Selasa, 04 Januari 2022

MAKALAH ETIKA DAN PARADIGMA HUKUM DI INDONESIA

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Ketika bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triyulnan rupiah dibebaskan oleh pengadilan. Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam. Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.

Dalam situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini sulit untuk keluar dari tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup kemungkinan bangsa Indonesia akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi mencekam seperti ini tidak ayal hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya pemerintahan otoriter tahun 1998, hamper setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara ini, sehingga keberadaan bangka kita ini dalam kondisi hiperregulated society. Namun, dengan segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kegidupan manusia Indonesia, keteraturan (order) tidak kunjung datang. Malahan hukum kita tampak kewelahan, yang akibatnya dengan seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam ranah penegakan hukum justru malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya. Hal ini menurut Satjipto Rahardjo, komunitas hukum dianggap sebagai komunitas yang sangat lamban dalam menangkap momentum.

Sejak tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut sebagai era reformasi, sebenarnya merupakan momentum paling penting dan strategis dari segi kehidupan social dan hukum, namun kondisi ini tidak mampu menggerakkan untuk mengambil manfaat dalam ranah perbaikan. Institusi yang dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang troble maker bangsa. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, maka apapun uapya pembenahan dan perbaikan dibidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan (mission impossible) . Hal ini apabila dicermati , minimal terdapat dua faktor utama. Pertama, perilaku penegak hukum (professional jurist) yang koruptif dan yang kedua, pola pikir para penegak hukum Indonesia sebagian besar masih terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik, meskipun system kelembagaan hukum telah ditabuh ke arah perubahan-perubahan namun paradigma para penegak hukum masih berpola lama (orde baru).




 

 

BAB I

PEMBAHASAN

A.     ETIKA

Menurut bahasa Yunani Kuno, etika berasal dari kata ethikos yang berarti “timbul dari kebiasaan”. Etika adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral.

Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).

Kata etika, seringkali disebut pula dengan kata etik, atau ethics(bahasa Inggris), mengandung banyak pengertian.

Dari segi etimologi (asal kata), istilah etika berasal dari kata Latin “Ethicos” yang berarti kebiasaan. Dengan demikian menurutpengertian yang asli, yang dikatakan baik itu apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Kemudian lambat laun pengertianini berubah, bahwa etika adalah suatu ilmu yang mebicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.

Etika juga disebut ilmu normative, maka dengan sendirinya berisi ketentuan-ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

Etika (Yunani Kuno: “ethikos”, berarti “timbul dari kebiasaan”) adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajarinilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar,salah, baik, buruk, dan tanggung jawab

Dalam kamus besar bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), etika dirumuskan dalam tiga arti, yaitu :

1.    Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).

2.    Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.

3.    Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Contoh dari etika

Etika Pribadi. Misalnya seorang yang berhasil dibidang usaha (wiraswasta) dan menjadi seseorang yang kaya raya (jutawan). Ia disibukkan dengan usahanya sehinnga ia lupa akan diri pribadinya sebagai hamba Tuhan. Ia mempergunakan untuk keperluan-keperluan hal-hal yang tidak terpuji dimata masyarakat (mabuk-mabukan, suka mengganggu ketentraman keluarga orang lain). Dari segi usaha ia memang berhasil mengembangkan usahanya sehinnga ia menjadi jutawan, tetapi ia tidak berhasil dalam emngembangkan etika pribadinya.

Etika Sosial. Misalnya seorang pejabat pemerintah (Negara) dipercaya untuk mengelola uang negara. Uang milik Negara berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Pejabat tersebut ternyata melakukan penggelapan uang Negara utnuk kepentingan pribadinya, dan tidak dapat mempertanggungjawabkan uang yang dipakainya itu kepada pemerintah. Perbuatan pejabat tersebut adalah perbuatan yang merusak etika social.

Etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku yang baik dan benar berdasarkan kodrat manusia. Apabila etika ini dilanggar timbullah kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dan tidak benar. Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia yang disebut moral

B.     Paradigma Hukum Di Indonesia

sebelum melangkah lebih jauh membicarakan permasalahan paradigma, maka perlu di jelaskan dahulu menyangkut pengertian paradigma. Kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan paradigma sebagai model teori ilmu pengetahuan, kerangka berpikir. Pedoman yang dipakai untuk mengajukan gugusan sistem pemikiran, bentuk kasus dan pola pemecahannya. Sedangkan menurut istilah, paradigma adalah suatu model percontohan, representatif, tipikal, karateristik atau ilustrasi dari solusi permasalahan atau pencapaian dalam satu bidang ilmu pengetahuan. (Dep.Dik-Bud, 1990: 648)

Seperti halnya disiplin ilmu yang lainnya yang berkembang melanjutkan tradisi penelitian dan penemuan teori terdahulu, begitupun dengan ilmu hukum tak lepas dari karakter ilmu pengetahuan pada umumnya. Ilmu hukum juga melanjutkan atau berpedoman pada sejumlah asumsi-asumsi, dalam kerangka dasar umum habitat ilmu hukum. Timbulnya berbagai pandangan dalam ilmu hukum merupakan buah dari pemikiran para cendikiawan hukum itu sendiri, baik yang datang dari kelompok praktisi maupun akademisi, dan pada saat ini sudah diterima sebagai sebuah paradigma (Lily Rasyidi, 1996: 155). Kemudian paradigma itu menarik untuk dikaji bila kita mempelajari konsep paradigma yang disodorkan oleh Thomas Khun yang menjelaskan ke dalam 21 pengertian paradigma yang tidak mungkin dijelaskan disini diantaranya diartikan sebagai masterpiece matrix.

 

Chalmers menyatakan bahwa karateristik paradigma meliputi antara lain: tersusun oleh hukum paradigma dan asumsi-asumsi teoritis yang dinyatakan secara eksplisit, mencakup cara-cara standar bagi penerapan hukum-hukum tersebut kedalam situasi dan kondisi, mempunyai instrumen dan tekhnik-tekhnik instrumental yang diperlukan guna menjadikan hukum-hukum tersebut berjaya didunia nyata, terdiri dari beberapa prinsip metafisika yang memadu segala karya dan karsa di dalam lingkup paradigma dimaksud, mengandung beberapa ketentuan metodologis yang bersifat umum (lily Rasyidi, 1996: 156).
Paradigma hukum positif nasional Indonesia yang masih di terima secara bulat pada saat ini, adalah sebuah paradigma hukum yang lahir dari nuansa kebangsaan setelah melewati perjalanan sejarah panjang atau dalam istilah Soepomo sebagaimana dikutif oleh A Gunawan setiadji dalam bukunya yang berjudul dealektika hukum dan moral dalam pembangunan hukum di Indonesia. Disebut sebagai ”suasana bathin bangsa Indonesia” (1990: 158). Bermula dari jaman klasik, zaman agraris pedesaan dengan spesifikasi kekeluargaan , jaman gerakan revolusioner melawan penjajahan belanda dan jepang hingga jaman kemerdekaan yang menuju era indonesia modern sebagai negara maju. Pendekatan historis inilah akhirnya pancasila yang sebelumnya hanya berupa sekumpulan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dijadikan ideologi negara serta sebagai cita hukum nasional

Pancasila sebagai perjanjian luhur yang diabadikan dalam pembukaan UUD 1945 sejak kemerdekaan 17 agustus 1945 telah memberi warna dalam perkembangan hukum nasional dengan segala kekuarangan dan kelebihannya. Berbagai macam istilah di berikan kepada pancasila dalam prilaku yuridis seperti sumber dari segala sumber hukum, asas-asas hukum umum, asas-asas hukum nasional, asas-asas hukum pokok, asas-asas hukum dasar atau sistem hukum pancasila. Konsekuensinya pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Dalam beberapa dekade kehidupan berbangsa telah merasuk kedalam semua aspek kehidupan tak terkecuali aspek hukum, artinya hukum tak terlepas dari pengaruh pancasila atau dengan kata lain hukum tidak boleh bertentangan dengan jiwa pancasila, sekalipun dalam beberapa kasus teori ini lebih banyak sepihak dan dipaksakan.

Ternyata pancasila yang tadinya dijadikan sebagai paradigma hukum nasional dengan karteristik religius, kemanusiaan, kebangsaan, persamaan, kedilan sosial, moralitas, partisipasi. Tetapi dalam perjalanan waktu lebih menonjol sebagai aspek ideologis ketimbang aspek yuridis itu sendiri. Aspek yuridis yang memiliki parameter-parameter ilmiah, rasional, logis, empiris, kritis dan metodologis yang terus berkembang mengikuti perubahan dunia. Manusia indonesia yang merupakan bagian dari ilmu pengetahuan hukum positiv indonesia lebih dicurigai sebagai gerakan perlawanan kepada pemerintah yang syah, sehingga menyebabkan perspektif cita hukum nasional bermasa depan suram dan hanya sekedar sebuah wacana pembenaran.

Paradigma hukum nasional pancasila yang lahir dari sebuah ideologi politik pada aktualisasinya pun tidak lepas dari faktor dominan kekuasaan. Sehingga dalam hidup berbangsa, hukum hanya dijadikan alat justifikasi penguasa. Hukum sebagai panglima atau kesetaraan dalam hukum beralih fungsi hukum sebagai alat atau ketidaksamaan di depan hukum. Pengalaman buruk pada orde lama yang berakhir dengan gerakan 30 september 1965 adalah berawal dari sebuah ambisi yang menjadikan hukum sebagai alat revolusi. Kemudian disusul dengan pemerintahan orde baru yang berakhir dengan gerakan reformasi mahasiswa pada tahun 1998 merupakan indikasi yang kasat mata dari penyalahgunaan fungsi hukum sebagai sarana pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan dalih stabilitas negara (dalam makalah yang dihimpun oleh Mudzakkir dari Varia Peadilan). Diskripsi historis yuridis inilah yang seharusnya memberi nilai kesadaran kepada kita bahwa paradigma hukum pisitiv nasional tidak lagi baik.

1.      Perkembangan Paradigma dalam pemikiran Hukum Indonesia

Masuk dan tumbuhnya kekuasaan barat di Indonesia menyebabkan masuk pulalah perkembangan pemikiran yang terjadi di Eropa. Terutama ketika kepada orang-orang indonesia diberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan di Eropa. Orang-orang Indonesia mulai berkenalan dengan elemen-elemen ideologi aufklarung sebagai ideologi sekuler yang terkait erat pertumbuhannya dengan perkembangan rasionalisme. Orang Indonesia mulai mengenal ajaran mengenai hak-hak asasi, kemerdekaan, persaman, demokrasi, republik, konstitusi, hukum negara dan masyarakat. Pemikir pemikir seperti John lock, Thomas hobbes, Rousseau, diketahui serta individulisme, liberlisme, kapitalisme, sosilisme dan marxisme didalaminya.
Pada awal abad ke 20, pemerintah Hindia Belanda mulai menyediakan fasilitas pendidikan bagi orang Indonesia secara terbatas sehingga lambat laun berkembang cikal bakal kelas menengah yang berpendidikan, sekalipun masih sangat kecil. Sejumlah kecil mahasiswa indonesia yang berhasil belajar di Belanda , sangat dipengaruhi oleh kondisi politis maupun ide-ide politis yang mereka temukan disana. Kebebasan-kebebasan sipil dan pemerintahan demokratis yang mereka lihat di Belanda, sangat berlawanan dengan kondisi-kondisi di Indonesia, sehingga hal ini membuat para mahasiswa Indonesia sangat terkesan. Selain itu juga awal dekade 1960 an banyak kalangan intelektual Indonesia yang mulai akrab dengan teori-teori modernisasi yang mereka kenal baik selama studi di negeri Barat maupun dari bacaan-bacaan yang mereka peroleh.

Perkembangan pemikiran para ahli hukum Indonesia menjadi satu pembahasan yang menarik untuk didiskusikan. Munculnya sebuah teori pemikiran hukum juga tidak dapat dilepaskan dari latar belakang solusinya. Tipologi pemikiran hukum disini adalah satu kajian tentang tipe-tipe pemikiran para ahli hukum indonesia pasca kemerdekaan sampai masa orde baru khususnya dekade 1990-an. Pemikiran yang dikemukakan oleh para ahli hukum merupakan pemikiran yang tidak dipisahkan dari realitas budaya hukum di Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena pemikiran hukum mereka bukannya semata-mata membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan aspek normatif-doktriner, tetapi juga berhubungan dengan analisis, respon, dan refleksi mereka terhadap permasalahan hukum dan konseptualisasi hukum dalam perspektif sosiologis.

Sementara itu, penting dikemukakan bahwa tipologi yang diuraikan lebih merupakn peta yang didasarkan pada kecenderungan umum pemikiran hukum di Indonesia. Dari peta tersebut diharapkan sosok dan profil pemikiran para ahli hukum indonesia akan tampak lebih jelas, selain itu dalam diskripsinya , tipologi tidak semata-mata mendasarkan diri pada aliran pemikiran yang dianut oleh masing-masing ahli hukum, tetapi juga mengamati kerangka teoritis atau pendekatan yang digunakan.
Tipologi Pemikiran ahli hukum periode pasca kemerdekaan menunjukkan suatu model pemikiran yang mengutamakan komitmen pada hukum adat, dalam kontek politik hukum, pemikiran formalistik memperlihatkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung menopang sebuah tatanan hukum yang dibayangkan, seperti terwujudnya suatu sistem hukum nasional, ekspresi simbolis dan idiom-idiom hukum yang entitasnya menuju hukum adat sebagai karateristik hukum nasional, oleh karena itu pemikir-pemikir hukum saat itu yang dipresentasikan oleh Prof.,Dr.,Mr. Soepomo dan Prof.,Dr.,Mr Soekanto sangat menekankan ideologis atau politisasi yang mengarah pada simbolisme hukum adat (Khudzaifah Dimyati , 2004: 239).

Dalam perkembangannya pemikiran hukum dengan tipologi formalistik pada dekade 1960 sampai 1970. mulai memperlihatkan suatu karateristik pemikiran yang mengutamakan peneguhan pada asas-asas yang ketat pada format-format postulat hukum pada pemikiran hukum pada periode ini. Salah satunya direpresentasikan oleh Prof. Djoko Soetono, Beliau mengatakan bahwa dalam pikiran seorang ahli tidak berdiri sendiri dan tidak otonom, tetapi dipengruhi oleh suasana sekitarnya. Oleh karena itu, selayaknya kita menyesuaikan diri dengan masalah pembentukan konstituante dan konstitusi.
Pada masa ini hukum adat masih menjadi dasar pembentukan hukum, karena hukum adat dianggap sebagai hukum yang universal dan nilainya melebihi hukum-hukum manapun serta melampui batas kewilayahan (pemikiran djoyodigoeno).

 

2.      Positivisme dalam Ilmu Hukum dan Fungsi Politisnya dalam Kehidupan Bernegara

Positivisme merupakan salah satu aliran dalam paham filsafat yang berkembang di Eropa kontinental, khususnya di Perancis dengan dua eksponennya yang terkenal, Henri Saint-Simon (1760-1825) dan Auguste Comte (1798-1857. positivisme adalah suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesutu yang eksis, suatu obyek yang harus dilepaskan dari sembarang macam para konsepsi metafisis yang subyektif sifatnya (Soetandyo Wignyosoebroto, 2002: 96). diaplikasikan kedalam pemikiran tentang hukum positiv menghendaki dilepasknnya pemikiran meta yuridis mengenai hukum sebagimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Karena itu setiap norma hukum haruslah eksis pada alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkrit sebagai kesepakatan antara warga masyarakat (atau wakil-wakilnya).
Hukum tidak lagi harus dikonsepsi sebagai asas-asas moral meta yuridis yang niskala (abstrak) tentang hakekat keadilan melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang dibilang hukum dan apapula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang terbilang hukum (Soetandyo Wignyosoebroto, 2002: 97)

Paham positivisme dan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara untuk segera mengupayakan positivisasi norma-norma keadilan (ialah hukum yang dikonsepkan sebagai ius) agar segera menjadi norma perundang-undangan (ialah hukum yang dikonsepkan sebagai lege) sesungguhnya fungsional untuk mempercepat terwujudnya negara bangsa yang diidealkan punya struktur yang terintegrasi kukuh secara sentral yang tak pula banyak bisa dijabarkan secara meluas. Tak pelak lagi, dalam pengalaman, positivisasi hukum selalu memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum dinegara-negera yng tengah tumbuh modern dan menghendaki kesatuan dan atau penyatuan, tak Cuma yang menuju ke nation state melainkan juga yang dulu menuju ke colonial state. Tak ayal pula, positivisasi hukum selalu berakibat sebagai proses nasionlisasi dan etatisasi hukum, dalam rangka penyempurnaan kemampuan negara dan pemerintah untuk memonopoli kontrak sosial yang formal, melalui pemberlakuan atau pendayagunaan hukum positif.
Produk positivisasi yang disebut dengan hukum positif itu sekalipun terbilang positif, dalam arti obyektifitasnya di akui dan di “ya” kan dengan tegas pada hakekatnya adalah tetap merupakan sesuatu yang terbilang fenomena normatif. Proses positivisasi pada hakekatnya adalah suatu proses obyektivitas sejumlah norma meta yuridis menjadi sejumlah norma yang positif, sehingga ilmu hukum yang terbangun daripadanya adalah tetap saja berdasarkan logika normologi, dan tidak berlogika normologis yang induktif untuk menemukan berjumlah nomos yang eksis sebagai fenomena empiris yang signifikan dalam kehidupan sosial dan kultural bagimanapun juga hubungan kausal antara fakta hukum dan akibat hukum dalam ilmu hukum aliran positivisme ini adalah hasil normatif judgemen, bukan hasil observasi-observasi yang mendayagunakan metode sain guna menjamin obyektifitas dan realibilitas (Khudzaifah Dimyati , 2004: 240).

Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut positivisme dalam paradigma pembentukan hukumnya. Tentunya banyak hal yang dapat menjadi satu kelemahan dalam penerapan hukumnya, dalam pandangan positivisme, yang dikatakan hukum adalah satu norma-norma yang telah dipositifkan, sedangkan norma-norma yang tidak tertulis sekalipun itu baik dan bagus bukan disebut sebagai hukum. Hal inilah yang sering kali indonesia mengalami persoalan ketika harus menghadapi kejahatan-kejahatan internasional, seperti kejahatan terorisme misalnya. Kasus-kasus terorisme yang menjadi satu kejahatan dunia telah masuk keindonesia yang mau-tidak mau dengan tekanan Internasional mengharuskan negara Indonesia terlibat dalam pemberantasan kejahatan terorisme tersebut, namun yang menjadi masalah adalah kejahatan terorisme yang telah melanda indonesia, ternyata indonesia dalam hukum positifnya belum mampu mengakomodir kejahatan tersebut. Sehingga mengharuskannya dalam waktu singkat membuat aturan hukumnya. Walaupun harus melanggar asas-asas umum dalam hukum indonesia.
Membangun Paradigma pemikiran Hukum di Indonesia menuju Modernisasi Hukum

Teori positivisme hanya mampu untuk menjelaskan keadaan serta proses-proses normal seperti diantisipasi oleh hukum positif dan oleh karena sangat terbatas, untuk tidak mengatakan gagal, apabila dihadapkan dengan suasana kemelut dan keguncangan seperti yang terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu indonesia tidak boleh berlarut-larut dalam cara penegakan hukum sebagaimana selama ini dijalankan. Menurut Satcipto Rahardjo dalam buku teorisasi hukum karangan Khudzaifah Dimyati mengatakan Indonesia membutuhkan suatu tipe penegakan hukum progresif, karena pengamatan selama ini menunjukkan ,meski bangsa meneriakkan supremasi hukum dengan keras namun hasilnya tetaplah mengecewakan (2004: 134).

Demikian halnya dengan dunia pemikiran hukum, secara dialektika terjadi pemikiran baru yang selalu berujung pada perubahan, reformsi 1998 misalnya merupakan perubahan paradigmatis yaitu dari tatanan kehidupan yang dibangun berdasarkan pardigma kekuasaan digantikan oleh paradigm moral akal budi selain itu juga Satcipto Rahrdjo mengatakan bahwa hukum bukan suatu institusi yang selesai tetapi sesuatu yang diwujudkan secara terus menerus. Pemahaman hukum secara legalistik positivistik dan berbasis peraturan perundang-undangan tidak mampu menangkap kebenaran, karena memang tidak mau melihat dan mengakui hal itu. Dalam ilmu hukum yang legalistik positivistik, hukum sebagai institusi pengaturan yang komplek telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik dan deterministik terutama untuk kepentingan profesi dalam kontek hukum Indonesia. Doktrin hukum demikian yang masih dominan termasuk kategori legismenya – Schuyt. Hal ini dikarenakan “legisme melihat dunia hukum dari teleskop perundang-undangan untuk kemudin meng-hakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi (Satcipto Raharjo, 2000: 9).

Untuk mulai membangun hukum indonesia maka paradigma yang harus dipakai dalam pemikiran tersebut adalah harus mencoba meninggalkan paradigma positivis menuju kepada paradigma sosial artinya menempatkan hukum pada kontek sosialnya yang lebih besar dengan kata lain, hukum tidak dipahami sebagai institusi yang esoterik dan otonom tetapi sebagai bagian dari proses sosial yang lebih besar. Sehingga terbangun konstruksi hukum yang benar-benar responsif terhadap kemungkinan yang akan terjadi.


 

BAB III

KESIMPULAN

 

Demikian halnya dengan dunia pemikiran hukum, secara dialektika terjadi pemikiran baru yang selalu berujung pada perubahan, reformsi 1998 misalnya merupakan perubahan paradigmatis yaitu dari tatanan kehidupan yang dibangun berdasarkan pardigma kekuasaan digantikan oleh paradigm moral akal budi selain itu juga Satcipto Rahrdjo mengatakan bahwa hukum bukan suatu institusi yang selesai tetapi sesuatu yang diwujudkan secara terus menerus. Pemahaman hukum secara legalistik positivistik dan berbasis peraturan perundang-undangan tidak mampu menangkap kebenaran, karena memang tidak mau melihat dan mengakui hal itu. Dalam ilmu hukum yang legalistik positivistik, hukum sebagai institusi pengaturan yang komplek telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik dan deterministik terutama untuk kepentingan profesi dalam kontek hukum Indonesia. Doktrin hukum demikian yang masih dominan termasuk kategori legismenya – Schuyt. Hal ini dikarenakan “legisme melihat dunia hukum dari teleskop perundang-undangan untuk kemudin meng-hakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi (Satcipto Raharjo, 2000: 9).


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. dan Cristine S.T. Kansil, S.H.,M.H. Pokok-pokok Etika Profesi Hukum,. PT Pradnya Paramita. Jakarta, 2003, cetakan kedua, hlm 8 

Supriadi, S.H.,M.Hum. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Sinar Grafika,Jakarta, 2006, hlm 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar