BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Politik
dan pajak adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Setiap negara yang
menganut demokrasi memberlakukan pemungutan pajak sebagai penghasilan negara.
Bahkan negara non demokratispun hidup melalui pajak. Prinsipnya, dalam negara
demokratis pajak tidak sekedar pungutan pksa yang dilakukan negara terhadap
rakyatnya. Tapi pajak sudah menjadi kesadaran bagi warga negaranya sebagai dana
untuk membangun negara.
Demokrasi
suatu negara tersebut sangagt menentukan arah politik pajak di negara tersebut.
Politik pajak ikut andil dalam menentukan stabilitas negara. Ketika kesadaran
warga negara semakin tinggi unntuk membayar pajak, maka peranan mereka dalam
mengintrol pemerintah akan semakin kuat, karena pemerintah akan semakin
berhati-hati dalam menggunakan uang pajak.
Adanya
hubungan timbal balik antara warga negara dengan pemerintah yang bersifat
mutual (saling menguntungkan) akan menjadi cerminan sebagai negara yang
demokrasi. Maka dalam hal ini warga negara memiliki peran yang cukup banyak
mulai dari perencaan, pengelolaan, dan evaluasi kebijakan pemerintah. Oleh
karena pentingnya warga negara memgetahui lebih dalam tentang perpajakan di
Indonesia, maka penulis akan membahas tentang Politik Perpajakan dalam makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian pajak?
2. Bagaimana
politik perpajakan di Indonesia?
3. Apa
yang dimaksud dengan desentralisasi politik perpajakan?
4. Bagaimana
peran negara dan rakyat dalam demokratisasi pajak?
5. Bagaimana
politik perpajakan yang ideal?
C.
Tujuan
1. Mahasiswa
memilki pengetahuan yang lebih dalam tentanng politik perpajakan
BAB II
PEMBBAHASAN
A.
Definisi Pajak
Politik Pajak
Politik
dan pajak adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Setiap negara yang
menganut demokrasi memberlakukan pungutan pajak sebagai penghasilan negara.
Bahkan negara yang non demokratis sekalipun hidup melalui pajak. Namun, relasi
antara pajak dan politik diantara kedua paham tersebut memiliki perbedaan.
Prinsipnya,
dalam negara demokratis pajak tidak sekedar pungutan paksa yang dilakukan
negara kepada rakyatnya. Tapi, pajak sudah menjadi kesadaran bagi warga negara
karena dengan membayar pajak negara dapat melindungi setiap usaha penduduknya.
Sebagian penghasilan yang diporeleh warga negara disisihkan untuk kepentingan
bersama, yaitu negara. Sehingga warga negara memiliki peranan yang kuat dalam
mengontrol kebijakan pemerintah.
Berbeda
hal dengan negara yang non demokratis, pajak tidak hanya pungutan oleh negara.
Tapi, pajak menjadi alat bagi pemerintah untuk memperkaya para elit dengan cara
menggelapkan uang pajak demi kepentingan pribadi. Sementara, tingkat kesadaran
warga negara membayar pajak sangat rendah dibandingkan dengan negara yang
demokratis. Biasanya dalam sistem seperti ini peranan warga negara dalam
mengontrol kebijakan pemerintah sangat terbatas.
Oleh
karena itu, tingkat demokrasi suatu negara sangat menentukan arah politik pajak
di negara tersebut. Politik pajak ikut andil dalam menentukan stabilitas
negara.
Ketika
kesadaran warga negara semakin tinggi untuk membayar pajak, maka peranan mereka
dalam mengontrol pemerintah akan semakin kuat. Pemerintahan menjadi
berhati-hati dalam menggunakan uang pajak. Sehingga kondisi negara cenderung
stabil karena mekanisme chack and balances antara pemerintah dengan warga
negara berjalan.
Sebaliknya,
jika kesadaran masyarakat rendah untuk membayar pajak, maka kontrol terhadap
pemerintah akan lemah. Bahkan warga negara yang tidak sadar pajak akan
melakukan berbagai cara untuk tidak membayar pajak jika dipaksa oleh negara.
Disisi lain, pemerintahan ikut pula menyelewengkan uang pajak karena kontrol
warga negara sangat lemah.
Ketika
kesadaran semakin meningkat, sementara pemerintah tidak jua berbenah maka
kondisi negara cenderung tidak stabil karena dengan kesadaran meningkat
tersebut tuntutan untuk berubah menjadi lebih demokratis akan semakin kuat.
Gagalnya
hak angket pajak yang diajukan DPR membuktikan bahwa negeri ini masih jauh dari
kata demokratis. DPR yang merupakan representasi rakyat tidak mampu melakukan
kontrol terhadap kebijakan pemerintah terkait masalah pajak. Pemerintah terlalu
kuat dibandingkan dengan kekuatan rakyat. Kesadaran untuk membayar pajak juga
sangat minim, sehingga banyak terjadi kasus penggelapan pajak.[1]
Definisi Pajak
Terdapat
bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan
oleh para ahli di antaranya adalah:
Definisi menurut Prof. Rochmat Soemitro SH:
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan digunakan untuk
membayar pengeluaran Umum.
Unsur Unsur
pajak ;
- Iuran rakyat kepada negara,yang berhak memungut
pajak adalah negara, iuran berupa uang bukan barang.
- Berdasarkan undang-undang, pajak dipungut
berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
- Tanpa jasa timba atau kontraprestasi dari negara
secara langsung dapat ditunjuk, dalam pembayaran pajak tidak dapat
ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
- Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara,
yakni pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Definisi perancis dalam Buku
Leroy Beaulieu yang berjudul Traite de la science des Finances 1906,
Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh
kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja
pemerintah.
Definisi Deutsche Reichs
Abgaben Ordnung (RAO-1919); Pajak adalah bantuan secara insidental
atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh
badan yang bersifat umum (negara), untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi
suatu tatbestand(sasaran pemajakan) karena undang-undang telah
menimbulkan utang pajak.
Definisi Prof R.A. Seligman dalam Essays
in Taxation (New York, 1925); Pajak adalah konstribusi wajib dari seseorang
kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran yang terjadi untuk kepentingan
bersama, tanpa merujuk pada manfaat khusus dianugerahkan.
Definisi Mr. Dr. J. Feldmann dalam
bukunya De overheidsmiddelen van Indonesia; Pajak adalah prestasi yang
dipakasakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang
ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan
untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.
Definisi Prof. Dr. M. J.H.
Smeets dalam bukunya De Economische betekenis der Belastingen 1951; Pajak
adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan
yang dapat dipaksakan, tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan
dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran
pemerintah.
Definisi Dr. Soeparman
Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul Pajak berdasarkan
Asas Gotong Royong Universitas Padjadjaran bandung 1964; Pajak adalah iuran
wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan
norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa
kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
Ciri pajak
yang tersimpul dalam berbagai definisi secara umum adalah :
- pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke
Pemerintah
- Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan
undang-undang serta aturan pelaksanaannya sehingga dapat dipaksakan.
- dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan
adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh
pemerintah.
- pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah.
- Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran
pemerintah, yang bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus,
dipergunakan untuk membiayai public investment
- pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai
tujuan tertentu dari pemerintah
- pajak dapat dipungut baik secara langsung maupun
tidak langsung.[2]
Pajak
dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor
privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya
pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan
individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan
jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan
jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara
pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu
perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya
kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada
negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus
dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan.
Dari
pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan
undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus
sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Pajak
menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan
terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara
perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan
tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''.
Dari
beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur sebagai berikut:
1. iuran
rakyat kepada negara, baik pemerintah pusat maupun daerah.
2. Berdasarkan
undang-undang, Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan,
"pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dalam undang-undang."
3. Sifatnya
dapat dipaksakan. Pajak dapat
dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat
dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
4. Tanpa
jasa timbal balik dari negara/pemerintah yang secara langsung dapat ditunjuk.
5. Digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara (Public
Investment).
6. Pemungutan
pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka
menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
7. Selain
fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang
diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga
berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam
lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).
B.
Politik Perpajakan di Indonesia
2.1 Pengertian Politik Perpajakan
Politik dan pajak adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Setiap negara
yang menganut demokrasi memberlakukan pungutan pajak sebagai penghasilan
negara. Bahkan negara yang non demokratis sekalipun hidup melalui pajak. Namun,
relasi antara pajak dan politik diantara kedua paham tersebut memiliki
perbedaan.[3]
Politik dan Pajak sama-sama berdimensi seni. Keduanya dapat diartikan
sebagai art of possibility. Dalam politik, sesuatu yang tidak mungkin (calon
yang kurang diperhitungkan) dapat menjadi mungkin (pemenang suatu pemilihan).
Demikian pula, dalam perpajakan sesuatu yang tidak mungkin kena pajak dapat
mungkin dikenakan dan sesuatu yang mungkin dikenakan dapat dibebaskan dari
pajak. Semuanya tergantung pada pembenaran kebijakan dan rumusan ketentuan.
Teknik pemungutan pajak juga merupakan seni bagaimana menjadikan pembayar pajak
merasa perlu dan butuh membayar sebagai sesuatu kebanggaan dan kenikmatan
bernegara, pelindung dan pengurus kepentingan politik, ekonomi, sosial dan
lainnya. Karena itu, politik dan pajak perlu disinergikan secara harmonis
sehingga terbentuk pola pikir tiada kepentingan politik tanpa membayar pajak.[4]
Penerimaan pajak bagaimanapun harus terus menjadi sumber utama pendapatan
negara. Artinya, bahwa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam memenuhi
kebutuhan anggaran harus diarahkan pada cipta kondisi kemandirian keuangan
dalam negeri. Pajak sudah menjadi isu politik yang fundamental dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sehingga pendekatan politik dalam meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam membayar pajak menjadi penting karena akan berujung
akan meningkatnya penerimaan dalam negeri dari sektor pajak.[5]
Prinsipnya, dalam
negara demokratis pajak tidak sekedar pungutan paksa yang dilakukan negara
kepada rakyatnya. Tapi, pajak sudah menjadi kesadaran bagi warga negara karena
dengan membayar pajak negara dapat melindungi setiap usaha penduduknya.
Sebagian penghasilan yang diporeleh warga negara disisihkan untuk kepentingan
bersama, yaitu negara. Sehingga warga negara memiliki peranan yang kuat dalam
mengontrol kebijakan pemerintah.[6]
Berbeda hal dengan
negara yang non demokratis, pajak tidak hanya pungutan oleh negara. Tapi, pajak
menjadi alat bagi pemerintah untuk memperkaya para elit dengan cara
menggelapkan uang pajak demi kepentingan pribadi. Sementara, tingkat kesadaran
warga negara membayar pajak sangat rendah dibandingkan dengan negara yang
demokratis. Biasanya dalam sistem seperti ini peranan warga negara dalam
mengontrol kebijakan pemerintah sangat terbatas.
Oleh karena itu, tingkat
demokrasi suatu negara sangat menentukan arah politik pajak di negara tersebut.
Politik pajak ikut andil dalam menentukan stabilitas negara. Ketika kesadaran
warga negara semakin tinggi untuk membayar pajak, maka peranan mereka dalam
mengontrol pemerintah akan semakin kuat. Pemerintahan menjadi berhati-hati dalam
menggunakan uang pajak. Sehingga kondisi negara cenderung stabil karena
mekanisme chack and balances antara pemerintah dengan warga negara
berjalan.
Sebaliknya, jika
kesadaran masyarakat rendah untuk membayar pajak, maka kontrol terhadap
pemerintah akan lemah. Bahkan warga negara yang tidak sadar pajak akan
melakukan berbagai cara untuk tidak membayar pajak jika dipaksa oleh negara.
Disisi lain, pemerintahan ikut pula menyelewengkan uang pajak karena kontrol
warga negara sangat lemah. Ketika kesadaran semakin meningkat, sementara
pemerintah tidak jua berbenah maka kondisi negara cenderung tidak stabil karena
dengan kesadaran meningkat tersebut tuntutan untuk berubah menjadi lebih
demokratis akan semakin kuat.
Gagalnya hak angket pajak yang diajukan DPR membuktikan bahwa negeri ini
masih jauh dari kata demokratis. DPR yang merupakan representasi rakyat tidak
mampu melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah terkait masalah pajak.
Pemerintah terlalu kuat dibandingkan dengan kekuatan rakyat. Kesadaran untuk
membayar pajak juga sangat minim, sehingga banyak terjadi kasus penggelapan
pajak.
Perkembangan terkait dengan definisi pajak saat ini lebih didominasi oleh
para pakar di bidang hukum, ekonomi maupun adaministrasi. Jika dilihat kembali
pengertian pajaka yang terdapat di pasal 1 ayat 1 UU No.. 6 Tahun 1983
sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang
disempurnakan terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang ketentuan umum dan
tata cara perpajakan pun lebih dekat pengertian pajak paradikma hukum. Hal yang
menarik disampaikan Bruno Peter dengan pendapatnya, “Konsep pajak tidak hanya
dilihat semata-mata hanya sebagai metode untuk mengumpulkan penerimaan negara
guna membiayai pemerintahan. Pajak juga harus dilihat sebagai tujuan
DEMOKRATIS, yaitu mengalokasikan beban pajak secara adil bagi seluruh
masyarakat dan untuk menjhaga sgtabilitas ekonomi serta mendorong terciptanya
kesejahteraan.”[7]
Lebih lanjut lagi pendaat serupa juga diungkapkan oleh Irianto dalam
desertasinya, pajak dalam perspektif politik, “pajak adalah SAHAM POLITIK
rakyat atas negara sehingga rakyat memiliki hak-hak istimewa dalam setiap
politik untuk menentukan kebijakan negara”. Menurut Irianto saham politik
sebagai bukti setoran modal dari rakyat kepada negar guna berdirinya sebuah
negara sehingga menjadi bukti kepemilikan rakyat atas negara yang
direpresentasikan dengan kepemilikian hak suara dalam penentuan keputusan
politik.
Sedangkan hak-hak istimewa dalam proses politik disini adalah untuk
mendapatkan prioritas untuk dipilih dan memilih penyelenggara negar termasuk
melakukan penilaian atas perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban
penyelenggaan negara. Rakyat merupakan pemegang mandat tertinggi dalam sistem
politik Indonesai sehingga perlu dibuka akses bagi rakyat untuk mengkontrol
kebijakan perpajakan.
Dengan landasan itu maka dapat dibangun suatu argumen yang melegitimasi
bahwa pajak sebagai realitas politik menjadi kuat dan jelas. Pajak tidak bisa
dipahami sebagai instrumen ekonomi pemerintah, yang digunakan hanya untuk
menjalankan fungsi budgeter (sumber pembiayaan penyelenggara pemerintah)
semata-mata. Pajak telah menjadi instrumen politik ketika digunakan oleh sebuah
pemerintah saat menjalankan fungsinya sebagai regulator, yaitu memainkan peran
untuk membatasi kepemilikan kaum kaya serta melindungi dan mendorong kaum yang
lemah secar ekonomi melalui pembagian penghasilan (Irianto dan Jurdi, 2005).
Oleh karena itu, keluar Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang
perimbangan keuangan Pusat Daerah yang diperbaiki atau istilah disempurnakan
dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat
dan Pemerintahan Daerah, merupakan titik balik dari usaha untuk mendorong
politik negara yang berpihak kepada kepentingan publik yang luas terutama
kepentingan daerah-daerah yang selama ini terabaikan oleh kuatnya hegemoni
negara atas rakyat.
Ketentuan hukum yang telah diterapkan dalam UU Nomor 25 Tahun 1999, telah
memberikan sebagian harapan bagi adanya keadilan politik perpajakan yang dirasakan
oleh daerah-daerah terutama daerah yang memiliki sumber kekayaan dan penerimaan
daerah yang besar.
Sebagian politik dan birokrasi pemerintahan meraksakan adanya
kelemahan-kelemahan dalam ketentuan hukum tersebut, maka diubahlah menjadi
suatu ketentuan hukum baru yang diklaim oleh para perumus UU tersebut sebagi
ketentuan hukum yang menjanjikkan keadilan baig rakyat daerah, maka keluarlah
UU Nomor 33 Tahun 2004 sebagai jawaban negara atas kelemahan pelaksanaan UU
Nomor 25 Tahun 1999.
2.2 Perkara
Perpajakan
Pada dasarnya
Kasus Gayus mencuat setelah mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji mengorek
kasus tersebut. Gayus yang hanya pegawai di
Kementerian Keuangan memiliki rekening sampai Rp28 miliar. Di sisi lain, Gayus
pun dibebaskan Majelis Hakim PN Tangerang yang dipimpin Muhtadi Asnun. Hakim menilai, tidak ada bukti
kuat bahwa Gayus melakukan penggelapan. Kasus tersebut merembet ke instansi
penegak hukum. Jaksa peneliti kasus tersebut, Cirus Sinaga, pun dicopot dari
jabatan strukturalnya sebagai Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa
Tengah.[8]
Kemudian,
mantan Direktur Prapenuntutan Kejaksaan Agung Poltak Manulang juga dicopot.
Kejaksaan Agung juga menjatuhkan sanksi kepada seluruh jaksa yang menangani
kasus Gayus, termasuk Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kamal
Sofyan Nasution. Tim inspeksi kasus jajaran pengawasan menilai Jampidum lalai
dalam menangani berkas perkara Gayus terkait penggelapan pajak senilai Rp28
miliar. Padahal, seharusnya Gayus didakwa dengan pasal mengenai pencucian uang
dan korupsi Dari aparat kepolisian, tujuh perwira telah ditetapkan sebagai
terperiksa. Mereka adalah Brigjen Pol Edmon Ilyas, Brigjen Pol Raja Erizman,
Kombes Pol Eko Budi Sampurno, Kombes Pol Pambudi Pamungkas, AKBP Mardiani, Kompol
Arafat dan AKP Sri Sumartini.
Bahkan Edmon
Ilyas dicopot dari jabatannya sebagai Kapolda Lampung. Selain itu, Kombes Pol
Pambudi Pamungkas dan Kombes Pol Eko Budi Sampurno juga dicopot. Adapun Kompol
Arafat, AKP Sri Sumartini bahkan telah ditetapkan sebagai tersangka lantaran
dianggap terlibat dalam rekayasa kasus Gayus. Sementara itu, Kementerian
Keuangan belum memanggil nama-nama perusahaan yang pekan lalu sempat disebut
tersangka makelar kasus pajak, Gayus H Tambunan. Menteri Keuangan Agus Martowardojo
menuturkan, kalau memang Gayus menyebut nama-nama itu, kementerian pasti akan
meminta pertanggungjawaban. "Tapi kami sebagai institusi dan berada di
negara hukum, kami akan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah," kata
Agus di Kantor Menko Perekonomian.
Meski begitu,
mengingat kasus terjadi bukan hanya soal pajak seperti pengakuan Gayus kepada
polisi, Menteri Agus telah meminta Inspektorat Jenderal masuk ke Direktorat
Jenderal Pajak untuk melihat sejumlah kasus lain berkaitan wajib pajak.Kementerian, kata Agus, tidak
ingin membuat resah wajib pajak. Hal terpenting, dia menambahkan, adalah
membuat kepastian hukum dan aturan tentang pajak bagi para pengusaha. Dengan
demikian, bisnis yang dijalankan bisa maju, dan kewajiban membayar pajak dapat
dipenuhi tanpa ada lagi perselisihan. Kepastian ini
penting mengingat penerimaan pajak untuk negara cukup besar, mencapai 75 persen
dari porsi penerimaan negara pada 2010 ini.
Kasus itu
diungkap mantan Kepala Bareskrim Komjen Susno Duadji. Awalnya, Susno menyebut adanya keterlibatan
perwira tinggi Polri dalam kasus itu. Namun, saat ini penyidik hanya menetapkan
sebagai tersangka oknum berpangkat ajun komisaris, yakni Sri Sumartini, dan
Komisaris Arafat.
Direktur
Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Mochamad Tjiptardjo meminta masyarakat
tidak menggeneralkan atau meng-gebyah uyah kasus mafia pajak Gayus Halomoan
Tambunan sebagai tindakan yang umum dilakukan oleh aparat dan pejabat pajak.
Tindakan Gayus merupakan tindakan individu dan bukan organisasi Ditjen Pajak
Kementerian Keuangan. Hal
itu diungkapkan oleh Tjiptardjo saat ditanya pers seusai menemui Satuan Tugas
Pemberantasan Mafia Hukum di Gedung Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4) di Jakarta, Jumat (26/3/2010). Pertemuan langsung dipimpin oleh Ketua Satgas
Pemberantasan Mafia Hukum, yang juga Ketua UKP4 Kuntoro Mangkusubroto dan
anggota satgas lainnya. Adapun Tjiptardjo datang ditemani beberapa stafnya.
Mengenai kemungkinan ada atasan
atau petugas pajak lainnya yang terlibat, Tjiptardjo mengatakan bahwa hal itu
akan didalami. "Akan tetapi, (pemeriksaan)
Gayus sudah selesai dan keputusan akan diambil. Kalau pejabat lainnya, ya kita
harus tuntas karena kita harus membersihkan semua. Kalau ada rembetan ke
pejabat lainnya, pasti kita minta pertanggungjawaban," katanya. Menurut
Tjiptardjo, pihaknya tidak akan pandang bulu untuk menindak aparat dan pejabat
pajak. "Pada tahun lalu, sebanyak 516 pejabat dan aparat pajak kita
tindak.
Dakwaan
pertama terkait pemeriksaan pajak PT.Surya Alam Tunggal (SAT) bersama-sama
dengan Humala Setia Leonardo Napitupulu, Maruli Pandapotan Manurung, Johnny
Marihot Tobing dan Bambang Heru Ismiarso Bahwa akibat perbuatan terdakwa Gayus
telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 570.952.000 atau sekitar jumlah
tersebut sebagaimana dalam laporan hasil perhitungan kerugian negara atas kasus
dugaan tindak pidana korupsi dalam penanganan keberatan pajak PT SAT,"
jelas JPU Rhein Singal ketika membacakan dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, Rabu (8/9)
Dakwaan
kedua, terkait suap yang diberikan Gayus kepada penyidik Mabes Polri dengan
maksud agar penyidik tidak melakukan penahanan pada dirinya, agar penyidik
tidak melakukan penyidikan dan pemblokiran terhadap beberapa rekening milik
Gayus di Bank Mandiri dan agar penyidik tidak melakukan penyitaan terhadap
rumah miliknya. Gayus memberikan sejumlah uang kepada penyidik Bareskrim Polri
yakni Kompol Arafat Enanie,dan AKP Sri Sumartini.
Dakwaan
ketiga terkait suap yang diberikan Gayus kepada Muhtadi Asnun, ketua majelis
hakim di Pengadilan Negeri Tangerang. Gayus dituduh telah memberikan uang
sebanyak 20.000 dolar AS, 10.000 dolar AS dan 40.000 dolar AS kepada Asnun
dengan maksud membebaskan dirinya dari dakwaan penuntut umum.
Sedangkan
dakwaan terakhir yakni terkait usahanya membuka kembali pemblokiran rekening
miliknya. Gayus, Haposan Hutagalung, Lambertus Palang Ama dan Andi Kosasih
menyiasati harta kekayaan Gayus dengan merekayasa usaha fiktif.
C.
Desentralisasi
Politik Perpajakan
Dalam
UU Nomor 22 Tahun 1999 pasal 1 yang dimaksud dengan desentralisasi adalah:
“desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan
menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebihh demokratis. Desentralisasi
dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan
dibawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak
(taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang
dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam yang dipilih oleh rakyat, Kepala
Daerah yang dipilih oleh DPRD, adanya bantuan dalam bentuk transfer dari
Pemerintah Pusat.
Pengaturan
hubungan keuangan pusat-daerah didasarkan atas 4 prinsip:
1. Urusan
yang merupakan tugas pemerintah pusat di daerah dalam rangka dekonsentrasi
dibiayai dari dan atas beban APBN.
2. Urusan
yang merupakan tugas pemerintah daerah sendiri dalam rangka desentralisasi
dibiayai dari dan atas beban APBD.
3. Urusan
yang merupakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya,
yang dilaksanakan dalam rangka tugas perbantuan, dibiayai oleh pemrintah pusat
atas beban APBN atau pemerintah daerah tingkat atasnya beban APBD-nya sebagai
pihak yang menugaskan.
4. Sepanjang
potensi sumber-sumber keuangan daerah belum mencukupi, pemerintah memberikan
sejumlah sumbangan.
Desentralisasi
administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3(tiga) bentuk, yaitu :
1. Dekonsentrasi
(deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dariPemerintah Pusat kepada
pejabat yang berada dalam garis hirarki denganPemerintah Pusat di Daerah.
2. Devolusi
(devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkatpemerintahan yang lebih
rendah dalam bidang keuangan atau tugaspemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah
mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal
tertentu dimanaPemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan
tugasnya,Pemerintah Pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung
ataspelaksanaan tugas tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, PemerintahDaerah
memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikankewenangan
sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggalisumber-sumber penerimaan
serta mengatur penggunaannya.Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut
konsepsi pemikiran hirarkiorganisasi dikenal sebagai distributed institutional
monopoly of administrative decentralization.
3. Pendelegasian
(delegation or institutional pluralism) yaitu : pelimpahan wewenang untuk tugas
tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang
dikontrol secara tidak langsung olehPemerintah Pusat. Pendelegasian wewenang
ini biasanya diatur denganketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima
wewenangmempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraanpendelegasian
tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihakpemberi wewenang
(sovereign-authority).
Apabila
Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan
dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publlik, maka mereka harus
mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman,
maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal
akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor berikut:
1. PemerintahPusat
yang mampu melakukan pengawasan dan efercement.
2. SDM
yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran Pemeriintah Pusat.
3. Keseimbangan
dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukann
pungutan pajak dan retribusi daerah.
Desentralisasi
sistem perpajakan adalah pelimpahan kewenangan pemajakan dan penggunaan dana
bagi hasil pajak kepada pemerintah daerah. Desentralisasi sistem perpajakan
bertujuan agar daerah mampu mengurus dan mengelola rumah tangganya sendiri
secara mandiri, termasuk menyangkut penyediaan sumber dana penyelenggaraan pemerintahan
dari penerimaaan pajak.
Kebijakan
desentralisasi sistem perpajakan yang termasuk dalam kebijakan desentralisasi
fiskal diterapkan di Indonesia mulai tahun 2001. Sebelumnya selama 30 tahun
lebih Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat sentralistik. Kebijakan
ini tertuang dalam bentuk perundang-undangan yang mengatur perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan perundangan tentang pajak
dan retribusi daerah. Perimbangan keuangan mengatur tentang bagi hasil pajak dan
sumber daya alam serta dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Perundangan pajak dan retribusi daerah mengatur jenis pajak yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk memungutnya.Kenyataan yang terjadi,
pemerintah daerah masih mengalami ketergantungan yang besar pada anggaran dari
pemerintah pusat. Penerimaan APBD yang bersumber dari pajak daerah dan bagi
hasil pajak pusat tidak mampu menutupi kebutuhan dana untuk pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Untuk mengetahui
desentralisasi sistem perpajakan dalam meningkatkan efisiensi ekonomi sektor
publik dan kualitas pelayanan publik, perlu dilakukan suatu penelitian
berdasarkan teori-teori yang dibangun dan data yang ada di lapangan untuk
dianalisis. Penelitian ini akan mengukur pengaruh desentralisasi sistem
perpajakan terhadap efisiensi ekonomi sektor publik dan kualitas pelayanan publik.
Penelitian ini perlu dilakukan agar pajak daerah dapat diposisikan sejajar
dengan pajak secara nasional. Mensinergikan upaya-upaya yang telah dilakukan di
tingkat nasional dengan upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam
menggali potensi perpajakan daerah pada satu sisi, dan peningkatan kualitas
pelayanan publik pada sisi lainnya, perlu dilakukan dalam era desentralisasi
fiskal di Indonesia saat ini.
Terdapat delapan
prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh pajak daerah menurut Stephen J. Bailey sebagaimana dikutip oleh Tjip
Ismail, yakni equity, efficiency, visibility, local autonomy, revenue
sufficiency, revenue stability, dan immobile taxe bas. Teresa Ter-Minassian
mengemukakan beberapa kriterian dan pertimbangna yang diperlukan dalam pemberian
kewenangan perpajakan kepada tingkat Pemerintahan Pusat, Propinsi dan
Kabupaten/Kota sebagaimana dikutip oleh Machfud sidik, yaitu:
1. Pajak
yang dimaksudkan untuk tujuan stabilitas ekonomi dan cocok untuk tujuan
distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
2. Basis
pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu “mobile”. Pajak
daerah yang terlalu mobile akan mendorong pembayar pajak merelokasi usahanya
dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke daerah yang beban pajaknya rendah.
3. Basis
pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah, seharusnya diserahkan
kepada Pemerintah Pusat.
4. Pajak
daerah seharusnya “viable”, dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas bagi
pembayar pajak daerah , objek dan subjek pajak dan besarnya pajak terutang
dapat dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong akuntabilitas daerah.
5. Pajak
daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah lain., karena
akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan pelayanan yang diterima
(pajak adalah fungsi dari pelayanan).
6. Pajak
daerah seharusnya bisa menjadi sumber penerimaan yang memadai untuk menghindari
ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil penerimaan, idealnya, harus
elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak berfluktuasi.
7. Pajak
yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah diadministrasikan atau
dengna kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara ekonomi berkaitan dengan
kebutuhan data, seperti identifikasi jumlah pembayar pajak, penegakkan hukum,
dan komputerisasi.
8. Pajak
dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya pada semua
tingkat pemerintahan, namun penyerahan kewenangan pemungutannya kepada daerah
akan tepat sepanjang manfaanya dapat dilokalisir bagi pembayar pajak lokal.
Kebijakan
desentralisasi politik pemerintahan yang dipekatkan dengan desentralisasi
kebijakan fiskal tentu akan memunculkan sejumlah harapan baru bagi lahirnya
suatu keseimbangan sosial politik dalam konteks hubungan antara negara dengan
politik. Desentralisasi fiskal hanya dapat dilaksanakan secara hati-hati agar
tujuan pelaksanaan desentralisasi untuk memberikan pelayanan publik yang lebih
baik dan pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis serta akuntabilitas
publik dapat terealisasi.
Kesetaraan antara
rakyat selakku wajib pajak diras masih kurang. Dimana tingkat partisipasi dan
seakligus akses masyarakat terhadap proses perpajakan masih rendah menunjukan
bahwa masyarakat hanay sekedar menunaikan kewajibannya yang menandakan
sekaligus menegaskan bahwa tingkat demokratisai dalam bidang perpajakan masih
rendah.
Untuk itu perlu
diciptakan instrumen-instrumen formasi yang dapat dijadikan jembatan antara
negara dan masyarakat dalam perumusan kebijakan perpajakan. Seperti upaya untuk
menemukan formulasi yang tepat mengenai keadilan pajak, maka politik keadilan
perpajakan tentu akan berkaitan erat dengan usaha negara dan pemerintah
memberikan jaminan sosial yang tepat bagi rakyat terutama merreka yang memiliki
kewajiban membayar pajak agar mengetahui manfaat dari pajak yang telah mereka
setorkan kepada negara. Pola hubungan yang transparan mestinya dibangun agasr
sikap saling curiga antar negara dengan rakyat dapat dikurangi sehingga trust
akan menjadi bagian dari pola hidup rakyat di masa yang akan datang. Agar
meminimalisirkan “pembangakangan” sosial seperi di daerah seperti munculnya
berbagai protes, pemberontakan dan usaha untuk memisahkan diri dari republik
ini dapat diatasi, maka rezim politik yang berkuasa harus berkaca pada kondisi
yang ada.
Dari berbagai
studi yang telah dilakukan menyangkut desentralisasi fiskal, menunjukkan bahwa
kebijakan desentralisasi fiskal masih belm dapat dipahami sebagai pelimpahan
kewenangan kepada daerah dalam hal tugas-tugas pengeluaran dan pembagian
penerimaan negara kepada daerah. Padahal, seharusnya dipahami sebagai bentuk
pengakuan hak atas kewenangan yang seharusnya dimiliki daerah, sehingga dapat
mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya sebagai pemegang kedaulatan negara.
Oleh karena itu, daerah seharusnya mempunyai kewenangan penuh dalam hal
pengeluaran anggaran karena diyakini pemerintah daerah lebih mengetahui apa
yang menjadi kebutuhan masyarakat di daerahnya, namun pada saat yang bersamaan
rakyat sudah terlibat dam proses pembuatan kebijakan anggaran (perpajakan) sampai
pada pengawasan pelaksanaan anggaran di daerahnya.
Ada dua pilar
hukum utama mengenai otonomi daerah di Indonesia yaitu: (1) Undang-undang Nomor
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berfokus pada desentralisasi
administrasi dan politik termasuk referensi pedoman pendelegasian wewenang
pertanggungjawaban pengeluaran; (2) Undang-undang Nomor 33/2004 tentang
Perimbangan Keuangan yang mengatur distribusi sumber daya di daerah. Selain itu
ada empat Undang-undang yang mengatur perencanaan dan anggaran, laporan
keuangan dan akuntansi, perbendaharaan dan audit bagi pemerintah daerah : (1)
UU 17/2003 tentang Keuangan Negara memberikan kerangka hukum untuk anggaran
terpadu; (2) UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur berbagai
fungsi manajemen keuangan; (3) UU 15/2004 tentang Audit terhadap semua unit
pemerintahan; dan (4) UU 25/2004 tentang perencanaan pembangunan yang mengatur
kewenangan dan tanggung jawab pejabat pemerintah daerah yang berkaitan dengan
perencanaan.
D.
Peran Negara dan Rakyat dalam Demokratisasi Pajak
Indonesia
merupakan Negara Kesatuan yang menggunakan asas demokrasi sebagai bentuk
aspirasi kebijakan yang berfungsi untuk kesejahteraan rakyatnya. Asas demokrasi
terbagi menjadi tiga bentuk kedaulatan yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Asas demokrasi tersebut harus diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan
yang tujuan utamanya untuk mensejahterakan kehidupan bangsa Indonesia salah
satunyan dalam system perpajakan. Demokrasi dalam sistem perpajakan dapat
dimaknai sebagai terbangunnya sistem perpajakan yang menggambarkan adanya
kesetaraan antara pemerintah dan masyarakat yang membayar pajak sehingga
memunculkan partisipasi masyarakat, sejak proses pembuatan kebijakan-kebijakan
perpajakan, pengumpulan pajak, dan pengelolaan pajak.
Berbicara mengenai sistim perpajakan yang demokratis sebenarnya
bukan menyangkut teknik bagaimana rakyat
mau untuk membayar pajak atau untuk memasukkan pajak yang sebesar- besarnya ke
kas Negara, namun yang lebih penting adalah reformasi regulasi perpajakan yang
seimbang antara hak dan kewajiban rakyat dengan pemerintah dengan orientasi
terhadap kepentingan rakyat serta reformasi anggaran yang selama ini dicurigai
pemanfaatannya. Pencapaian pemungutan pajak yang memenuhi target melalui KPP
DIRJEN Pajak dengan sistim perpajakan yang repressive disatu sisi boleh
dianggap sebagai prestasi bagi pemerintah namun merupakan penghianatan terhadap
hak-hak rakyat di sisi lain sebab seakan-akan rakyat hanya wajib membayar pajak
tanpa memperdulikan haknya. Pemerintah harus menciptakan kesetaraan antara
rakyat pembayar pajak dan pemerintah selaku penyedia sarana dan prasarana untuk
pelayanan publik sehingga tidak terjadi penolakan untuk membayar pajak oleh rakyat selaku pembayar pajak di
kemudian hari. Partisipasi publik sangat diperlukan terutama kalangan akademisi
(ahli hukum pajak), Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dibidang
perpajakan serta pihak-pihak yang memiliki kompetensi dalamkebijakan perpajakan
termasuk “drafting” regulasi
maupunpengawasan atas penerimaan dan alokasi uang Negara (dana pajak).
Pajak yang demokratis juga didukung oleh aspek konstitusional yang
termaktub dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 kemudian diganti dengan UU No 33 tahun
2004. Indonesia tidak lagi menggunakan ketentuan hukum warisan kolonial Belanda
sebagai dasar pengelolaan keuangan negara yang tentunya sangat sentralistis
yaitu JCW (Indische comiabiliteit Stoei), RAB (Regelen Voor Het
Administratif Beheer), dan JAR (Instructive en vendere bepelingen voor
de Algemen Reherkamer) yang berlaku sesuai dengan Aturan Peralihan UU.
Desentralisasi politik yang berlangsung ditandai dengan pemilihan langsung oleh
rakyat yang mencerminkan adanya demokratisasi, dengan demikian peran rakyat
memiliki tempat penting dalam pemegang kedaulatan. Selain itu masyarakat dituntut
untuk membayar pajak sesuai dengan penghasilan mereka, dalam pengisian SPPT
masyarakat lebih mandiri dan jujur karena masyarakat yang melakukan perhitungan
terhadap hasil kekayaan.
Pajak merupakan sumber utama penerimaan belanja negara yang
tertuang dalam APBN dan selanjutnya dialokasikan ke daerah sebagai salah satu
sumber penerimaan belanja daerah dalam APBD. Salah satu fungsi pajak yaitu
sebagai fungsi anggaran atau penerimaan sehingga pajak menjadi salah satu
sumber anggaran pemerintah dan bermanfaat untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran dan pembelanjaan negara. Penerimaan anggaran negara
dari sektor perpajakan dimasukkan ke dalam komponen penerimaan pada Anggaran
Pendapatan dan Pembelajaan Negara (APBN) kemudian dialokasikan ke daerah
melalui dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan dana penyesuaian yang
merupakan salah satu sumber penerimaan daerah. Sehingga pajak memiliki peranan
penting menyangkut kesejahteraan warga Negara Indonesia.
Pajak dipandang memiliki potensi strategis sebagai salah satu
instrumen penting dalam upaya pemerataan pendapatan yang berkeadilan pada semua
level komponen bangsa sehingga dapat memperkuat basis ekonomi nasional
khususnya ekonomi rakyat. Pajak sebagai bentuk kontrak sosial antara rakyat
dengan negara memiliki posisi sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
sebagai wahana dalam menyeimbangkan simpul-simpul politik, ekonomi, dan sosial
dalam masyarakat. Rakyat memiliki
kewajiban membayar pajak kemudian Pemerintah melakukan pengelolaan pajak
tersebut demi kemaslahatan umum yang bernuansa sosial, ekonomi, politik, dan
budaya guna peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pengelolaan tersebut
seperti pembangunan jembatan, perbaikan jalan raya, dan fasilitas umum lainnya.
Selain itu, dalam kerangka APBD pajak direalisasikan salah satunya dalam
penuntasan kemiskinan dan perbaikan sistem jaminan sosial masyarakat.
Pengelolaan pajak harus lebih kooperatif menggunakan asas demokrasi
yang mengutamakan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama. Pengelolaan pajak
harus sesuai dengan asas demokrasi yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat dengan pengawasan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perpajakan.
Selain itu, pajak harus dikelola oleh Negara dengan jelas dan transparan
termasuk tidak boleh ada ketimpang siuran dalam pengelolaan pajak tersebut,
sebab tanpa ketidakpastian tentunya akan mengganggu jalannya pemerintahan
terutama fungsi Negara untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan warganya
melalui distribusi dan pemanfaatan pajak. Melalui distribusi pajak yang merata
dan pengelolaan yang bertujuan menyejahterahkan warga Indonesia dapat
mengurangi kesenjangan social dalam masyarakat serta meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk membayar pajak.
Di Indonesia banyak kasus pelanggaran yang berkaitan dengan perpajakan.
“Hasil penerimaan Pajak dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta
daerah (APBN/APBD) hanya menyumbang 7%
terhadap perekonomian nasional. Penerimaan pajak yang masuk ke APBD dan
APBN tidak dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat Indonesia. Serta di
beberapa daerah 58% dana APBD dihabiskan
untuk aparatur pemerintah. Bahkan di daerah pemekaran 95% dana APBD untuk
aparatur” (Mudrajad Kuncoro, 19 April 2012). Kecilnya sumbangan anggaran dari
perpajakan tidak sesuai dengan fungsi pajak sehingga dibutuhkan solusi berupa
pengelolaan system perpajakan yang demokratis serta pengelolaan pajak harus
mengutamakan kepentingan rakyat. Selain itu harus lebih diutamakan pengelolaan
pajak untuk kesejahteraan rakyat yang tergolong menengah kebawah bukan pejabat.
Selain itu kasus lainnya yaitu dugaan korupsi yang mekibatkan bupati Raja
Ampat, Provinsi Papua Barat tahun 2003-2009 sebesar Rp. 2,1 Miliar terkait
pengaadaan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) (Detik.com 18
Juni 2013).
Pemerintah harus menyediakan ruang yang memadai dalam menampung
setiap aspirasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan perpajakan maupun
pengelolaan pajak. Ruang tersebut adalah lembaga yang menerima aspirasi
masyarakat dalam hal ini Direktorat Jenderal Perpajakan. Direktorat Jenderal
Perpajakan harus mengoptimalkan perannya serta menyampaikan aspirasi masyarakat
tersebut kepada pemerintah. Selain itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus lebih aktif dalam menyuarakan aspirasi
masyarakat terutama pengaturan anggaran dalam APBN dan APBD, termasuk juga
dalam mengeluarkan kebijakan dalam pengelolaan pajak yang merupakan tugas pokok
Kementrian Negara PPN/Bappenas, Direktorat Jenderal Anggaran (DJA). Sehingga kebijakan yang
dikeluarkan sejalan dengan kemauan masyarakat yaitu mencari titik terang
kesejahteraan.
Masyarakat dituntut untuk mengeluarkan aspirasinya dalam penentuan
pembuatan kebijakan perpajakan, tetapi masyarakat juga mempunyai kewajiban
dalam hal membayar pajak. Dalam system perpajakan yang demokratis masyarakat
memiliki andil yang sangat besar termasuk dalam hal pembayaran pajak.
Masyarakat harus sadar bahwa pajak yang mereka tunaikan bukan untuk kepentingan
mereka sendiri tetapi untuk kepentingan bangsa dan Negara. Direktorat Jenderal
Perpajakan yang diberi kewenangan untuk memungut pajak wajib mensosialisasikan
secara berkelanjutan mengenai kegunaan dan pengalokasian pajak itu sendiri.
Sosialisasi yang tepat dan sesuai akan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
menuntaskan kewajibannya yaitu membayar pajak.
Masyarakat membayar pajak sesuai dengan preferensi politik berhak
mengetahui pemanfaatan pajak yang telah disetorkan kepada Negara. Lembaga yang
terkait dengan perpajakan harus mempublikasikan mengenai pengalokasian dan
penggunaan pajak secara transparan kepada masyarakat. Lembaga yang dimaksud
termasuk lembaga pemerintah yang mengelola APBN dan APBD yang sumber dananya
berasal dari pajak. Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, salah satu
bentuk tanggung jawab tersebut diwujudkan dengan menyediakan informasi keuangan
yang komprehensif kepada masyarakat luas melalui Sistem Informasi Keuangan
Daerah. Publikasi tersebut dapat dilakukan melalui media elektronik, surat
kabar maupun website dengan kurun waktu tertentu sehingga masyarakat mengerti
pengelolaan pajak yang mereka tunaikan terealisasi dengan baik, selain itu
masyarakat dapat mengawasi penggunaan pajak secara langsung.
Terealisasinya pemungutan pajak secara berkelanjutan dengan
kesadaran wajib pajak yang tinggi dari masyarakat serta pengelolaan secara
bijaksana dari pemerintah serta pengelolaan pajak yang transparan dan akuntabel
akan meningkatkan kesejahteraan bangsa. Selain itu semangat desentralisasi dan
demokratisasi yang menjadi acuan penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan
pengelolaan keungan pada khusunya, serta pengeloaan keuangan dengan tertib
ekonomis, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemangku
kepentingan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hal ini akan memicu hubungan
antara masyarakat dengan pemerintah yang baik dan berkesinambungan akan memicu
kesejahteraan itu sendiri serta pengawasan penggunaan dan pemanfaatan pajak
oleh rakyat dengan penyaluran inspirasi dengan baik akan memperbaiki sistem
perpajakan di Indonesia.[9]
E.
Politik
Perpajakan yang Ideal
Secara sederhana dapat dibangun
kerangka berpikir bahwa politik perpajakan merupakan bagian dari ekonomi
politik, dimana pajak yang dikumpulkan dari rakyat yang diorganisir oleh Negara
guna membiayai proyek-proyek social, ekonomi, politik, dan keamanan. Politik
perpajakan merupakan bagian integral dari upaya untuk menemukan suatu cara yang
baik bagi pengelolaan uang pajak agar bernilai manfaat secara social bagi
rakyat.[10]
Menurut Irianto dalam desertasinya,
pajak dalam prespektif politik adalah saham politik rakyat atas Negara sehingga
rakyat memiliki hak-hak istimewa dalam setiap politik untuk menentukan
kebijakan Negara. Menurutnya saham politik merupakan setoran modal dari rakyat
kepada Negara guna berdirinya sebuah Negara sehingga menjadi bukti kepimilikan
rakyat atas Negara yang dipresentasikan dengan kepemilikan hak suara dalam
penentuan keputusan politik. Sedangkan yang dimaksud dengan hak-hak istimewa
adalah untuk mendapatkan prioritas untuk dipilih dan memilih penyelenggara
Negara termasuk melakukkan penilaian atas perencanaan, pelaksanaan, dan
pertanggungjawaban penyelenggara Negara.
Pajak telah menjadi instrument
politik ketika telah digunakan oleh sebuah pemerintah saat menjalankan
fungsinya sebagai regulator (pengatur), yaitu memainkan peran untuk membatasi
kepemilikan kaum kaya serta melindungi dan mendorong kaum yang lemah secara
ekonomi melalui pembagian penghasilan. Sehingga jurang antara si kaya dan si
miskin bisa diminimalisir karena adanya pemerataan pendapatan.[11]
Aspek politik perpajakan mestinya
diperhatikan agar pajak dapat dikontrol, dievaluasi, dan dilakukan proses
pengambilan kebijakan public yang secara politik pula dapat dirasakan
manfaatnya oleh rakyat. Pajak sebagai sumber keuangan Negara selama ini
belumlah dikelola menurut prinsip politik yang demokratis, artinya pajak tidak
lebih dari wewenang Negara yang dipaksakan kepada rakyat wajib pajak. Walaupun
rakyat wajib pajak tersebut berhak tahu mengenai kegunaan pajak yang telah
mereka setorkan kepada Negara, tapi dengan berbagai dalih dan alasan Negara
“menutup” ruang bagi akses rakyat, kalupun ada itu bersifat sangat terbatas.
Asas-asas politik demokrasi harus tercermin dalam proses-proses perpajakan.
Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan bahkan pengambilan kebijakan
perpajakan, rakyat harus terlibat di dalamnya. Akses bagi rakyat harus dibuka
untuk mengontrol kebijakan perpajakan.
Kesetaraan antara rakyat selaku
wajib pajak dengan pemerintah selaku pemungut pajak dirasa masih kurang. Dimana
tingkat partisipasi sekaligus akses masyarakat terhadap proses perpajakan masih
rendah menunjukkan bahwa masyarakat hanya sekedar menunaikan kewajibannya yang
sekalligus menegaskan tingkat demokratisasi perpajakan masih rendah. Negara menuntut
masyarakat untuk memenuhi kewajibannya. Sedangkan tidak pernah memikirkan untuk
memenuhi hak-hak politik masyarakat sebagai warga Negara.
Politik perpajakan yang penting
harus dilakukan secara terbuka agar rakyat mengetahui
manfaatnya. Banyak dugaan berkembang dalam masyarakat, bahwa uang pajak telah
diselewengkan oleh pengelola pajak dan pengelola Negara, sehingga
pendistribusian pajak tidak secara maksimal, akibatnya banyak rakyat yang
seharusnya memperoleh berkah dari uang pajak justru malah menjadi korban dari
pengelola pajak. Menurut opini yang berkembang bahwa uang pajak telah disalah
gunakan oleh pengelola pajak. Korupsi dalam perpajakan dinilai telah terjadi
secara menyeluruh, karena disamping hebatnya kolusi antara aparat perpajakan
dengan masyarakat pembayar pajak ditambah dengan maraknya penggelapan uang
pajak oleh aparatur pemerintah melalui rekayasa angka proyek public.
Sebagai contoh kita misalkan dari
proyek pemerintah adalah proyek pembangunan jalan tol Pasupati. Nilai benefit
atau manfaat dari proyek ini misalnya efisiensi waktu tempuh antara
Jakarta-Bandung, kenyamanan berkendara karena jalan yang dipakai dibuat
senyaman mungkin. Namun disisi lain misalkan petugas yang berwenang membuat
rekayasa angka proyek public yang seharusnya hanya bernilai Rp.50.000.000.000
tapi direkayasa menjadi Rp.80.000.000.000, maka hal ini juga akan merugikan
masyarakat wajib pajak, karena uang yang mereka setorkan tidak dialokasikan
dengan maksimal untuk kepentingan public melainkan untuk kepentingan individu
atau kelompok tertentu.
Dalam hal ini, Negara banyak
dirugikan oleh praktik-praktik pengelolaan pajak yang tidak transparan. Dalam
kondisi semacam inilah diperlukan adanya political will dari Negara untuk
menerapkan pola pengelolaan pajak yang berdimensi demokratis. Politik
perpajakan yang kami maksud adalah mendesain pajak yang berwajah social,
berjiwa manusia, berpakaian demokrasi, berkaca transparan, dan selalu membawa
kejujuran dan keadilan.
Berdasarkan criteria di atas ini,
maka pemerintah juga harus memperhatikan masalah pemilihan orang-orang yang
akan menjadi pengelola pajak dan juga pemilihan aparat pemerintahan. Maka
alangkah baiknya apabila dipilih aparat pemerintahan dan juga pengelola pajak
yang memiliki sifat yang berjiwa social tinggi, adil, jujur, menjunjung tinggi
nilai-nilai demokrasi, dan juga lebih mementingkan urusan social dari pada
individu ataupun kelompok tertentu.
Dalam hal pemilihan para pemimpin
bangsa ini, peran politik sangatlah diperlukan. Tentu saja peran yang dimaksud
adalah peran yang positif. Sehingga dalam proses pemilihan ini benar-benar
secara efisien dan efektif, bukan karena pandang bulu melainkan murni
pemilihan. Selain itu rakyat juga harus diberi wewenang yang semestinya, karena
rakyat memilki wewenang untuk memilih dan pilih. Selain diharapkannya peran
pemerintah yang bersih, juga diharapkan peran masyarakat yang memang memilih
tanpa paksaan dari pihak manapun, sehingga akan tercipta kondisi yang kondusif
tanpa adanya kecurangan dalam proses pemilihan.
Oleh karena itu politik perpajakan
tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan banyak pihak dalam pengelolaan pajak,
artinya masyarakat secara keseluruhan harus dilibatkan agar pajak yang dipungut
dari rakyat ini dapat bermakna social bagi rakyat lain yang memang merupakan
kewajiban Negara untuk menyantuni kaum fakir miskin dan anak terlantar serta
mereka yang mebutuhkan bantuan dari Negara.
Selama ini pajak tidak dikelola
menurut aspek demokratis, karena itu pula banyak elite birokrasi teruma
lingkungan birokrasi perpajakan pusat-daerah yang menjadi Orang Kaya Baru (OKB)
tanpa dapat dipahami secara jelas asal perolehan kekayaan yang sangat mendadak
itu. Padahal penghasilan Pegawai Negeri di Republik ini termasuk aparatur
perpajakan masih berada dibawah untuk bisa hidup layak.
Namun yang sering kita saksikan
adalah pola hidup keseharian mereka yang glamour, sikap bangga mereka, dan
tidak adanya perasaan bersalah pada bangsanya yuang terus meraskan penderitaan
sebagai Negara miskin dan banyak hutang. Hal ini menunjukkan bahwa kita telah
dipimpin oleh pemimpin yang salah.
Jika system politik dan tata
pemerintah telah mengalami perubahan, maka system perpajakan yang demokratis
harus segera direkonstruksikan agar dapat menjawab tuntutan perubahan, sebab
perubahan harus mengalami kemajuan. Arus perubahan ini harus menjawab dengan
memberikan arah yang jelas dan pasti kepada warga Negara, artinya cara-cara
gelap dalam pengelolaan pajak harus segera dtinggalkan agar mampu mengikuti
arus perubahan, sebab perubahan menuntut keterbukaan, akuntabilitas yang
diikuti dengan cara pengelolaan yang efektif dan efisien.
Lembaga control telah berdiri baik
di negeri maupun swasta, selain itu tentu saja media massa yang siap memberikan
informasi kepada masyarakat atas penyimpangan ataupun prestasi yang dilakukan
oleh lembaga perpajakan Negara.
Masalah berkenaan dengan pajak yang
sekarang sedang ramai diperbincangkan adalah tentang rencana pemerintah untuk
menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari 24 juta per tahun atau
2 juta per bulan, menjadi 36 juta per tahun atau 3 juta per bulan, dinilai akan
memperngaruhi penerimaan pajak Negara.
Ketua umum Asosiasi Pengusaha
Indonesia, Haryadi Sukamdani mengatakan hal itu terjadi karena jumlah pekerja
yang berpenghasilan di bawah 3 juta per bulan, terbilang masih cukup besar.
Dengan demikian total kehilangan penerimaan pajak Negara dari golongan ini juga
cukup besar.
Untuk menutupi total kehilangan
penerimaan pajak dari golongan ini maka pemerintah berencana akan mengambil alternative
lain dengan menaikkan tariff pajak jalan tol, namn hal ini belum direalisasikan
dalam waktu dekat. Pemerintah berpendapat bahwa penyusutan akibat hilangnya
penerimaan pajak ini tidak terlalu besar karena tujuannya adalah untuk
meningkatkan daya beli masyarakat guna memacu pertumbuhan ekonomi yang sedang
lesu saat ini.[12]
Selain permasalahan di atas, masalah
yang sering muncul dalam perpajakan di Indonesia adalah masih adanya
pihak-pihak yang belum memiliki kesadaran diri untuk memenuhi kewajibannya
membayar pajak kepada pemerintah. Oleh karena ini pula pendapatan Negara tidak
maksimal. Sehingga pendapatan Negara yang seharusnya lebih tinggi justru
berkurang, yang akhirnya akan menghambat proses pembangunan dalam negeri.
Untuk menanggulangi hal tersebut,
direktorat jendral pajak menyelenggarakan workshop penagihan pajak. Tahun 2015
workshop penagihan diselenggarakan di kota Surakarta, sehingga kantor wilayah
DPJ Jawa Tengah 2 dapat dikatakan sebagai tuan rumah acara ini, workshop
dilaksanakan selama 3 hari yaitu mulai hari Rabu-Jumat, tanggal 16-18 September
bertempat di hotel Novotel, Surakarta dengan mengambil tema “tepat menembak, integritas dan kecepatan
menentukan keberhasilan penagihan pajak”.
Dengan adanya workshop penagihan ini
diharapkan dapat menambah wawasan semua pihak yang terlibat, utamanya dalam
menyongsong tahun 2016 yang ditasbihkan sebagai tahun penegakan hukum.[13]
Dari pemaparan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa politik perpajakan yang ideal adalah:
1. Politik
perpajakan yang berdasarkan asas demokrasi
Artinya
bahwa rakyat memiliki peran penting dalam pelaksanaan pemerintahan, mulai dari
proses perencanaan, pengelolaan, hingga proses evaluasi perpajakan. Berarti
pula bahwa pajak adalah oleh rakyat dan akan digunakan untuk kemaslahatan
rakyat.
2. Politik
perpajakna harus transparan
Artinya
bahwa rakyat harus mendapat akses yang cukup untuk mengetahui perihal
pengalokasian dana pajak yang telah ia setorkan.
3. Kesetaraan
masyarakat dan pemerintah
artinya
bahwa partisipasi masyarakat dan pemerintah harus seimbang. Masyarakat membayar
pajak bukan hanya sekedar memunaikan kewajiban saja melainkan merupakan andil
masyarakat dalam proses pembangunan suatu Negara
4. Politik
perpajakan yang ideal harus memiliki pemimpin yang berjiwa social tinggi, adil,
jujur, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dan juga lebih mementingkan
urusan social dari pada individu ataupun kelompok tertentu
5. Pengelolaan
dana pajak yang tepat sasaran, artinya bermanfaat bagi masyarakat
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pajak
adalah iuran rakyat kepada negara, baik pemerintah pusat maupun daerah
berdasarkan undang-undang yang berlaku yang sifatnya dipaksakan guna membiayai
rumamh tangga negara.
Politik
perpajakan di Indonesia yaitu politik perpajakan ynag berdasarkan demokrasi.
Artinya pajak bukan hanya pungutan paksa dari pemerintah terhadap warga negara,
tapi telah merupakan kesadaran bagi warga negaranya.
desentralisasi
merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya
dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses
pengambilan keputusan publik yang lebihh demokratis. Desentralisasi dapat
diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan dibawahnya
untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power),
terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh
DPRD, dan adanya bantuan dalam yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang
dipilih oleh DPRD, adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat
Peran
negara dan rakyat dalam desetralilasi pajak adalah pajak dalam prespektif
politik adalah saham politik rakyat atas Negara sehingga rakyat memiliki
hak-hak istimewa dalam setiap politik untuk menentukan kebijakan Negara.
Menurutnya saham politik merupakan setoran modal dari rakyat kepada Negara guna
berdirinya sebuah Negara sehingga menjadi bukti kepimilikan rakyat atas Negara
yang dipresentasikan dengan kepemilikan hak suara dalam penentuan keputusan
politik. Sedangkan yang dimaksud dengan hak-hak istimewa adalah untuk
mendapatkan prioritas untuk dipilih dan memilih penyelenggara Negara termasuk
melakukkan penilaian atas perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban
penyelenggara Negara.
Politik
perpajakan yang ideal adalah:
1. Politik
perpajakan yang berdasarkan asas demokrasi
2. Politik
perpajakna harus transparan
3. Kesetaraan
masyarakat dan pemerintah
4. Politik
perpajakan yang ideal harus memiliki pemimpin yang berjiwa social tinggi, adil,
jujur, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dan juga lebih mementingkan
urusan social dari pada individu ataupun kelompok tertentu
5. Pengelolaan
dana pajak yang tepat sasaran, artinya bermanfaat bagi masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Yoesoef,
Fatullah, 2013, Fiskal dan Moneter, Yogyakarta, idea pers
http://Damasmart.wordpress.com
diunduh pada 31 September 2015
PROF. DR. Gunadi, AK., M.SC. (Guru Besar Ilmu
Administrasi FISIP Universitas Indonesia
www.kompas.com
diunduh pada 1 Oktober 2015
www.pajak.go.id
diuduh pada 1 Oktober 2015
http://airlangkurniangga.blogspot.co.id/2010/12/mengkaji-pandangan-politik-hukum.html, diakses pada tanggal 29 September 2015
http://garammanis.com/2011/02/23/politik-pajak-2/,
diakses pada tanggal 29 September 2015
http://achmadmukhlisin.blogspot.co.id/2014/11/demokratisasi-perpajakan-menuju-good_9.html
Diunduh Pada Tanggal
[2] http://hukum-pajak.blogspot.co.id/2010/04/definisi-pajak.html
[3]http://garammanis.com/2011/02/23/politik-pajak-2/, diakses pada tanggal 29 September 2015 pukul 19.00
[4]Menurut PROF. DR. Gunadi, AK., M.SC. (Guru BesarIlmuAdministrasi FISIP
Universitas Indonesia)
[5]Menurut PROF. DR. HJ. Erni
Trisnawaty Sule, MS. AKT. (Ketua Program Doktor Ilmu Manajemen FE Universitas
Padjadjaran)
[6]http://garammanis.com/2011/02/23/politik-pajak-2/,diaksespadatanggal
29 September 2015 pukul 19.00
[7]Fatullah Yoesoef, Fiskal dan Moneter,
(Yogyakarta: idea pers, 2013), hal.69
[8]http://airlangkurniangga.blogspot.co.id/2010/12/mengkaji-pandangan-politik-hukum.html, diaksespadatanggal 29 September 2015, pukul
20.00
[9]http://achmadmukhlisin.blogspot.co.id/2014/11/demokratisasi-perpajakan-menuju-good_9.htmlDiunduhPadaTanggal
25 September 2015
[10]Fatullah Yoesoef, Fiskal dan Moneter, (Yogyakarta:
idea pers, 2013), hal.76
[11]http://Damasmart.wordpress.comdiunduhpada
31 September 2015
[12]www.kompas.comdiunduhpada 1 Oktober 2015
[13]www.pajak.go.iddiuduhpada 1 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar