Selasa, 04 Januari 2022

MAKALAH MASALAH DAN SOLUSI DALAM MANAJEMEN ZAKAT DI INDONESIA

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang Masalah

Zakat merupakan ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan kemasyarakatan dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang mempunyai status dan fungsi yang sangat penting dalam syariat Islam. Sebagai suatu upaya menumbuhkan empati dan mempersamakan rasa pada setiap individu sesama muslim. Adapun zakat mempunyai dua fungsi, pertama adalah untuk membersihkan harta benda dan jiwa manusia supaya senantiasa dalam keadaan fitrah. Kedua, zakat itu juga berfungsi sebagai dana masyarakat yang dimanfaatkan untuk kepentingan sosial guna mengurangi kemiskinan.

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, sehingga memiliki potensi zakat yang cukup besar. Kondisi ini memiliki keuntungan tersendiri bagi proses pembangunan menuju masyarakat muslim sejahtera melalui pemanfaatan zakat. Ditambah lagi potensi zakat ini akan semakin bertambah dari tahun ke tahun seiring semakin meningkatnya kesadaran umat Islam di Indonesia untuk membayar zakat, infaq dan shodaqoh, karena saat ini membayar zakat, dan berinfaq telah menjadi life style bagi umat Islam di Indonesia sejak maraknya kajian-kajian tentang keajaiban dan keutamaan berzakat dan berinfaq. Kondisi besarnya potensi zakat tersebut mendorong tumbuh dan berkembangnya organisasi pengelola zakat di Indonesia, baik dikelola oleh masyarakat maupun pemerintah.

Pertumbuhan dan perkembangan organisasi zakat serta potensi zakat di Indonesia ternyata tidak terlepas dari masalah-masalah yang dalam manajemen zakat di Indonesia. Berbagai masalah tersebut disinyalir menjadi penghalang mengapa potensi zakat di Indonesia yang sangat besar tersebut belum terkelola dengan baik dan optimal sehingga berdampak pada kinerja organisasi pengelola zakat.

Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai masalah dan solusi dalam manajemen zakat di Indonesia. Hal ini  bertujuan untuk mencari strategi terbaik bagi pengembangan organisasi pengelola zakat. Pilihan strategi ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pengelola zakat dalam mengembangkan organisasinya masing-masing. Sehingga potensi zakat di Indonesia yang sangat besar ini dapat terkelola dengan baik.

 

B.     Rumusan Masalah

1.    Apa sajakah permasalahan dalam manajemen zakat di Indonesia ?

2.    Bagaimana solusi untuk permasalahan manajemen zakat tersebut?

 

C.    Tujuan

1.    Mengetahui permasalahan dalam manajemen zakat di Indonesia.

2.    Menemukan solusi untuk permasalahan manajemen zakat di Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Zakat Dalam Islam

Secara umum, zakat dapat dirumuskan sebagai bagian dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat kepada orang-orang tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu adalah Nishab (jumlah minimum harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya), Haul (jangka waktu yang ditentukan bila seseorang wajib mengeluarkan zakat) harta, dan kadarnya (ukuran besarnya zakat yang harus dikeluarkan).[1]

Zakat sebagai salah satu komponen sistem ekonomi Islam harus dapat dioptimalkan dengan melihat potensi yang begitu besar dari pengelolaan zakat, apabila kita mampu mengelola zakat dengan baik dan profesional hal tersebut juga berimplikasi terhadap pembangunan ekonomi Indonesia dan tujuan menyejahterakan rakyat akan tercapai. Namun banyak kendala-kendala yang dihadapi serta membutuhkan solusi yang cermat.

 

B.     Permasalahan Dalam Manajemen Zakat Di Indonesia

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia sehingga memiliki potensi zakat yang cukup besar. Pertumbuhan dan perkembangan organisasi zakat serta potensi zakat di Indonesia ternyata tidak berbanding lurus dengan penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Terlepas dari kontroversi kevalidan data tentang kemiskinan, angka kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, kalaupun terjadi penurunan angka kemiskinan maka laju peningkatan penerimaan dana ziswaf (zakat, infaq, shodaqoh, dan wakaf) tidak sebanding dengan laju penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Semakin banyak LAZ/BAZ di Indonesia ternyata angka kemiskinan di Indonesia juga tidak turun secara signifikan. Kondisi ini menyiratkan adanya suatu masalah besar atas pengelolaan zakat di Indonesia, yaitu adanya ketidakefektifan pengelolaan zakat di Indonesia.

Pengelolaan zakat di Indonesia belum dilakukan secara professional sehingga pengumpulan dan penyaluran zakat menjadi kurang terarah, disamping masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap permasalahan zakat terutama masalah yang aktual dan kontemporer. Hingga saat ini, pengelolaan zakat di Indonesia masih jauh dari optimal terutama apabila kita membandingkan antara besarnya dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh para lembaga pengelola zakat dan potensi zakat yang sesungguhnya. Terdapatbeberapamasalahdalamhalpengelolaan zakat di Indonesia sehinggaberimplikasitidakmaksimalnya proses pengelolaan, pengumpulanhinggapenyaluran zakat. Berikutiniadalahmasalah-masalah dalam manajemen zakat di Indonesia antara lain[2]:

1.      Kesadaran Umat Islam untuk Mengeluarkan ZIS Masih Terbilang Rendah

Masih minimnya kesadaran membayar zakat dari masyarakat menjadi salah satu kendala dalam pengelolaan dana zakat agar dapat berdayaguna dalam perekonomian. Karena sudah melekat dalam benak sebagian kaum muslim bahwa perintah zakat itu hanya diwajibkan pada bulan Ramadhan saja itupun masih terbatas pada pembayaran zakat fitrah. Padahal zakat bukanlah sekedar ibadah yang diterapkan pada bulan Ramadhan semata, melainkan juga dapat dibayarkan pada bulan-bulan selain Ramadhan. Sehingga ide dasar zakat untuk kemaslahatan umat telah bergeser menjadi sekedar ibadah ritual semata yang dikerjakan bersamaan dengan ibadah puasa. Terdapatnya syarat haul (satu tahun kepemilikan) menandakan bahwasanya zakat tersebut tidak mengenal pembayaran pada satu bulan tertentu saja, melainkan setiap bulan zakat dapat dibayarkan. Apabila kesadaran masyarakat akan pentingnya zakat bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umat sudah semakin baik, hal ini akan berimbas pada peningkatan penerimaan zakat.

 

2.      Minimnya Sumber Daya Manusia yang Berkualitas

Pekerjaan menjadi seorang pengelola zakat (amil) belumlah menjadi tujuan hidup atau profesi dari seseorang, bahkan dari lulusan ekonomi syariah sekalipun. Para pemuda ini meskipun dari lulusan ekonomi syariah lebih memilih untuk berkarir di sektor keuangan seperti perbankan atau asuransi, akan tetapi hanya sedikit orang yang memilih untuk berkarir menjadi seorang pengelola zakat. Menjadi seorang amil belumlah menjadi pilihan hidup dari para pemuda kita, karena tidak ada daya tarik berkarir di sana. Padahal lembaga amil membutuhkan banyak sumber daya manusia yang berkualitas agar pengelolaan zakat dapat profesional, amanah, akuntabel dan transparan. Karena sesungguhnya kerja menjadi seorang amil mempunyai dua aspek tidak hanya aspek materi semata namun aspek sosial juga sangat menonjol. Ada beberapa kriteria pengelola zakat agar mampu menjadi suatu lembaga zakat yang profesional, yaitu

(1) Amanah;

(2) Manajerial Skills;

(3) Ikhlas;

(4) Leadership Skills;

(5) Inovatif;

(6) No profit Motives

3.      Pemahaman Fikih Amil yang Belum Memadai

Masih minimnya pemahaman fikih zakat dari para amil masih menjadi salah satu hambatan dalam pengelolaan zakat. Sehingga menjadikan fikih hanya dimengerti dari segi tekstual semata bukan konteksnya. Banyak para amil terutama yang masih bersifat tradisional, mereka sangat kaku memahami fiqih, sehingga tujuan utama zakat tidak tercapai. Sebenarnya dalam penerapan zakat di masyarakat yang harus diambil adalah ide dasarnya, yaitu bermanfaat dan berguna bagi masyarakat serta dapat memberikan kemaslahatan bagi umat dan mampu menjadikan mustahik tersebut pribadi yang mandiri dan tidak tergantung oleh pihak lain. Namun bukan berarti para amil diberikan kesempatan untuk berijtihad dan berkreasi tanpa batas, mereka tetap harus berusaha melakukan terobosan-terobosan baik pengelolaan zakat, agar tetap sesuai dengan syariah. Sistem pengawasan yang terdapat di semua institusi keuangan syariah termasuk di dalamnya institusi pengelola zakat, mewajibkan adanya unsur Dewan Pengawas Syariah di dalam struktur organisasinya yang berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan manajemen agar tidak menyimpang dari aturan syariat.

4.      Masalah Yuridis

Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat pasal 16 ayat 2 dan pasal 17 telah mengamanatkan pendayagunaan dana zakat, infaq dan shadaqah secara produktif. Hal ini lebih ditegaskan lagi dalam pasal 28-30 KMA Nomor: 581 Tahun 1999 tentang pendayagunaan infaq dan shadaqah. Namun dalam perjalanannya peraturan perundang-undangan tersebut memiliki beberapa permasalahan yang signifikan. Permasalahan yang paling urgen adalah kepastian hukum secara materiil yang terdapat pada Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Permasalahan ini menyebabkan berkurangnya kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat. Selain itu peraturan yang tidak komprehensif menyebabkan para amil zakat tidak bisa menjadikan undang-undang ini sebagai dasar pengelolaan zakat.

Permasalahan lainnya adalah adanya keraguan dari sebagian masyarakat kepada amil zakat dalam mengimplementasikan pasal 16 ayat 1 tentang zakat produktif dengan tujuan untuk meningkatkan industri kecil dan mikro. Keraguan ini timbul karena belum adanya mekanisme dan tata cara yang jelas dalam peraturan perundang-undangan zakat.

Secara yuridis Undang-udanga Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat belum memberikan kepastian hukum. Hal ini berakibat kurangnya kesadaran nmasyarkat untuk menunaikan zakat, infaq dan shadaqah. Sehingga pengumpulan zakat pun tidak optimal yang akhirnya berujung kurangnya pemanfaatan dana untuk peningkatan industri kecil dan mikro. Belum adanya kepastian hukum pada undang-undang ini dilihat dengan banyaknya pasal yang tidak komprehensif, bersifat umum dan penuh dengan kerancuan.[3]

 

5.      Masalah Sosiologis

Masalah Sosiologis yakni masalah yang berkaitan dengan sikap atau tingkah laku manusia, dan keadaan individu dalam segi ekonomi kesehariannya dalam pelaksanaan zakat fitrah. Dari sisi sosiologis banyak masyarakatyang masih keliruakanformalitas zakat. Artinya, zakat hanyadianggapsebagaikewajibannormatif, tanpamemperhatikanefeknyabagipemberdayaanekonomiumat.Akibatnya, semangatkeadilanekonomidalamimplementasi zakat menjadihilang.Orientasi zakat tidakdiarahkanpadapemberdayaanekonomimasyarakat, tapilebihkarenaiamerupakankewajibandariTuhan. Bahkan, tidaksedikitmuzakki yang mengeluarkan zakat disertaimaksuduntukmenyucikanhartaatausupayahartanyabertambah (berkah).Iniartinya, muzakkimembayarkan zakat untukkepentingansubyektivitasnyasendiri.Memangtidaksalah, tapisecaratidaklangsung, substansidariperintah zakat sertaefeknyabagiperekonomianmasyarakatmenjaditerabaikan.

 

6.      Sistem Informasi Zakat

Inilah salah satu hambatan utama yang menyebabkan zakat belum mampu memberikan pengaruh yang signifikan dalam perekonomian. Lembaga amil zakat yang ada belum mampu mempunyai atau menyusun suatu sistem informasi zakat yang terpadu antar amil. Sehingga para lembaga amil zakat ini saling terintegrasi satu dengan lainnya. Sebagai contoh penerapan ini adalah pada database muzakki dan mustahik. Dengan adanya sistem informasi ini tidak akan terjadi pada muzakki yang sama didekati oleh beberapa lembaga amil, atau mustahik yang sama diberi bantuan oleh beberapa lembaga amil zakat. Namun bukan berarti dengan adanya sistem informasi zakat ini, maka tidak ada lagi

7.      Masyarakat yang Mengeluarkan Zakat (Muzakki) Lebih Memilih dan Fokus Kepada “Orang” dan Bukan pada “Lembaga”.

Sehingga kurang tertatanya pendayagunaan zakat dan beberapa efek negatif lain seperti: hanya menampilkan parade kemiskinan, tidakmemberdayakan, tidakmendidik, menghasilkanketergantungan, salahsasaranhinggasalahkelola. Inimenandakanbahwatingkatkepercayaanmasyarakatterhadaporganisasipengelola zakat masihterhitungrendah.

 

C.    Solusi Dalam Manajemen Zakat Di Indonesia

Zakat sebagai salah satu komponen sistem ekonomi islam harus dapat dioptimalkan dengan melihat potensi yang begitu besar dari pengelolaan zakat, apabila kita mampu mengelola zakat dengan baik dan profesional hal tersebut juga berimplikasi terhadap pembangunan ekonomi Indonesia dan tujuan menyejahterakan rakyat akan tercapai. Permasalahan-permasalahan yang ada dalam manajemen zakat di Indonesia harus dipecahkan secara bersama-sama oleh setiap elemen dalam pengelolaan zakat, sebab tanpa kerjasama aktif antar institusi baik dari swasta maupun pemerintah hambatan-hambatan ini tidaklah akan dapat terwujud. Adapun solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah dalam manajemen zakat di Indonesia antara lain :

1.      Peningkatan Pemahaman Masyarakat tentang Zakat

Dalam masyarakat zakat hanya dipahami sebatas ibadah bagi muslim kaya (mampu) yang mendistribusikan sebagian hartanya yang telah mencapai nishab kepada kaum muslim yang miskin, sehingga pendistribusian zakat pun masih sebatas pemahaman tentang penerima zakat dalam pandangan wajib zakat (muzakki) belum terlembagakan. Oleh karenanya, BAZ yang dibentuk oleh pemerintah kurang mendapat kurang mendapat respon dari masyarakat. Padahal tujuan adanya zakat ini adalah untuk menjadikan mustahiq (penerima zakat) menjadi Muzakki (wajib zakat) melalui penyaluran dana yang bersifat permodalan bukan penyaluran dana yang bersifat konsumtif seperti yang ada selama ini.

 

Untuk mengubah pemahaman masyarakat di atas, maka diperlukan kerja keras dari pemerintah sebagai regulator dalam pengelolaan zakat dan sebagai pelaksana dalam pengelolaan zakat. Adapun upaya-upaya yang perlu dilakukan disamping dengan metode dakwah kontemporer,seperti diskusi, wawancara, khutbah Jumat, iklan layanan dimedia cetak dan elektronik, juga diupayakan melalui kurikulum sekolah, baik ditingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi yang menjadi sasaran selanjutnya. Dengan asumsi bahwa pemahaman yang baik tentang zakat sejak dini sangat membantu dalam pembentukan jiwa kepedulian sosial dan kesadaran zakat.Kurikulum pendidikan harus lebih realistis dalam pembentukan pemahaman anak terhadap konsep zakat. Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa salah satu kendala pengelolaan zakat adalah pemahaman masyarakat yangkurang baik tentang zakat harta. Untuk itu Departemen Agama seharusnya lebih melakukan penyempurnaan kurikulum pendididkan agama, khususnya tentang konsep zakat agar lebih mengena dalam kehidupan sehari-hari dan dampaknyadalam perekonomian umat.

 

2.      Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)

SDM merupakan asset yang paling berharga.Sehinggapemilihansiapa yang akanmenjadiamil zakat harusdilakukandenganhati-hati. Untukituperludiperhatikanhal-halsebagaiberikut:

a)      MerubahParadigmaAmil Zakat

 Pengelola zakat atau yang lebih dikenal amil zakat masih dipandang sebagai pengelola dana zakat berciri tradisional, dimana zakat dikumpulkan kepada individu atau kelompok organisasi maupun pengurus masjid yang pengelolaannya tidak membutuhkan profesionalitas dan hanya didasarkan pada kerelaan individu dalam meluangkan waktunya untuk mengelola zakat. Paradigma amil zakat yang berkembang hanya sebatas kerelaan individu untuk meluangkan waktunya untuk mengelola zakat. Sehingga substansi pokok dariibadah zakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat belum bisa diwujudkan.

 

Oleh karena itu diperlukan adanya perubahan paradigma amil zakat sebagai sebuah pekerjaan profesi. Sebagai konsekuensi dari perubahan paradigma tersebut adalah amil zakat harus bersifat profesional (yaitu dengan bekerja purna waktu/full time) yang digaji secara layak sehingga para anggota amil zakat ini dapat mencurahkan segala potensinya untuk mengelola dana zakat dengan lebih baik lagi. Tak kalah penting juga adalah pemahaman dari pengelola zakat itu sendiri, dimana harus adanya pencerahan dalam berpikir bahwa zakat sebagai bentuk ibadah yang bersifat kemasyarakatan membutuhkan transparansi dan akuntabilitas dalam semua kegiatan organisasi. Keprofesionalan sebagai landasan organisasi perlu digalakkan, karena bagaimanapun sebagai LPZ adalah organisasi publik yang menangani dana umat dituntut selalu bersifat jujur, amanah dan profesional. Pengelolaan yang amanah dan profesional ini menjadi jaminan bahwa pengelola zakat mendapat simpati dan kepercayaan dari masyarakat luas. Tanpa hal ini LPZ tidak akan bertahan lama bahkan akan mendapat sorotan negatif dari masyarakat.

 

b)     Kualifikasi SDM

Jikakitamengacu di jamanRasulullah SAW, yang dipilihdandiangkatsebagaiamil zakat merupakan orang-orang pilihan.Orang yang benar-benarmemenuhikualifikasidan professional.Secaraumumkualifikasi yang harusdimilikiolehamil zakat adalah: muslim, amanah, danpahamfikih zakat. Agar SDM yang menjadiamil zakat dapatmemenuhikualifikasidanprofesional, makadiperlukansuatustandarkualifikasi SDM Amil Zakat.Padaakhirnya, dibutuhkansuatusistemsertifikasidanujikelayakan (fit and proper test) terhadap SDM yang akanberkiprahsebagaiamil zakat.

3.      StandardisasiLembaga OPZ

Selainstandardisasi SDM, diperlukanjugastandardisasilembaga OPZ.Hal inibergunasebagaipetunjukbagisetiappihak yang inginmendirikan OPZ.Tujuannya agar lembaga OPZ inibenar-benarbisaberjalansecarabaikdandapatdipertanggungjawabkan. Agar OPZ dapat berjalan dengan baik makaharusmemilikisistempengelolaan yang baik pula. Unsur-unsur yang harusdiperhatikanadalah:

a)      Memilikisistem, prosedurdanaturan yang jelas,

b)      Manajementerbuka,

c)      Mempunyairencanakerja (activity plan),

d)     MemilikiKomitePenyaluran (lending committee),

e)      Memilikisistemakuntansidanmanajemenkeuangan,

f)       Bersediadiaudit,

g)      Menjunjungtransparansi, dan

h)      Senantiasamelakukanperbaikanterus-menerus (continous improvement).

 

4.      Menumbuhkan Kepercayaan Masyarakat Terhadap LAZ/BAZ   

Demi menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lenbaga pengelola zakat, dibutuhkan sosialisasi kepada masyarakat mengenai keberadaan Baznas. sehingga masyarakat mengetahui keberadaan dan fungsi lembaga pengelola (penyalur) zakat ini. Selain itu, diperlukan juga dukungan dan peran serta ulama dalam memberikan arahan mengenai penyaluran zakat melalui lembaga yang telah ditetapkan oleh pemerintah agar tepat sasaran.[4]

 

 

 

5.      Pengorganisasian

Disamping apa yang telah dikemukakan di atas, pengorganisasian zakat perlu pula di diatur sebaik-baiknya agar pelaksanaan zakat dapat dikoordinasikan dan diarahkan. Ini perlu untuk memantapkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengelola zakat. Peranan pemerintah diperlukan dalam hal ini, disamping keikutsertaan pemimpin-pemimpin agama. Sistem adminstrasi, penyusunan personalia haus didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen yang sehat agar pelaksanaan zakat dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. Supaya organisasi yang megurus zakat dapat berjalan dengan baik, prinsip-prinsip pengorganisasian berikut perlu dilaksanakan:

a.       Penanggung jawab tertinggi seyogyanya pemerintah atau pejabat tetinggi dalam strata pemerintah setempat atau lingkungan tertentu. Unsur-unsur masyarakat Islam perlu diikutsertakan, juga bertanggung jawab.

b.      Pelaksanaannya adalah suatu lembaga tetap dengan pegawai yang bekerja penuh profesional, dibiayai pada permulaan dengan subsidi pemerintah, tang kemudian secara berangsur-angsur oleh dana amal zakat sendiri.

c.       Kebijaksanaan harus dirumuskan secara perencanaan, sumber, pengumpulan pendayagunaan zakat dan sasaran pemanfaatannya untuk suatu waktu tertentu.[5]

d.      Mekanisme pengawasan dilakukan melalui peraturan-peraturan, administrasi, baik ketatausahaan maupun pembukuan.

           

6.      Mengembangkan Inovasi Pemanfaatan Dana Zakat

Saat ini pemanfaatan dana zakat masih banyak untuk program jangka pendek dan bersifat konsumtif. Oleh karena itu, diperlukan inovasi terbaru dalam pendayagunaan zakat. Artinya pemanfaatan dana zakat tidak hanya untuk program jangka pendek dan bersifat konsumtif, tetapi sebagian besar dana zakat perlu dialokasikan untuk program-program jangka panjang dan pemberdayaan masyarakat. Dimana harta atau dana zakat yang diberikan kepada para mustahik tidak dihabiskan akan tetapi dikembangkan dan digunakan untuk membantu usaha mereka, sehingga dengan usaha tersebut mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup secara terus-menerus.

Melalui program pemberdayaan, manfaat dana zakat akan dirasakan oleh masyarakat dalam jangka panjang. Zakat produktif diharapkan bisa menjadi alternatif untuk memberdayakan para mustahiq agar dikemudian hari bisa menjadi Muzakki. Contoh konkret pemanfaatan zakat sebagai usaha produktif adalah pemberian modal usaha bergulir, artinya mustahiq dipinjami sejumlah modal dan diharuskan untuk dapat mempertanggungjawabkan penggunaan modal usaha/kerja itu dengan cara mengembalikan dengan mengangsur. Ataupun sesuai kesepakatan bersama.[6]

Adapun solusi manajemen zakat yang perlu dilakukan pemerintah, LAZ, BAZ, dan UPZ adalah sebgai berikut:

1.      Meningkatkan peran pemerintah terhadap lembaga zakat. Dalam artian, pemerintah membawahi semua lembaga amil zakat, mengontrol, mengevaluasi.. Peran pemerintah dalam pengelolaan dana zakat di Indonesia harus sebatas sebagai mediator dan koordinator bagi organisasi pengelola zakat di Indonesia serta menjadi pengawas atas pengelolaan dana zakat di Indonesia. Sehingga tanggung jawab pemerintah hanya mengkoordinasi, mengkomunikasikan, dan melakukan mapping potensi zakat serta program pemberdayaan zakat agar sinergi dengan program-program pembangunan pemerintah untuk pengurangan kemiskinan, dan menjalankan fungsi pengawasan.

2.      LAZ dan BAZ harus fokus. Artinya lembaga zakat yang sangat banyak, harus difokuskan kepada daerah-daerah tertentu. LAZ atau BAZ, mendistribusikan dana zakat yang bersifat jangka panjang, misalnya memberikan pelatihan wirausaha di desa, memberikan pinjaman modal dan dikontrol perkembangannya sampai perekonomian desa tersebut benar-benar meningkat. Meskipun uang pinjaman yang diberikan telah dikembalikan semua.

3.      Pemerintah, LAZ dan BAZ bersinergi mendirikanPerusahaan. Program ini memang lama, namun manfaat mendirikan perusahaan sangat besar bagi masyarakat, diantaranya; membatu masyarakat miskin mendapatkan pekerjaan dan tunjangan yang layak, pendapatan dana LAZ dan BAZ juga akan meningkat, hasil pendatapan dari perusahaan itu sendiri. Dalam artian, dan BAZ dan LAZ akan terus berkembang. Langkah memberik lowongan kerja kepada orang yang berhak menerima zakat akan mewujudkan cita-cita lembaga zakat mustahik menjadimuzakki.[7]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.      Kesimpulan

Terdapat beberapa masalah dalam hal pengelolaan zakat di Indonesia sehingga berimplikasi tidak maksimalnya proses pengelolaan, pengumpulan hingga penyaluran zakat. Berikutiniadalahmasalah-masalah dalam manajemen zakat di Indonesia antara lain:

1.      Kesadaran Umat Islam Untuk Mengeluarkan ZIS Masih Terbilang Rendah

2.      Minimnya Sumber Daya Manusia Yang Berkualitas

3.      Pemahaman Fikih Amil Yang Belum Memadai

4.      Masalah Yuridis

5.      Masalah Sosiologis

6.      Model Pendistribusian Dana YangTidakMenyertakanPemetaanEkonomiDan Sosial.

7.      KurangnyaInovasiDi BidangDistribusiDan Pemanfaatan Dana Zakat

8.       Masyarakat Yang Mengeluarkan Zakat (Muzakki) Lebih Memilih Dan Fokus Kepada “Orang” Dan Bukan Pada “Lembaga”.

Adapun solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah dalam manajemen zakat di Indonesia antara lain :

1.      Peningkatan Pemahaman Masyarakat tentang Zakat

2.      Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dengan cara:

a)      MerubahParadigmaAmil Zakat

b)      Kualifikasi SDM

3.      StandardisasiLembaga OPZ

4.      Menumbuhkan Kepercayaan Masyarakat Terhadap LAZ/BAZ

5.      Pengorganisasian

6.      Optimalisasi peran pemerintah dalam kelembagaan Zakat

7.      Mengembangkan Inovasi Pemanfaatan Dana Zakat

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Mohamad daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia,(Jakarta: RajaGrafindo Persada,1995)

Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Waqaf, (Jakarta: UI Press, 1998)

Abidin, Hamid, Reinterpretasi pendayagunaan ZIS,(Jakarta :Iramedia, 2004)

Hafidhuddin, Didin, Panduan Praktis ZIS, (Jakarta: Gema Insani,1998)

http://bazgresik.com/mengembangkan-dana-zis-yang-lebih-produktif-untuk

mengentaskan-kemiskinan/

http://alarifs.blogspot.com/2009/02/hambatan-pengelolaan-zakat-diindonesia.html

http://www.scribd.com/doc/164396430/Optimalisasi-Peran-Pemerintah-Dalam-Kelembagaan-Zakat#scribd

 

 

 



[1] Mohamad daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia,(Jakarta: RajaGrafindo Persada,1995),Cet.1,h. 241

[2]Alarifs, hambatan pengelolaan zakat di Indonesia. Di akses dari http://alarifs.blogspot.com/2009/02/hambatan-pengelolaan-zakat-di-indonesia.html, Pada tanggal 15 April 2015.

[3]Analisis Yuridis Implementasi Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, diakses dari repository.unej.ac.id, (5 Oktober 2015).

[4]Aam Rusydiana, analsisis Problematika Zakat pada Baznas. Di akses dari http://www.konsultan-anp.com/2014/09/analisis-problematika-zakat-pada-baznas.html. pada tanggal 15 Oktober 2015

[5]Mohammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. (Jakarta: UI Press, 1998). h. 65-66

[6]http://bazgresik.com/mengembangkan-dana-zis-yang-lebih-produktif-untuk-mengentaskan-kemiskinan/

[7]Eva Hany Fanida, Optimalisasi Peran Pemerintah dalam Kelembagaan Zakat. Diakses dari http://www.scribd.com/doc/164396430/Optimalisasi-Peran-Pemerintah-Dalam-Kelembagaan-Zakat#scribd, pada tanggal 15 Oktober 2015.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar