BAB
I
PENDAHULUAN
Ketika
bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah
menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini.
Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik
itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah
disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor
penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triyulnan rupiah dibebaskan oleh
pengadilan. Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam.
Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan
mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah
mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara
pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum
harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila
ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata
lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi
parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya
dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu
daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.
Dalam
situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini sulit untuk
keluar dari tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup
kemungkinan bangsa Indonesia akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang
semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi mencekam seperti ini tidak ayal
hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus
untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya pemerintahan
otoriter tahun 1998, hamper setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan
perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara
ini, sehingga keberadaan bangka kita ini dalam kondisi hiperregulated society.
Namun, dengan segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang
kelembagaan maupun sisi kegidupan manusia Indonesia, keteraturan (order) tidak
kunjung datang. Malahan hukum kita tampak kewelahan, yang akibatnya dengan
seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam ranah penegakan hukum justru
malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya. Hal ini
menurut Satjipto Rahardjo, komunitas hukum dianggap sebagai komunitas yang
sangat lamban dalam menangkap momentum.
Sejak
tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut sebagai era
reformasi, sebenarnya merupakan momentum paling penting dan strategis dari segi
kehidupan social dan hukum, namun kondisi ini tidak mampu menggerakkan untuk
mengambil manfaat dalam ranah perbaikan. Institusi yang dijadikan tumpuan
pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang troble maker bangsa. Dampaknya
kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Dalam situasi keterpurukan
hukum seperti ini, maka apapun uapya pembenahan dan perbaikan dibidang ekonomi
dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan
(mission impossible) . Hal ini apabila dicermati , minimal terdapat dua faktor
utama. Pertama, perilaku penegak hukum (professional jurist) yang koruptif dan
yang kedua, pola pikir para penegak hukum Indonesia sebagian besar masih
terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik, meskipun system kelembagaan
hukum telah ditabuh ke arah perubahan-perubahan namun paradigma para penegak
hukum masih berpola lama (orde baru).
BAB I
PEMBAHASAN
A.
ETIKA
Menurut bahasa Yunani Kuno, etika
berasal dari kata ethikos yang berarti “timbul dari kebiasaan”. Etika
adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi
studi mengenai standar dan penilaian moral.
Etika mencakup analisis dan penerapan
konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika terbagi
menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif
(studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai
etika).
Kata etika, seringkali disebut pula
dengan kata etik, atau ethics(bahasa Inggris), mengandung banyak
pengertian.
Dari segi etimologi (asal kata),
istilah etika berasal dari kata Latin “Ethicos” yang berarti
kebiasaan. Dengan demikian menurutpengertian yang asli, yang
dikatakan baik itu apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakat.
Kemudian lambat laun pengertianini berubah, bahwa etika adalah
suatu ilmu yang mebicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana
yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.
Etika juga disebut ilmu normative,
maka dengan sendirinya berisi ketentuan-ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai
yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Etika (Yunani Kuno: “ethikos”,
berarti “timbul dari kebiasaan”) adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana
cabang utama filsafat yang mempelajarinilai atau kualitas yang
menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup
analisis dan penerapan konsep seperti benar,salah, baik, buruk,
dan tanggung jawab
Dalam kamus besar bahasa Indonesia
terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(1988), etika dirumuskan dalam tiga arti, yaitu :
1. Ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak).
2. Kumpulan
asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3. Nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Contoh dari etika
Etika Pribadi. Misalnya seorang yang
berhasil dibidang usaha (wiraswasta) dan menjadi seseorang yang kaya raya
(jutawan). Ia disibukkan dengan usahanya sehinnga ia lupa akan diri pribadinya
sebagai hamba Tuhan. Ia mempergunakan untuk keperluan-keperluan hal-hal yang
tidak terpuji dimata masyarakat (mabuk-mabukan, suka mengganggu ketentraman
keluarga orang lain). Dari segi usaha ia memang berhasil mengembangkan usahanya
sehinnga ia menjadi jutawan, tetapi ia tidak berhasil dalam emngembangkan etika
pribadinya.
Etika Sosial. Misalnya seorang pejabat
pemerintah (Negara) dipercaya untuk mengelola uang negara. Uang milik Negara
berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Pejabat tersebut ternyata melakukan
penggelapan uang Negara utnuk kepentingan pribadinya, dan tidak dapat
mempertanggungjawabkan uang yang dipakainya itu kepada pemerintah. Perbuatan
pejabat tersebut adalah perbuatan yang merusak etika social.
Etika moral berkenaan dengan kebiasaan
berperilaku yang baik dan benar berdasarkan kodrat manusia. Apabila etika ini
dilanggar timbullah kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dan tidak benar.
Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia yang disebut moral
B.
Paradigma
Hukum Di Indonesia
sebelum melangkah lebih jauh
membicarakan permasalahan paradigma, maka perlu di jelaskan dahulu menyangkut
pengertian paradigma. Kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan paradigma
sebagai model teori ilmu pengetahuan, kerangka berpikir. Pedoman yang dipakai
untuk mengajukan gugusan sistem pemikiran, bentuk kasus dan pola pemecahannya.
Sedangkan menurut istilah, paradigma adalah suatu model percontohan,
representatif, tipikal, karateristik atau ilustrasi dari solusi permasalahan
atau pencapaian dalam satu bidang ilmu pengetahuan. (Dep.Dik-Bud, 1990: 648)
Seperti halnya disiplin ilmu yang
lainnya yang berkembang melanjutkan tradisi penelitian dan penemuan teori
terdahulu, begitupun dengan ilmu hukum tak lepas dari karakter ilmu pengetahuan
pada umumnya. Ilmu hukum juga melanjutkan atau berpedoman pada sejumlah
asumsi-asumsi, dalam kerangka dasar umum habitat ilmu hukum. Timbulnya berbagai
pandangan dalam ilmu hukum merupakan buah dari pemikiran para cendikiawan hukum
itu sendiri, baik yang datang dari kelompok praktisi maupun akademisi, dan pada
saat ini sudah diterima sebagai sebuah paradigma (Lily Rasyidi, 1996: 155).
Kemudian paradigma itu menarik untuk dikaji bila kita mempelajari konsep
paradigma yang disodorkan oleh Thomas Khun yang menjelaskan ke dalam 21
pengertian paradigma yang tidak mungkin dijelaskan disini diantaranya diartikan
sebagai masterpiece matrix.
Chalmers menyatakan bahwa karateristik
paradigma meliputi antara lain: tersusun oleh hukum paradigma dan asumsi-asumsi
teoritis yang dinyatakan secara eksplisit, mencakup cara-cara standar bagi
penerapan hukum-hukum tersebut kedalam situasi dan kondisi, mempunyai instrumen
dan tekhnik-tekhnik instrumental yang diperlukan guna menjadikan hukum-hukum
tersebut berjaya didunia nyata, terdiri dari beberapa prinsip metafisika yang
memadu segala karya dan karsa di dalam lingkup paradigma dimaksud, mengandung
beberapa ketentuan metodologis yang bersifat umum (lily Rasyidi, 1996: 156).
Paradigma hukum positif nasional Indonesia yang masih di terima secara bulat
pada saat ini, adalah sebuah paradigma hukum yang lahir dari nuansa kebangsaan
setelah melewati perjalanan sejarah panjang atau dalam istilah Soepomo
sebagaimana dikutif oleh A Gunawan setiadji dalam bukunya yang berjudul
dealektika hukum dan moral dalam pembangunan hukum di Indonesia. Disebut
sebagai ”suasana bathin bangsa Indonesia” (1990: 158). Bermula dari jaman
klasik, zaman agraris pedesaan dengan spesifikasi kekeluargaan , jaman gerakan
revolusioner melawan penjajahan belanda dan jepang hingga jaman kemerdekaan
yang menuju era indonesia modern sebagai negara maju. Pendekatan historis
inilah akhirnya pancasila yang sebelumnya hanya berupa sekumpulan nilai-nilai
yang berkembang dalam masyarakat dijadikan ideologi negara serta sebagai cita
hukum nasional
Pancasila sebagai perjanjian luhur yang
diabadikan dalam pembukaan UUD 1945 sejak kemerdekaan 17 agustus 1945 telah
memberi warna dalam perkembangan hukum nasional dengan segala kekuarangan dan
kelebihannya. Berbagai macam istilah di berikan kepada pancasila dalam prilaku
yuridis seperti sumber dari segala sumber hukum, asas-asas hukum umum,
asas-asas hukum nasional, asas-asas hukum pokok, asas-asas hukum dasar atau
sistem hukum pancasila. Konsekuensinya pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum. Dalam beberapa dekade kehidupan berbangsa telah merasuk kedalam
semua aspek kehidupan tak terkecuali aspek hukum, artinya hukum tak terlepas
dari pengaruh pancasila atau dengan kata lain hukum tidak boleh bertentangan
dengan jiwa pancasila, sekalipun dalam beberapa kasus teori ini lebih banyak
sepihak dan dipaksakan.
Ternyata pancasila yang tadinya
dijadikan sebagai paradigma hukum nasional dengan karteristik religius,
kemanusiaan, kebangsaan, persamaan, kedilan sosial, moralitas, partisipasi.
Tetapi dalam perjalanan waktu lebih menonjol sebagai aspek ideologis ketimbang
aspek yuridis itu sendiri. Aspek yuridis yang memiliki parameter-parameter
ilmiah, rasional, logis, empiris, kritis dan metodologis yang terus berkembang
mengikuti perubahan dunia. Manusia indonesia yang merupakan bagian dari ilmu
pengetahuan hukum positiv indonesia lebih dicurigai sebagai gerakan perlawanan
kepada pemerintah yang syah, sehingga menyebabkan perspektif cita hukum
nasional bermasa depan suram dan hanya sekedar sebuah wacana pembenaran.
Paradigma hukum nasional pancasila yang
lahir dari sebuah ideologi politik pada aktualisasinya pun tidak lepas dari
faktor dominan kekuasaan. Sehingga dalam hidup berbangsa, hukum hanya dijadikan
alat justifikasi penguasa. Hukum sebagai panglima atau kesetaraan dalam hukum
beralih fungsi hukum sebagai alat atau ketidaksamaan di depan hukum. Pengalaman
buruk pada orde lama yang berakhir dengan gerakan 30 september 1965 adalah
berawal dari sebuah ambisi yang menjadikan hukum sebagai alat revolusi.
Kemudian disusul dengan pemerintahan orde baru yang berakhir dengan gerakan
reformasi mahasiswa pada tahun 1998 merupakan indikasi yang kasat mata dari
penyalahgunaan fungsi hukum sebagai sarana pembangunan yang berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi dengan dalih stabilitas negara (dalam makalah yang dihimpun
oleh Mudzakkir dari Varia Peadilan). Diskripsi historis yuridis inilah yang
seharusnya memberi nilai kesadaran kepada kita bahwa paradigma hukum pisitiv
nasional tidak lagi baik.
1. Perkembangan
Paradigma dalam pemikiran Hukum Indonesia
Masuk
dan tumbuhnya kekuasaan barat di Indonesia menyebabkan masuk pulalah
perkembangan pemikiran yang terjadi di Eropa. Terutama ketika kepada
orang-orang indonesia diberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan di Eropa.
Orang-orang Indonesia mulai berkenalan dengan elemen-elemen ideologi aufklarung
sebagai ideologi sekuler yang terkait erat pertumbuhannya dengan perkembangan
rasionalisme. Orang Indonesia mulai mengenal ajaran mengenai hak-hak asasi,
kemerdekaan, persaman, demokrasi, republik, konstitusi, hukum negara dan
masyarakat. Pemikir pemikir seperti John lock, Thomas hobbes, Rousseau,
diketahui serta individulisme, liberlisme, kapitalisme, sosilisme dan marxisme
didalaminya.
Pada awal abad ke 20, pemerintah Hindia Belanda mulai menyediakan fasilitas
pendidikan bagi orang Indonesia secara terbatas sehingga lambat laun berkembang
cikal bakal kelas menengah yang berpendidikan, sekalipun masih sangat kecil.
Sejumlah kecil mahasiswa indonesia yang berhasil belajar di Belanda , sangat
dipengaruhi oleh kondisi politis maupun ide-ide politis yang mereka temukan
disana. Kebebasan-kebebasan sipil dan pemerintahan demokratis yang mereka lihat
di Belanda, sangat berlawanan dengan kondisi-kondisi di Indonesia, sehingga hal
ini membuat para mahasiswa Indonesia sangat terkesan. Selain itu juga awal
dekade 1960 an banyak kalangan intelektual Indonesia yang mulai akrab dengan
teori-teori modernisasi yang mereka kenal baik selama studi di negeri Barat
maupun dari bacaan-bacaan yang mereka peroleh.
Perkembangan
pemikiran para ahli hukum Indonesia menjadi satu pembahasan yang menarik untuk
didiskusikan. Munculnya sebuah teori pemikiran hukum juga tidak dapat
dilepaskan dari latar belakang solusinya. Tipologi pemikiran hukum disini
adalah satu kajian tentang tipe-tipe pemikiran para ahli hukum indonesia pasca
kemerdekaan sampai masa orde baru khususnya dekade 1990-an. Pemikiran yang
dikemukakan oleh para ahli hukum merupakan pemikiran yang tidak dipisahkan dari
realitas budaya hukum di Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena pemikiran
hukum mereka bukannya semata-mata membahas persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan aspek normatif-doktriner, tetapi juga berhubungan dengan analisis,
respon, dan refleksi mereka terhadap permasalahan hukum dan konseptualisasi
hukum dalam perspektif sosiologis.
Sementara
itu, penting dikemukakan bahwa tipologi yang diuraikan lebih merupakn peta yang
didasarkan pada kecenderungan umum pemikiran hukum di Indonesia. Dari peta tersebut
diharapkan sosok dan profil pemikiran para ahli hukum indonesia akan tampak
lebih jelas, selain itu dalam diskripsinya , tipologi tidak semata-mata
mendasarkan diri pada aliran pemikiran yang dianut oleh masing-masing ahli
hukum, tetapi juga mengamati kerangka teoritis atau pendekatan yang digunakan.
Tipologi Pemikiran ahli hukum periode pasca kemerdekaan menunjukkan suatu model
pemikiran yang mengutamakan komitmen pada hukum adat, dalam kontek politik
hukum, pemikiran formalistik memperlihatkan perhatian terhadap suatu orientasi
yang cenderung menopang sebuah tatanan hukum yang dibayangkan, seperti
terwujudnya suatu sistem hukum nasional, ekspresi simbolis dan idiom-idiom
hukum yang entitasnya menuju hukum adat sebagai karateristik hukum nasional, oleh
karena itu pemikir-pemikir hukum saat itu yang dipresentasikan oleh
Prof.,Dr.,Mr. Soepomo dan Prof.,Dr.,Mr Soekanto sangat menekankan ideologis
atau politisasi yang mengarah pada simbolisme hukum adat (Khudzaifah Dimyati ,
2004: 239).
Dalam
perkembangannya pemikiran hukum dengan tipologi formalistik pada dekade 1960
sampai 1970. mulai memperlihatkan suatu karateristik pemikiran yang
mengutamakan peneguhan pada asas-asas yang ketat pada format-format postulat
hukum pada pemikiran hukum pada periode ini. Salah satunya direpresentasikan
oleh Prof. Djoko Soetono, Beliau mengatakan bahwa dalam pikiran seorang ahli
tidak berdiri sendiri dan tidak otonom, tetapi dipengruhi oleh suasana
sekitarnya. Oleh karena itu, selayaknya kita menyesuaikan diri dengan masalah
pembentukan konstituante dan konstitusi.
Pada masa ini hukum adat masih menjadi dasar pembentukan hukum, karena hukum
adat dianggap sebagai hukum yang universal dan nilainya melebihi hukum-hukum
manapun serta melampui batas kewilayahan (pemikiran djoyodigoeno).
2. Positivisme
dalam Ilmu Hukum dan Fungsi Politisnya dalam Kehidupan Bernegara
Positivisme
merupakan salah satu aliran dalam paham filsafat yang berkembang di Eropa
kontinental, khususnya di Perancis dengan dua eksponennya yang terkenal, Henri
Saint-Simon (1760-1825) dan Auguste Comte (1798-1857. positivisme adalah suatu
paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan
kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesutu yang eksis, suatu
obyek yang harus dilepaskan dari sembarang macam para konsepsi metafisis yang
subyektif sifatnya (Soetandyo Wignyosoebroto, 2002: 96). diaplikasikan kedalam
pemikiran tentang hukum positiv menghendaki dilepasknnya pemikiran meta yuridis
mengenai hukum sebagimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Karena
itu setiap norma hukum haruslah eksis pada alamnya yang obyektif sebagai
norma-norma yang positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang
konkrit sebagai kesepakatan antara warga masyarakat (atau wakil-wakilnya).
Hukum tidak lagi harus dikonsepsi sebagai asas-asas moral meta yuridis yang
niskala (abstrak) tentang hakekat keadilan melainkan ius yang telah mengalami
positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang
dibilang hukum dan apapula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai
hal-hal yang terbilang hukum (Soetandyo Wignyosoebroto, 2002: 97)
Paham
positivisme dan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara untuk segera mengupayakan
positivisasi norma-norma keadilan (ialah hukum yang dikonsepkan sebagai ius)
agar segera menjadi norma perundang-undangan (ialah hukum yang dikonsepkan
sebagai lege) sesungguhnya fungsional untuk mempercepat terwujudnya negara
bangsa yang diidealkan punya struktur yang terintegrasi kukuh secara sentral
yang tak pula banyak bisa dijabarkan secara meluas. Tak pelak lagi, dalam
pengalaman, positivisasi hukum selalu memperoleh prioritas utama dalam setiap
upaya pembangunan hukum dinegara-negera yng tengah tumbuh modern dan
menghendaki kesatuan dan atau penyatuan, tak Cuma yang menuju ke nation state
melainkan juga yang dulu menuju ke colonial state. Tak ayal pula, positivisasi
hukum selalu berakibat sebagai proses nasionlisasi dan etatisasi hukum, dalam
rangka penyempurnaan kemampuan negara dan pemerintah untuk memonopoli kontrak
sosial yang formal, melalui pemberlakuan atau pendayagunaan hukum positif.
Produk positivisasi yang disebut dengan hukum positif itu sekalipun terbilang
positif, dalam arti obyektifitasnya di akui dan di “ya” kan dengan tegas pada
hakekatnya adalah tetap merupakan sesuatu yang terbilang fenomena normatif.
Proses positivisasi pada hakekatnya adalah suatu proses obyektivitas sejumlah
norma meta yuridis menjadi sejumlah norma yang positif, sehingga ilmu hukum
yang terbangun daripadanya adalah tetap saja berdasarkan logika normologi, dan
tidak berlogika normologis yang induktif untuk menemukan berjumlah nomos yang
eksis sebagai fenomena empiris yang signifikan dalam kehidupan sosial dan
kultural bagimanapun juga hubungan kausal antara fakta hukum dan akibat hukum
dalam ilmu hukum aliran positivisme ini adalah hasil normatif judgemen, bukan
hasil observasi-observasi yang mendayagunakan metode sain guna menjamin
obyektifitas dan realibilitas (Khudzaifah Dimyati , 2004: 240).
Indonesia
sebagai salah satu negara yang menganut positivisme dalam paradigma pembentukan
hukumnya. Tentunya banyak hal yang dapat menjadi satu kelemahan dalam penerapan
hukumnya, dalam pandangan positivisme, yang dikatakan hukum adalah satu
norma-norma yang telah dipositifkan, sedangkan norma-norma yang tidak tertulis
sekalipun itu baik dan bagus bukan disebut sebagai hukum. Hal inilah yang
sering kali indonesia mengalami persoalan ketika harus menghadapi
kejahatan-kejahatan internasional, seperti kejahatan terorisme misalnya.
Kasus-kasus terorisme yang menjadi satu kejahatan dunia telah masuk keindonesia
yang mau-tidak mau dengan tekanan Internasional mengharuskan negara Indonesia
terlibat dalam pemberantasan kejahatan terorisme tersebut, namun yang menjadi
masalah adalah kejahatan terorisme yang telah melanda indonesia, ternyata
indonesia dalam hukum positifnya belum mampu mengakomodir kejahatan tersebut.
Sehingga mengharuskannya dalam waktu singkat membuat aturan hukumnya. Walaupun
harus melanggar asas-asas umum dalam hukum indonesia.
Membangun Paradigma pemikiran Hukum di Indonesia menuju Modernisasi Hukum
Teori
positivisme hanya mampu untuk menjelaskan keadaan serta proses-proses normal
seperti diantisipasi oleh hukum positif dan oleh karena sangat terbatas, untuk
tidak mengatakan gagal, apabila dihadapkan dengan suasana kemelut dan
keguncangan seperti yang terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu indonesia tidak
boleh berlarut-larut dalam cara penegakan hukum sebagaimana selama ini
dijalankan. Menurut Satcipto Rahardjo dalam buku teorisasi hukum karangan
Khudzaifah Dimyati mengatakan Indonesia membutuhkan suatu tipe penegakan hukum
progresif, karena pengamatan selama ini menunjukkan ,meski bangsa meneriakkan
supremasi hukum dengan keras namun hasilnya tetaplah mengecewakan (2004: 134).
Demikian
halnya dengan dunia pemikiran hukum, secara dialektika terjadi pemikiran baru
yang selalu berujung pada perubahan, reformsi 1998 misalnya merupakan perubahan
paradigmatis yaitu dari tatanan kehidupan yang dibangun berdasarkan pardigma
kekuasaan digantikan oleh paradigm moral akal budi selain itu juga Satcipto
Rahrdjo mengatakan bahwa hukum bukan suatu institusi yang selesai tetapi
sesuatu yang diwujudkan secara terus menerus. Pemahaman hukum secara legalistik
positivistik dan berbasis peraturan perundang-undangan tidak mampu menangkap
kebenaran, karena memang tidak mau melihat dan mengakui hal itu. Dalam ilmu
hukum yang legalistik positivistik, hukum sebagai institusi pengaturan yang
komplek telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik dan
deterministik terutama untuk kepentingan profesi dalam kontek hukum Indonesia.
Doktrin hukum demikian yang masih dominan termasuk kategori legismenya –
Schuyt. Hal ini dikarenakan “legisme melihat dunia hukum dari teleskop perundang-undangan
untuk kemudin meng-hakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi (Satcipto Raharjo,
2000: 9).
Untuk mulai
membangun hukum indonesia maka paradigma yang harus dipakai dalam pemikiran
tersebut adalah harus mencoba meninggalkan paradigma positivis menuju kepada
paradigma sosial artinya menempatkan hukum pada kontek sosialnya yang lebih
besar dengan kata lain, hukum tidak dipahami sebagai institusi yang esoterik
dan otonom tetapi sebagai bagian dari proses sosial yang lebih besar. Sehingga
terbangun konstruksi hukum yang benar-benar responsif terhadap kemungkinan yang
akan terjadi.
BAB III
KESIMPULAN
Demikian halnya dengan
dunia pemikiran hukum, secara dialektika terjadi pemikiran baru yang selalu
berujung pada perubahan, reformsi 1998 misalnya merupakan perubahan
paradigmatis yaitu dari tatanan kehidupan yang dibangun berdasarkan pardigma
kekuasaan digantikan oleh paradigm moral akal budi selain itu juga Satcipto
Rahrdjo mengatakan bahwa hukum bukan suatu institusi yang selesai tetapi
sesuatu yang diwujudkan secara terus menerus. Pemahaman hukum secara legalistik
positivistik dan berbasis peraturan perundang-undangan tidak mampu menangkap
kebenaran, karena memang tidak mau melihat dan mengakui hal itu. Dalam ilmu
hukum yang legalistik positivistik, hukum sebagai institusi pengaturan yang
komplek telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik dan
deterministik terutama untuk kepentingan profesi dalam kontek hukum Indonesia.
Doktrin hukum demikian yang masih dominan termasuk kategori legismenya –
Schuyt. Hal ini dikarenakan “legisme melihat dunia hukum dari teleskop
perundang-undangan untuk kemudin meng-hakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi
(Satcipto Raharjo, 2000: 9).
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. dan
Cristine S.T. Kansil, S.H.,M.H. Pokok-pokok Etika Profesi Hukum,. PT Pradnya
Paramita. Jakarta, 2003, cetakan kedua, hlm 8
Supriadi, S.H.,M.Hum. Etika dan
Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Sinar Grafika,Jakarta, 2006, hlm 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar