Selasa, 04 Januari 2022

MAKALAH AKTOR DAN PERUMUS KEBIJAKAN FISKAL

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Kebijakan fiskal adalah penyesuaian dalam pendapatan dan pengeluaran pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan disingkat APBN untuk mencapai kestabilan ekonomi yang lebih baik dan laju pembangunan. Dengan pemahaman ini, menjadi wajar bahwa kebijakan fiskal mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Oleh karena itu kebijakan ini sangat penting dalam mempertahankan kestabilan ekonomi dan bahkan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Dalan memberntuk suatu kebijakan fiskal melalui tahap-tahap dan dan berbagai pertimbangan yang harus diperhatikan, selain itu pembentukan kebijakan ini juga melibatkan berbagai lembaga-lembaga bahkan seluruh aspek pemerintahan terkait dengan kebijakan ini. Oleh karena itu maka pada makalah ini akan dibahas bagaimana kebijakan fiskal dirumuskan dan dimusyawarahkan yang kemudian di tetapkan, siapakah aktor-aktor dibelakang kebijakan ini, apa saja langkah-langkah dan pertimbangan apa sajakah yang digunakan dalam mengambil kebijakan ini sehingga kebijakan ini diputuskan, serta bentuk-bentuk kebijakan fiskal yang pernah terjadi di negeri kita tercinta ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Aktor dan Perumus Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal adalah penyesuaian dalam pendapatan dan pengeluaran pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan disingkat APBN untuk mencapai kestabilan ekonomi yang lebih baik dan laju pembangunan. Dengan pemahaman ini, menjadi wajar bahwa kebijakan fiskal mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Oleh karena itu kebijakan ini sangat penting dalam mempertahankan kestabilan ekonomi dan bahkan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

  1. Aktor Perumus Kebijakan

Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel-variabel yang harus dikaji. Kebijakan publik merupakan suatu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung, saling menentukan dan saling membentuk. Kebijakan publik tidak terlepas dari sebuah proses kegiatan yang melibatkan aktor-aktor yang akan bermain dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut beberapa ahli, dalam memahami proses perumusan kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat atau pemeran serta (partisipants) dalam proses pembuatan kebijakan tersebut.

Charles Lindblom (Budi Winarno, 2002) mengutarakan bahwa untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan, lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pemeran serta bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan sebagaimana mereka saling berhubungan serta saling mengawasi. Dari berbagai jenis pemeran serta ini, Charles Lindblom mengemukakan bahwa mereka mempunyai peran khusus yang meliputi: warga negara biasa, pemimpin organisasi, anggota DPR, pemimpin badan legislatif, aktifis partai, pemimpin partai, hakim, pegawai negeri, sipil, ahli teknik, dan manajer dunia usaha.

Setelah masalah-masalah pablik diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana kebijakan publik harus dirumuskan. Dalam tahap ini, mengetahui aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan merupakan hal yang esensial karena dengan demikian kita akan dapat memperkirakan seperti apakah kebijakan publik tersebut akan didefinisikan sangat tergantung pada siapa yang merumuskan kebijakan tersebut yang pada akhirnya, akan menentukan bagaimana kebikakan tersebut dirumuskan.

Pembahasan mengenai siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam tulisan Janes Anderson, Charles Lindblom, maupun James Lester dan Joseph Stewart, Jr. (Budi Winarno, 2002) disebutkan bahwa aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok atau pemeran serta, yaitu:

a.       Pemeran serta resmi

Pemeran serta resmi meliputi agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif.

b.      Pemeran serta tidak resmi

Pemeran serta tidak resmi meliputi kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warganegara individu.[1]

Proses perumusan kebijakan merupakan inti dari kebijakan publik, karena dari sinilah akan dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri. Tidak semua isu yang dianggap masalah bagi masyarakat perlu dipecahkan oleh pemerintah sebagai pembuatan kebijakan, yang akan memasukkannya ke dalam agenda pemerintah yang kemudian diproses menjadi sebuah kebijakan setelah melalui berbagai tahapan.

Budi Winarno (2002) menyimpulkan dari pendapatan beberapa ahli bahwa dalam perumusan kebijakan meliputi empat tahapan yang dilaksanakan secara sistematis, yaitu:

a.       Perumusan Masalah

Perumusan masalah  merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan baik. Kebijakan publik pada dasarnya merupakan untuk memecahkan masalah dalam masyarakat. Menurut Mitroff dan Kliman, perumusan masalah dapat dipandang sebagai suatu proses yang terjadi dari tiga tahap yang berbeda namun saling tergantung, yaitu:

1)      Konseptulisasi masalah

2)      Spesifikasi masalah

3)      Pengenalan masalah

Proses perumusan masalah dapat dimulai dari tahap manapun diantaranya ketiga tahap atersebut namun suatu prasyarat dalam perumusan masalah adalah pengenalan atau menyadari kebenaran situasi problematis untuk bergerak dari situasi problematis ke masalah subtantif, analisis kebijakan perlu mengkonsepsikan masalah, yaitu mendefinisikan menurut peristilahan dasar atau umum. Setelah masalah subtanstif dikonseptualisasikan, maka masalah formal yang lebih terperinci dan spesifik dapat dirumuskan proses memindahkan ari masalah subtantif ke masalah formal diselenggarakan melalui spesifikasi masalah (problem spesification).

 

 

b.      Agenda Kebijakan

Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda kebijakan, masalah-masalah tersebut akan berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya kan masuk kedalam agend kebijakan. Masalah publik masuk ke dalam agenda kebijakan kemudian akan dibahas oleh para perumus kebijakan seperti kalangan legislatif, kalangan eksekutif, agen-agen pemerintah dan mungkin juga kalangan yudikatif. Masalah-masalah tersebut dibahas berdasarkan atingkat urgensinya untuk diselesaikan. Menurut Abidin, agenda kebijakan adalah sebuah daftar permasalahan atau isu yang mendapat perhatian serius karena berbagai sebab untuk ditindaklanjuti atau diproses pihak-pihak yang berwenang menjadi kebijakan. Proses masuknya isu ke dalam agenda kebijakan tidak sepenuhnya dapat dilakukan secara rasional dan lebih sering bersifat politis. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses penyusunan agenda adalah:

1)      Perkembangan sistem pemerintah yang demokratis

2)      Sikap pemerintah dalam proses penyusunan agenda

3)      Bentuk pemerintah atau realisasi totonomi daerah

4)      Partisipasi masyarakat.

 

c.       Pemilihan Alteranatif Kebijakan untuk Memecahkan Masalah

Pada tahap ini, para perumus kebijakan akan berhadapan dengan berbagai altarnatif pilihan kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antar berbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Pada kondisi ini, maka pilihan-pililah kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negoisasi yang terjadi antar aktor berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut.

 

d.      Penerapan Kebijakan

Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan untuk diambil dari berbagai cara pemecahan masalah, maka tahap terakhir dalam pembuatan kebijakan adalah mentapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam pembuatan kebijakan tersebut.

Wiliam Dunn (Budi Winarno: 2002) menyebutkan dalam pembuatan kebijakan publik, tahap-tahap dilaluinya adalah:

a.       Tahap Menyusun Agenda

Masalah-masalah akan berkompetisi dahulu sebelum dimasukkan ke dalam agenda kebijakan. Pada akhiarnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada saat itu, suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa yang lain pembahasan masalah tersebt ditunda untuk waktu yang lama. Tahap penyusunan agenda merupakan tahap yang akan menentukan apakah suatu masalah akan dibahas menjadi kebijakan atau sebaliknya.[2]

b.      Tahap Formulasi Kebijakan

Masalah yang masuk keagenda kebijakan kemudian dibahas oleh pembuat kebijakan. Maslah-masalah tersebut didefinsikan untuk kemudian dicari alternatif pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada. dalam tahap perumusan kebijakan ini, masing-masing alternatif akan bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik. Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para prumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan diri mayoritas legislatif konsesus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

c.       Tahap Implementasi Kebijakan

Suatu program hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika tidak diimplementasikan. Pada tahap ini, berbagai kepentingan akan saling bersaing, beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan dari apra pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

d.      Tahap Penilaian Kebijakan

Pada tahap ini, kebijakan yang elah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijaksanaan politik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan oleh, oleh karana itu, maka ditentukan ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan pulik telah meraih dampak yang diiginkan

 

B.     Proses Perumusan Kebijaksanaan Belanja Negara dalam APBN Setelah Reformasi Keuangan Negara

Di tahun 2005, APBN terdiri dari pola pendapatan negaran dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer, surplus/defisit anggaran dan pembiayaan.[3] Pendapatan negara dan hibah terdiri dari:

a.       Pendapatan dalam negeri:

1)      Penerimaan perpajakan

a)      Pajak dalam negeri:

(1)   Pajak Penghasilan

(2)   Migas

(3)   Non Migas

(4)   Pajak bertambahan nilai

(5)   Pajak bumi dan bangnan

(6)   BPHTB

(7)   Cukai

(8)   Pajak lainnya.

b)      Pajak peragangan internasional:

(1)   Bea masuk

(2)   Pajak pungutan ekspor

2)      Penerimaan bukan pajak:

a)      Penerimaan sumberdaya manusia

(1)   Migas

(2)   Non MIgas

b)      Bagian laba BUMN

PNPB lainnya

 

b.      Hibah[4]

Belanja negara dikelompokkan menjadi:

1)      Belanja Pemerintah Pusat:

a)      Belanja pegawai

b)      Belanja barang

c)      Belanja modal

d)     Pembayaran bunga uang

(1)   utang dalam negeri

(2)   utang luar negeri

e)      Subsidi

(1)   Perusahaan negara:

(a)    Lembaga keuangan dan lembaga non keuangan

(b)   Perusahaan swasta

f)       Belanja hibah

g)      Bantuan sosial

h)      Belanja lainnya

2)      Belanja daerah

a)      Dana Perimbangan

(1)   Dana bagi hasil

(2)   Dana alokasi umum

(3)   Dana alokasi khusus

b)      Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian

(1)   Dana Otonomi Khusus

(2)   Dana Penyesuaian

Kemudian keseimbangan primer dengan angka tersebdiri, surplus atau defisit adalah pendapatan negara dikurangi dengan belanja negara, dan biayaan. Pembiayaan terdiri dari:

a.       Pembiayaan dalam negeri:

1)      Perbankan dalam negeri

2)      Non perbankan dalam negeri

a)      Privatisasi dan penjaulan aset prof restrukturisasi perbankan

b)      Surat utang negara

c)      Penyertaan modal negara

b.      Pembiayaan luar negeri

1)      Penarikan pinjaman luar negeri:

a)      Pinjaman program

b)      Pinjaman proyek

2)      Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri

 

1.      Tahapan dalam Proses Perumusan Kebijakan Belanja Negara dalam APBN Setelah Era Reformasi Keuangan (Setelah Tahun 2005)

a.       Menteri Negara PPN/Bappenas dan mengeri keuangan menetapkan surat bersama (SB) tentang pagu indikatif, yang merupakan ancar-ancar pagu anggaran Kementerian Negara/Lembaga (K/L) untuk setiap program acuan penyusunan rencana kerja K/L.[5]

b.      Pemerintah menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiscal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya ke DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei berjalan.

c.       Pemerintah bersama-sama DPR membahas kebiakan umum dan prioritas kebijakan anggaran yang akan dilaksanakan tahun berikutnya (angka-angka pagu sementara).

d.      Berdasarkan SE Mengeri Keuangan mengenai pagu sementara, dan dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) menteri/Pimpinan Lembaga menyusun. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).

e.       RKA-KL tersebut kemudian dibahas bersama antar kementerian/Lembaga dengan komisi terkait DPR.

f.       Penyusunan RKA-KL dilakukan dengan menggunakan pendekatan:

1)      Penganggaran terpadu (Unifed Budget)

2)      Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Framework Expenditure)

3)      Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting)

g.      Hasil pembahasan antara Kementerian/Lembaga dengan komisi lembaga terkait DPR disampaikan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jendral Anggaran untuk dilakukan penelaahan dalam rangka meneliti kesesuaian RKA-KL dengan:

1)      Surat Edaran Menteri Keuangan tentang pagu sementara

2)      Prakiraan Maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelumnya

3)      Standar biaya yang telah ditetapkan dan/atau Kerangka Acuan Kerja/Team Of Reference (TOR) dan Rincian Anggaran Biaya (RAB) dalam hal standar biaya belum ditetapkan.

4)      Rencana Bisnis dan Anggaran RBA) untuk Badan Layanan Umum (BLU).[6]

h.      Hasil penelaahan RKA-KL merupakan dasar penyusunan Satuan Anggaran Kementarian/Lembaga

i.        Satuan Anggaran Kementerian/Lembaga dijabarkan lebih lanjut untuk tiap-tiap satuan kerja menjadi Satuan Anggaran Per Satuan Kerja (SAP-SK)

j.        Apabila terjadi perubahan RKA-KL pada saat pembahasan dengan RAPBN dengan RAPBN dengan DPR. Maka dilakukan penyesuaian RKA-KL dan SAPSK pada satuan anggaran kementerian/Lembaga.

k.      RKA-KL tersebut selanjutnya menjadi dasar penusunan peraturan presiden tentang rincian anggaran belanja pemerintah pusat. Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan, sesuai pasal 15 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara termasuk didalamnya Keputusan mengenai RKA-KL yang dibahas antara kementerian/lembaga dan DPR.

l.        Peraturan Presiden tentang rincian anggaran belanja pemerintah pusat menjadi dasar bagi penyusunan dan pengesahan DIPA.

m.    DIPA memuat uraian fungsi/sub fungsi, program, sasaran program, rincian kegiatan/sub kegiatan, jenis belanja, kelompok mata anggaran keluaran (MAK) dan rencana penarikan dana serta perkiraan penerimaan kementerian/lembaga.

n.      Penyusunan penelaahan, pengesahan, dan pelaksanaan DIPA dilakukan oleh direktorat jenderal perbendaharaan.

 

2.    Kebijakan-Kebijakan Fiskal Di Indonesia Era Reformasi

  1. Kebijakan Fiskal Tahun 2009

Dalam APBN 2009, kebijakan fiskal dapat diperinci berdasarkan arah kebijakan, strategi kebiakan dan garis besar postur APBN 2009. berdasarkan arah kebiakan fiskal dimaksud untuk mencapai tiga prioritas utama yaitu:

a.       Peningkatan pelayanan dasar dan pembangunan pedesaan

b.      Percepatan pertumbuhan yang berkualitas dengan memperkuat daya tahan ekonomi yang didukung oleh pengembangan pertanian, infrastruktur, dan energi.

c.       Peningkatan upaya antikorupsi, reformasi birokrasi serta pemantapan demokrasi, pertahanan dan keamanan dalam negeri.

Sementara itu, strategi kebijakan fiskal tahun 2009, meliputi:

a.       Pengendalian (capping) subsidi BBM dan listrik

b.      Memperhitungkan pelaksanaan amandemen UUP PPh dan PPN

c.       Reformulasi dana perimbangan dengan memasukkan beban subsidi BBM dan subsidi pupuk sebagai variabel Pemerintah Dalam Negeri (PDN) dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU)

d.      Pelaksanaan amandemen undang-undang Pajak Daerah dan Rertibusi Daerah (PDRD)

e.       Belanja Kementerian Negara dan Lembaga (K/L)

 

Beberapa kebijakan pemerintah disektor riil pada tahun 2009 antara lain:

a.       Di bidang sumber daya air,

Kebijakan yang dilakukan antaralain mengoptimalkan fngsi sarana dan prasarana sumber daya air dalam memenuhi kebutuhan air ririgasi dan idustri, dan meningkatkan kinerja jaringan irigasi guna memenuhi kebuhan air usaha tani, terutama dalam mewujudkan ketahanan pangan.

b.      Di bidang transportasi,

Kebijakan yang dilakukan antara lain meningkatkan jaminan keselamatan dan  keamanan transportasi, menciptakan kondisi agar keselamatan dan keamanan pelayanan transportasi dapat memenuhi standar pelayanan minimal dan standar internasional, yang dilakukan melalui restukturisasi perundang-undangan dan peraturan dibidang transportasi, sehingga tidak ada lagi monopoli dalam pelayanan transportasi.

c.       Di bidang energi,

Kebijakan yang dilakukan adalah meningkatkan pemanfaatan energi primer non-BBM (gas bumi, panas bumi, dan batu bara) meningkatkan efesiensi pemanfaatan energi, serta pengembangan energi dan infrastruktur energi.

 

  1. Kebijakan Fiskal Tahun 2010

Pada tahun 2010, kebijakan fiskal di sektor riil pada tahun sebelumnya dilanjutkan melalui pengucuran insentif fiskal. Berbagai upaya pemerintah dalam menggenjot perekonomian di sektor riil pada tahun ini diharapkan dapat menjadi angin segar untuk perekonomian nasional. Pada tahun ini, stimulus fiskal hanya dialokasikan oleh departemen keuangan tidak lebih dari 1% dari Produk Domestic Bruto (PDB). Angka ini relatif lebih kecil jika dibandingkan degan tahun sebelumnya. Hal ini menggambarkan adanya kompensasi untuk penurunan belanja pemerintah, sehingga sudah seharusnya adanya optimalisasi langkah terhadap hal ini terutama pada sektor-sektor yang terlibat langsung dengan kebijakan ini meliputi bidang energi, infrastruktur, industri, perdagangan, dan sektor lainnya.

Pada tahun tersebut, pengeluaran negara diarahkan pada fasilitas untuk pengembangan infrastruktur berupa peningkatan dana bagi Badan Layanan Umum (BLU) tanah dan landcapping, pengoprasian perusahaan pembiayaan infrastruktur, penjamin untuk PDAM dan subsidi air bersih dan pembangunan perumahan rakyat. Selain belanja negara, kebijakan fiskal yang diambil pemerintah pada tahun ini juga meliputi pemotongan pajak. Target pemotongan pajak ini adalah untuk rumah tangga dan swasta.

Selain untuk mendorong pemilihan dunia usaha termasuk melalui pemberian insentif perpajakan dan bea masuk, pokok kebijakan tahun 2010 juga meliputi kebijakan melanjutkan/meningkatkan seluruh program kesejahteraan rakyat (PNPM, BOS, Jamkesmas, raksin, PKH, dan lainnya), melanjutkan stimulasi fiskal melalui pembangunan infrastruktur, pertanian, dan energi serta proyek padat karya, meneruskan reformasi birokrasi, memperbaiki alutsista, dan menjaga pendidikan minimal 20 persen.

Dalam menjalankan kebijakan ekonomi nasional pada tahun 2010, pemerintah semakin memantapkan tujuh prioritas kebiakan yang selama ini telah dijalankan. Secara rinci ketujuh kebijakan itu antara lain:

a.       Menjaga agar sektor riil terus bergerak

Untuk itu, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan termasuk intensif fiskla untuk mendorong sektor riil terus tumbuh.

b.      Mencegah terjadinya gelombang PHK secara terus mengurangi pengangguran

Hal ini dilakukan dengan berbagai kebijakan untuk mengantisipasi akibat/dampak krisis global.

c.       Menjaga stabilitas harga

Termasuk kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat.

d.      Menjaga daya beli masyarakat

Yaitu dengan menurunkan tarif pajak orang pribadi, peningkatan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), penurunan harga BBM, kenaikan pengeluaran pemerintah dengan menaikkan gaji PNS, TNI, Polri, pensiunan, serta guru/dosen dan pemberian BLT. Kebijakan ini dilakukan karena konsumsi masyarakat merupakan contributor dominan terhadap total pertumbuhan ekonomi.

e.       Memberikan perlindungan dan menyediakan jaring pengaman sosial kepada masyarakat lapisan bawah

Hal ini dilakukan dalam bentuk program pro rakyat seperti BOS, Jamkesmas, PKH, beras bersubsidi, BLT bersyarat, dan sebagainya.

f.       Menjaga ketahanan pangan dan energi

Harga pangan tetap terjangkau meskipun terjadi El-Nino yang menyebabkan kekeringan. Hal ini dilakukan dengan menjaga kecukupan cadagnagn beras bulog, melanjutkan program beras bersubsidi, dan juga menyediakan dana siaga untuk menjaga stabilitas harga pangan.

g.      Menjaga pertumbuhan ekonomi

Penyusunan APBN 2010 dilakukan berdasarkan asumsi ekonomi makro sebagai berikut:

a.       Pertumbuhan ekonomi diperkirakan lima persen.

b.      Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika rata-rata Rp. 10.000 per dollar Amerika Serikat.

c.       Suku bunga SBI tiga bulan rata-rata 6,5 persen.

d.      Harga minyak mentah Indonesia di pasar internasional US$ 60 per barel.

e.       Lifting minyak mentah Indonesia diharapkan dapat mencapai 965 ribu barel per hari.

Berdasarkan asumsi di atas pemerintah menetapkan pokok-pokok APBM tahun anggaran 2010 sebagai berikut:

a.       Pendapatan negara dan hibah direncanakan mencapai Rp. 911,5 triliun.

b.      Belanja negara direncanakan mencapai Rp. 1.009,5 triliun.

Dengan demikian, defisit anggaran tahun 2010 mencapai Rp. 98,0 triliun (1,6 persen dari PBD) target ini mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2009. Untuk mencapai sasaran pendapatan negara tahun 2010 pemerintah melakukan optimalisasi penerimaan, yaitu dari penerimaan pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

 

  1. Kebijakan Fiskal Tahun 2011

Pada tahun 2011, pemerintah mencanangkan delapan kebijakan untuk memperbaiki kinerja perpajakan yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan serta meneruskan program reformasi birokrasi pada direktorat jendral pajak dan direktorat bea cukai. Kebijakannya antara lain:

a.       Untuk reformasi birokrasi dilakan pemisahan fungsi pemuatan kebijakan dari ditjen pajak dan badan kebijakan fiscal (BKF) dimana pembuatan kebijakan aturan pajak akan diambil oleh BKF dan pelaksanan administrasi dan pengumpulan pajak tetap dilakukan oleh ditjen pajak.

b.      Penerbitan peraturan Menteri Keuangan sebagai pelaksana pasal 36A KUP yaitu penegakan sanksi bagi petugas pajak yang melakukan pelangagran hukum dalam melaksanakan tugasnya. Dengan diterbitkan peraturan ini, diharapkan dapat menghentikan bentuk kejahatan dan penyimpangan sehingga dapat meningkatkan kinerja dan capaian direktorat jendral pajak dan direktoral bea dan cukai.

c.       Kesepakatan antara ditjen pajak dan akuntan publik dalam rangka pemeriksaan pajak. Hal ini berkaitan dengan maslaah efisiensi dalam pemeriksaan di ditjen pajak yang menyita waktu, sehingga dengan adanya kerja sama ini dimungkinkan laporan keuangan wajib pajak yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian, tak perlu lagi diperiksa oleh pemeriksa pajak.

d.      Kebijakan penyetaraan antara film impor dan nasional. Hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan daya saing bisnis perfilman nasional.

e.       Penerbitan PP No. 93/2010 tentang sumbangan penanggulangan bencana nasional atau kegiatan litbang, fasilitas pendidikan, sumbangan olaharaga, dan infrastruktur sosial yang bisa dipakai pengurangan pajak. Hal ini merupakan langkah khusus bagi perusahaan yang ingin melakukan tanggung jawab sosial perusahaannya pada bidang pendidikan, olahraga, sehingga bisa memperoleh fasilitas fiskal.

f.       Penerbitan PP No. 94/2010 tentang perhitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan PPh dalam tahun berjalan mengenai pembbebasan PPh. Hal ini diberikan kepada para investor yang memenuhi kriteria khusus, yaitu industry pioneer yang memberikan lapangan kerja tinggi, memperkenalkan teknologi baru, masuk di daerah-daerah terpencil dan terbelakang, serta industri yang memberikan nilai tambah.

g.      Penyederhanaan prosedur pembebeasan PPh 22 impor atas impor barang sehingga importer tidak perlu pulang pergi menyelesaikan kegiatan impor.

h.      Perlakuan perpajakan untuk penyederhanaan birokrasi dalam penyaluran bantuan hibah smbangan dengan pelimpahan wewenang kepada ditjen beacukai, sehingga ketika ada bantuan kepada indonesia dan ditujukan kepada daerah bencana dpat disetujui perlakuan perpajakan dengan cepat.

Selain delapan kebijakan tersebut, sejak 1 januari 2011 pemerintah telah menghapus fiskal luar  negeri. Sebelumnya, biaya fiskal keluar negeri tidak diberlakukan hanya bagi mereka yang emiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Biaya fiskal ini cukup mahal dan membebani masyarakat saat pergi keluar negeri.

Selain memberikan intensi fiscal kepada pengusaha berpa fax holiday bagi industry pioneer pada tahun ini pemerintah juga memberikan kemudahan untuk pengucuran kredit dari perbankan ke pengusaha, sehingga dapat mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi.

Pada Februari 2011, pemerintah mengeluarkan paker kebijakan yang terdiri atas enam kebijakan yang diluncukan Menkeu dalam peraturan materi keuangan. Kebijakan-kebijakan ini antara lain:

a.       Pembebasan pajak pertambahan nilai (PPn) untuk rumah yang sederhana yang nilainya tidak lebih dari Rp. 70 Juta.

b.      Parlakuan PPn atas jasa maklon

c.       Fasilitas pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) terhadap minyak goreng

d.      Penyederhanaan Proses pemberian bea masuk dan cukai

e.       Ketetntuan mengenai dasar pengenaan pajak dalam rangka perhitungan pajak pertambahan nilai dan pajak penjaualan ada barang mewah, khususnya tata laksana kemudahan impor tujuan ekspor.

f.       Kebijakan mengenai pemberian izin bulog untuk mencairkan dana publik sevice obligation PSO untuk mengadakan beras rakyat miskin (raskin) izin pencairan dana PSO itu sesuai dengan peraturan menteri keuangan No. 125/PK.02/2010

 

  1. Penentuan Angaran Tiap Kementerian Negara/Lembaga

Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen dan kebijakan ekonomi. Sebagai intrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar 1945.

Ketentuan mengenai penyusunan dan penerapan APBN/APBD dlam UU No. 17 Tahun 2003 meliputi penegaran tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem pengangaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah dlam penyusunan anggaran. Atau dapat diartikan bahwa belanja negara dan belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit organisasi, antar kegiatan, dan antarjenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD.

Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rancana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kerja dalam sistema pengangaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah.

Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga/ Perangkat daerah tersebtu dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja kementerian./lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan.

Sejalan dengan upaya untuk menerapakn secara penuh penganggaran berbasis kinerja di sektor publik perlu dilakuikan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokkan transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kerja, memberiakn gambaran yang objektif dan proposional mengenai keinginan pemerintah, menjaga konsistensi dan standar akuntansi sektor publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah.

Sebelum diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2003 anggaran belanj pemerintah dikelompokkan atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam anggran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang semula bertujuan untuk memberikan penekanan pada arti pentingnya pembangunan dalam pelaksanaannya telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan, dan penyimpangan anggaran. Sementara itu, penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi.

Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) seagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju.

Walaupun anggaran data disusun dengan baik jika proses penetapannya terlambat akan berpotensi menimbulkan maslah dalam pelaksanannya. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini diatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, termasuk pembangian tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja kementerian negara/lembaga. Perangkat daerah di DPR/DPRD.

Setiap tahun pemerintah menghimpun dan membelanjakan dana melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN. Istilah APBN yang dipakai di Indonesia secara formal mengacu pada anggaran pendapatan dan belanja negara yang dikelola pemerintah pusat.

Badan anggaran dibentuk oleh DPR dan meruapkan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menerapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.

Susunan dan keanggotaan badan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas anggota dari tiap-tiap komisi yang dipilih oleh komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi Pimpinan Badan Anggaran yang merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.

Pimpinan Badan anggaran terdiri dari atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh angota badan anggaran berdasrkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

 

 

1.      Badan Anggaran

a.       Badan Anggaran bertugas:

1)      Membahas bersama pemerintah yang diwakili oleh mengeri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran.[7]

2)      Menetapkan pendapatan negara bersama pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi terkait,

3)      Membahas rancangan undang-undang tentang PBN bersama presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan pemerintah mengenai alokasi angaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga;

4)      Melakukan sunkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga;

5)      Membahas laporan relisasi dan prognosis yang berkaitan dengan PBN; dan

6)      Mebahas pokok-pokok penjelasan atas rancagan undang-undang tetang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.

b.      Badan anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi.

c.       Aggota komisi dalam badan anggaran harus mengupaakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada komisi.

Oleh karena itu mengacu pada anggaran yang dikelola oleh pemerintah pusat, maka anggaran pendapatan dan belanja pemerintah daerah (APBD) dan BUMN tidak termsuk. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, APBN harus diwujudkan dalam bentuk undng-undang, dalam hal ini presiden berkewajiban menyusun dan mengajukan ranvangan APBN (RAPBN) kepada DPR.

Oleh karena itu, proses penyusunan anggaran negara merupakan rangkaian aktivitas yang melibatkan banyak pihak, termasuk semua departemen dan lembaga, dan DPR. Peran aktif DPR dalam proses penyusunan APBN dalam beberapa tahun terakhi ini, telah menjadikan proses penyusunan APBN menjadi lebih demokratis, transparan, obyektif, dan lebih dapat dipertanggungjawabkan.

 

2.      Landasan Hukum Anggaran Negara

Landasan hukum anggaran negara tercantum pada pasal 23 UUD 1945 pasal 23 (1) yang berbunyi sebagai berikut:

a.       Pasal 23 (1) anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

b.      Pasal 23 (2); Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas ebrsama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan Dewan Perwakilan Daerah.

c.       Pasal 23 (3); Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dn Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, peemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.

d.      Pelaksanaan perencanaan dan penyusunan penganggaran tersebtu dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khusunya Pasal 13, 14, dan 15, pasal 13 dari UU No.17/2003.

Beberapa kesimpulan penting landasan hukum penyusunan APBN adalah sebagai berikut:

a.       Pemerintah mengusulkan RAPBN dan DPR membahas usulan pemerintah tersebut dengan hak untuk melakukan pembahasan, perubahan, dan pemberian persetujuan atau penolakan.

b.      Kedua, persetujuan RAPBN dan DPR yang terinci menunjukkan bahwa DPR dan pemerintah bermaksud agar pelaksanaan APBN dengan rasa kedisiplinan anggaran tinggi.

c.       Ketiga , dalam rangka itu juga siklus dan jadwal penyusunan dan pembahasan anggaran sangat ketat dan rigid (kaku). Dan keempat pelaksanaan anggaran dilakukan oleh pemerintah (eksekutif) melalui depertemen dan lembaga pemngguna anggaran serta diawali oleh DPR, auditor internal dan eksternal.

 

3.      Lansasan Penyusunan APBN

a.       APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang.

b.      APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan permerintahan negara dan kemampuan dalam penghimpunan pendapatan negara.

c.       Penyusunan rancangan APBN, berpedoman kepada rencana kerja pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.

 

4.      Ketentuan Umum Penyusunan APBN

a.       APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.

Dalam menyusun APBN dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.

b.      Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.

c.       Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.

d.      Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antar generasi sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan dana cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.

 

5.      Mekanisme Penyusutan dan Penetapan APBN

a.       Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya.

b.      Pembahasan Rancangan Undang-undang tentag APBN dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan Dewa Perwakilan Rakyat.

c.       Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-Undang tentang APBN. Perubahan Rancangan Undang-undang tentang APBN dapat diusulkan oleh DPR sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.

d.      Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.

e.       APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.

f.       Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.

g.      Penyusunan dan penetapan APBD.

 

6.      Siklus Anggaran APBN

Secara singkat tahapan dalam proses perencanaan dan penyusunan APBN dapat dijelaskan sebagai berikut:

a.       Tahapan pendahuluan

Tahap ini diawali dengan persiapan rancangan APBN oleh pemerintah, antara lain meliputi penentuan asumsi dasar APBN, perkiraan penerimaan dan pengeluaran, skala prioritas dan penyusunan budget exercise.

Pada tahap ini juga diadakan rapat komisi antara masing-masing komisi dengan mitra kerjanya (departemen/lembaga teknis). Tahapan ini diakhiri dengan proses finalisasi penyusunan RAPBN oleh pemerintah.

b.      Tahap pengajuan, pembahasan, dan penetapan APBN

Tahapan dimulai dengan pidato presiden sebagai pengantar RUU APBN dan Nota Keuangan. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan baik antara materi keuangan dan Panitia Anggaran DPR, maupun antara komisi-komisi dengan departemen/lembaga teknis terkait.

Hasil dari pembahasan ini adalah UU APBN, yang didalamnya memuat satuan anggaran (dulu satuan 3, sekarang analog dengan anggaran satuan kerja di departemen dan lembaga) sebagai bagian tak terpisahkan dari undang-undang tersebut. Satuan anggaran adalah dokumen anggaran yang menetapkan alokasi dana per departemen/ lembaga, sektor, subsektor, program dan proyek/kegiatan. Untuk membiayai tugas umum pemerintah dan pembangunan, departemen/lembaga mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) kepada Depkeu dan Bappenas untuk kemudian dibahas menjadi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan diverifikasi sebelum proses pembayaran. Proses ini harus diselesaikan dari Oktober sampai Desember.

Dalam pelaksanaan APBN dibuat petunjuk berupa keputusan presiden (kepres) sebagai Pedoman Pelaksanaan APBN. Dalam melaksanakan pembayaran, kepala kantor/pemimpin proyek di masing-masing kementerian dan lembaga mengajukan Surat Permintaan Pembayaran kepada Kantor Wilayah Perbendaharaan Negara (KPPN).

c.       Pengawasan APBN

Fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan APBN dilakukan oleh pengawas fungsional baik eksternal maupun internal pemerintah. Sebelum tahun anggaran berakhir sekitar bulan November, pemerintah dalam hal ini Menkeu membuat laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan melaporkannya dalam bentuk Rancangan Perhitungan Anggaran Negara (RUU PAN), yang paling lambat lima belas bulan setelah berakhirnya pelaksanaan APBN tahun anggaran bersangkutan.

Laporan ini disusun atas dasar realisasi yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Apabila  hasil pemeriksaan perhitungan dan pertanggungjawaban pelaksanaan yang dituangkan dalam RUU PAN disetujui oleh BPK, maka RUU PAN tersebut diajukan ke DPR guna mendapat pengesahan oleh DPR menjadi UU Perhitungan Anggaran Negara (UU PAN) tahun anggaran berkenaan.

 

7.      Pemisahan Kewenangan dalam Pelaksanaan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat

Dalam pelaksanaan anggaran terdapat dua kelompok pengelolaan yaitu pengelolaan administratif (administratief beheer) dan pengelolaan kebendaharaan (comptabel beheer).

a.       Pengelolaan/pengurusan administratif (administratief beheer)

Pengelolaan administratif adalah meliputi kewenangan otoritas (beschikkings bevoegdheid) dan kewenangan ordonansi (ordonan cerings bevoegdheid). Pengelolaan administratif berhubungan erat dengan penyelenggaraan tugas negara di segala bidang yang membawa akibat pada pengeluaran negara serta mendatangkan penerimaan untuk menutupi pengeluaran negara tersebut. Pengelolaan administratif tidak berhubungan langsung dengan penguasaan fisik uang dan barang milik negara. Pengelolaan administratif dilakukan oleh otrorisator dan ordonator yang masing-masing mempunyai kewenangan yang berbeda dengan tujuan terciptanya pemisahan kewenangan di antara keduanya. Pengertian kewenangan otorisasi dan ordonansi menurut beliau adalah:

Kewenangan otorisasi adalah kekuasaan yang bersumber pada kewenangan untuk mengesahkan atau menguasai anggaran yang menimbulkan kewenangan pembebanan (uang) negara, sedang dimaksud dengan kewenangan ordonansi adalah kekuasaan untuk menetapkan ksuasa bayar atau menguji kebenaran pembayaran.

b.      Pengelolaan/pengurusan kebendaharan (comptabel beheer)

Pengelolaan kebendaharaan comptabel beheer) adalah pelaksanan pembayaran berdasarkan surat perintah membayar yang dikeluarkan oleh ordonatur yang dilaksanakan oleh bendahara, menteri keuangan adalah bendahara umum negara yang melaksanakan kewenangan comptabel. Menteri keuangan selaku bendahara umum negara mengangkat kuasa bendahara umum negara untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang telah ditetapkan. Tugas kebendaharaan tersebut meliputi kegiatan; menerima, menyimpan, membayar atau menyerahkan, mentausahakan, dan mempertanggung-jawabkan uang dan surat berharga yang berada dalam pengelolaannnya. Kuasa bendahara umum negara melaksanaan penerimaan dan pengeluaran kas negara. Kuasa bendahara umum negara berkewajiban memerintahkan pengagihan piutang negara kepada pihak ketiga sebagai penerima anggaran dan melakukan pembayaran tagihan pihak ketiga sebagai pegeluaran anggaran.

 

8.      Mengatasi KKN

Dengan telah ditetapkannya U No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 14/2004 tentang pemeriksaan pengelolaan Tangung jawab keuangan negara, maka pemerintah telah melakukan langkah-langkah penataa manajemen keuangan pemerintah secara komprehensif, termasuk penataan ulang sistem pengendalian intern (SPI) di lingkungan pemerintah,

Dengan diterapkannya ketiga UU tersebut berarti tedapat pemisahan tegas antara fungi pengangguan dan fungsi perbendaharaan; dan fungsi pengguna anggaran laporan keuangan disusun berdarkan standar akuntasnsi pemerintah mulai penyelenggaraan sistem akuntasi yang andal. Serta peranan dan ruang lingkup tugas auditor internal pemerintah tertata kembali.

Penerapan kinerja reformasi di bidang penganggaran merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan transpransi akan akuntabilitas dlam epngelolaan keuangan negara. Dengan demikian, hal ini diharapkan dapat mengurangi tingkat kebocoran keuangan negara.

Hasilnya sekarang ini belum dapat dirasakan, justru sebaliknya. Yang terjadi adalah banyaknya resistensi. Banyak kegiatan yang terlambat bahkan mandek karena prosedurnya sangat erat. Pengawasannya juga berlapis.

Saking berlapis dan hati-hati tidak jarang satu dokumen DIPA harus diverifikasi kembali sebelum pencairan dana. Sekarang juga sering terdengar keluhan keengganan untuk menjadi pimpinan proyek karena tanggung jawabnya besar dan risiko juga besar.

Di lain pihak ruang untuk “bermain” juga semakin sempit. Kekuasaan anggaran juga terkesan melebar sampai ke tangan legislatif. Terjadi rekayasa dalam masalah tender. Banyak urusan-urusan pencairan anggaran yang konon harus dilakukan dengan negosiasi.

Kesemuanya ini adalah pembicaraan-pembicaraan yang berkembang di kalangan proses penganggaran. Reformasi penganggaran dalam perencanaan dan penyusunan anggaran bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah terinstitusi selama bertahun-tahun.

Prinsip mekanisme dan tata cara perencanaan dan penyusunan anggaran sudah tersedia. Pembenahan ini akan memakan waktu cukup panjang. Kuncinya ada di pembakuan sistem dan perilaku mereka yang terlibat untuk taat asas dan kalau kita konsisten, hasilnya akan terlihat nanti segera.

Sesuai dengan ketentuan, masing-masing K/L, sejak awal tahun anggaran mulai menyusun suatu rencana kerja berdasarkan dengan rencana kerja pemerintah, rencanan strategi K/L, serta kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi perencanaan pada anggaran dimaksud. Denagn adanya pagu indikatif yang ditetapkan sekitar bulan Fenruari akan menjadi salah satu dasar dalam penyusunan rencana kerja sesuai prioritas.

Dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia K/L harus menyusun program dan kegiatan berdasarkan prioritas. Kementerian/ Lembaga menyusun rencana kerja secara berjenjang sampai pada tingkat satuan kerja, sehingga masing-masing satuan kerja dapat menentukan kegiatan yang akan dilaksanakan disertai indikator kinerja taas keluaran yang dihasilkan. Hal ini perlu ditekankan dikarenakan setiap kepala satuan kerja bertanggungjawab secara operasional atas pencapaian target kinerja yang telah ditetapkan. Rencana kerja disusun dalam kurun waktu antara Februari sampai dengan Mei.

Pada Juli, K/L menyesuaikan rencana kerja yang disusun menjadi satu Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) setelah menerima surat edaran mengenai pagu sementara yang disampaikan Kementerian Keuangan atas hasil pembahasan antara pemerintah dengan DPR mengenai kebijakan umum dan prioritas anggaran. Kementerian Negara dan lembaga membahas Rencana Kerja dan Anggaran tersebut dengan komisi kerja dengan anggaran yang diterima sesuai prioritas.[8]

Setelah UU APBN ditetapkan dan keputusan Presiden mengenai Rincian APBN disusun, kementerian Negara dan lembaga segera mempersiapkan rancangan dokumen pelaksanaan anggaran untuk disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara pada minggu kedua Desember. Menteri Keuangan mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran selambat-lambatnya tanggal 31 Desember tahun anggaran yang disusun.

 

9.      Penyusunan Tahun Anggaran 2015

Dalam rangka penyusunan RKA-K/L tahun anggaran 2015, Menteri Keuangan menetapkan Pagu Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (K/L) dengan berpedoman kapasitas fiskal, besaran pagu indikatif, rencana kerja (Renja) K/L, dan memperhatikan hasil evaluasi kinerja K/L. Terkait dengan hal itu, hari Jumat (11/17) telah dilakukan sosialisasi Pagu Anggaran K/L tahun 2015 bertempat di Ballroom Dhanapala Jakarta. Acara tersebut dihadiri 405 perwakilan unit eselon I dari seluruh K/L.

Pagu Anggaran yang ditetapkan Menteri Keuangan sebesar Rp. 600.634,1 Miliar tersebut bersifat baseline budget. Pagu tersebut termasuk anggaran pendidikan K/L sebesar Rp. 117.598,8 Miliar dan dana unallocated sebesar Rp. 4,3 Triliun (untuk mengakomodasi hasil Musrenbangnas dalam rangka sinergi pemerintah pusat dan daerah). Besaran pagu tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 278/KMK.02/2014 tentang Penetapan Pagu Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Langkah-langkah Penyelesaian Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tahun anggaran 2015.[9]

Adapun baseline budget dimaksudkan pagu tersebut hanya memperhitungkan kebutuhan pokok penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat. Namun demikian, pagu yang disampaikan tetap berpedoman pada tingkat output yang sejalan dengan yang tertuang dalam tahun anggaran 2014. Disamping itu, pagu K/L itu tetap mengacu Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2015-2025. Hal itu dimaksudkan untuk memberi ruang gerak bagi pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 agar melaksanakan program/kegiatan sesuai platform yang direncanakan.

Dalam acara tersebut juga disampaikan hal-hal yang perlu diperhatikan setiap unit organisasi K/L dalam penyusunan RKA-K/L tahun 2015. Demikian pula, langkah-langkah tindak lanjut dalam penyelesaian RKA-K/L tahun 2015 berikut jadwal juga disamaikan ke perwakilan K/L yang hadir. Pihak K/L akan melakukan penelaahan RKA-K/L dengan Ditjen Anggaran pada tanggal 11 sampai dengan 21 Juli 2014. Hasil penelaahan tersebut menjadi bahan untuk penyusunan dokumen RAPBN 2015 yang akan disampaikan Presiden pada tanggal 16 Agustus 2014.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Kebijakan fiskal adalah penyesuaian dalam pendapatan dan pengeluaran pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan disingkat APBN untuk mencapai kestabilan ekonomi yang lebih baik dan laju pembangunan. aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok atau pemeran serta, yaitu:

1.      Pemeran serta resmi.

Pemeran serta resmi meliputi agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif.

2.      Pemeran serta tidak resmi

Pemeran serta tidak resmi meliputi kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warganegara individu.

Dalam perumusan kebijakan meliputi empat tahapan yang dilaksanakn secara sistematis, yaitu:

1.      Perumusan masalah

2.      Agenda kebijakan

3.      Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah

4.      Penetapan kebijakan

            Sedangkan dalam pembuatan kebijakan publik, tahap-tahap yang dilaluinya adalah:

1.      Tahap menyusun agenda,

2.      Tahap formulasi kebijakan,

3.      Tahap implementasi kebijakan, dan

4.      Tahap penilaian kebijakan.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Sudirman I Wayan, Kebijakan Fiskal dan Moneter: Teori dan Empirikal, Kencana, Jakarta, 2011.

 

Yoesof Fatullah, Fiskal dan Moneter, IDEA Press, Yogyakarta, 2013.

 

http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/edef-konten-view.asp?id=990 tanggal24/09/2015

 

http://www.dpr.go.id/id/banggar tanggal 24/09/2015

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Yoesof Fatullah, Fiskal dan Moneter, IDEA Press, Yogyakarta, 2013, hal. 113

[2] Ibid., hal. 114

[3] Sudirman I Wayan, Kebijakan Fiskal dan Moneter: Teori dan Empirikal, Kencana, Jakarta, 2011, hal. 48

[4] Yoesof Fatullah, Fiskal dan., hal. 49

[5] Ibid., hal. 115

[6] Ibid., hal. 116

[8] Yoesof Fatullah, Fiskal dan., hal. 118

Tidak ada komentar:

Posting Komentar