya. Sebagian penghasilan yang diporeleh warga negara disisihkan untuk kepentingan bersama, yaitu negara. Sehingga warga negara memiliki peranan yang kuat dalam mengontrol kebijakan pemerintah.

Berbeda hal dengan negara yang non demokratis, pajak tidak hanya pungutan oleh negara. Tapi, pajak menjadi alat bagi pemerintah untuk memperkaya para elit dengan cara menggelapkan uang pajak demi kepentingan pribadi. Sementara, tingkat kesadaran warga negara membayar pajak sangat rendah dibandingkan dengan negara yang demokratis. Biasanya dalam sistem seperti ini peranan warga negara dalam mengontrol kebijakan pemerintah sangat terbatas.

Oleh karena itu, tingkat demokrasi suatu negara sangat menentukan arah politik pajak di negara tersebut. Politik pajak ikut andil dalam menentukan stabilitas negara.

Ketika kesadaran warga negara semakin tinggi untuk membayar pajak, maka peranan mereka dalam mengontrol pemerintah akan semakin kuat. Pemerintahan menjadi berhati-hati dalam menggunakan uang pajak. Sehingga kondisi negara cenderung stabil karena mekanisme chack and balances antara pemerintah dengan warga negara berjalan.

Sebaliknya, jika kesadaran masyarakat rendah untuk membayar pajak, maka kontrol terhadap pemerintah akan lemah. Bahkan warga negara yang tidak sadar pajak akan melakukan berbagai cara untuk tidak membayar pajak jika dipaksa oleh negara. Disisi lain, pemerintahan ikut pula menyelewengkan uang pajak karena kontrol warga negara sangat lemah.

Ketika kesadaran semakin meningkat, sementara pemerintah tidak jua berbenah maka kondisi negara cenderung tidak stabil karena dengan kesadaran meningkat tersebut tuntutan untuk berubah menjadi lebih demokratis akan semakin kuat.

Gagalnya hak angket pajak yang diajukan DPR membuktikan bahwa negeri ini masih jauh dari kata demokratis. DPR yang merupakan representasi rakyat tidak mampu melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah terkait masalah pajak. Pemerintah terlalu kuat dibandingkan dengan kekuatan rakyat. Kesadaran untuk membayar pajak juga sangat minim, sehingga banyak terjadi kasus penggelapan pajak.[1]

Definisi Pajak

Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli di antaranya adalah:

Definisi menurut Prof. Rochmat Soemitro SH:

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran Umum.

 

Unsur Unsur pajak ;

  1. Iuran rakyat kepada negara,yang berhak memungut pajak adalah negara, iuran berupa uang bukan barang.
  2. Berdasarkan undang-undang, pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
  3. Tanpa jasa timba atau kontraprestasi dari negara secara langsung dapat ditunjuk, dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
  4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

 

Definisi perancis dalam Buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite de la science des Finances 1906, Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah.

 

Definisi Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919); Pajak adalah bantuan secara insidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara), untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi suatu tatbestand(sasaran pemajakan) karena undang-undang telah menimbulkan utang pajak.

 

Definisi Prof R.A. Seligman dalam Essays in Taxation (New York, 1925); Pajak adalah konstribusi wajib dari seseorang kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran yang terjadi untuk kepentingan bersama, tanpa merujuk pada manfaat khusus dianugerahkan.

 

Definisi Mr. Dr. J. Feldmann dalam bukunya De overheidsmiddelen van Indonesia; Pajak adalah prestasi yang dipakasakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.

 

Definisi Prof. Dr. M. J.H. Smeets dalam bukunya De Economische betekenis der Belastingen 1951; Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.

 

Definisi Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul Pajak berdasarkan Asas Gotong Royong Universitas Padjadjaran bandung 1964; Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

 

Ciri pajak yang tersimpul dalam berbagai definisi secara umum adalah :

  1. pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke Pemerintah
  2. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya sehingga dapat dipaksakan.
  3. dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah.
  4. pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
  5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment
  6. pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah
  7. pajak dapat dipungut baik secara langsung maupun tidak langsung.[2]

Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.

Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan.

Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.

Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''.

Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur sebagai berikut:

1.      iuran rakyat kepada negara, baik pemerintah pusat maupun daerah.

2.      Berdasarkan undang-undang, Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan, "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."

3.      Sifatnya dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.

4.      Tanpa jasa timbal balik dari negara/pemerintah yang secara langsung dapat ditunjuk.

5.      Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara (Public Investment).

6.      Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.

7.      Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

B.     Politik Perpajakan di Indonesia

 

2.1 Pengertian Politik Perpajakan

 

Politik dan pajak adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Setiap negara yang menganut demokrasi memberlakukan pungutan pajak sebagai penghasilan negara. Bahkan negara yang non demokratis sekalipun hidup melalui pajak. Namun, relasi antara pajak dan politik diantara kedua paham tersebut memiliki perbedaan.[3]

Politik dan Pajak sama-sama berdimensi seni. Keduanya dapat diartikan sebagai art of possibility. Dalam politik, sesuatu yang tidak mungkin (calon yang kurang diperhitungkan) dapat menjadi mungkin (pemenang suatu pemilihan). Demikian pula, dalam perpajakan sesuatu yang tidak mungkin kena pajak dapat mungkin dikenakan dan sesuatu yang mungkin dikenakan dapat dibebaskan dari pajak. Semuanya tergantung pada pembenaran kebijakan dan rumusan ketentuan. Teknik pemungutan pajak juga merupakan seni bagaimana menjadikan pembayar pajak merasa perlu dan butuh membayar sebagai sesuatu kebanggaan dan kenikmatan bernegara, pelindung dan pengurus kepentingan politik, ekonomi, sosial dan lainnya. Karena itu, politik dan pajak perlu disinergikan secara harmonis sehingga terbentuk pola pikir tiada kepentingan politik tanpa membayar pajak.[4]

Penerimaan pajak bagaimanapun harus terus menjadi sumber utama pendapatan negara. Artinya, bahwa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan anggaran harus diarahkan pada cipta kondisi kemandirian keuangan dalam negeri. Pajak sudah menjadi isu politik yang fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga pendekatan politik dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak menjadi penting karena akan berujung akan meningkatnya penerimaan dalam negeri dari sektor pajak.[5]

Prinsipnya, dalam negara demokratis pajak tidak sekedar pungutan paksa yang dilakukan negara kepada rakyatnya. Tapi, pajak sudah menjadi kesadaran bagi warga negara karena dengan membayar pajak negara dapat melindungi setiap usaha penduduknya. Sebagian penghasilan yang diporeleh warga negara disisihkan untuk kepentingan bersama, yaitu negara. Sehingga warga negara memiliki peranan yang kuat dalam mengontrol kebijakan pemerintah.[6]

Berbeda hal dengan negara yang non demokratis, pajak tidak hanya pungutan oleh negara. Tapi, pajak menjadi alat bagi pemerintah untuk memperkaya para elit dengan cara menggelapkan uang pajak demi kepentingan pribadi. Sementara, tingkat kesadaran warga negara membayar pajak sangat rendah dibandingkan dengan negara yang demokratis. Biasanya dalam sistem seperti ini peranan warga negara dalam mengontrol kebijakan pemerintah sangat terbatas.

Oleh karena itu, tingkat demokrasi suatu negara sangat menentukan arah politik pajak di negara tersebut. Politik pajak ikut andil dalam menentukan stabilitas negara. Ketika kesadaran warga negara semakin tinggi untuk membayar pajak, maka peranan mereka dalam mengontrol pemerintah akan semakin kuat. Pemerintahan menjadi berhati-hati dalam menggunakan uang pajak. Sehingga kondisi negara cenderung stabil karena mekanisme chack and balances antara pemerintah dengan warga negara berjalan.

Sebaliknya, jika kesadaran masyarakat rendah untuk membayar pajak, maka kontrol terhadap pemerintah akan lemah. Bahkan warga negara yang tidak sadar pajak akan melakukan berbagai cara untuk tidak membayar pajak jika dipaksa oleh negara. Disisi lain, pemerintahan ikut pula menyelewengkan uang pajak karena kontrol warga negara sangat lemah. Ketika kesadaran semakin meningkat, sementara pemerintah tidak jua berbenah maka kondisi negara cenderung tidak stabil karena dengan kesadaran meningkat tersebut tuntutan untuk berubah menjadi lebih demokratis akan semakin kuat.

Gagalnya hak angket pajak yang diajukan DPR membuktikan bahwa negeri ini masih jauh dari kata demokratis. DPR yang merupakan representasi rakyat tidak mampu melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah terkait masalah pajak. Pemerintah terlalu kuat dibandingkan dengan kekuatan rakyat. Kesadaran untuk membayar pajak juga sangat minim, sehingga banyak terjadi kasus penggelapan pajak.

Perkembangan terkait dengan definisi pajak saat ini lebih didominasi oleh para pakar di bidang hukum, ekonomi maupun adaministrasi. Jika dilihat kembali pengertian pajaka yang terdapat di pasal 1 ayat 1 UU No.. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang disempurnakan terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan pun lebih dekat pengertian pajak paradikma hukum. Hal yang menarik disampaikan Bruno Peter dengan pendapatnya, “Konsep pajak tidak hanya dilihat semata-mata hanya sebagai metode untuk mengumpulkan penerimaan negara guna membiayai pemerintahan. Pajak juga harus dilihat sebagai tujuan DEMOKRATIS, yaitu mengalokasikan beban pajak secara adil bagi seluruh masyarakat dan untuk menjhaga sgtabilitas ekonomi serta mendorong terciptanya kesejahteraan.”[7]

Lebih lanjut lagi pendaat serupa juga diungkapkan oleh Irianto dalam desertasinya, pajak dalam perspektif politik, “pajak adalah SAHAM POLITIK rakyat atas negara sehingga rakyat memiliki hak-hak istimewa dalam setiap politik untuk menentukan kebijakan negara”. Menurut Irianto saham politik sebagai bukti setoran modal dari rakyat kepada negar guna berdirinya sebuah negara sehingga menjadi bukti kepemilikan rakyat atas negara yang direpresentasikan dengan kepemilikian hak suara dalam penentuan keputusan politik.

Sedangkan hak-hak istimewa dalam proses politik disini adalah untuk mendapatkan prioritas untuk dipilih dan memilih penyelenggara negar termasuk melakukan penilaian atas perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban penyelenggaan negara. Rakyat merupakan pemegang mandat tertinggi dalam sistem politik Indonesai sehingga perlu dibuka akses bagi rakyat untuk mengkontrol kebijakan perpajakan.

Dengan landasan itu maka dapat dibangun suatu argumen yang melegitimasi bahwa pajak sebagai realitas politik menjadi kuat dan jelas. Pajak tidak bisa dipahami sebagai instrumen ekonomi pemerintah, yang digunakan hanya untuk menjalankan fungsi budgeter (sumber pembiayaan penyelenggara pemerintah) semata-mata. Pajak telah menjadi instrumen politik ketika digunakan oleh sebuah pemerintah saat menjalankan fungsinya sebagai regulator, yaitu memainkan peran untuk membatasi kepemilikan kaum kaya serta melindungi dan mendorong kaum yang lemah secar ekonomi melalui pembagian penghasilan (Irianto dan Jurdi, 2005).

Oleh karena itu, keluar Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang perimbangan keuangan Pusat Daerah yang diperbaiki atau istilah disempurnakan dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah, merupakan titik balik dari usaha untuk mendorong politik negara yang berpihak kepada kepentingan publik yang luas terutama kepentingan daerah-daerah yang selama ini terabaikan oleh kuatnya hegemoni negara atas rakyat.

Ketentuan hukum yang telah diterapkan dalam UU Nomor 25 Tahun 1999, telah memberikan sebagian harapan bagi adanya keadilan politik perpajakan yang dirasakan oleh daerah-daerah terutama daerah yang memiliki sumber kekayaan dan penerimaan daerah yang besar.

Sebagian politik dan birokrasi pemerintahan meraksakan adanya kelemahan-kelemahan dalam ketentuan hukum tersebut, maka diubahlah menjadi suatu ketentuan hukum baru yang diklaim oleh para perumus UU tersebut sebagi ketentuan hukum yang menjanjikkan keadilan baig rakyat daerah, maka keluarlah UU Nomor 33 Tahun 2004 sebagai jawaban negara atas kelemahan pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 1999.

 

2.2 Perkara Perpajakan

 

Pada dasarnya Kasus Gayus mencuat setelah mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji mengorek kasus tersebut. Gayus yang hanya pegawai di Kementerian Keuangan memiliki rekening sampai Rp28 miliar. Di sisi lain, Gayus pun dibebaskan Majelis Hakim PN Tangerang yang dipimpin Muhtadi Asnun.  Hakim menilai, tidak ada bukti kuat bahwa Gayus melakukan penggelapan. Kasus tersebut merembet ke instansi penegak hukum. Jaksa peneliti kasus tersebut, Cirus Sinaga, pun dicopot dari jabatan strukturalnya sebagai Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.[8]

Kemudian, mantan Direktur Prapenuntutan Kejaksaan Agung Poltak Manulang juga dicopot. Kejaksaan Agung juga menjatuhkan sanksi kepada seluruh jaksa yang menangani kasus Gayus, termasuk Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kamal Sofyan Nasution. Tim inspeksi kasus jajaran pengawasan menilai Jampidum lalai dalam menangani berkas perkara Gayus terkait penggelapan pajak senilai Rp28 miliar. Padahal, seharusnya Gayus didakwa dengan pasal mengenai pencucian uang dan korupsi Dari aparat kepolisian, tujuh perwira telah ditetapkan sebagai terperiksa. Mereka adalah Brigjen Pol Edmon Ilyas, Brigjen Pol Raja Erizman, Kombes Pol Eko Budi Sampurno, Kombes Pol Pambudi Pamungkas, AKBP Mardiani, Kompol Arafat dan AKP Sri Sumartini.

Bahkan Edmon Ilyas dicopot dari jabatannya sebagai Kapolda Lampung. Selain itu, Kombes Pol Pambudi Pamungkas dan Kombes Pol Eko Budi Sampurno juga dicopot. Adapun Kompol Arafat, AKP Sri Sumartini bahkan telah ditetapkan sebagai tersangka lantaran dianggap terlibat dalam rekayasa kasus Gayus. Sementara itu, Kementerian Keuangan belum memanggil nama-nama perusahaan yang pekan lalu sempat disebut tersangka makelar kasus pajak, Gayus H Tambunan. Menteri Keuangan Agus Martowardojo menuturkan, kalau memang Gayus menyebut nama-nama itu, kementerian pasti akan meminta pertanggungjawaban. "Tapi kami sebagai institusi dan berada di negara hukum, kami akan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah," kata Agus di Kantor Menko Perekonomian.

Meski begitu, mengingat kasus terjadi bukan hanya soal pajak seperti pengakuan Gayus kepada polisi, Menteri Agus telah meminta Inspektorat Jenderal masuk ke Direktorat Jenderal Pajak untuk melihat sejumlah kasus lain berkaitan wajib pajak.Kementerian, kata Agus, tidak ingin membuat resah wajib pajak. Hal terpenting, dia menambahkan, adalah membuat kepastian hukum dan aturan tentang pajak bagi para pengusaha. Dengan demikian, bisnis yang dijalankan bisa maju, dan kewajiban membayar pajak dapat dipenuhi tanpa ada lagi perselisihan. Kepastian ini penting mengingat penerimaan pajak untuk negara cukup besar, mencapai 75 persen dari porsi penerimaan negara pada 2010 ini.

Kasus itu diungkap mantan Kepala Bareskrim Komjen Susno Duadji. Awalnya, Susno menyebut adanya keterlibatan perwira tinggi Polri dalam kasus itu. Namun, saat ini penyidik hanya menetapkan sebagai tersangka oknum berpangkat ajun komisaris, yakni Sri Sumartini, dan Komisaris Arafat.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Mochamad Tjiptardjo meminta masyarakat tidak menggeneralkan atau meng-gebyah uyah kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan sebagai tindakan yang umum dilakukan oleh aparat dan pejabat pajak. Tindakan Gayus merupakan tindakan individu dan bukan organisasi Ditjen Pajak Kementerian Keuangan.  Hal itu diungkapkan oleh Tjiptardjo saat ditanya pers seusai menemui Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum di Gedung Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) di Jakarta, Jumat (26/3/2010). Pertemuan langsung dipimpin oleh Ketua Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, yang juga Ketua UKP4 Kuntoro Mangkusubroto dan anggota satgas lainnya. Adapun Tjiptardjo datang ditemani beberapa stafnya.

Mengenai kemungkinan ada atasan atau petugas pajak lainnya yang terlibat, Tjiptardjo mengatakan bahwa hal itu akan didalami. "Akan tetapi, (pemeriksaan) Gayus sudah selesai dan keputusan akan diambil. Kalau pejabat lainnya, ya kita harus tuntas karena kita harus membersihkan semua. Kalau ada rembetan ke pejabat lainnya, pasti kita minta pertanggungjawaban," katanya. Menurut Tjiptardjo, pihaknya tidak akan pandang bulu untuk menindak aparat dan pejabat pajak. "Pada tahun lalu, sebanyak 516 pejabat dan aparat pajak kita tindak.

Dakwaan pertama terkait pemeriksaan pajak PT.Surya Alam Tunggal (SAT) bersama-sama dengan Humala Setia Leonardo Napitupulu, Maruli Pandapotan Manurung, Johnny Marihot Tobing dan Bambang Heru Ismiarso Bahwa akibat perbuatan terdakwa Gayus telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 570.952.000 atau sekitar jumlah tersebut sebagaimana dalam laporan hasil perhitungan kerugian negara atas kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penanganan keberatan pajak PT SAT," jelas JPU Rhein Singal ketika membacakan dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (8/9)

Dakwaan kedua, terkait suap yang diberikan Gayus kepada penyidik Mabes Polri dengan maksud agar penyidik tidak melakukan penahanan pada dirinya, agar penyidik tidak melakukan penyidikan dan pemblokiran terhadap beberapa rekening milik Gayus di Bank Mandiri dan agar penyidik tidak melakukan penyitaan terhadap rumah miliknya. Gayus memberikan sejumlah uang kepada penyidik Bareskrim Polri yakni Kompol Arafat Enanie,dan AKP Sri Sumartini.

Dakwaan ketiga terkait suap yang diberikan Gayus kepada Muhtadi Asnun, ketua majelis hakim di Pengadilan Negeri Tangerang. Gayus dituduh telah memberikan uang sebanyak 20.000 dolar AS, 10.000 dolar AS dan 40.000 dolar AS kepada Asnun dengan maksud membebaskan dirinya dari dakwaan penuntut umum.

Sedangkan dakwaan terakhir yakni terkait usahanya membuka kembali pemblokiran rekening miliknya. Gayus, Haposan Hutagalung, Lambertus Palang Ama dan Andi Kosasih menyiasati harta kekayaan Gayus dengan merekayasa usaha fiktif.


 

C.    Desentralisasi Politik Perpajakan

Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 pasal 1 yang dimaksud dengan desentralisasi adalah: “desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebihh demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan dibawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat.

Pengaturan hubungan keuangan pusat-daerah didasarkan atas 4 prinsip:

1.      Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat di daerah dalam rangka dekonsentrasi dibiayai dari dan atas beban APBN.

2.      Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah sendiri dalam rangka desentralisasi dibiayai dari dan atas beban APBD.

3.      Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya, yang dilaksanakan dalam rangka tugas perbantuan, dibiayai oleh pemrintah pusat atas beban APBN atau pemerintah daerah tingkat atasnya beban APBD-nya sebagai pihak yang menugaskan.

4.      Sepanjang potensi sumber-sumber keuangan daerah belum mencukupi, pemerintah memberikan sejumlah sumbangan.

Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3(tiga) bentuk, yaitu :

1.      Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dariPemerintah Pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hirarki denganPemerintah Pusat di Daerah.

2.      Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkatpemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugaspemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimanaPemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya,Pemerintah Pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung ataspelaksanaan tugas tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, PemerintahDaerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikankewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggalisumber-sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya.Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hirarkiorganisasi dikenal sebagai distributed institutional monopoly of administrative decentralization.

3.      Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu : pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung olehPemerintah Pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur denganketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenangmempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraanpendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihakpemberi wewenang (sovereign-authority).

Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publlik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor berikut:

1.      PemerintahPusat yang mampu melakukan pengawasan dan efercement.

2.      SDM yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran Pemeriintah Pusat.

3.      Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukann pungutan pajak dan retribusi daerah.

Desentralisasi sistem perpajakan adalah pelimpahan kewenangan pemajakan dan penggunaan dana bagi hasil pajak kepada pemerintah daerah. Desentralisasi sistem perpajakan bertujuan agar daerah mampu mengurus dan mengelola rumah tangganya sendiri secara mandiri, termasuk menyangkut penyediaan sumber dana penyelenggaraan pemerintahan dari penerimaaan pajak.

Kebijakan desentralisasi sistem perpajakan yang termasuk dalam kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan di Indonesia mulai tahun 2001. Sebelumnya selama 30 tahun lebih Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat sentralistik. Kebijakan ini tertuang dalam bentuk perundang-undangan yang mengatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan perundangan tentang pajak dan retribusi daerah. Perimbangan keuangan mengatur tentang bagi hasil pajak dan sumber daya alam serta dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Perundangan pajak dan retribusi daerah mengatur jenis pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk memungutnya.Kenyataan yang terjadi, pemerintah daerah masih mengalami ketergantungan yang besar pada anggaran dari pemerintah pusat. Penerimaan APBD yang bersumber dari pajak daerah dan bagi hasil pajak pusat tidak mampu menutupi kebutuhan dana untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Untuk mengetahui desentralisasi sistem perpajakan dalam meningkatkan efisiensi ekonomi sektor publik dan kualitas pelayanan publik, perlu dilakukan suatu penelitian berdasarkan teori-teori yang dibangun dan data yang ada di lapangan untuk dianalisis. Penelitian ini akan mengukur pengaruh desentralisasi sistem perpajakan terhadap efisiensi ekonomi sektor publik dan kualitas pelayanan publik. Penelitian ini perlu dilakukan agar pajak daerah dapat diposisikan sejajar dengan pajak secara nasional. Mensinergikan upaya-upaya yang telah dilakukan di tingkat nasional dengan upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menggali potensi perpajakan daerah pada satu sisi, dan peningkatan kualitas pelayanan publik pada sisi lainnya, perlu dilakukan dalam era desentralisasi fiskal di Indonesia saat ini.

Terdapat delapan prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh pajak daerah menurut Stephen  J. Bailey sebagaimana dikutip oleh Tjip Ismail, yakni equity, efficiency, visibility, local autonomy, revenue sufficiency, revenue stability, dan immobile taxe bas. Teresa Ter-Minassian mengemukakan beberapa kriterian dan pertimbangna yang diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan kepada tingkat Pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana dikutip oleh Machfud sidik, yaitu:

1.      Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilitas ekonomi dan cocok untuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.

2.      Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu “mobile”. Pajak daerah yang terlalu mobile akan mendorong pembayar pajak merelokasi usahanya dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke daerah yang beban pajaknya rendah.

3.      Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah, seharusnya diserahkan kepada Pemerintah Pusat.

4.      Pajak daerah seharusnya “viable”, dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas bagi pembayar pajak daerah , objek dan subjek pajak dan besarnya pajak terutang dapat dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong akuntabilitas daerah.

5.      Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah lain., karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi dari pelayanan).

6.      Pajak daerah seharusnya bisa menjadi sumber penerimaan yang memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil penerimaan, idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak berfluktuasi.

7.      Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah diadministrasikan atau dengna kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi jumlah pembayar pajak, penegakkan hukum, dan komputerisasi.

8.      Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya pada semua tingkat pemerintahan, namun penyerahan kewenangan pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang manfaanya dapat dilokalisir bagi pembayar pajak lokal.

Kebijakan desentralisasi politik pemerintahan yang dipekatkan dengan desentralisasi kebijakan fiskal tentu akan memunculkan sejumlah harapan baru bagi lahirnya suatu keseimbangan sosial politik dalam konteks hubungan antara negara dengan politik. Desentralisasi fiskal hanya dapat dilaksanakan secara hati-hati agar tujuan pelaksanaan desentralisasi untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis serta akuntabilitas publik dapat terealisasi.

Kesetaraan antara rakyat selakku wajib pajak diras masih kurang. Dimana tingkat partisipasi dan seakligus akses masyarakat terhadap proses perpajakan masih rendah menunjukan bahwa masyarakat hanay sekedar menunaikan kewajibannya yang menandakan sekaligus menegaskan bahwa tingkat demokratisai dalam bidang perpajakan masih rendah.

Untuk itu perlu diciptakan instrumen-instrumen formasi yang dapat dijadikan jembatan antara negara dan masyarakat dalam perumusan kebijakan perpajakan. Seperti upaya untuk menemukan formulasi yang tepat mengenai keadilan pajak, maka politik keadilan perpajakan tentu akan berkaitan erat dengan usaha negara dan pemerintah memberikan jaminan sosial yang tepat bagi rakyat terutama merreka yang memiliki kewajiban membayar pajak agar mengetahui manfaat dari pajak yang telah mereka setorkan kepada negara. Pola hubungan yang transparan mestinya dibangun agasr sikap saling curiga antar negara dengan rakyat dapat dikurangi sehingga trust akan menjadi bagian dari pola hidup rakyat di masa yang akan datang. Agar meminimalisirkan “pembangakangan” sosial seperi di daerah seperti munculnya berbagai protes, pemberontakan dan usaha untuk memisahkan diri dari republik ini dapat diatasi, maka rezim politik yang berkuasa harus berkaca pada kondisi yang ada.

Dari berbagai studi yang telah dilakukan menyangkut desentralisasi fiskal, menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal masih belm dapat dipahami sebagai pelimpahan kewenangan kepada daerah dalam hal tugas-tugas pengeluaran dan pembagian penerimaan negara kepada daerah. Padahal, seharusnya dipahami sebagai bentuk pengakuan hak atas kewenangan yang seharusnya dimiliki daerah, sehingga dapat mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya sebagai pemegang kedaulatan negara. Oleh karena itu, daerah seharusnya mempunyai kewenangan penuh dalam hal pengeluaran anggaran karena diyakini pemerintah daerah lebih mengetahui apa yang menjadi kebutuhan masyarakat di daerahnya, namun pada saat yang bersamaan rakyat sudah terlibat dam proses pembuatan kebijakan anggaran (perpajakan) sampai pada pengawasan pelaksanaan anggaran di daerahnya.

Ada dua pilar hukum utama mengenai otonomi daerah di Indonesia yaitu: (1) Undang-undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berfokus pada desentralisasi administrasi dan politik termasuk referensi pedoman pendelegasian wewenang pertanggungjawaban pengeluaran; (2) Undang-undang Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan yang mengatur distribusi sumber daya di daerah. Selain itu ada empat Undang-undang yang mengatur perencanaan dan anggaran, laporan keuangan dan akuntansi, perbendaharaan dan audit bagi pemerintah daerah : (1) UU 17/2003 tentang Keuangan Negara memberikan kerangka hukum untuk anggaran terpadu; (2) UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur berbagai fungsi manajemen keuangan; (3) UU 15/2004 tentang Audit terhadap semua unit pemerintahan; dan (4) UU 25/2004 tentang perencanaan pembangunan yang mengatur kewenangan dan tanggung jawab pejabat pemerintah daerah yang berkaitan dengan perencanaan.


 

D.    Peran Negara dan Rakyat dalam Demokratisasi Pajak

            Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menggunakan asas demokrasi sebagai bentuk aspirasi kebijakan yang berfungsi untuk kesejahteraan rakyatnya. Asas demokrasi terbagi menjadi tiga bentuk kedaulatan yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Asas demokrasi tersebut harus diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan yang tujuan utamanya untuk mensejahterakan kehidupan bangsa Indonesia salah satunyan dalam system perpajakan. Demokrasi dalam sistem perpajakan dapat dimaknai sebagai terbangunnya sistem perpajakan yang menggambarkan adanya kesetaraan antara pemerintah dan masyarakat yang membayar pajak sehingga memunculkan partisipasi masyarakat, sejak proses pembuatan kebijakan-kebijakan perpajakan, pengumpulan pajak, dan pengelolaan pajak.

Berbicara mengenai sistim perpajakan yang demokratis sebenarnya bukan menyangkut teknik  bagaimana rakyat mau untuk membayar pajak atau untuk memasukkan pajak yang sebesar- besarnya ke kas Negara, namun yang lebih penting adalah reformasi regulasi perpajakan yang seimbang antara hak dan kewajiban rakyat dengan pemerintah dengan orientasi terhadap kepentingan rakyat serta reformasi anggaran yang selama ini dicurigai pemanfaatannya. Pencapaian pemungutan pajak yang memenuhi target melalui KPP DIRJEN Pajak dengan sistim perpajakan yang repressive disatu sisi boleh dianggap sebagai prestasi bagi pemerintah namun merupakan penghianatan terhadap hak-hak rakyat di sisi lain sebab seakan-akan rakyat hanya wajib membayar pajak tanpa memperdulikan haknya. Pemerintah harus menciptakan kesetaraan antara rakyat pembayar pajak dan pemerintah selaku penyedia sarana dan prasarana untuk pelayanan publik sehingga tidak terjadi penolakan untuk membayar  pajak oleh rakyat selaku pembayar pajak di kemudian hari. Partisipasi publik sangat diperlukan terutama kalangan akademisi (ahli hukum pajak), Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dibidang perpajakan serta pihak-pihak yang memiliki kompetensi dalamkebijakan perpajakan termasuk “drafting” regulasi maupunpengawasan atas penerimaan dan alokasi uang Negara (dana pajak).

Pajak yang demokratis juga didukung oleh aspek konstitusional yang termaktub dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 kemudian diganti dengan UU No 33 tahun 2004. Indonesia tidak lagi menggunakan ketentuan hukum warisan kolonial Belanda sebagai dasar pengelolaan keuangan negara yang tentunya sangat sentralistis yaitu JCW (Indische comiabiliteit Stoei), RAB (Regelen Voor Het Administratif Beheer), dan JAR (Instructive en vendere bepelingen voor de Algemen Reherkamer) yang berlaku sesuai dengan Aturan Peralihan UU. Desentralisasi politik yang berlangsung ditandai dengan pemilihan langsung oleh rakyat yang mencerminkan adanya demokratisasi, dengan demikian peran rakyat memiliki tempat penting dalam pemegang kedaulatan. Selain itu masyarakat dituntut untuk membayar pajak sesuai dengan penghasilan mereka, dalam pengisian SPPT masyarakat lebih mandiri dan jujur karena masyarakat yang melakukan perhitungan terhadap hasil kekayaan.

Pajak merupakan sumber utama penerimaan belanja negara yang tertuang dalam APBN dan selanjutnya dialokasikan ke daerah sebagai salah satu sumber penerimaan belanja daerah dalam APBD. Salah satu fungsi pajak yaitu sebagai fungsi anggaran atau penerimaan sehingga pajak menjadi salah satu sumber anggaran pemerintah dan bermanfaat untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran dan pembelanjaan negara. Penerimaan anggaran negara dari sektor perpajakan dimasukkan ke dalam komponen penerimaan pada Anggaran Pendapatan dan Pembelajaan Negara (APBN) kemudian dialokasikan ke daerah melalui dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan dana penyesuaian yang merupakan salah satu sumber penerimaan daerah. Sehingga pajak memiliki peranan penting menyangkut kesejahteraan warga Negara Indonesia.

Pajak dipandang memiliki potensi strategis sebagai salah satu instrumen penting dalam upaya pemerataan pendapatan yang berkeadilan pada semua level komponen bangsa sehingga dapat memperkuat basis ekonomi nasional khususnya ekonomi rakyat. Pajak sebagai bentuk kontrak sosial antara rakyat dengan negara memiliki posisi sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai wahana dalam menyeimbangkan simpul-simpul politik, ekonomi, dan sosial dalam  masyarakat. Rakyat memiliki kewajiban membayar pajak kemudian Pemerintah melakukan pengelolaan pajak tersebut demi kemaslahatan umum yang bernuansa sosial, ekonomi, politik, dan budaya guna peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pengelolaan tersebut seperti pembangunan jembatan, perbaikan jalan raya, dan fasilitas umum lainnya. Selain itu, dalam kerangka APBD pajak direalisasikan salah satunya dalam penuntasan kemiskinan dan perbaikan sistem jaminan sosial masyarakat.

Pengelolaan pajak harus lebih kooperatif menggunakan asas demokrasi yang mengutamakan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama. Pengelolaan pajak harus sesuai dengan asas demokrasi yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan pengawasan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perpajakan. Selain itu, pajak harus dikelola oleh Negara dengan jelas dan transparan termasuk tidak boleh ada ketimpang siuran dalam pengelolaan pajak tersebut, sebab tanpa ketidakpastian tentunya akan mengganggu jalannya pemerintahan terutama fungsi Negara untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan warganya melalui distribusi dan pemanfaatan pajak. Melalui distribusi pajak yang merata dan pengelolaan yang bertujuan menyejahterahkan warga Indonesia dapat mengurangi kesenjangan social dalam masyarakat serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak.

Di Indonesia banyak kasus pelanggaran yang berkaitan dengan perpajakan. “Hasil penerimaan Pajak dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta daerah (APBN/APBD) hanya menyumbang 7%  terhadap perekonomian nasional. Penerimaan pajak yang masuk ke APBD dan APBN tidak dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat Indonesia. Serta di beberapa daerah 58%  dana APBD dihabiskan untuk aparatur pemerintah. Bahkan di daerah pemekaran 95% dana APBD untuk aparatur” (Mudrajad Kuncoro, 19 April 2012). Kecilnya sumbangan anggaran dari perpajakan tidak sesuai dengan fungsi pajak sehingga dibutuhkan solusi berupa pengelolaan system perpajakan yang demokratis serta pengelolaan pajak harus mengutamakan kepentingan rakyat. Selain itu harus lebih diutamakan pengelolaan pajak untuk kesejahteraan rakyat yang tergolong menengah kebawah bukan pejabat. Selain itu kasus lainnya yaitu dugaan korupsi yang mekibatkan bupati Raja Ampat, Provinsi Papua Barat tahun 2003-2009 sebesar Rp. 2,1 Miliar terkait pengaadaan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) (Detik.com 18 Juni 2013).

Pemerintah harus menyediakan ruang yang memadai dalam menampung setiap aspirasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan perpajakan maupun pengelolaan pajak. Ruang tersebut adalah lembaga yang menerima aspirasi masyarakat dalam hal ini Direktorat Jenderal Perpajakan. Direktorat Jenderal Perpajakan harus mengoptimalkan perannya serta menyampaikan aspirasi masyarakat tersebut kepada pemerintah. Selain itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus lebih aktif dalam menyuarakan aspirasi masyarakat terutama pengaturan anggaran dalam APBN dan APBD, termasuk juga dalam mengeluarkan kebijakan dalam pengelolaan pajak yang merupakan tugas pokok Kementrian Negara PPN/Bappenas, Direktorat Jenderal  Anggaran (DJA). Sehingga kebijakan yang dikeluarkan sejalan dengan kemauan masyarakat yaitu mencari titik terang kesejahteraan.

Masyarakat dituntut untuk mengeluarkan aspirasinya dalam penentuan pembuatan kebijakan perpajakan, tetapi masyarakat juga mempunyai kewajiban dalam hal membayar pajak. Dalam system perpajakan yang demokratis masyarakat memiliki andil yang sangat besar termasuk dalam hal pembayaran pajak. Masyarakat harus sadar bahwa pajak yang mereka tunaikan bukan untuk kepentingan mereka sendiri tetapi untuk kepentingan bangsa dan Negara. Direktorat Jenderal Perpajakan yang diberi kewenangan untuk memungut pajak wajib mensosialisasikan secara berkelanjutan mengenai kegunaan dan pengalokasian pajak itu sendiri. Sosialisasi yang tepat dan sesuai akan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menuntaskan kewajibannya yaitu membayar pajak.

Masyarakat membayar pajak sesuai dengan preferensi politik berhak mengetahui pemanfaatan pajak yang telah disetorkan kepada Negara. Lembaga yang terkait dengan perpajakan harus mempublikasikan mengenai pengalokasian dan penggunaan pajak secara transparan kepada masyarakat. Lembaga yang dimaksud termasuk lembaga pemerintah yang mengelola APBN dan APBD yang sumber dananya berasal dari pajak. Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, salah satu bentuk tanggung jawab tersebut diwujudkan dengan menyediakan informasi keuangan yang komprehensif kepada masyarakat luas melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah. Publikasi tersebut dapat dilakukan melalui media elektronik, surat kabar maupun website dengan kurun waktu tertentu sehingga masyarakat mengerti pengelolaan pajak yang mereka tunaikan terealisasi dengan baik, selain itu masyarakat dapat mengawasi penggunaan pajak secara langsung.

Terealisasinya pemungutan pajak secara berkelanjutan dengan kesadaran wajib pajak yang tinggi dari masyarakat serta pengelolaan secara bijaksana dari pemerintah serta pengelolaan pajak yang transparan dan akuntabel akan meningkatkan kesejahteraan bangsa. Selain itu semangat desentralisasi dan demokratisasi yang menjadi acuan penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan pengelolaan keungan pada khusunya, serta pengeloaan keuangan dengan tertib ekonomis, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hal ini akan memicu hubungan antara masyarakat dengan pemerintah yang baik dan berkesinambungan akan memicu kesejahteraan itu sendiri serta pengawasan penggunaan dan pemanfaatan pajak oleh rakyat dengan penyaluran inspirasi dengan baik akan memperbaiki sistem perpajakan di Indonesia.[9]


 

E.     Politik Perpajakan yang Ideal

            Secara sederhana dapat dibangun kerangka berpikir bahwa politik perpajakan merupakan bagian dari ekonomi politik, dimana pajak yang dikumpulkan dari rakyat yang diorganisir oleh Negara guna membiayai proyek-proyek social, ekonomi, politik, dan keamanan. Politik perpajakan merupakan bagian integral dari upaya untuk menemukan suatu cara yang baik bagi pengelolaan uang pajak agar bernilai manfaat secara social bagi rakyat.[10]

            Menurut Irianto dalam desertasinya, pajak dalam prespektif politik adalah saham politik rakyat atas Negara sehingga rakyat memiliki hak-hak istimewa dalam setiap politik untuk menentukan kebijakan Negara. Menurutnya saham politik merupakan setoran modal dari rakyat kepada Negara guna berdirinya sebuah Negara sehingga menjadi bukti kepimilikan rakyat atas Negara yang dipresentasikan dengan kepemilikan hak suara dalam penentuan keputusan politik. Sedangkan yang dimaksud dengan hak-hak istimewa adalah untuk mendapatkan prioritas untuk dipilih dan memilih penyelenggara Negara termasuk melakukkan penilaian atas perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban penyelenggara Negara.            

            Pajak telah menjadi instrument politik ketika telah digunakan oleh sebuah pemerintah saat menjalankan fungsinya sebagai regulator (pengatur), yaitu memainkan peran untuk membatasi kepemilikan kaum kaya serta melindungi dan mendorong kaum yang lemah secara ekonomi melalui pembagian penghasilan. Sehingga jurang antara si kaya dan si miskin bisa diminimalisir karena adanya pemerataan pendapatan.[11]

            Aspek politik perpajakan mestinya diperhatikan agar pajak dapat dikontrol, dievaluasi, dan dilakukan proses pengambilan kebijakan public yang secara politik pula dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Pajak sebagai sumber keuangan Negara selama ini belumlah dikelola menurut prinsip politik yang demokratis, artinya pajak tidak lebih dari wewenang Negara yang dipaksakan kepada rakyat wajib pajak. Walaupun rakyat wajib pajak tersebut berhak tahu mengenai kegunaan pajak yang telah mereka setorkan kepada Negara, tapi dengan berbagai dalih dan alasan Negara “menutup” ruang bagi akses rakyat, kalupun ada itu bersifat sangat terbatas. Asas-asas politik demokrasi harus tercermin dalam proses-proses perpajakan. Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan bahkan pengambilan kebijakan perpajakan, rakyat harus terlibat di dalamnya. Akses bagi rakyat harus dibuka untuk  mengontrol kebijakan perpajakan.

            Kesetaraan antara rakyat selaku wajib pajak dengan pemerintah selaku pemungut pajak dirasa masih kurang. Dimana tingkat partisipasi sekaligus akses masyarakat terhadap proses perpajakan masih rendah menunjukkan bahwa masyarakat hanya sekedar menunaikan kewajibannya yang sekalligus menegaskan tingkat demokratisasi perpajakan masih rendah. Negara menuntut masyarakat untuk memenuhi kewajibannya. Sedangkan tidak pernah memikirkan untuk memenuhi hak-hak politik masyarakat sebagai warga Negara.

            Politik perpajakan yang penting harus dilakukan secara terbuka agar rakyat mengetahui manfaatnya. Banyak dugaan berkembang dalam masyarakat, bahwa uang pajak telah diselewengkan oleh pengelola pajak dan pengelola Negara, sehingga pendistribusian pajak tidak secara maksimal, akibatnya banyak rakyat yang seharusnya memperoleh berkah dari uang pajak justru malah menjadi korban dari pengelola pajak. Menurut opini yang berkembang bahwa uang pajak telah disalah gunakan oleh pengelola pajak. Korupsi dalam perpajakan dinilai telah terjadi secara menyeluruh, karena disamping hebatnya kolusi antara aparat perpajakan dengan masyarakat pembayar pajak ditambah dengan maraknya penggelapan uang pajak oleh aparatur pemerintah melalui rekayasa angka proyek public.

            Sebagai contoh kita misalkan dari proyek pemerintah adalah proyek pembangunan jalan tol Pasupati. Nilai benefit atau manfaat dari proyek ini misalnya efisiensi waktu tempuh antara Jakarta-Bandung, kenyamanan berkendara karena jalan yang dipakai dibuat senyaman mungkin. Namun disisi lain misalkan petugas yang berwenang membuat rekayasa angka proyek public yang seharusnya hanya bernilai Rp.50.000.000.000 tapi direkayasa menjadi Rp.80.000.000.000, maka hal ini juga akan merugikan masyarakat wajib pajak, karena uang yang mereka setorkan tidak dialokasikan dengan maksimal untuk kepentingan public melainkan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.

            Dalam hal ini, Negara banyak dirugikan oleh praktik-praktik pengelolaan pajak yang tidak transparan. Dalam kondisi semacam inilah diperlukan adanya political will dari Negara untuk menerapkan pola pengelolaan pajak yang berdimensi demokratis. Politik perpajakan yang kami maksud adalah mendesain pajak yang berwajah social, berjiwa manusia, berpakaian demokrasi, berkaca transparan, dan selalu membawa kejujuran dan keadilan.

            Berdasarkan criteria di atas ini, maka pemerintah juga harus memperhatikan masalah pemilihan orang-orang yang akan menjadi pengelola pajak dan juga pemilihan aparat pemerintahan. Maka alangkah baiknya apabila dipilih aparat pemerintahan dan juga pengelola pajak yang memiliki sifat yang berjiwa social tinggi, adil, jujur, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dan juga lebih mementingkan urusan social dari pada individu ataupun kelompok tertentu.

            Dalam hal pemilihan para pemimpin bangsa ini, peran politik sangatlah diperlukan. Tentu saja peran yang dimaksud adalah peran yang positif. Sehingga dalam proses pemilihan ini benar-benar secara efisien dan efektif, bukan karena pandang bulu melainkan murni pemilihan. Selain itu rakyat juga harus diberi wewenang yang semestinya, karena rakyat memilki wewenang untuk memilih dan pilih. Selain diharapkannya peran pemerintah yang bersih, juga diharapkan peran masyarakat yang memang memilih tanpa paksaan dari pihak manapun, sehingga akan tercipta kondisi yang kondusif tanpa adanya kecurangan dalam proses pemilihan. 

            Oleh karena itu politik perpajakan tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan banyak pihak dalam pengelolaan pajak, artinya masyarakat secara keseluruhan harus dilibatkan agar pajak yang dipungut dari rakyat ini dapat bermakna social bagi rakyat lain yang memang merupakan kewajiban Negara untuk menyantuni kaum fakir miskin dan anak terlantar serta mereka yang mebutuhkan bantuan dari Negara.

            Selama ini pajak tidak dikelola menurut aspek demokratis, karena itu pula banyak elite birokrasi teruma lingkungan birokrasi perpajakan pusat-daerah yang menjadi Orang Kaya Baru (OKB) tanpa dapat dipahami secara jelas asal perolehan kekayaan yang sangat mendadak itu. Padahal penghasilan Pegawai Negeri di Republik ini termasuk aparatur perpajakan masih berada dibawah untuk bisa hidup layak.

            Namun yang sering kita saksikan adalah pola hidup keseharian mereka yang glamour, sikap bangga mereka, dan tidak adanya perasaan bersalah pada bangsanya yuang terus meraskan penderitaan sebagai Negara miskin dan banyak hutang. Hal ini menunjukkan bahwa kita telah dipimpin oleh pemimpin yang salah.

            Jika system politik dan tata pemerintah telah mengalami perubahan, maka system perpajakan yang demokratis harus segera direkonstruksikan agar dapat menjawab tuntutan perubahan, sebab perubahan harus mengalami kemajuan. Arus perubahan ini harus menjawab dengan memberikan arah yang jelas dan pasti kepada warga Negara, artinya cara-cara gelap dalam pengelolaan pajak harus segera dtinggalkan agar mampu mengikuti arus perubahan, sebab perubahan menuntut keterbukaan, akuntabilitas yang diikuti dengan cara pengelolaan yang efektif dan efisien.

            Lembaga control telah berdiri baik di negeri maupun swasta, selain itu tentu saja media massa yang siap memberikan informasi kepada masyarakat atas penyimpangan ataupun prestasi yang dilakukan oleh lembaga perpajakan Negara.

            Masalah berkenaan dengan pajak yang sekarang sedang ramai diperbincangkan adalah tentang rencana pemerintah untuk menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari 24 juta per tahun atau 2 juta per bulan, menjadi 36 juta per tahun atau 3 juta per bulan, dinilai akan memperngaruhi penerimaan pajak Negara.

            Ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Haryadi Sukamdani mengatakan hal itu terjadi karena jumlah pekerja yang berpenghasilan di bawah 3 juta per bulan, terbilang masih cukup besar. Dengan demikian total kehilangan penerimaan pajak Negara dari golongan ini juga cukup besar.

            Untuk menutupi total kehilangan penerimaan pajak dari golongan ini maka pemerintah berencana akan mengambil alternative lain dengan menaikkan tariff pajak jalan tol, namn hal ini belum direalisasikan dalam waktu dekat. Pemerintah berpendapat bahwa penyusutan akibat hilangnya penerimaan pajak ini tidak terlalu besar karena tujuannya adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat guna memacu pertumbuhan ekonomi yang sedang lesu saat ini.[12]

            Selain permasalahan di atas, masalah yang sering muncul dalam perpajakan di Indonesia adalah masih adanya pihak-pihak yang belum memiliki kesadaran diri untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak kepada pemerintah. Oleh karena ini pula pendapatan Negara tidak maksimal. Sehingga pendapatan Negara yang seharusnya lebih tinggi justru berkurang, yang akhirnya akan menghambat proses pembangunan dalam negeri.

            Untuk menanggulangi hal tersebut, direktorat jendral pajak menyelenggarakan workshop penagihan pajak. Tahun 2015 workshop penagihan diselenggarakan di kota Surakarta, sehingga kantor wilayah DPJ Jawa Tengah 2 dapat dikatakan sebagai tuan rumah acara ini, workshop dilaksanakan selama 3 hari yaitu mulai hari Rabu-Jumat, tanggal 16-18 September bertempat di hotel Novotel, Surakarta dengan mengambil tema  “tepat menembak, integritas dan kecepatan menentukan keberhasilan penagihan pajak”.

            Dengan adanya workshop penagihan ini diharapkan dapat menambah wawasan semua pihak yang terlibat, utamanya dalam menyongsong tahun 2016 yang ditasbihkan sebagai tahun penegakan hukum.[13]

            Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa politik perpajakan yang ideal adalah:

1.      Politik perpajakan yang berdasarkan asas demokrasi

Artinya bahwa rakyat memiliki peran penting dalam pelaksanaan pemerintahan, mulai dari proses perencanaan, pengelolaan, hingga proses evaluasi perpajakan. Berarti pula bahwa pajak adalah oleh rakyat dan akan digunakan untuk kemaslahatan rakyat.

2.      Politik perpajakna harus transparan

Artinya bahwa rakyat harus mendapat akses yang cukup untuk mengetahui perihal pengalokasian dana pajak yang telah ia setorkan.

3.      Kesetaraan masyarakat dan pemerintah

artinya bahwa partisipasi masyarakat dan pemerintah harus seimbang. Masyarakat membayar pajak bukan hanya sekedar memunaikan kewajiban saja melainkan merupakan andil masyarakat dalam proses pembangunan suatu Negara

4.      Politik perpajakan yang ideal harus memiliki pemimpin yang berjiwa social tinggi, adil, jujur, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dan juga lebih mementingkan urusan social dari pada individu ataupun kelompok tertentu

5.      Pengelolaan dana pajak yang tepat sasaran, artinya bermanfaat bagi masyarakat

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Pajak adalah iuran rakyat kepada negara, baik pemerintah pusat maupun daerah berdasarkan undang-undang yang berlaku yang sifatnya dipaksakan guna membiayai rumamh tangga negara.

Politik perpajakan di Indonesia yaitu politik perpajakan ynag berdasarkan demokrasi. Artinya pajak bukan hanya pungutan paksa dari pemerintah terhadap warga negara, tapi telah merupakan kesadaran bagi warga negaranya.

desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebihh demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan dibawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat

Peran negara dan rakyat dalam desetralilasi pajak adalah pajak dalam prespektif politik adalah saham politik rakyat atas Negara sehingga rakyat memiliki hak-hak istimewa dalam setiap politik untuk menentukan kebijakan Negara. Menurutnya saham politik merupakan setoran modal dari rakyat kepada Negara guna berdirinya sebuah Negara sehingga menjadi bukti kepimilikan rakyat atas Negara yang dipresentasikan dengan kepemilikan hak suara dalam penentuan keputusan politik. Sedangkan yang dimaksud dengan hak-hak istimewa adalah untuk mendapatkan prioritas untuk dipilih dan memilih penyelenggara Negara termasuk melakukkan penilaian atas perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban penyelenggara Negara.

Politik perpajakan yang ideal adalah:

1.      Politik perpajakan yang berdasarkan asas demokrasi

2.      Politik perpajakna harus transparan

3.      Kesetaraan masyarakat dan pemerintah

4.      Politik perpajakan yang ideal harus memiliki pemimpin yang berjiwa social tinggi, adil, jujur, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dan juga lebih mementingkan urusan social dari pada individu ataupun kelompok tertentu

5.      Pengelolaan dana pajak yang tepat sasaran, artinya bermanfaat bagi masyarakat

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Yoesoef, Fatullah, 2013, Fiskal dan Moneter, Yogyakarta, idea pers

http://Damasmart.wordpress.com diunduh pada 31 September 2015

PROF. DR. Gunadi, AK., M.SC. (Guru Besar Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia

www.kompas.com diunduh pada 1 Oktober 2015

www.pajak.go.id diuduh pada 1 Oktober 2015

http://airlangkurniangga.blogspot.co.id/2010/12/mengkaji-pandangan-politik-hukum.html, diakses pada tanggal 29 September 2015

http://garammanis.com/2011/02/23/politik-pajak-2/, diakses pada tanggal 29 September 2015

http://achmadmukhlisin.blogspot.co.id/2014/11/demokratisasi-perpajakan-menuju-good_9.html Diunduh Pada Tanggal

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[2] http://hukum-pajak.blogspot.co.id/2010/04/definisi-pajak.html

 

[3]http://garammanis.com/2011/02/23/politik-pajak-2/, diakses pada tanggal 29 September 2015 pukul 19.00

 

[4]Menurut PROF. DR. Gunadi, AK., M.SC. (Guru BesarIlmuAdministrasi FISIP Universitas Indonesia)

[5]Menurut PROF. DR. HJ. Erni Trisnawaty Sule, MS. AKT. (Ketua Program Doktor Ilmu Manajemen FE Universitas Padjadjaran)

 

[6]http://garammanis.com/2011/02/23/politik-pajak-2/,diaksespadatanggal 29 September 2015 pukul 19.00

[7]Fatullah Yoesoef, Fiskal dan Moneter, (Yogyakarta: idea pers, 2013), hal.69

[10]Fatullah Yoesoef, Fiskal dan Moneter, (Yogyakarta: idea pers, 2013), hal.76

[11]http://Damasmart.wordpress.comdiunduhpada 31 September 2015

[12]www.kompas.comdiunduhpada 1 Oktober 2015

[13]www.pajak.go.iddiuduhpada 1 Oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar