BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Auditor adalah akuntan publik yang
memberikan jasa audit. Jasa seorang auditor sekarang ini banyak digunakan oleh
suatu perusahaan untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan, karena dengan adanya audit maka
laporan keuangan tersebut akan bebas dari salah saji material. Profesi
auditor sebenarnya merupakan profesi
yang sangat sulit, dalam artian jika informasi yang dibutuhkan tidak terpenuhi
secara keseluruhan dan auditor harus kuat untuk menghadapi segala tekanan dari
atasan ataupun dari klien. Auditor wajib menjaga integritasnya sehingga mampu
mengeluarkan opini sesuai dengan bukti yang ada. Auditor dituntut untuk
memberikan hasil audit yang efektif dan memuaskan bagi para pemakai jasanya.
Agar dapat mencapai hasil audit yang efektif auditor harus mampu mempunyai
mental yang kuat dalam pelayanan jasa yang diberikan meski mendapat tekanan
yang berasal dari diri sendiri maupun dari luar, seperti halnya para klienyang
ingin auditor memberikan hasil yang baik meski pada kenyataannya atau bukti
yang ada ditemukan kekurangan pada perusahaan tersebut.
Dalam melakukan tugas audit, auditor
harus memperhatikan adanya prinsip yang berlaku dalam pembuatan laporan
keuangan hasil audit. Tidak hanya memperhatikan prinsip yang berlaku namun
auditor juga harus memperhatikan sikap dan juga aturan-aturan yang ada agar
dalam melakukan pelaksanaan tugas audit yang dikerjakan dapat berjalan dengan
baik dan lancar.
Dalam
makalah ini akan kami bahas lebih lanjut mengenai kewajiban-kewajiban seorang
auditor agar terlebih dalam hukum akuntansi publik.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
kondisi hukum dalam praktik akuntan public?
2. Apa
perbedan antara kegagalan bisnis, kegagalan audit, dan risiko audit?
3. Bagaiman
konsep hukum yang mempengaruhi kewajiban?
4. Bagaiman
kewajiban akuntan terhadap klien ataupun pihak ketiga?
5. Bagaimana
tanggungjawab terhadap kerahasiaan?
C.
Tujuan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi
tugas mata kuliah Auditing dan untuk mengetahui secara lebih lanjut tentang
kewajiban hukum dalam auditing.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kondisi
Hukum Dalam Praktik Akuntan Publik
Setiap
profesi yang menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari
masyarakat yang dilayaninya. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan
publik akan menjadi lebih tinggi, jika profesi tersebut menerapkan standar mutu
tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan profesional yang dilakukan oleh anggota
profesinya. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik merupakan etika profesional
bagi akuntan yang berpraktik sebagai akuntan publik Indonesia. Aturan Etika
Kompartemen Akuntan Publik bersumber dari Prinsip Etika yang ditetapkan oleh
Ikatan Akuntan Indonesia. Dalam
konggresnya tahun 1973, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pertama kalinya
menetapkan kode etik bagi profesi akuntan Indonesia, kemudian disempurnakan
dalam konggres IAI tahun 1981, 1986,1994, dan terakhir tahun 1998. Etika
profesional yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam kongresnya
tahun 1998 diberi nama Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia.[1]
Ada empat
aturan etika yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen
Akuntan Publik (IAI-KAP). Empat aturan etika itu adalah:
1.
Independensi
Dalam menjalankan tugasnya anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap
mental independen di dalam memberikan jasa
profesional sebagaimana diatur dalam
Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh IAI.
2.
Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan
publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan
integritas setinggi mungkin.
Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan
profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik
dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji keputusan yang
diambilnya. Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, bersikap jujur dan
berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan
kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas
dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang
jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
3.
Objektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan
bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang
diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil,
tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta
bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain. Anggota bekerja dalam berbagai
kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai
situasi. Anggota dalam praktek publik memberikan jasa atestasi, perpajakan,
serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan
sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam
kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan, dan pemerintah.
Mereka juga mendidik dan melatih orang orang yang ingin masuk kedalam profesi.
Apapun jasa dan kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya
dan memelihara obyektivitas.
4. Kepentingan
publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak
dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan
menunjukan komitmen atas profesionalisme.
Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada
publik. Profesi akuntan memegang peran yang penting di masyarakat, dimana
publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit,
pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan
pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam
memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini
menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan
publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani
anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah
laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi
masyarakat dan negara. Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat
pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi
tertinggi sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai
tingkat prestasi tersebut. Dan semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati
kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota
harus secara terus menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai
profesionalisme yang tinggi.[2]
B.
Perbedaan
Antara Kegagalan Bisnis, Kegagalan Audit, dan Risiko Audit
Banyaknya
profesional akuntansi dan hukum percaya bahwa penyebab utama tuntutan hukum
terhadap kantor-kantor akuntan adalah kurangnya pemahaman pemakai laporan
keuangan tentang perbedaan antara
kegagalan perusahaan dan kegagalan audit, dan antara kegagalan audit dan risiko audit. Apabila modal dipinjamkan atau ditanam dalam suatu perusahaan,
ini akan menyebabkan beberapa tingkat risiko perusahaan. Yakni, terdapat risiko
bahwa perusahaan akan tidak mampu membayar kembali hutangnya atau tidak mampu
memenuhi harapan para investornya, karena adanya kondisi-kondisi ekonomi atau
bisnis, seperti resesi, keputusan menejemen yang buruk, atau persaingan yang
tek terduga dalam industry itu. Kasus eksterm yang mencerminkan risiko bisnis
adalah kegagalan perusahaan.
Kegagalan
audit adalah suatu situasi dimana auditor sampai pada atau mengeluarkan
pendapat audit yang salah karena gagal dalam memenuhi persyaratan- persyaratan
norma pemeriksaan yang berlaku. Bila
terjadi kegagalan perusahaan, mungkin terdapat atau tidak terdapat kegagalan
audit. Selanjutnya, dapat dikeluarkan pendapat audit yang salah dalam situasi
di mana audit benar-benar mengikuti norma pemeriksaan yang berlaku. Situasi ini
merupakan kensep risiko audit.[3]
Risiko
audit adalah risiko dimana auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan
dinyatakan dengan wajar dan oleh karenanya dapat dikeluarkan pendapat tanpa
kualifikasi, sedangkan kenyataan laporan tersebut disajikan salah secara
material. Audit terbatas pada
pemilihan sampel, dan kesalahan yang disembunyikan dengan rapi sangat sulit
ditemukan karenanya ada risiko bahwa audit tidak akan mengungkap kesalahan yang
material dalam laporan keuangan.
Kebanyakan
profesional akuntan setuju bahwa bila suatu audit gagal mengungkapkan kesalahan
yang material dan oleh karenanya dikeluarkan jenis pendapat yang salah, maka
akuntan publik yang bersangkutan harus diminta mempertahankan kualitas
auditnya. Jika auditor tesebut gagal menggunakan keahliannya dalam pelaksanaan
auditnya, berarti terjadi kegagalan audit, dan kantor akuntan tersebut atau
perusahaan asuransinya harus membayar kepada mereka yang menderita kerugian
akibat kelalaian auditor itu. Dalam prakteknya sulit untuk menentukan bilamana auditor gagal menggunakan
keahliannya karena rumitnya pekerjaan auditing. Juga sulit untuk menentukan
siapa yang berhak untuk mengharapkan manfaat dari suatu audit karena adanya
tradisi hukum. Namun begitu, seorang auditor yang gagal menggunakan keahliannya
dapat mengakibatkan dampak yang buruk bagi kantor akuntannya.[4]
Kesulitan
timbul bila terjadi kegagalan perusahaan, tetapi bukan kegagalan audit. Apabila
sebuah perusahaan pailit, atau tidak dapat membayar hutang-hutangnnya, maka
umumnya pemakai laporan keuangan akan mengklaim bahwa telah terjadi kegagalan
audit, khususnya bila pedapat auditor yang dikeluarkan paling mutakhir
menunjukan bahwa laporan keuangan itu dinyatakan secara wajar. Untuk sebagian,
klaim adanya kegagalan audit manakala yang terjadi adalah kegagalan perusahaan
disebabkan karena kurangnnya pengetahuan pemakai laporan tentang tanggungjawab
auditor. Barangkali profesi akuntansi bertanggungjawab untuk menjelaskan kepada
para pemakai laporan keuangan tentang peranan auditor dan perbedaan antara
risiko perusahaan, kegagalan audit, dan risiko audit. Sebagian lagi, klaim
klaim adanya kegagalan audit dapat pula diakibatkan oleh harapan dari mereka
yang menderita kerugian bisnis untuk menutupi kerugian tersebut dari suatu
sumber, tanpa menghiraukan siapa sebenarnya yang bersalah.
C.
Konsep
Hukum Yang Mempengaruhi Kewajiban
Akuntan
publik bertanggungjawab atas seluruh aspek dari tugasnya, termasuk auditing,
pajak, pelayanan konsultasi menejemen, dan pelayanan akuntansi serta pembukuan. Sebagai contoh, bila seorang akuntan
mengabaikan perhitungan dan pengajuan SPT pajak seorang klien, seperti yang
seharusnya dia jalankan, dia dapat menanggung denda dan bunga yang harus
dibayarakan oleh klien ditambah biaya penghitungan pajak yang dibebankan.
Pengadilan juga dapat menjatuhkan hukuman denda padanya.
Kebanyakan
gugatan ke pengadilan menyangkut laporan keuangan yang telah atau belum
diaudit. Bidang kewajiban dalam auditing dapat digolongkan menjadi 3 yaitu,
kewajiban terhadap klien, kewajiban perdata bagi pihak ketiga menurut common
law, dan kewajiban kriminil. Beberapa konsep hukum dapat diterapkan pada segala
macam gugatan terhadap akuntan publik. Konsep-konsep ini adalah konsep prudent man (keberhatian), kewajiban
atas tindakan sekutu lain, dan kurangnya hak komunikasi istimewa.[5]
1. Konsep prudent man (keberhatian)
Ada
perjanjian didalam praktek akuntansi dan pengadilan bahwa auditor bukan
penjamin atau penanggungjawab dari laporan keuangan. Auditor hanya berkewajiban untuk melakukan audit secara teliti.
2. Kewajiban atas tindakan sekutu lain
Para
sekutu, atau pemegang saham dalam perseroan professional secara bersama-sama
bertanggung jawab atas tindakan perdata yang ditunjukan terhadap salah seorang
anggotanya. Para sekutu juga bisa bertanggungjawab atas pekerjaan yang
dilakukan orang lain yang mereka percayai. Ada tiga golongan auditor yang
dipercayai untuk melakukan pekerjaan seperti karyawan, akuntan bublik lain,
yang ditunjuk untuk melaksanakan sebagian pekerjaan, dan ahli yang dipanggil
untuk memberikan informasi teknis. Sebagai contoh, jika seorang karyawan
membuat suatu kesalahan dalam melakukan audit, para sekutu harus
bertanggungjawab atas pekerjaan karyawan tersebut.
3. Kurangnya
hak komunikasi istimewa
Menurut
common law, akuntan publik tidak berhak untuk menahan informasi jika diminta
oleh pengadilan dengan alasan bahwa informasi itu dirahasiakan. Seluruh informasi dalam kertas kerja
seorang auditor dapat diminta dan diwajibkan oleh pengadilan jika diperlukan.
Pembicaraan rahasia klien dan auditor tidak dapa ditutupi dalam pengadilan.
D.
Kewajiban
Akuntan Terhadap Klien Ataupun Pihak Ketiga
Kewajiban hukum bagi akuntan publik yang paling umum
adalah kewajiban terhadap klien, karena kegagalan dalam melaksanakan tugas
auditingnya dengan teliti. Gugatan hukum ini sering menyangkut penggelapan
(pemalsuan) yang tidak dapat dibongkar oleh auditor. Klien menuntut akuntan
publik harus dapat membongkar jika ada
yang lalai dalam tugasnya.
Gugatan hukum bisa karena kontrak atau kesalahan karena lalai. Kebanyakan gugatan hukum yang menyangkut klien adalah
berdasarkan kesalahan (lalai) dan bukan pelanggaran kontrak, karena jumlah uang
ganti rugi yang diperoleh dari kasus kesalahan biasanya lebih besar.
Isu utama dalam kasus gugatan hukum biasanya
menyangkut tingkat ketelitian yang dibutuhkan. Meskipun dapat dipahami bahwa
tidak ada seorangpun yang sempurna, walaupun dia seorang ahli, namun kekeliruan
atau kesalahan yang signifikan akan menimbulkan suatu anggapan kelalaian
yang harus disanggah oleh ahli itu.
Dalam auditing, kegagalan untuk mencapai standar auditing yang berlaku
sering kali di diartikan sebagai bukti yang jelas dan lengkap akan adanya kelalaian.[6]
Pembelaan
auditor terhadap tuntutan klien
Kantor akuntan biasanya menggunakan satu atau
kombinasi dari tiga tuntutan hukum oleh klien: yaitu, tidak adanya kewajiban
melaksanakan jasa pelayanan, tidak ada kelalain dalam pelaksanaan kerja dan kelalaian
kontribusi.
1.
Tidak ada
kewajiban, tidak adanya kewajiban
untuk melakasanakan jasa pekerjaan berarti bahwa kantor akuntan tersebut
mengklaim bahwa tidak ada kontrak yang tersirat ataupun yang dinyatakan.
Misalnya kantor akuntan tersebut mengklaim bahwa kantornya hanya melakukan jasa
review, bukan audit. Cara yang biasa bagi kantor akuntan untuk mennjukkan tidak
adanya kewajiban untuk melaksanakan tugas adalah surat penugasan. Surat
penugasan adalah persetujuan yang ditandatangani oleh kantor akuntan dan
kliennya, yang sangat mirip dengan kontrak, yang mengidentifikasikan hal-hal
seperti apakah dilakukan audit, pelaksanaan jasa-jasa lain, tanggal jatuh
tempo, dan honorarium.
2.
Tidak ada
kelalaian dalam pelaksanaan kerja,
untuk pelaksanaan kerja yang tidak mengandung kelalain didalam suatu audit,
kantor akuntan mengklaim bahwa auditnya itu dilaksanakan sesuai dengan norma
pemeriksaan yang berlaku. Konsep “prudent man” yang dibicarakan terdahulu
menetapkan bahwa suatu audit public tidak dianggap tidak dapat berbuat salah. Serupa dengan itu, SAS 16 (AU 327)
menetapkan bahwa suatu audit yang sesuai dengan NPA mempunyai
keterbatasan-keterbatasan dan tidak dapat diandalkan dengan pasti bahwa semua
kesalahan dan penyimpangan akan ditemukan. Mewajibkan auditor untuk menemukan
kesalahan dan penyimpangan yang material, pada hakikatnya akan membuat mereka
menjadi pengusuransi atau penjamin ketetapan laporan keuangan. Pengadilan tidak
mewajibkan hal itu.
3.
Kelalaian
kontribusi, pembelaan terhadap kelalaian kontrubusi yang dilakukan oleh klien
mengandung arti bahwa kantor akuntan mengklaim jika kliennya telah melaksanakan
kewajiban tertentu, tidak akan terjadi kerugian. Misalnya klien mengklaim bahwa kantor akuntannya gagal
mengungkapkan pencurian uang kas yang dilakukan pegawainya. Pembelaan auditor
terhadap kelalaian kontribusinya dapat berupa klaim bahwa kantor akuntan
tersebut telah memberi tahu manajemen tentang kelemahan sistem pengendalian
internalnya yang member peluang terjadinya penggelapan itu, tetapi manajemen
tidak melakukan perbaikan. Manajemen sering kali tidak memperbaiki kelemahan
pengendalian internal karena pertimbangan biaya, sikap terhadap kejujuran
karyawan atau lamban bertindak. Dalam kasusu tuntutan hukum yang bersifat seperti
diatas, auditor kemungkinan tidak kalah perkara itu, dengan asumsi dilakukan
pembelaan yang kuat terhadap kelalaian kontribusi, jika kliennya sudah
diberitahu secara tertulis mengenai kelemahan pengendalian internalnya.
Kewajiban
terhadap pihak ketiga menurut Common Law[7]
Sebuah kantor akuntan memiliki kewajiban kepada
pihak ketiga jika terjadi kerugian pada pihak penggugat karena mengandalkan
laporan keuangan yang menyesatkan. Pihak ketiga tersebut meliputi pemegang
saham yang sebenarnya dan yang potensial, vendor, bankir dan kreditor lain,
karyawan, dan pelanggan. Dapat terjadi sebuah tuntutan yang tipikal apabila
bank tidak dapat menagih hutang yang julahnya besar dari seorang nasabah yang
bangkrut. Bank dapat mengklaim bahwa pinjaman tersebut dialakukan berdasarkan
laporan keuangan yang menyesatkan yang sudah diaudit, dan kantor akuntannya
harus bertanggung jawab karena mereka gagal melaksanakan audit secara seksama.
Pembelaan
auditor terhadap pihak ketiga
Ada dua bentuk pembelaan terhadap tuntutan pihak
ketiga: tidak ada kelalain dalam pelaksanaan kerja dan tidak ada kontrak. Yang
pertama adalah pembelaan yang terpilih jika auditor melaksanakan audit sesuai
dengan GAAS, keterkaitan kontrak tidak menjadi persoalan. Namun pihak lain,
tidak ada kelalaian dalam pelaksanaan kerja sulit untuk ditunjukkan dalam
pengendalian, khususnya jika ada kelalaian dalam pelaksanaan kerja sulit untuk
ditunjukkan dalam pengadilan, khususnya jika ada sidang pengadilan juri yang
terdiri dari masyarakat awam. Di Negara Bagian New York, misalnya, keterakitan
kontrak masih dianggap sebagai pembelaan yang sah kecuali dalam kasus kelalaian
ekstrem. Sebaliknya di Negara bagian New Jersey, keterkaitan kontrak
kemungkinan bukan merupakan pembalaan yang diterima.[8]
Kewajiban Perdata
menurut Federal Securities Laws
Meskipun telah terlihat pertumbuhan dalam tindakan
terhadapa akuntan oleh kliennya atau pihak ketiga menurut common law,
pertumbuhan paling pesat dalam proses persidangan, kewajiban kantor akuntan
adalah yang diatur menurut federal securities laws.
Penyelesaian hukum federal sangat menonjol terutama
berkat tersedianya proses pengadilan yang cepat dan kemudahan dalam memperoleh
ganti rugi yang cukup besar dari tergugat. Lagi pula, beberapa bagian dari
peraturan itu mencantumkan standar kewajiban yang agak ketat terhadap akuntan.
Pengadilan federal sering kali eenangkan penggugat dalam gugatan hukum yang
menyangkut stabdar yang ketat.
Securities Act tahun 1933, mengatur informasi dari
laporan pendaftaran dan prospektus. Ketetapan ini hanya menyangkut persyaratan
pelaporan untuk perusahaan yang mengeluarkan surat baru. Securities Act 1933
mengakibatkan beban berat terhadap auditor. Seksi 11 dari udang-undang tahun
1933 itu menjelaskan hak pihak ketiga dan auditor, ikhtisarnya adalah sebagai
berikut:
1.
Setiap pihak ketiga
yang mbeli surat berharga, yang dijelaskan dalam laporan pendaftaran bisa
menggugat auditor. Hubungan kontrak tidak berlaku menurut undang-undang tahun
1933.
2.
Pihak ketiga
tidak mempunyai beban pembuktian yang menjadi pedoman pada laporan keuangan
atau bahwa audiror telah lalai atau menipu dalam melakukan audot. Dia hanya
wajib membuktikan bahwa laporan keuangan itu menyesatkan atau dibuat tidak
dengan semestinya.
3.
Auditor
mempunyai keharusan dalam membuktikan pembelaannya yaitu, secara prinsip laporan
tidak dibuat dengan keliru, syarat audit telah terpenuhi dalam hal itu, dan pihak
pemakai laporan tidak menderita kerugian karena laporan keuangan yang
menyesatkan itu.
4.
Auditor
bertanggungjawab untuk meyakinkan bahwa laporan keuangan dibuat dengan benar
dan ini bahkan berlaku setelah melewati tanggal dikeluarkannya laporan. Dia
bertanggungjawab sampai tanggal dimana
laporan pendaftaran mulai berlaku, yang bisa memakan waktu beberapa bulan.
Meskipun beban
ini terasa berat bagi auditor, telah ada beberapa kasus yang diadili menurut
undang-undang tahun 1933.[9]
E.
Tanggungjawab
Terhadap Kerahasiaan
Auditor juga harus
mampu menjaga kerahasiaan atas informasi yang diperolehnya dalam melakukan audit, walaupun keseluruhan proses
audit mungkin harus dilakukan secara terbuka dan transparan. Dalam prinsip
kerahasiaan ini juga, auditor dilarang untuk menggunakan
informasi yang dimilikinya untuk kepentingan pribadinya, misalnya untuk memperoleh keuntungan
finansial.
Prinsip
kerahasiaan tidak berlaku dalam situasi-situasi berikut:
1.
Pengungkapan
yang diijinkan oleh pihak yang berwenang, seperti auditan dan instansi tempat
ia bekerja. Dalam melakukan pengungkapan ini, auditor harus mempertimbangkan
kepentingan seluruh pihak, tidak hanya dirinya, auditan, instansinya saja,
tetapi juga termasuk pihak-pihak lain yang mungkin terkena dampak dari
pengungkapan informasi ini.
2.
Pengungkapan
yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundangundangan, seperti tindak pidana
pencucian uang, tindakan KKN, dan tindakan melanggar hukum lainnya.
3.
Pengungkapan
untuk kepentingan masyarakat yang dilindungi dengan undang-undang. Bila auditor
memutuskan untuk mengungkapkan informasi karena situasisituasi di atas, ada tiga hal yang harus
dipertimbangkan, yaitu:
a.
Fakta-fakta
yang diungkapkan telah mendapat dukungan bukti yang kuat atau adanya
pertimbangan profesional penentuan jenis pengungkapan ketika fakta-fakta
tersebut tidak didukung dengan bukti yang kuat.
b.
Pihak-pihak yang menerima informasi
adalah pihak yang tepat dan memiliki
tanggung jawab untuk bertindak atas dasar informasi tersebut.
c.
Perlunya
nasihat hukum yang profesional atau konsultasi dengan organisasi yang tepat
sebelum melakukan pengungkapan informasi.[10]
BAB III
KESIMPULAN
Setelah
memperhatikan isi dalam pembahasan di atas, maka dapat kami tarik kesimpulan
sebagai berikut:
A. Aturan
Etika Kompartemen Akuntan Publik merupakan etika profesional bagi akuntan yang
berpraktik sebagai akuntan publik Indonesia. Aturan Etika Kompartemen Akuntan
Publik bersumber dari Prinsip Etika yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia.
B. Ada empat aturan etika yang telah ditetapkan oleh
Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP) yaitu indepent, integritas, objektivitas, dan kepentingan publik.
C. Kegagalan
audit merupakan suatu situasi dimana auditor sampai pada atau mengeluarkan
pendapat audit yang salah karena gagal dalam memenuhi persyaratan- persyaratan
norma pemeriksaan yang berlaku.
D. Risiko
audit merupakan risiko dimana auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan
dinyatakan dengan wajar dan oleh karenanya dapat dikeluarkan pendapat tanpa
kualifikasi, sedangkan kenyataan laporan tersebut disajikan salah secara
material.
E. Beberapa
konsep hukum dapat diterapkan pada segala macam gugatan terhadap akuntan
publik. Konsep-konsep ini adalah konsep prudent
man (keberhatian), kewajiban atas tindakan sekutu lain, dan kurangnya hak
komunikasi istimewa.
F.
Kantor akuntan
biasanya menggunakan satu atau kombinasi dari tiga tuntutan hukum oleh klien: yaitu,
tidak adanya kewajiban melaksanakan jasa pelayanan, tidak ada kelalain dalam
pelaksanaan kerja dan kelalaian kontribusi.
DAFTAR
PUSTAKA
Annisa Yuliandari. Etika, Norma, dan Hukum Dalam Akuntan Publik. (online at: https://annisayuliandari.wordpress.com/2014/10/19/etika-norma-dan-hukum-dalam-praktek-akuntansi/
diunduh pada tanggal 20 September 2015)
Boynton, C William. 2003. Modern Auditing. Jakarta. Erlangga.
Dam Guy. 2002. Auditing
I. Jakarta. Erlangga.
Ilma Syahida Arofi, Etika Profesi Akuntan Publik. (online at: http://ilmaarofi.blogspot.co.id/2014/10/tugas-etika-profesi-akuntan-publik-3a.html
diunduh pada tanggal 20 september 2015)
Tjakrakusuma, Ilham dan
Herman Wibowo. 1994. Auditing. Jakarta.
Erlangga.
Yantiya. Etika
Profesi Auditor. (online at: http://yanti91.blogspot.co.id/2013/04/etika-dan-profesionalisme-seorang.html
diunduh pada tanggal 20 September 2015)
[1]
Ilma Syahida Arofi, Etika Profesi Akuntan
Publik, (online at: http://ilmaarofi.blogspot.co.id/2014/10/tugas-etika-profesi-akuntan-publik-3a.html
diunduh pada tanggal 20 september 2015)
[2] Annisa Yuliandari, Etika, Norma, dan Hukum Dalam Akuntan
Publik, (online at: https://annisayuliandari.wordpress.com/2014/10/19/etika-norma-dan-hukum-dalam-praktek-akuntansi/ diunduh pada tanggal 20
September 2015)
[3] Ilham Tjakrakusuma dan Herman
Wibowo, Auditing, (Jakarta: Erlangga,
1994), h. 113
[4] Ibid., h. 114
[5] Ibid., h. 115
[6] William C Boynton, Modern Auditing, (Jakarta: Erlangga,
2003), h. 141-142
[7] Guy Dam, Auditing I, (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 97
[8] Ibid., Ilham Tjakrakusuma dan Herman Wibowo, h. 118
[9] Ibid., h.123-124
[10] Yantiya, Etika Profesi Auditor, (online at: http://yanti91.blogspot.co.id/2013/04/etika-dan-profesionalisme-seorang.html diunduh pada tanggal 20
September 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar