Rabu, 05 Januari 2022

MAKALAH PENDEKATAN ANTROPOLOGIS

 

BAB I

PENDAHULUAN

Berbagai fenomena kehidupan manusia di dunia, sejak lama telah dikaji oleh para ilmuan melalui berbagai macam pendekatan, termasuk dengan  pendekatan antropologi yang telah dilakukan oleh pengkaji sosial budaya, dan pada gilirannya pendekatan antropologi budaya dan sosial juga telah dimanfaatkan dalam mengkaji fenomena keagamaan. Agama  merupakan bagian dari kebudayaan. Sehingga ia pun dapat dikaji dengan pendekatan antropologis. Agama  dapat dikaji dengan pendekatan antropologis karena ia dipandang oleh antropologi- sebagai suatu –produk- budaya atau suatu fenomena –agama- yang memiliki unsur budaya.

Pendekatan antropologi dalam mengkaji fenomena-fenomena keagamaan tersebut dengan tujuan untuk lebih dapat memahami perilaku umat Islam dan dalam rangka pembangunan kehidupan beragama umat Islam itu sendiri. Namun dalam penerapannya perlu menyelaraskan pendekatan antropologi ini dengan nila-nilai yang dikandung Islam.

Tujuan diciptakannya manusia di alam semesta ini adalah semata-mata hanya untuk mengabdikan diri kepada penciptanya, yaitu Allah SWT, sesuai dengan firman Nya:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz- Zariyat: 56)

Agama Islam yang di bawa oleh nabi Muhammad saw diyakini oleh pemeluknya dapat menjamin kesejahteraan hidup manusia lahir dan batin. Di dalamnya terdapat aturan dan petunjuk bagaimana seharusnya manusia menyikapi kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran manusia melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengutamakan waktu, berakhlak mulia, dan sikap positif lainnya. Namun kenyataan Islam sekarang menampilkan keadaan yang jauh dari cita-cita tersebut.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dirasa penting untuk menerapkan  pendekatan antropologi dalam memahami agama, walaupun bermacam-macam pendekatan yang dilakukan dalam antropologi tidak sampai mengkaji agama pada hukum halal atau haram, tetapi masih merupakan sebuah terapi dan tidak akan pernah selesai, hanya meneliti masalah apa, mengapa, bagaimana, dan seterusnya. Oleh karena itu, mengkaji agama tidak cukup hanya dengan satu disiplin ilmu, tapi terdapat interdisipliner dan multidisipliner dengan ilmu yang lain,  sehingga nantinya melalui pendekatan ini, agama akan terasa lebih bermakna dan hadir kokoh dalam masyarakat tatkala kita memahami agama kita.

Dalam makalah ini, penulis berupaya memaparkan tentang pengertian antropologi, antropologi agama dan pendekatan antropologis, aplikasi pendekatan antropologis dalam mengkaji Islam dan umat Islam, penulis dan karya utama dalam kajian antropologis tentang Islam, gagasan Islamisasi antropologi, signifikansi dan kontribusi pendekatan antropologis dalam studi Islam.


 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Antropologi, Antropologi Agama, dan Pendekatan Antropologis

Untuk mendekatkan pemahaman tentang studi agama melalui pendekatan antropologi, maka ada beberapa pengertian yang harus dipahami terlebih dahulu, antara lain;

1.      Pengertian Antropologi

Secara etimologis, Antropologi tersusun dari term Latin anthropos yang artinya manusia, dan term Yunani logos yang berarti “kata’ atau “berbicara”. Antropologi berarti: “berbicara tentang manusia”.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Antropologi diartikan sebagai Ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaannya pada masa lampau. Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia disebutkan, Antropologi adalah ilmu pengetahuan tentang manusia baik fisik maupun kebudayaannya (anthropos: manusia, logos: ilmu)[1]  

Sedangkan menurut Koentjaraningrat  dalam bukunya Pengantar Antropologi  menyebutkan pengertian Antropologi sebagai berikut : Antropologi atau “Ilmu tentang manusia” adalah suatu istilah yang pada awalnya mempunyai makna yang lain, yaitu “ilmu tentang ciri-ciri tubuh manusia”. Dalam fase ke tiga perkembangan antropologi, istilah ini terutama mulai dipakai di Inggris dan Amerika dengan arti yang sama seperti etnology pada awalnya. Di Inggris, istilah antropologi kemudian malahan mendesak istilah etnology, sementara di Amerika, antropologi mendapat pengertian yang sangat luas karena meliputi bagian-bagian fisik maupun sosial dari “ilmu tentang manusia” Di Eropa Barat dan Eropa Tengah istilah antropologi hanya diartikan sebagai “ilmu tentang manusia dipandang dari ciri-ciri fisiknya”.

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas dapat disebutkan bahwa Antropologi ialah Suatu Ilmu yang mempelajari tentang manusia baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan aspek fisiknya yakni: warna kulit, bentuk rambut, bentuk muka, bentuk hidung, tinggi badan maupun dengan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosialnya.

Salah satu cara memahami perilaku manusia adalah melalui budaya. Menurut Van Peursen kebudayaan manusia berjalan melalui 3 fase, yaitu: Fase Mistis, Fase Ontologis, dan Fase Fungsional.

a.       Fase Mistis

Pada fase ini manusia melihat dunia dan alam sekitarnya sebagai kekuatan-kekuatan yang menakutkan, mengancam, bahkan menentukan nasib serta kelangsungan hidupnya. Oleh karenanya pada fase ini dikenal kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan pada alam sekitar (mitos) seperti : benda-benda, hewan, pohon, lautan, gunung, dan lain-lain. Pada fase ini juga dikenal adanya istilah Magis, yaitu suatu bentuk kepandaian yang di-miliki manusia untuk menguasai alam sekitarnya, termasuk menguasai sesamanya[2].

b.      Fase Ontologis

Fase ini ditandai adanya interaksi yang berjarak antara manusia dengan alam. Dengan menggunakan akalnya manusia mulai bertanya dan mempelajari alam sekitarnya, sehingga berkembang ilmu pengetahuan. Pada fase ini manusia mulai mengembangkan ilmu pengetahuan. Alam tak lagi dipandang sebagai kekuatan gelap yang tidak dimengerti hakekatnya, tapi sebagai sesuatu yang bisa dipelajari dan dimengerti. Tapi meskipun begitu, bukan berarti manusia hanya menggunakan akal pikirannya saja, tapi emosi-emosi, keyakinan-keyakinan dan harapan sosial masih tetap berpengaruh[3].

c.       Fase Fungsional

Pada fase ini daya-daya kekuatan alam tersebut diberi arah tertentu agar bermanfaat bagi manusia. Dengan belajar, manusia memperbaharui pandangannya. Alam tak lagi dipandang sebagai subyek yang bisa mengatur manusia, melainkan menjadi obyek yang dipengaruhi manusia sesuai kepentingannya.

Kalau kita sepakat bahwa manusia mengalami tiga fase budaya tersebut, saat ini manusia telah melampauinya. Manusia telah berhasil melampaui batas-batas pemahaman akan diri dan lingkungannya. Ia tak lagi melihat dirinya sebagai makhluk yang hanya mampu beradaptasi, tapi juga merasa memiliki kemauan dan kemampuan untuk mewujudkan semua impiannya.

2.      Antropologi Agama

Sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian terdahulu bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia baik dari aspek fisik maupun dengan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosialnya. Sedangkan agama menurut Harun Nasution berasal dari bahasa Sanskrit yaitu: 

kata a: tidak, dan gam: pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap ditempat diwarisi secara turun temurun. Secara terminologi,  defenisi agama sebagai berikut: (1)Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi, (2) Pengakuan terhadap kekuatan gaib yang menguasai manusia, (3)Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia, (4) Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu, (5) Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib, (6) Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib, (7) Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia,  (8) Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.

Berdasarkan dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa antropologi agama adalah salah satu upaya untuk memahami agama melaui ilmu yang mempelajari tentang manusia  sebagai penganut agama tersebut termasuk fenomena yang ada di sekitarnya, karena agama merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan. Melalui antropologi, diharapkan agama dapat lebih mudah untuk dipahami dan mampu mengatasi permasalahan yang timbul. P.L Stein dan B.M Rowe (1982) menyebutkan, mempelajari manusia tidak dapat lepas dari aspek lingkungan alam di sekitar kehidupan mereka. Saat ini pada hakikatnya, antropologi mendasarkan pendekatannya pada prinsip holistik, yaitu memahami manusia sebagai satu keutuhan (total being). Antropologi mempelajari manusia masa kini dan masa lalu dari pelbagai penjuru dunia dengan segala aspek, yaitu: fisik, psikologi, sosial, moral, sistem polotik, kesenian, kekerabatan, filsafat, dan agama.

Koentjaraningrat  dalam bukunya menyebutkan bahwa, Antropologi sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri masa perkembangannya berawal dari kedatangan orang-orang Eropa ke Benua Afrika, Asia dan Antartika, sebelum abad ke 18 M, hasil perjalanan mereka menuju berbagai wilayah dengan berbagai misi perjalanan yang terdiri dari para musafir, pelaut, pendeta, penyiar agama dan pegawai pemerintah jajahan mulai dikumpulkan dalam himpunan buku besar yang memuat deskripsi adat istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik berbagai warna suku bangsa. Pengetahuan tentang ciri-ciri fisik ini kemudian dikenal dengan istilah etnografi.

Dalam fase perkembangannya, antropologi agama terbagi pada beberapa aliran, diantaranya, aliran fungsional, aliran struktural dan aliran historis.  Aliran fungsional atau fungsionalisme dengan tokohnya Brosnilaw Kacper (1884-1942) berpendapat bahwa suatu aspek kebudayaan, termasuk model-model keagamaan mempunyai fungsi dalam kaitannya dengan aspek lain sebagai kesatuan, dan juga berkeyakinan bahwa institusi-institusi atau lembaga-lembaga kebudayaan dan keagamaan mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Penelitian dalam aliran fungsionalis ini bersifat longitudinal, bahkan bisa bertahun-tahun.

Aliran struktural dengan tokohnya Clauda Levi Strauss (1908-1975), tidak begitu banyak melakukan penelitian lapangan, namun ia menganjurkan adanya dislansi, yakni mengambil jarak dari objek.

Aliran historis, dengan tokohnya E. Evans Pritchard (1902-1973), mencirikan penggunaan hermeneutic, yakni melakukan penafsiran terhadap kata-kata dan istilah-istilah bahasa bangsa yang ditelitinya, disamping watak diakronisnya. Ciri-ciri antropologi historisnya adalah :

Seperti halnya sejarah, berusaha mengerti, memahami ciri penting suatu kebudayaan dan selanjutnya menerjemahkan ciri-ciri itu kedalam kata-kata atau istilah-istilah bahasa peneliti sendiri. Berusaha menemukan struktur yang mendasari masyarakat dan kebudayaannya dengan analisis-analisis yang dinamakan analisis struktural. Struktural masyarakat dan kebudayaan ini kemudian dibandingkan dengan struktur masyarakat dan kebudayaan yang berbeda.

    Sejarah lahirnya antropologi bila dibandingkan dengan perjalanan seorang filosof muslim yang dikenal dengan nama Al Biruni (973-1048 M), yang telah melakukan perjalanan ke Asia Selatan,  anak benua mendampingi Sultan Mahmud Al-Faznawi, selama di India – lebih kurang 13 tahun   ia mempelajari bahasa Sansekerta, budaya India, agamanya, Geografi, Matematik, Astronomi (Ilmu Falak) dan Filsafat. Dari mempelajari bahasa, budaya, filsafat, agama dan berbagai ilmu pengetahuan selama di India, Al-Biruni menulis berbagai buku, antara lain: Tarikh al-Hind, al-Jamahir fi al-Jawahir, Tahqiq ma li al-Hind min Ma’qulah, Maqbulah fi al-Aql au Marzulah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya model pendekatan antropologi dalam memahami agama dengan menggunakan pengamatan terlibat (participant observation) telah ditunjukkan oleh Al-Biruni dalam mengkaji bahasa, budaya, dan agama masyarakat India, kehidupan ruhani dan intelektual mereka.

Sebenarnya studi Agama telah dimulai sejak  sebelum masehi, yaitu sebagaimana diungkapkan oleh Mircea Aliade. Di era Yunani  pra Sokrates sudah lahir catatan dan laporan mengenai kehidupan keagamaan masyarakat Yunani. Namun secara aklamatif diakui bahwa studi agama modern didirikan oleh Friedrich Max Muller (1823-1900), yang memunculkan kajian metode perbandingan terhadap agama-agama yang kemudian dijadikan sebagai tonggak berdirinya studi agama sebagai sebuah disiplin keilmuan modern. Tradisi yang muncul dari kajian-kajian agama Muller, memiliki arah dua sisi ; pertama, kajian terhadap data sejarah agama-agama, dan kedua, kecendrungan kearah kajian struktur atau muatan dari kehidupan keagamaan itu sendiri.

 

 

 

 

B.     Pendekatan Antropologis Dalam Penelitian Agama

Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya.

Antropologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri secara khusus terbagi ke dalam 5 sub ilmu yang mempelajari[4] :

                  1.            Masalah asal dan perkembangan manusia,        

                  2.            Masalah  terjadinya aneka warna ciri fisik manusia

                  3.            Masalah terjadinya perkembangan dan persebaran aneka warna kebudayaan manusia

                  4.            Masalah asal perkembangan dan persebaran  warna bahasa yang diucapkan oleh manusia

                  5.            Masalah mengenai asas  masyarakat dan kebudayaan manusia dari aneka suku bangsa yang tersebar di seluruh dunia dan masa kini.

Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan demikian pendekatan antropologi dalam mengkaji agama berarti menggunakan cara-cara yang digunakan oleh disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah dalam upaya memahami agama. Menurut Amin Abdullah cara kerja –yang dalam hal ini bisa kita artikan sebagai langkah dan tahapan- pendekatan antropologis pada penelitian agama memiliki empat ciri fundamental, meliputi[5]:   

           1.            Deskriptif : Pendekatan antropologis  bermula dan diawali dari kerja lapangan  (field     work),  berhubungan  dengan orang dan –atau- masyarakat (kelompok)  setempat yang diamati dalam jangka waktu yang lama.  Inilah yang biasa disebut dengan (thick description).

           2.            Lokal Praktis : Pendekatan antropologis disertai praktik konkrit dan nyata di lapangan. Yakni, dengan ikut praktik di dalam peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan, semisal kelahiran, perkawinan, kematian dan pemakaman.

           3.            Keterkaitan antar domain kehidupan  secara lebih utuh (connections across social domains) : Pendekatan antropologis mencari keterkaitan antara domain-domain kehidupan  sosial secara lebih utuh. Yakni, hubungan antara wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik.  Hal ini dikarenakan hampir tidak ada satu pun domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri dan terlepas tanpa terkait dengan wilayah domain kehidupan yang lainnya.

           4.            Komparatif (Perbandingan) : Pendekatan antropologis –perlu- melakukan perbandingan dengan berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama.

Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran empirik akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi berupaya melihat hubungan antara agama dengan berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik.

 Menurut kesimpulan penelitian antropologi, bahwa golongan masyarakat kurang mampu dan golongan miskin lain, pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan keagamaan yang bersifat messianis, yaitu sebuah kepercayaan rakyat akan datangnya sosok yang dianggap mampu menebar keadilan dan ketenteraman, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi karena tatanan tersebut menguntungkan pihaknya.   Sebagai contoh sebagaimana disebut Robert N. Bellah tentang adanya korelasi positif antara ajaran agama Tokugawa, yakni semacam pencampuran antara agama Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang Jepang modern.

Contoh lain yang mencerminkan bahwa studi agama dapat dilakukan melalui pendekatan antropologi ialah sebagaimana kisah salah seorang dari wali songo atau dikenal juga dengan sebutan Sembilan wali, yaitu Sunan Kalijaga yang  dalam berdakwah, ia punya pola yang sama dengan Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, sangat toleran pada budaya lokal dan berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.

    Dengan menggunakan pendekatan dan perspektif antropologi tersebut di atas dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomena-fenomena keagamaan, ternyata tidak berdiri sendiri, dan tidak pernah terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Inilah makna dari penelitian antropologi dalam memahami gejala-gejala keagamaan. Agama sebagai fenomena kehidupan yang merefleksikan diri dalam sistem sosial budaya dan dalam bentuk prilaku berpola dapat dikaji dan diteliti melalui pendekatan antropologi dengan menggunakan partisipant observation (pengamatan terlibat). Pendekatan ini sangat ditekuni para ahli antroplogi untuk memahami prilaku yang tak dapat diukir secara kuantitatif, karena dapat digunakan untuk memahami berbagai aspek prilaku manusia beragama secara kualitatif, sebagaimana halnya keimanan, keikhlasan, keakraban, dan lain-lain konsep yang dibangun dalam kehidupan manusia beragama dapat lebih dipahami sebagai realitas sosial.

Dalam hal ini pendekatan antropologi  sebagaimana disebut M. Dawam Rahardjo dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, bahwa antropologi dalam kaitan ini lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan yang sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologi. Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan sebagai upaya untuk membebaskan diri dari kungkungan teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak.

C.    Aplikasi Pendekatan Antropologi Dalam Mengkaji Islam dan Umat Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, aplikasi bermakna penggunaan, penerapan.   Adapun pengaplikasian antropologi dalam mengkaji Islam dan ummat Islam adalah dalam makna menggunakan pendekatan antropologi budaya dan antropologi sosial dalam mengkaji fenomena keberagamaan umat Islam. Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keagamaan lewat antropologi seperti halnya mendekati dan memahami “objek” agama dari berbagai sudut pengamatan yang berbeda-beda[6].

Adalah Clifford Greezt dalam karyanya The Religion of Java,sebagai salah satu contoh penerapan pendekatan antropologi dalam mengkaji Islam dan umat Islam. Dalam karyanya tersebut Greezt melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di Jawa, antara santri, priyayi dan abangan.

Melalui pendekatan antropologi sebagaimana disebut Abuddin Nata, sosok agama yang berada pada dataran empirik akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi berusaha mengkaji hubungan agama dengan pranata sosial yang terjadi dalam masyarakat, mengkaji hubungan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Dengan menggunakan pendekatan antropologi dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomena-fenomena keagamaan ternyata tidak berdiri sendiri dan tidak pernah terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Inilah makna pendekatan antropologi dalam memahami fenomena-fenomena keagamaan.

Dari berbagai uraian di atas dapat dipahami bahwa pendekatan antropologi bisa dijadikan untuk mendukung penjelasan bagaimana fenomena-fenomena keagamaan dapat terjadi dan bagaimana keterkaitannya dengan jaringan institusi dan kelembagaan sosial yang mendukung keberadaannya. Salah satu contoh yang sampai saat ini masih berlangsung di tengah-tengah masyarakat kita adalah sebuah upacara “tingkeban” dan “telonan” yang masih terpengaruh dengan budaya hindu-budha, namun upacara tersebut dapat kita Islamisasikan dengan memaknainya sebagai sebuah ungkapan rasa syukur kepada Allah swt lewat untaian surah dalam Al Qur’an dan doa kepada Allah swt agar diberi keselamatan, baik bayi yang sedang dikandung maupun sang ibu sendiri.

 

D.    Penulis dan Karya Utama Dalam Kajian Antropologi Tentang Islam

Penelitian di bidang  antropologi agama diantaranya adalah apa yang dilakukan oleh Clifford Greezt dalam meneliti keberadaan umat Islam di Pulau Jawa pada tahun 50-an dan penelitian ini telah dituliskan dalam buku The Religion of Java.

Dalam penelitiannya, Greetz melihat  masyarakat Jawa di Mojokuto sebagai suatu sistem sosial, dengan kebudayaan Jawanya yang akulturatif dan agama yang sinkretik, yang terdiri atas sub kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur sosial yang berlainan, yakni: Abangan (yang intinya berpusat di pedesaan), santri, (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar) dan priyayi (yang intinya berpusat dikota, kantor pemerintahan).

Pada masyarakat Mojokuto yang penduduknya sembilan puluh persen beragama Islam, sesungguhnya memiliki variasi dalam kepercayaan, nilai dan upacara yang berkaitan dengan masing-masing struktur sosial tersebut.

Adanya perbedaan lingkup ketiga struktur sosial tersebut dan adanya latar belakang sejarah kebudayaan yang berbeda yakni masuknya peradab Hindu dan Islam di Jawa, sebagaimana disebut Greezt dalam Abuddin Nata, telah melahirkan adanya Abangan yang menunjukkan pentingnya aspek-aspek animistik, Santri yang menekankan pentingnya aspek ajaran Islam dan priyayi yang menekankan aspek-aspek Hindu.

Penelitian yang dilakukan Greezt sebagaimana disebut Abuddin Nata adalah penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada data-data yang dihimpun melalui wawancara, pengamatan, survey dan Grounded Research yakni peneliti terlibat dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya.

Dengan demikian si peneliti tidak beranjak dari suatu teori atau hipotesa tertentu, ia turun kelapangan tanpa ada pra konsepsi terhadap fenomen keagamaan yang akan diamati.

Kajian lain tentang Islam dengan menggunakan pendekatan antropologi adalah penelitian dengan judul: Mesjid dan Bakul Keramat: Konflik dan Integrasi dalam Masyarakat Bugis Amparita, M. Atho Mudzhar dalam bukunya : Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, menyebutkan bahwa penelitian dengan judul di atas  adalah penelitian agama sebagai gejala sosial dengan metode grounded research. Penelitian ini mempelajari bagaimana tiga kelompok keagamaan di mana orang-orang Islam, orang-orang Towano Tolitang dan orang-orang Tolitang Benteng di desa Amparita, Sulawesi Selatan, berinteraksi satu sama lain, kadang-kadang dalam bentuk kerja sama atau bahkan integrasi.

Hasil penelitian menunjukkan terjadinya konflik antara ketiga kelompok bermula dari soal keagamaan (upacara kematian tahun 1944), kemudian bertambah intensitas dan kompleksitasnya setelah masuknya unsur politik (masa pemberontakan DI/TII 1951 dan pemberontakan PKI 1965), kemudian berbagai pranata sosial seperti perkawinan, pendidikan agama, aturan tentang makanan dan lain-lain berfungsi melestarikan konflik tersebut.

Selain  contoh penelitian kajian Islam melalui pendekatan antropologi seperti yang telah diuraikan di atas, berikut tokoh antropologi dunia dan hasil karyanya, antara lain:

1.      Al-Biruni ( 973-1048 M )

Al-Biruni adalah seorang filosof yang telah melakukan perjalanan ke Asia Selatan,   selama di India – lebih kurang 13 tahun  ia mempelajari bahasa Sansekerta, budaya India, agamanya, Geografi, Matematik, Astronomi (Ilmu Falak) dan Filsafat. Dari mempelajari bahasa, budaya, filsafat, agama dan berbagai ilmu pengetahuan selama di India, Al-Biruni menulis berbagai buku, antara lain: Tarikh al-Hind, al-Jamahir fi al-Jawahir, Tahqiq ma li al-Hind min Ma’qulah, Maqbulah fi al-Aql au Marzulah.

2.      Koentjaraningrat

Koentjaraningrat lahir di Yogyakarta tahun 1923. Beliau lulus Sarjana Sastra Bahasa Indonesia Universitas Indonesia pada tahun 1952. mendapat gelar MA dalam antropologi dari Yale University (Amerika Serikat) tahun 1956, dan gelar Doktor Antropologi dari Universitas Indonesia pada tahun 1958. Sebelum menjalani pensiun tahun 1988, ia menjadi gurubesar Antropologi pada Universitas Indonesia. Beliau pernah pula menjadi gurubesar luar biasa pada Universitas Gajah Mada, Akademi Hukum Militer, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, dan pernah diundang sebagai gurubesar tamu di Universitas Utrecht (Belanda), Universitas Columbia, Universitas Illinors, Universitas Ohio, Universitas Wisconsin, Universitas Malaya, Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales di Paris, dan Center for South East Asian Studies, Universitas Kyoto. Penghargaan ilmiah yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Utrecht (1976) dan Fukuoka Asian Cultural Price (1995).

Menurut beliau, dalam menentukan dasar-dasar dari antropologi Indonesia, kita belum terikat oleh suatu tradisi sehingga kita masih dapat memilih serta mengkombinasikan berbagai unsur dari aliran yang paling sesuai yang telah berkembang di negara-negara lain, dan diselaraskan dengan masalah kemasyarakatan di Indonesia.   Karya-karyanya yang telah diterbitkan antara lain Atlas Etnografi Sedunia, Pengantar Antropologi, dan Keseragaman dan Aneka Warna Masyarakat Irian Barat.

3.      Parsudi Suparlan

Prof. Parsudi Suparlan adalah seorang Antropolog Nasional, ilmuwan sejati, yang berjasa menjadikan Antropologi di Indonesia memiliki sosok dan corak yang tegas sebagai disiplin ilmiah, yang tak lain adalah karena pentingnya penguasaan teori. Beliau lulus Sarjana Antropologi dari Universitas Indonesia tahun 1964. Kemudian menempuh jenjang MA lulus pada tahun 1972 dan PhD lulus tahun 1976 di Amerika Serikat. Beliau mencapai gelar Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia tahun 1998. Menurut beliau, antropologi merupakan disiplin ilmu yang kuat, karena pentingnya teori, ketajaman analisis, ketepatan metodologi, dan tidak hanya sekedar mengurai-uraikan data. Selain itu, juga pentingnya pemahaman yang kuat mangenai konsep kebudayaan dan struktur sosial.  

4.      James Danandjaja

James Danandjaja dilahirkan di Jakarta 13 April 1934. Beliau adalah tokoh Folklor Nusantara yang pertama. Bagian budaya yang bernama folklor itu berupa bahasa rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki, legenda, dongeng, lelucon, nyanyian rakyat, seni rupa, dan lain sebagainya. Ilmu tentang folklor ia perkenalkan kepada mahasiswa jurusan Antropologi FISIP Universitas Indonesia sejak tahun 1972. pada mata kuliah tersebut, para mahasiswa antara lain ditugasinya mengumpulkan berbagai folklor di tanah air. Hasil pengumpulan itulah, antara lain yang ia gunakan untuk bukunya. Ia mendapatkan Master dari Universitas Berkeley tahun 1971 dengan karya tulis yang kemudian diterbitkan sebagai buku, An Annotated Bibliography of Javanese Folklore. Gelar Doktor dalam bidang Antropologi Psikologi ia peroleh dari Universitas Indonesia tahun 1977, dengan disertasi Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Buku lain karya Jimmi adalah Pantomim Suci Betara Berata dari Trunyan, Bali dan Upacara Lingkaran Hidup di Trunyan, Bali, serta Folklor Indonesia.  


 

BAB III

KESIMPULAN

Metode-metode yang digunakan untuk memahami Islam suatu saat nanti mungkin dipandang tidak cukup lagi, sehingga diperlukan adanya pendekatan baru yang harus terus digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan (approaches) ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat banyak pendekatan yang digunakan dalam memahami agama. Diantaranya adalah pendekatan teologis normative, antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan, dan pendekatan filosofis.      

Pendekatan manusia dalam memahami agama yang dimaksud adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama tersebut. Dalam memahami agama melalui pendekatan antropologi, maka dapat dilaksanakan dengan cara participan observation, yaitu berperan serta ke dalam masyarakat yang akan di teliti, guna melihat lebih dalam wujud praktek keagamaan dalam masyarakat tersebut.  Sebagai contoh apa yang dilakukan Clifford Greezt dalam meneliti keberadaan umat Islam di Pulau Jawa pada tahun 50-an dan penelitian ini telah dituliskan dalam buku The Religion of Java. Akan tetapi, hendaknya pendekatan antropologi ini tentu saja tetap berpegang kepada sumber hukum agama kita, yaitu Al Qur’an dan Hadits. Wallahu A’lam.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah,  M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.I, 1996.

Abdullah, M. Yatimin, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah, 2006.

Abdullah, Taufik dan Karim, M.Rusli, (ed), Metodologi Penelitian Agama,    Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1989.

Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Pengetahuan¸ Bandung: Pustaka, 1984.

   Beck, Herman,  Metode Penelitian Agama, Yogyakarta : Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga,1990.

Husyain Amin Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2001.

    http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/

  http://bloggersumut.net/ 2009/sejarah budaya-sejarah-sembilan-wali

   http://cabiklunik.blogspot.com, Achmad Fedyani Saifuddin, 2007, Orbituari: Pendekar itu Telah Pergi

http:// catilla.wordpress.com/tag/mistis/ 14 Jun 2011 ... Menurut Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, (1976), kebudayaan manusia berjalan melalui 3 fase : Fase Mistis, Fase Ontologis, dan ...

 

   Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

   Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.

    Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI. Press, 1979.

    Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarat: PT. Raja Grafindo Persada, cetakan ketujuh, 2002.

   Permata Norma Ahmad, Metodologi Studi Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.

   Soekanto Soerjono, Sosial Suatu Pengantar, Jakarta ; CV. Rajawali, 1982.

   Tim Penyusun Ensiklopedi, Ensiklopedi Nasional Indonesia , Jakarta: PT. Delta Pamungkas, 2004.

   Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Edisi Kedua, Jakarta : Balai Pustaka, Cetakan Kesepuluh, 1999.

   Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008. 



[1] Abdullah,  M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.I, 1996.

 

[2] Abdullah, Taufik dan Karim, M.Rusli, (ed), Metodologi Penelitian Agama,    Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1989.

 

[3] Beck, Herman,  Metode Penelitian Agama, Yogyakarta : Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga,1990.

 

[4] Husyain Amin Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2001.

 

[5] http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/

 

[6] Abdullah, M. Yatimin, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah, 2006.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar