BAB I
PENDAHULUAN
Kebijakan fiskal adalah
penyesuaian dalam pendapatan dan pengeluaran pemerintah sebagaimana ditetapkan
dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan disingkat APBN untuk mencapai
kestabilan ekonomi yang lebih baik dan laju pembangunan. Dengan pemahaman ini,
menjadi wajar bahwa kebijakan fiskal mengalami perubahan dari tahun ke tahun.
Oleh karena itu kebijakan ini sangat penting dalam mempertahankan kestabilan
ekonomi dan bahkan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Dalan memberntuk suatu
kebijakan fiskal melalui tahap-tahap dan dan berbagai pertimbangan yang harus
diperhatikan, selain itu pembentukan kebijakan ini juga melibatkan berbagai
lembaga-lembaga bahkan seluruh aspek pemerintahan terkait dengan kebijakan ini.
Oleh karena itu maka pada makalah ini akan dibahas bagaimana kebijakan fiskal
dirumuskan dan dimusyawarahkan yang kemudian di tetapkan, siapakah aktor-aktor
dibelakang kebijakan ini, apa saja langkah-langkah dan pertimbangan apa sajakah
yang digunakan dalam mengambil kebijakan ini sehingga kebijakan ini diputuskan,
serta bentuk-bentuk kebijakan fiskal yang pernah terjadi di negeri kita tercinta
ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aktor dan Perumus Kebijakan Fiskal
Kebijakan
fiskal adalah penyesuaian dalam pendapatan dan pengeluaran pemerintah
sebagaimana ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan
disingkat APBN untuk mencapai kestabilan ekonomi yang lebih baik dan laju
pembangunan. Dengan pemahaman ini, menjadi wajar bahwa kebijakan fiskal
mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Oleh karena itu kebijakan ini sangat
penting dalam mempertahankan kestabilan ekonomi dan bahkan dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi suatu negara.
- Aktor
Perumus Kebijakan
Proses
pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak
proses maupun variabel-variabel yang harus dikaji. Kebijakan publik merupakan
suatu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara
sinambung, saling menentukan dan saling membentuk. Kebijakan publik tidak
terlepas dari sebuah proses kegiatan yang melibatkan aktor-aktor yang akan
bermain dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut beberapa ahli, dalam memahami
proses perumusan kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat atau
pemeran serta (partisipants) dalam proses pembuatan kebijakan tersebut.
Charles
Lindblom (Budi Winarno, 2002) mengutarakan bahwa untuk memahami siapa
sebenarnya yang merumuskan kebijakan, lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat
semua pemeran serta bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau
bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan sebagaimana mereka saling berhubungan
serta saling mengawasi. Dari berbagai jenis pemeran serta ini, Charles Lindblom
mengemukakan bahwa mereka mempunyai peran khusus yang meliputi: warga negara
biasa, pemimpin organisasi, anggota DPR, pemimpin badan legislatif, aktifis
partai, pemimpin partai, hakim, pegawai negeri, sipil, ahli teknik, dan manajer
dunia usaha.
Setelah masalah-masalah
pablik diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana kebijakan
publik harus dirumuskan. Dalam tahap ini, mengetahui aktor-aktor yang terlibat
dalam proses perumusan kebijakan merupakan hal yang esensial karena dengan
demikian kita akan dapat memperkirakan seperti apakah kebijakan publik tersebut
akan didefinisikan sangat tergantung pada siapa yang merumuskan kebijakan
tersebut yang pada akhirnya, akan menentukan bagaimana kebikakan tersebut
dirumuskan.
Pembahasan
mengenai siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam
tulisan Janes Anderson, Charles Lindblom, maupun James Lester dan Joseph
Stewart, Jr. (Budi Winarno, 2002) disebutkan bahwa aktor-aktor yang terlibat
dalam proses perumusan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok atau
pemeran serta, yaitu:
a. Pemeran serta resmi
Pemeran serta resmi meliputi
agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan
yudikatif.
b. Pemeran serta tidak resmi
Pemeran serta tidak resmi
meliputi kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warganegara
individu.[1]
Proses
perumusan kebijakan merupakan inti dari kebijakan publik, karena dari sinilah
akan dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri. Tidak semua isu yang
dianggap masalah bagi masyarakat perlu dipecahkan oleh pemerintah sebagai
pembuatan kebijakan, yang akan memasukkannya ke dalam agenda pemerintah yang
kemudian diproses menjadi sebuah kebijakan setelah melalui berbagai tahapan.
Budi Winarno
(2002) menyimpulkan dari pendapatan beberapa ahli bahwa dalam perumusan
kebijakan meliputi empat tahapan yang dilaksanakan secara sistematis, yaitu:
a. Perumusan Masalah
Perumusan
masalah merupakan langkah yang paling
fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan
baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan baik.
Kebijakan publik pada dasarnya merupakan untuk memecahkan masalah dalam
masyarakat. Menurut Mitroff dan Kliman, perumusan masalah dapat dipandang
sebagai suatu proses yang terjadi dari tiga tahap yang berbeda namun saling
tergantung, yaitu:
1) Konseptulisasi masalah
2) Spesifikasi masalah
3) Pengenalan masalah
Proses
perumusan masalah dapat dimulai dari tahap manapun diantaranya ketiga tahap atersebut
namun suatu prasyarat dalam perumusan masalah adalah pengenalan atau menyadari
kebenaran situasi problematis untuk bergerak dari situasi problematis ke
masalah subtantif, analisis kebijakan perlu mengkonsepsikan masalah, yaitu
mendefinisikan menurut peristilahan dasar atau umum. Setelah masalah subtanstif
dikonseptualisasikan, maka masalah formal yang lebih terperinci dan spesifik
dapat dirumuskan proses memindahkan ari masalah subtantif ke masalah formal
diselenggarakan melalui spesifikasi masalah (problem spesification).
b. Agenda Kebijakan
Tidak semua
masalah publik akan masuk ke dalam agenda kebijakan, masalah-masalah tersebut
akan berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah-masalah tertentu
yang pada akhirnya kan masuk kedalam agend kebijakan. Masalah publik masuk ke
dalam agenda kebijakan kemudian akan dibahas oleh para perumus kebijakan
seperti kalangan legislatif, kalangan eksekutif, agen-agen pemerintah dan
mungkin juga kalangan yudikatif. Masalah-masalah tersebut dibahas berdasarkan
atingkat urgensinya untuk diselesaikan. Menurut Abidin, agenda kebijakan adalah
sebuah daftar permasalahan atau isu yang mendapat perhatian serius karena
berbagai sebab untuk ditindaklanjuti atau diproses pihak-pihak yang berwenang
menjadi kebijakan. Proses masuknya isu ke dalam agenda kebijakan tidak
sepenuhnya dapat dilakukan secara rasional dan lebih sering bersifat politis.
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses penyusunan agenda adalah:
1) Perkembangan sistem pemerintah yang
demokratis
2) Sikap pemerintah dalam proses penyusunan
agenda
3) Bentuk pemerintah atau realisasi totonomi
daerah
4) Partisipasi masyarakat.
c. Pemilihan Alteranatif Kebijakan untuk
Memecahkan Masalah
Pada tahap
ini, para perumus kebijakan akan berhadapan dengan berbagai altarnatif pilihan
kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antar berbagai aktor
yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Pada kondisi ini, maka pilihan-pililah
kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negoisasi yang terjadi antar aktor
berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut.
d. Penerapan Kebijakan
Setelah
salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan untuk diambil dari
berbagai cara pemecahan masalah, maka tahap terakhir dalam pembuatan kebijakan
adalah mentapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan
kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam pembuatan
kebijakan tersebut.
Wiliam Dunn
(Budi Winarno: 2002) menyebutkan dalam pembuatan kebijakan publik, tahap-tahap
dilaluinya adalah:
a. Tahap Menyusun Agenda
Masalah-masalah akan
berkompetisi dahulu sebelum dimasukkan ke dalam agenda kebijakan. Pada
akhiarnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan.
Pada saat itu, suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa
yang lain pembahasan masalah tersebt ditunda untuk waktu yang lama. Tahap
penyusunan agenda merupakan tahap yang akan menentukan apakah suatu masalah
akan dibahas menjadi kebijakan atau sebaliknya.[2]
b. Tahap Formulasi Kebijakan
Masalah yang masuk keagenda
kebijakan kemudian dibahas oleh pembuat kebijakan. Maslah-masalah tersebut
didefinsikan untuk kemudian dicari alternatif pemecahan masalah yang terbaik.
Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada. dalam
tahap perumusan kebijakan ini, masing-masing alternatif akan bersaing untuk
dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada
tahap ini masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan
masalah terbaik. Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh
para prumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan
tersebut diadopsi dengan dukungan diri mayoritas legislatif konsesus antara
direktur lembaga atau keputusan peradilan.
c. Tahap Implementasi Kebijakan
Suatu program hanya akan
menjadi catatan-catatan elit, jika tidak diimplementasikan. Pada tahap ini,
berbagai kepentingan akan saling bersaing, beberapa implementasi kebijakan
mendapat dukungan dari apra pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan
ditentang oleh para pelaksana.
d. Tahap Penilaian Kebijakan
Pada tahap ini, kebijakan yang
elah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana
kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijaksanaan politik
pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan oleh, oleh karana itu,
maka ditentukan ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk
menilai apakah kebijakan pulik telah meraih dampak yang diiginkan
B.
Proses Perumusan Kebijaksanaan Belanja Negara dalam APBN Setelah Reformasi
Keuangan Negara
Di tahun
2005, APBN terdiri dari pola pendapatan negaran dan hibah, belanja negara,
keseimbangan primer, surplus/defisit anggaran dan pembiayaan.[3]
Pendapatan negara dan hibah terdiri dari:
a. Pendapatan dalam negeri:
1) Penerimaan perpajakan
a) Pajak dalam negeri:
(1) Pajak Penghasilan
(2) Migas
(3) Non Migas
(4) Pajak bertambahan nilai
(5) Pajak bumi dan bangnan
(6) BPHTB
(7) Cukai
(8) Pajak lainnya.
b) Pajak peragangan internasional:
(1) Bea masuk
(2) Pajak pungutan ekspor
2) Penerimaan bukan pajak:
a) Penerimaan sumberdaya manusia
(1) Migas
(2) Non MIgas
b) Bagian laba BUMN
PNPB
lainnya
b. Hibah[4]
Belanja negara dikelompokkan
menjadi:
1) Belanja Pemerintah Pusat:
a) Belanja pegawai
b) Belanja barang
c) Belanja modal
d) Pembayaran bunga uang
(1) utang dalam negeri
(2) utang luar negeri
e) Subsidi
(1) Perusahaan negara:
(a) Lembaga keuangan dan lembaga non keuangan
(b) Perusahaan swasta
f) Belanja hibah
g) Bantuan sosial
h) Belanja lainnya
2) Belanja daerah
a) Dana Perimbangan
(1) Dana bagi hasil
(2) Dana alokasi umum
(3) Dana alokasi khusus
b) Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian
(1) Dana Otonomi Khusus
(2) Dana Penyesuaian
Kemudian
keseimbangan primer dengan angka tersebdiri, surplus atau defisit adalah
pendapatan negara dikurangi dengan belanja negara, dan biayaan. Pembiayaan
terdiri dari:
a. Pembiayaan dalam negeri:
1) Perbankan dalam negeri
2) Non perbankan dalam negeri
a) Privatisasi dan penjaulan aset prof
restrukturisasi perbankan
b) Surat utang negara
c) Penyertaan modal negara
b. Pembiayaan luar negeri
1) Penarikan pinjaman luar negeri:
a) Pinjaman program
b) Pinjaman proyek
2) Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri
1. Tahapan dalam Proses Perumusan Kebijakan
Belanja Negara dalam APBN Setelah Era Reformasi Keuangan (Setelah Tahun 2005)
a. Menteri Negara PPN/Bappenas dan mengeri
keuangan menetapkan surat bersama (SB) tentang pagu indikatif, yang merupakan
ancar-ancar pagu anggaran Kementerian Negara/Lembaga (K/L) untuk setiap program
acuan penyusunan rencana kerja K/L.[5]
b. Pemerintah menyampaikan pokok-pokok
kebijakan fiscal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya ke DPR
selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei berjalan.
c. Pemerintah bersama-sama DPR membahas
kebiakan umum dan prioritas kebijakan anggaran yang akan dilaksanakan tahun
berikutnya (angka-angka pagu sementara).
d. Berdasarkan SE Mengeri Keuangan mengenai
pagu sementara, dan dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (RAPBN) menteri/Pimpinan Lembaga menyusun. Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA).
e. RKA-KL tersebut kemudian dibahas bersama antar
kementerian/Lembaga dengan komisi terkait DPR.
f. Penyusunan RKA-KL dilakukan dengan
menggunakan pendekatan:
1) Penganggaran terpadu (Unifed Budget)
2) Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium
Framework Expenditure)
3) Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance
Based Budgeting)
g. Hasil pembahasan antara
Kementerian/Lembaga dengan komisi lembaga terkait DPR disampaikan kepada
Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jendral Anggaran untuk dilakukan penelaahan
dalam rangka meneliti kesesuaian RKA-KL dengan:
1) Surat Edaran Menteri Keuangan tentang pagu
sementara
2) Prakiraan Maju yang telah disetujui tahun
anggaran sebelumnya
3) Standar biaya yang telah ditetapkan
dan/atau Kerangka Acuan Kerja/Team Of Reference (TOR) dan Rincian Anggaran
Biaya (RAB) dalam hal standar biaya belum ditetapkan.
4) Rencana Bisnis dan Anggaran RBA) untuk
Badan Layanan Umum (BLU).[6]
h. Hasil penelaahan RKA-KL merupakan dasar
penyusunan Satuan Anggaran Kementarian/Lembaga
i.
Satuan
Anggaran Kementerian/Lembaga dijabarkan lebih lanjut untuk tiap-tiap satuan
kerja menjadi Satuan Anggaran Per Satuan Kerja (SAP-SK)
j.
Apabila
terjadi perubahan RKA-KL pada saat pembahasan dengan RAPBN dengan RAPBN dengan
DPR. Maka dilakukan penyesuaian RKA-KL dan SAPSK pada satuan anggaran
kementerian/Lembaga.
k. RKA-KL tersebut selanjutnya menjadi dasar
penusunan peraturan presiden tentang rincian anggaran belanja pemerintah pusat.
Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai rancangan Undang-undang tentang APBN
dilakukan selambat-lambatnya 2 bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan
dilaksanakan, sesuai pasal 15 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan
negara termasuk didalamnya Keputusan mengenai RKA-KL yang dibahas antara
kementerian/lembaga dan DPR.
l.
Peraturan
Presiden tentang rincian anggaran belanja pemerintah pusat menjadi dasar bagi
penyusunan dan pengesahan DIPA.
m. DIPA memuat uraian fungsi/sub fungsi,
program, sasaran program, rincian kegiatan/sub kegiatan, jenis belanja,
kelompok mata anggaran keluaran (MAK) dan rencana penarikan dana serta
perkiraan penerimaan kementerian/lembaga.
n. Penyusunan penelaahan, pengesahan, dan
pelaksanaan DIPA dilakukan oleh direktorat jenderal perbendaharaan.
2. Kebijakan-Kebijakan Fiskal Di Indonesia
Era Reformasi
- Kebijakan
Fiskal Tahun 2009
Dalam APBN
2009, kebijakan fiskal dapat diperinci berdasarkan arah kebijakan, strategi
kebiakan dan garis besar postur APBN 2009. berdasarkan arah kebiakan fiskal
dimaksud untuk mencapai tiga prioritas utama yaitu:
a. Peningkatan pelayanan dasar dan
pembangunan pedesaan
b. Percepatan pertumbuhan yang berkualitas
dengan memperkuat daya tahan ekonomi yang didukung oleh pengembangan pertanian,
infrastruktur, dan energi.
c. Peningkatan upaya antikorupsi, reformasi
birokrasi serta pemantapan demokrasi, pertahanan dan keamanan dalam negeri.
Sementara itu, strategi
kebijakan fiskal tahun 2009, meliputi:
a. Pengendalian (capping) subsidi BBM dan
listrik
b. Memperhitungkan pelaksanaan amandemen UUP
PPh dan PPN
c. Reformulasi dana perimbangan dengan
memasukkan beban subsidi BBM dan subsidi pupuk sebagai variabel Pemerintah
Dalam Negeri (PDN) dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU)
d. Pelaksanaan amandemen undang-undang Pajak
Daerah dan Rertibusi Daerah (PDRD)
e. Belanja Kementerian Negara dan Lembaga
(K/L)
Beberapa kebijakan pemerintah
disektor riil pada tahun 2009 antara lain:
a. Di bidang sumber daya air,
Kebijakan yang dilakukan
antaralain mengoptimalkan fngsi sarana dan prasarana sumber daya air dalam
memenuhi kebutuhan air ririgasi dan idustri, dan meningkatkan kinerja jaringan
irigasi guna memenuhi kebuhan air usaha tani, terutama dalam mewujudkan ketahanan
pangan.
b. Di bidang transportasi,
Kebijakan yang dilakukan
antara lain meningkatkan jaminan keselamatan dan keamanan transportasi, menciptakan kondisi
agar keselamatan dan keamanan pelayanan transportasi dapat memenuhi standar
pelayanan minimal dan standar internasional, yang dilakukan melalui
restukturisasi perundang-undangan dan peraturan dibidang transportasi, sehingga
tidak ada lagi monopoli dalam pelayanan transportasi.
c. Di bidang energi,
Kebijakan yang dilakukan
adalah meningkatkan pemanfaatan energi primer non-BBM (gas bumi, panas bumi,
dan batu bara) meningkatkan efesiensi pemanfaatan energi, serta pengembangan
energi dan infrastruktur energi.
- Kebijakan
Fiskal Tahun 2010
Pada tahun
2010, kebijakan fiskal di sektor riil pada tahun sebelumnya dilanjutkan melalui
pengucuran insentif fiskal. Berbagai upaya pemerintah dalam menggenjot
perekonomian di sektor riil pada tahun ini diharapkan dapat menjadi angin segar
untuk perekonomian nasional. Pada tahun ini, stimulus fiskal hanya dialokasikan
oleh departemen keuangan tidak lebih dari 1% dari Produk Domestic Bruto (PDB).
Angka ini relatif lebih kecil jika dibandingkan degan tahun sebelumnya. Hal ini
menggambarkan adanya kompensasi untuk penurunan belanja pemerintah, sehingga
sudah seharusnya adanya optimalisasi langkah terhadap hal ini terutama pada
sektor-sektor yang terlibat langsung dengan kebijakan ini meliputi bidang
energi, infrastruktur, industri, perdagangan, dan sektor lainnya.
Pada tahun
tersebut, pengeluaran negara diarahkan pada fasilitas untuk pengembangan
infrastruktur berupa peningkatan dana bagi Badan Layanan Umum (BLU) tanah dan landcapping,
pengoprasian perusahaan pembiayaan infrastruktur, penjamin untuk PDAM dan
subsidi air bersih dan pembangunan perumahan rakyat. Selain belanja negara, kebijakan
fiskal yang diambil pemerintah pada tahun ini juga meliputi pemotongan pajak.
Target pemotongan pajak ini adalah untuk rumah tangga dan swasta.
Selain
untuk mendorong pemilihan dunia usaha termasuk melalui pemberian insentif
perpajakan dan bea masuk, pokok kebijakan tahun 2010 juga meliputi kebijakan
melanjutkan/meningkatkan seluruh program kesejahteraan rakyat (PNPM, BOS,
Jamkesmas, raksin, PKH, dan lainnya), melanjutkan stimulasi fiskal melalui
pembangunan infrastruktur, pertanian, dan energi serta proyek padat karya,
meneruskan reformasi birokrasi, memperbaiki alutsista, dan menjaga pendidikan
minimal 20 persen.
Dalam
menjalankan kebijakan ekonomi nasional pada tahun 2010, pemerintah semakin
memantapkan tujuh prioritas kebiakan yang selama ini telah dijalankan. Secara
rinci ketujuh kebijakan itu antara lain:
a. Menjaga agar sektor riil terus bergerak
Untuk itu, pemerintah telah
mengeluarkan berbagai kebijakan termasuk intensif fiskla untuk mendorong sektor
riil terus tumbuh.
b. Mencegah terjadinya gelombang PHK secara
terus mengurangi pengangguran
Hal ini dilakukan dengan
berbagai kebijakan untuk mengantisipasi akibat/dampak krisis global.
c. Menjaga stabilitas harga
Termasuk kebutuhan pokok yang
dibutuhkan masyarakat.
d. Menjaga daya beli masyarakat
Yaitu dengan menurunkan tarif
pajak orang pribadi, peningkatan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP),
penurunan harga BBM, kenaikan pengeluaran pemerintah dengan menaikkan gaji PNS,
TNI, Polri, pensiunan, serta guru/dosen dan pemberian BLT. Kebijakan ini dilakukan
karena konsumsi masyarakat merupakan contributor dominan terhadap total
pertumbuhan ekonomi.
e. Memberikan perlindungan dan menyediakan
jaring pengaman sosial kepada masyarakat lapisan bawah
Hal ini dilakukan dalam bentuk
program pro rakyat seperti BOS, Jamkesmas, PKH, beras bersubsidi, BLT
bersyarat, dan sebagainya.
f. Menjaga ketahanan pangan dan energi
Harga pangan tetap terjangkau
meskipun terjadi El-Nino yang menyebabkan kekeringan. Hal ini dilakukan dengan
menjaga kecukupan cadagnagn beras bulog, melanjutkan program beras bersubsidi,
dan juga menyediakan dana siaga untuk menjaga stabilitas harga pangan.
g. Menjaga pertumbuhan ekonomi
Penyusunan
APBN 2010 dilakukan berdasarkan asumsi ekonomi makro sebagai berikut:
a. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan lima
persen.
b. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
rata-rata Rp. 10.000 per dollar Amerika Serikat.
c. Suku bunga SBI tiga bulan rata-rata 6,5
persen.
d. Harga minyak mentah Indonesia di pasar
internasional US$ 60 per barel.
e. Lifting minyak mentah Indonesia diharapkan
dapat mencapai 965 ribu barel per hari.
Berdasarkan
asumsi di atas pemerintah menetapkan pokok-pokok APBM tahun anggaran 2010
sebagai berikut:
a. Pendapatan negara dan hibah direncanakan
mencapai Rp. 911,5 triliun.
b. Belanja negara direncanakan mencapai Rp.
1.009,5 triliun.
Dengan demikian, defisit
anggaran tahun 2010 mencapai Rp. 98,0 triliun (1,6 persen dari PBD) target ini
mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2009. Untuk mencapai sasaran
pendapatan negara tahun 2010 pemerintah melakukan optimalisasi penerimaan,
yaitu dari penerimaan pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
- Kebijakan
Fiskal Tahun 2011
Pada tahun
2011, pemerintah mencanangkan delapan kebijakan untuk memperbaiki kinerja
perpajakan yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan serta meneruskan
program reformasi birokrasi pada direktorat jendral pajak dan direktorat bea
cukai. Kebijakannya antara lain:
a. Untuk reformasi birokrasi dilakan
pemisahan fungsi pemuatan kebijakan dari ditjen pajak dan badan kebijakan
fiscal (BKF) dimana pembuatan kebijakan aturan pajak akan diambil oleh BKF dan
pelaksanan administrasi dan pengumpulan pajak tetap dilakukan oleh ditjen
pajak.
b. Penerbitan peraturan Menteri Keuangan
sebagai pelaksana pasal 36A KUP yaitu penegakan sanksi bagi petugas pajak yang
melakukan pelangagran hukum dalam melaksanakan tugasnya. Dengan diterbitkan
peraturan ini, diharapkan dapat menghentikan bentuk kejahatan dan penyimpangan
sehingga dapat meningkatkan kinerja dan capaian direktorat jendral pajak dan
direktoral bea dan cukai.
c. Kesepakatan antara ditjen pajak dan
akuntan publik dalam rangka pemeriksaan pajak. Hal ini berkaitan dengan maslaah
efisiensi dalam pemeriksaan di ditjen pajak yang menyita waktu, sehingga dengan
adanya kerja sama ini dimungkinkan laporan keuangan wajib pajak yang mendapat
opini wajar tanpa pengecualian, tak perlu lagi diperiksa oleh pemeriksa pajak.
d. Kebijakan penyetaraan antara film impor
dan nasional. Hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan daya saing
bisnis perfilman nasional.
e. Penerbitan PP No. 93/2010 tentang
sumbangan penanggulangan bencana nasional atau kegiatan litbang, fasilitas
pendidikan, sumbangan olaharaga, dan infrastruktur sosial yang bisa dipakai
pengurangan pajak. Hal ini merupakan langkah khusus bagi perusahaan yang ingin
melakukan tanggung jawab sosial perusahaannya pada bidang pendidikan, olahraga,
sehingga bisa memperoleh fasilitas fiskal.
f. Penerbitan PP No. 94/2010 tentang
perhitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan PPh dalam tahun berjalan
mengenai pembbebasan PPh. Hal ini diberikan kepada para investor yang memenuhi
kriteria khusus, yaitu industry pioneer yang memberikan lapangan kerja tinggi,
memperkenalkan teknologi baru, masuk di daerah-daerah terpencil dan
terbelakang, serta industri yang memberikan nilai tambah.
g. Penyederhanaan prosedur pembebeasan PPh 22
impor atas impor barang sehingga importer tidak perlu pulang pergi
menyelesaikan kegiatan impor.
h. Perlakuan perpajakan untuk penyederhanaan
birokrasi dalam penyaluran bantuan hibah smbangan dengan pelimpahan wewenang
kepada ditjen beacukai, sehingga ketika ada bantuan kepada indonesia dan
ditujukan kepada daerah bencana dpat disetujui perlakuan perpajakan dengan
cepat.
Selain
delapan kebijakan tersebut, sejak 1 januari 2011 pemerintah telah menghapus
fiskal luar negeri. Sebelumnya, biaya
fiskal keluar negeri tidak diberlakukan hanya bagi mereka yang emiliki nomor
pokok wajib pajak (NPWP). Biaya fiskal ini cukup mahal dan membebani masyarakat
saat pergi keluar negeri.
Selain
memberikan intensi fiscal kepada pengusaha berpa fax holiday bagi industry
pioneer pada tahun ini pemerintah juga memberikan kemudahan untuk pengucuran
kredit dari perbankan ke pengusaha, sehingga dapat mendorong percepatan
pertumbuhan ekonomi.
Pada
Februari 2011, pemerintah mengeluarkan paker kebijakan yang terdiri atas enam
kebijakan yang diluncukan Menkeu dalam peraturan materi keuangan.
Kebijakan-kebijakan ini antara lain:
a. Pembebasan pajak pertambahan nilai (PPn)
untuk rumah yang sederhana yang nilainya tidak lebih dari Rp. 70 Juta.
b. Parlakuan PPn atas jasa maklon
c. Fasilitas pajak pertambahan nilai
ditanggung pemerintah (PPN DTP) terhadap minyak goreng
d. Penyederhanaan Proses pemberian bea masuk
dan cukai
e. Ketetntuan mengenai dasar pengenaan pajak
dalam rangka perhitungan pajak pertambahan nilai dan pajak penjaualan ada
barang mewah, khususnya tata laksana kemudahan impor tujuan ekspor.
f. Kebijakan mengenai pemberian izin bulog
untuk mencairkan dana publik sevice obligation PSO untuk mengadakan beras
rakyat miskin (raskin) izin pencairan dana PSO itu sesuai dengan peraturan
menteri keuangan No. 125/PK.02/2010
- Penentuan Angaran Tiap Kementerian
Negara/Lembaga
Anggaran
adalah alat akuntabilitas, manajemen dan kebijakan ekonomi. Sebagai intrumen
kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan
stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai
tujuan bernegara. Dalam upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi
anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan
pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran
aturan pokok yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar 1945.
Ketentuan
mengenai penyusunan dan penerapan APBN/APBD dlam UU No. 17 Tahun 2003 meliputi
penegaran tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD
dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian
sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem pengangaran, penyempurnaan
klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penetapan anggaran, pengintegrasian
sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan
klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran
jangka menengah dlam penyusunan anggaran. Atau dapat diartikan bahwa belanja
negara dan belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi,
program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap
pergeseran anggaran antarunit organisasi, antar kegiatan, dan antarjenis
belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Masalah
lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di
sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. mengingat
bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan kriteria
pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam
penyusunan rancana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat
daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kerja dalam sistema
pengangaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga/perangkat daerah.
Dengan
penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga/ Perangkat daerah
tersebtu dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggran berbasis prestasi
kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja kementerian./lembaga/perangkat
daerah yang bersangkutan.
Sejalan
dengan upaya untuk menerapakn secara penuh penganggaran berbasis kinerja di
sektor publik perlu dilakuikan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai
dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan dalam
pengelompokkan transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk memudahkan
pelaksanaan anggaran berbasis kerja, memberiakn gambaran yang objektif dan
proposional mengenai keinginan pemerintah, menjaga konsistensi dan standar akuntansi
sektor publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas
statistik keuangan pemerintah.
Sebelum
diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2003 anggaran belanj pemerintah dikelompokkan
atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan
dalam anggran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang semula
bertujuan untuk memberikan penekanan pada arti pentingnya pembangunan dalam
pelaksanaannya telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan, dan
penyimpangan anggaran. Sementara itu, penuangan rencana pembangunan dalam suatu
dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang
dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi.
Perkembangan
dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan
fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan
sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure
Framework) seagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju.
Walaupun
anggaran data disusun dengan baik jika proses penetapannya terlambat akan
berpotensi menimbulkan maslah dalam pelaksanannya. Oleh karena itu, dalam
undang-undang ini diatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di
DPR/DPRD, termasuk pembangian tugas antara panitia/komisi anggaran dan
komisi-komisi pasangan kerja kementerian negara/lembaga. Perangkat daerah di
DPR/DPRD.
Setiap
tahun pemerintah menghimpun dan membelanjakan dana melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara atau APBN. Istilah APBN yang dipakai di Indonesia secara
formal mengacu pada anggaran pendapatan dan belanja negara yang dikelola
pemerintah pusat.
Badan
anggaran dibentuk oleh DPR dan meruapkan alat kelengkapan DPR yang bersifat
tetap. DPR menerapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut
perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa
keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
Susunan dan
keanggotaan badan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
anggota dari tiap-tiap komisi yang dipilih oleh komisi dengan memperhatikan
perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi Pimpinan Badan Anggaran yang
merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
Pimpinan
Badan anggaran terdiri dari atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3
(tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh angota badan anggaran
berdasrkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan mempertimbangkan
keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
1. Badan Anggaran
a. Badan Anggaran bertugas:
1) Membahas bersama pemerintah yang diwakili
oleh mengeri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal umum dan prioritas
anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun
usulan anggaran.[7]
2) Menetapkan pendapatan negara bersama
pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi terkait,
3) Membahas rancangan undang-undang tentang
PBN bersama presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada
keputusan rapat kerja komisi dan pemerintah mengenai alokasi angaran untuk
fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga;
4) Melakukan sunkronisasi terhadap hasil
pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga;
5) Membahas laporan relisasi dan prognosis
yang berkaitan dengan PBN; dan
6) Mebahas pokok-pokok penjelasan atas
rancagan undang-undang tetang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
b. Badan anggaran hanya membahas alokasi
anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi.
c. Aggota komisi dalam badan anggaran harus
mengupaakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi dan menyampaikan hasil
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada komisi.
Oleh karena
itu mengacu pada anggaran yang dikelola oleh pemerintah pusat, maka anggaran
pendapatan dan belanja pemerintah daerah (APBD) dan BUMN tidak termsuk. Sesuai
dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, APBN harus diwujudkan dalam bentuk
undng-undang, dalam hal ini presiden berkewajiban menyusun dan mengajukan
ranvangan APBN (RAPBN) kepada DPR.
Oleh karena
itu, proses penyusunan anggaran negara merupakan rangkaian aktivitas yang
melibatkan banyak pihak, termasuk semua departemen dan lembaga, dan DPR. Peran
aktif DPR dalam proses penyusunan APBN dalam beberapa tahun terakhi ini, telah
menjadikan proses penyusunan APBN menjadi lebih demokratis, transparan,
obyektif, dan lebih dapat dipertanggungjawabkan.
2. Landasan Hukum Anggaran Negara
Landasan
hukum anggaran negara tercantum pada pasal 23 UUD 1945 pasal 23 (1) yang
berbunyi sebagai berikut:
a. Pasal 23 (1) anggaran pendapatan dan
belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap
tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
b. Pasal 23 (2); Rancangan Undang-undang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas
ebrsama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan Dewan Perwakilan Daerah.
c. Pasal 23 (3); Apabila Dewan Perwakilan Rakyat
tidak menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dn Belanja Negara yang diusulkan
oleh Presiden, peemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
tahun yang lalu.
d. Pelaksanaan perencanaan dan penyusunan
penganggaran tersebtu dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, khusunya Pasal 13, 14, dan 15, pasal 13 dari UU
No.17/2003.
Beberapa
kesimpulan penting landasan hukum penyusunan APBN adalah sebagai berikut:
a. Pemerintah mengusulkan RAPBN dan DPR
membahas usulan pemerintah tersebut dengan hak untuk melakukan pembahasan,
perubahan, dan pemberian persetujuan atau penolakan.
b. Kedua, persetujuan RAPBN dan DPR yang
terinci menunjukkan bahwa DPR dan pemerintah bermaksud agar pelaksanaan APBN
dengan rasa kedisiplinan anggaran tinggi.
c. Ketiga , dalam rangka itu juga siklus dan
jadwal penyusunan dan pembahasan anggaran sangat ketat dan rigid (kaku). Dan
keempat pelaksanaan anggaran dilakukan oleh pemerintah (eksekutif) melalui
depertemen dan lembaga pemngguna anggaran serta diawali oleh DPR, auditor
internal dan eksternal.
3. Lansasan Penyusunan APBN
a. APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan
negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang.
b. APBN disusun sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan permerintahan negara dan kemampuan dalam penghimpunan
pendapatan negara.
c. Penyusunan rancangan APBN, berpedoman
kepada rencana kerja pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan
bernegara.
4. Ketentuan Umum Penyusunan APBN
a. APBN disusun sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan
negara.
Dalam menyusun APBN dimaksud,
diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun
anggaran yang bersangkutan.
b. Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka
mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
c. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit,
ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam
Undang-undang tentang APBN. Defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari Produk
Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik
Bruto.
d. Dalam hal anggaran diperkirakan surplus,
Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada
Dewan Perwakilan Rakyat. Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan
prinsip pertanggungjawaban antar generasi sehingga penggunaannya diutamakan
untuk pengurangan utang, pembentukan dana cadangan, dan peningkatan jaminan
sosial.
5. Mekanisme Penyusutan dan Penetapan APBN
a. Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan
Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen
pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun
sebelumnya.
b. Pembahasan Rancangan Undang-undang tentag
APBN dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan
Dewa Perwakilan Rakyat.
c. Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan
usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam
Rancangan Undang-Undang tentang APBN. Perubahan Rancangan Undang-undang tentang
APBN dapat diusulkan oleh DPR sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit
anggaran.
d. Pengambilan keputusan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan
selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
dilaksanakan.
e. APBN yang disetujui oleh DPR terinci
sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
f. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak
menyetujui Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka
APBN tahun anggaran sebelumnya.
g. Penyusunan dan penetapan APBD.
6. Siklus Anggaran APBN
Secara
singkat tahapan dalam proses perencanaan dan penyusunan APBN dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Tahapan pendahuluan
Tahap ini
diawali dengan persiapan rancangan APBN oleh pemerintah, antara lain meliputi
penentuan asumsi dasar APBN, perkiraan penerimaan dan pengeluaran, skala
prioritas dan penyusunan budget exercise.
Pada tahap
ini juga diadakan rapat komisi antara masing-masing komisi dengan mitra
kerjanya (departemen/lembaga teknis). Tahapan ini diakhiri dengan proses
finalisasi penyusunan RAPBN oleh pemerintah.
b. Tahap pengajuan, pembahasan, dan penetapan
APBN
Tahapan dimulai
dengan pidato presiden sebagai pengantar RUU APBN dan Nota Keuangan.
Selanjutnya akan dilakukan pembahasan baik antara materi keuangan dan Panitia
Anggaran DPR, maupun antara komisi-komisi dengan departemen/lembaga teknis
terkait.
Hasil dari
pembahasan ini adalah UU APBN, yang didalamnya memuat satuan anggaran (dulu
satuan 3, sekarang analog dengan anggaran satuan kerja di departemen dan
lembaga) sebagai bagian tak terpisahkan dari undang-undang tersebut. Satuan
anggaran adalah dokumen anggaran yang menetapkan alokasi dana per departemen/
lembaga, sektor, subsektor, program dan proyek/kegiatan. Untuk membiayai tugas
umum pemerintah dan pembangunan, departemen/lembaga mengajukan Rencana Kerja
dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) kepada Depkeu dan Bappenas untuk
kemudian dibahas menjadi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan
diverifikasi sebelum proses pembayaran. Proses ini harus diselesaikan dari
Oktober sampai Desember.
Dalam
pelaksanaan APBN dibuat petunjuk berupa keputusan presiden (kepres) sebagai
Pedoman Pelaksanaan APBN. Dalam melaksanakan pembayaran, kepala kantor/pemimpin
proyek di masing-masing kementerian dan lembaga mengajukan Surat Permintaan
Pembayaran kepada Kantor Wilayah Perbendaharaan Negara (KPPN).
c. Pengawasan APBN
Fungsi pengawasan
terhadap pelaksanaan APBN dilakukan oleh pengawas fungsional baik eksternal
maupun internal pemerintah. Sebelum tahun anggaran berakhir sekitar bulan
November, pemerintah dalam hal ini Menkeu membuat laporan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN dan melaporkannya dalam bentuk Rancangan Perhitungan Anggaran
Negara (RUU PAN), yang paling lambat lima belas bulan setelah berakhirnya
pelaksanaan APBN tahun anggaran bersangkutan.
Laporan ini
disusun atas dasar realisasi yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). Apabila hasil pemeriksaan
perhitungan dan pertanggungjawaban pelaksanaan yang dituangkan dalam RUU PAN
disetujui oleh BPK, maka RUU PAN tersebut diajukan ke DPR guna mendapat
pengesahan oleh DPR menjadi UU Perhitungan Anggaran Negara (UU PAN) tahun
anggaran berkenaan.
7. Pemisahan Kewenangan dalam Pelaksanaan
Anggaran Belanja Pemerintah Pusat
Dalam
pelaksanaan anggaran terdapat dua kelompok pengelolaan yaitu pengelolaan
administratif (administratief beheer) dan pengelolaan kebendaharaan (comptabel
beheer).
a. Pengelolaan/pengurusan administratif
(administratief beheer)
Pengelolaan
administratif adalah meliputi kewenangan otoritas (beschikkings bevoegdheid)
dan kewenangan ordonansi (ordonan cerings bevoegdheid). Pengelolaan
administratif berhubungan erat dengan penyelenggaraan tugas negara di segala
bidang yang membawa akibat pada pengeluaran negara serta mendatangkan
penerimaan untuk menutupi pengeluaran negara tersebut. Pengelolaan
administratif tidak berhubungan langsung dengan penguasaan fisik uang dan
barang milik negara. Pengelolaan administratif dilakukan oleh otrorisator dan
ordonator yang masing-masing mempunyai kewenangan yang berbeda dengan tujuan
terciptanya pemisahan kewenangan di antara keduanya. Pengertian kewenangan
otorisasi dan ordonansi menurut beliau adalah:
Kewenangan otorisasi adalah
kekuasaan yang bersumber pada kewenangan untuk mengesahkan atau menguasai
anggaran yang menimbulkan kewenangan pembebanan (uang) negara, sedang dimaksud
dengan kewenangan ordonansi adalah kekuasaan untuk menetapkan ksuasa bayar atau
menguji kebenaran pembayaran.
b. Pengelolaan/pengurusan kebendaharan
(comptabel beheer)
Pengelolaan
kebendaharaan comptabel beheer) adalah pelaksanan pembayaran berdasarkan surat
perintah membayar yang dikeluarkan oleh ordonatur yang dilaksanakan oleh
bendahara, menteri keuangan adalah bendahara umum negara yang melaksanakan
kewenangan comptabel. Menteri keuangan selaku bendahara umum negara mengangkat
kuasa bendahara umum negara untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang telah ditetapkan. Tugas
kebendaharaan tersebut meliputi kegiatan; menerima, menyimpan, membayar atau
menyerahkan, mentausahakan, dan mempertanggung-jawabkan uang dan surat berharga
yang berada dalam pengelolaannnya. Kuasa bendahara umum negara melaksanaan
penerimaan dan pengeluaran kas negara. Kuasa bendahara umum negara berkewajiban
memerintahkan pengagihan piutang negara kepada pihak ketiga sebagai penerima
anggaran dan melakukan pembayaran tagihan pihak ketiga sebagai pegeluaran
anggaran.
8. Mengatasi KKN
Dengan
telah ditetapkannya U No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1/2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan UU No. 14/2004 tentang pemeriksaan pengelolaan
Tangung jawab keuangan negara, maka pemerintah telah melakukan langkah-langkah
penataa manajemen keuangan pemerintah secara komprehensif, termasuk penataan
ulang sistem pengendalian intern (SPI) di lingkungan pemerintah,
Dengan
diterapkannya ketiga UU tersebut berarti tedapat pemisahan tegas antara fungi
pengangguan dan fungsi perbendaharaan; dan fungsi pengguna anggaran laporan
keuangan disusun berdarkan standar akuntasnsi pemerintah mulai penyelenggaraan
sistem akuntasi yang andal. Serta peranan dan ruang lingkup tugas auditor
internal pemerintah tertata kembali.
Penerapan
kinerja reformasi di bidang penganggaran merupakan bagian dari upaya untuk
meningkatkan transpransi akan akuntabilitas dlam epngelolaan keuangan negara.
Dengan demikian, hal ini diharapkan dapat mengurangi tingkat kebocoran keuangan
negara.
Hasilnya
sekarang ini belum dapat dirasakan, justru sebaliknya. Yang terjadi adalah
banyaknya resistensi. Banyak kegiatan yang terlambat bahkan mandek karena
prosedurnya sangat erat. Pengawasannya juga berlapis.
Saking
berlapis dan hati-hati tidak jarang satu dokumen DIPA harus diverifikasi
kembali sebelum pencairan dana. Sekarang juga sering terdengar keluhan
keengganan untuk menjadi pimpinan proyek karena tanggung jawabnya besar dan
risiko juga besar.
Di lain
pihak ruang untuk “bermain” juga semakin sempit. Kekuasaan anggaran juga
terkesan melebar sampai ke tangan legislatif. Terjadi rekayasa dalam masalah
tender. Banyak urusan-urusan pencairan anggaran yang konon harus dilakukan
dengan negosiasi.
Kesemuanya
ini adalah pembicaraan-pembicaraan yang berkembang di kalangan proses
penganggaran. Reformasi penganggaran dalam perencanaan dan penyusunan anggaran
bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
yang sudah terinstitusi selama bertahun-tahun.
Prinsip
mekanisme dan tata cara perencanaan dan penyusunan anggaran sudah tersedia.
Pembenahan ini akan memakan waktu cukup panjang. Kuncinya ada di pembakuan
sistem dan perilaku mereka yang terlibat untuk taat asas dan kalau kita
konsisten, hasilnya akan terlihat nanti segera.
Sesuai
dengan ketentuan, masing-masing K/L, sejak awal tahun anggaran mulai menyusun
suatu rencana kerja berdasarkan dengan rencana kerja pemerintah, rencanan
strategi K/L, serta kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi perencanaan pada
anggaran dimaksud. Denagn adanya pagu indikatif yang ditetapkan sekitar bulan
Fenruari akan menjadi salah satu dasar dalam penyusunan rencana kerja sesuai
prioritas.
Dengan
keterbatasan sumber daya yang tersedia K/L harus menyusun program dan kegiatan
berdasarkan prioritas. Kementerian/ Lembaga menyusun rencana kerja secara
berjenjang sampai pada tingkat satuan kerja, sehingga masing-masing satuan
kerja dapat menentukan kegiatan yang akan dilaksanakan disertai indikator
kinerja taas keluaran yang dihasilkan. Hal ini perlu ditekankan dikarenakan
setiap kepala satuan kerja bertanggungjawab secara operasional atas pencapaian
target kinerja yang telah ditetapkan. Rencana kerja disusun dalam kurun waktu
antara Februari sampai dengan Mei.
Pada Juli,
K/L menyesuaikan rencana kerja yang disusun menjadi satu Rencana Kerja dan
Anggaran (RKA) setelah menerima surat edaran mengenai pagu sementara yang
disampaikan Kementerian Keuangan atas hasil pembahasan antara pemerintah dengan
DPR mengenai kebijakan umum dan prioritas anggaran. Kementerian Negara dan
lembaga membahas Rencana Kerja dan Anggaran tersebut dengan komisi kerja dengan
anggaran yang diterima sesuai prioritas.[8]
Setelah UU
APBN ditetapkan dan keputusan Presiden mengenai Rincian APBN disusun,
kementerian Negara dan lembaga segera mempersiapkan rancangan dokumen
pelaksanaan anggaran untuk disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara
Umum Negara pada minggu kedua Desember. Menteri Keuangan mengesahkan dokumen
pelaksanaan anggaran selambat-lambatnya tanggal 31 Desember tahun anggaran yang
disusun.
9. Penyusunan Tahun Anggaran 2015
Dalam rangka
penyusunan RKA-K/L tahun anggaran 2015, Menteri Keuangan menetapkan Pagu
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (K/L) dengan berpedoman kapasitas fiskal,
besaran pagu indikatif, rencana kerja (Renja) K/L, dan memperhatikan hasil
evaluasi kinerja K/L. Terkait dengan hal itu, hari Jumat (11/17) telah
dilakukan sosialisasi Pagu Anggaran K/L tahun 2015 bertempat di Ballroom
Dhanapala Jakarta. Acara tersebut dihadiri 405 perwakilan unit eselon I dari
seluruh K/L.
Pagu
Anggaran yang ditetapkan Menteri Keuangan sebesar Rp. 600.634,1 Miliar tersebut
bersifat baseline budget. Pagu tersebut termasuk anggaran pendidikan K/L
sebesar Rp. 117.598,8 Miliar dan dana unallocated sebesar Rp. 4,3 Triliun (untuk
mengakomodasi hasil Musrenbangnas dalam rangka sinergi pemerintah pusat dan
daerah). Besaran pagu tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan No.
278/KMK.02/2014 tentang Penetapan Pagu Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan
Langkah-langkah Penyelesaian Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga tahun anggaran 2015.[9]
Adapun baseline
budget dimaksudkan pagu tersebut hanya memperhitungkan kebutuhan pokok
penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat. Namun demikian,
pagu yang disampaikan tetap berpedoman pada tingkat output yang sejalan dengan
yang tertuang dalam tahun anggaran 2014. Disamping itu, pagu K/L itu tetap
mengacu Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2015-2025. Hal itu
dimaksudkan untuk memberi ruang gerak bagi pemerintahan baru hasil Pemilu 2014
agar melaksanakan program/kegiatan sesuai platform yang direncanakan.
Dalam acara
tersebut juga disampaikan hal-hal yang perlu diperhatikan setiap unit
organisasi K/L dalam penyusunan RKA-K/L tahun 2015. Demikian pula,
langkah-langkah tindak lanjut dalam penyelesaian RKA-K/L tahun 2015 berikut
jadwal juga disamaikan ke perwakilan K/L yang hadir. Pihak K/L akan melakukan
penelaahan RKA-K/L dengan Ditjen Anggaran pada tanggal 11 sampai dengan 21 Juli
2014. Hasil penelaahan tersebut menjadi bahan untuk penyusunan dokumen RAPBN
2015 yang akan disampaikan Presiden pada tanggal 16 Agustus 2014.
BAB III
KESIMPULAN
Kebijakan fiskal adalah
penyesuaian dalam pendapatan dan pengeluaran pemerintah sebagaimana ditetapkan
dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan disingkat APBN untuk mencapai
kestabilan ekonomi yang lebih baik dan laju pembangunan. aktor-aktor yang
terlibat dalam proses perumusan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok
atau pemeran serta, yaitu:
1. Pemeran serta resmi.
Pemeran serta resmi meliputi
agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan
yudikatif.
2. Pemeran serta tidak resmi
Pemeran serta tidak resmi
meliputi kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warganegara
individu.
Dalam perumusan kebijakan
meliputi empat tahapan yang dilaksanakn secara sistematis, yaitu:
1. Perumusan masalah
2. Agenda kebijakan
3. Pemilihan alternatif kebijakan untuk
memecahkan masalah
4. Penetapan kebijakan
Sedangkan
dalam pembuatan kebijakan publik, tahap-tahap yang dilaluinya adalah:
1. Tahap menyusun agenda,
2. Tahap formulasi kebijakan,
3. Tahap implementasi kebijakan, dan
4. Tahap penilaian kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
Sudirman I Wayan, Kebijakan
Fiskal dan Moneter: Teori dan Empirikal, Kencana,
Yoesof Fatullah, Fiskal dan Moneter, IDEA Press, Yogyakarta, 2013.
http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/edef-konten-view.asp?id=990
tanggal24/09/2015
http://www.dpr.go.id/id/banggar
tanggal 24/09/2015
[1] Yoesof Fatullah, Fiskal dan Moneter, IDEA
Press, Yogyakarta, 2013, hal. 113
[2] Ibid., hal. 114
[3]
Sudirman I Wayan, Kebijakan Fiskal dan Moneter: Teori dan Empirikal, Kencana,
[4]
Yoesof Fatullah, Fiskal dan., hal. 49
[5] Ibid.,
hal. 115
[6] Ibid.,
hal. 116
[7] http://www.dpr.go.id/id/banggar
tanggal 24/09/2015
[8]
Yoesof Fatullah, Fiskal dan., hal. 118
[9] http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/edef-konten-view.asp?id=990
tanggal24/09/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar