BAB
I
PENDAHULUAN
Berbagai fenomena kehidupan manusia di dunia, sejak lama telah
dikaji oleh para ilmuan melalui berbagai macam pendekatan, termasuk dengan pendekatan antropologi yang telah dilakukan
oleh pengkaji sosial budaya, dan pada gilirannya pendekatan antropologi budaya
dan sosial juga telah dimanfaatkan dalam mengkaji fenomena keagamaan.
Agama merupakan bagian dari kebudayaan.
Sehingga ia pun dapat dikaji dengan pendekatan antropologis. Agama dapat dikaji dengan pendekatan antropologis
karena ia dipandang oleh antropologi- sebagai suatu –produk- budaya atau suatu
fenomena –agama- yang memiliki unsur budaya.
Pendekatan antropologi dalam mengkaji fenomena-fenomena keagamaan
tersebut dengan tujuan untuk lebih dapat memahami perilaku umat Islam dan dalam
rangka pembangunan kehidupan beragama umat Islam itu sendiri. Namun dalam
penerapannya perlu menyelaraskan pendekatan antropologi ini dengan nila-nilai
yang dikandung Islam.
Tujuan diciptakannya manusia di alam semesta ini adalah semata-mata
hanya untuk mengabdikan diri kepada penciptanya, yaitu Allah SWT, sesuai dengan
firman Nya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. (QS. Adz- Zariyat: 56)
Agama Islam yang di bawa oleh nabi Muhammad saw diyakini oleh pemeluknya
dapat menjamin kesejahteraan hidup manusia lahir dan batin. Di dalamnya
terdapat aturan dan petunjuk bagaimana seharusnya manusia menyikapi kehidupan
ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Mengajarkan kehidupan
yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran manusia melalui
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengutamakan waktu, berakhlak
mulia, dan sikap positif lainnya. Namun kenyataan Islam sekarang menampilkan
keadaan yang jauh dari cita-cita tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dirasa penting untuk
menerapkan pendekatan antropologi dalam
memahami agama, walaupun bermacam-macam pendekatan yang dilakukan dalam
antropologi tidak sampai mengkaji agama pada hukum halal atau haram, tetapi
masih merupakan sebuah terapi dan tidak akan pernah selesai, hanya meneliti
masalah apa, mengapa, bagaimana, dan seterusnya. Oleh karena itu, mengkaji
agama tidak cukup hanya dengan satu disiplin ilmu, tapi terdapat
interdisipliner dan multidisipliner dengan ilmu yang lain, sehingga nantinya melalui pendekatan ini,
agama akan terasa lebih bermakna dan hadir kokoh dalam masyarakat tatkala kita
memahami agama kita.
Dalam makalah ini, penulis berupaya memaparkan tentang pengertian
antropologi, antropologi agama dan pendekatan antropologis, aplikasi pendekatan
antropologis dalam mengkaji Islam dan umat Islam, penulis dan karya utama dalam
kajian antropologis tentang Islam, gagasan Islamisasi antropologi, signifikansi
dan kontribusi pendekatan antropologis dalam studi Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Antropologi, Antropologi Agama, dan Pendekatan Antropologis
Untuk mendekatkan pemahaman tentang studi agama melalui pendekatan
antropologi, maka ada beberapa pengertian yang harus dipahami terlebih dahulu,
antara lain;
1. Pengertian Antropologi
Secara etimologis, Antropologi
tersusun dari term Latin anthropos yang artinya manusia, dan term Yunani logos
yang berarti “kata’ atau “berbicara”. Antropologi berarti: “berbicara tentang
manusia”. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Antropologi diartikan sebagai Ilmu tentang manusia, khususnya
tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaannya
pada masa lampau. Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia disebutkan, Antropologi
adalah ilmu pengetahuan tentang manusia baik fisik maupun kebudayaannya
(anthropos: manusia, logos: ilmu)[1]
Sedangkan menurut
Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar
Antropologi menyebutkan pengertian
Antropologi sebagai berikut : Antropologi atau “Ilmu tentang manusia” adalah
suatu istilah yang pada awalnya mempunyai makna yang lain, yaitu “ilmu tentang
ciri-ciri tubuh manusia”. Dalam fase ke tiga perkembangan antropologi, istilah
ini terutama mulai dipakai di Inggris dan Amerika dengan arti yang sama seperti
etnology pada awalnya. Di Inggris, istilah antropologi kemudian malahan
mendesak istilah etnology, sementara di Amerika, antropologi mendapat
pengertian yang sangat luas karena meliputi bagian-bagian fisik maupun sosial
dari “ilmu tentang manusia” Di Eropa Barat dan Eropa Tengah istilah antropologi
hanya diartikan sebagai “ilmu tentang manusia dipandang dari ciri-ciri
fisiknya”.
Berdasarkan uraian yang telah
disebutkan di atas dapat disebutkan bahwa Antropologi ialah Suatu Ilmu yang
mempelajari tentang manusia baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan aspek
fisiknya yakni: warna kulit, bentuk rambut, bentuk muka, bentuk hidung, tinggi
badan maupun dengan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosialnya.
Salah satu cara memahami perilaku
manusia adalah melalui budaya. Menurut Van Peursen kebudayaan manusia berjalan
melalui 3 fase, yaitu: Fase Mistis, Fase Ontologis, dan Fase Fungsional.
a. Fase Mistis
Pada fase ini manusia melihat dunia dan alam sekitarnya sebagai
kekuatan-kekuatan yang menakutkan, mengancam, bahkan menentukan nasib serta kelangsungan
hidupnya. Oleh karenanya pada fase ini dikenal kepercayaan yang meyakini adanya
kekuatan pada alam sekitar (mitos) seperti : benda-benda, hewan, pohon, lautan,
gunung, dan lain-lain. Pada fase ini juga dikenal adanya istilah Magis, yaitu
suatu bentuk kepandaian yang di-miliki manusia untuk menguasai alam sekitarnya,
termasuk menguasai sesamanya[2].
b. Fase Ontologis
Fase ini ditandai adanya interaksi yang berjarak antara manusia
dengan alam. Dengan menggunakan akalnya manusia mulai bertanya dan mempelajari
alam sekitarnya, sehingga berkembang ilmu pengetahuan. Pada fase ini manusia
mulai mengembangkan ilmu pengetahuan. Alam tak lagi dipandang sebagai kekuatan
gelap yang tidak dimengerti hakekatnya, tapi sebagai sesuatu yang bisa
dipelajari dan dimengerti. Tapi meskipun begitu, bukan berarti manusia hanya
menggunakan akal pikirannya saja, tapi emosi-emosi, keyakinan-keyakinan dan
harapan sosial masih tetap berpengaruh[3].
c. Fase Fungsional
Pada fase ini daya-daya kekuatan alam tersebut diberi arah tertentu
agar bermanfaat bagi manusia. Dengan belajar, manusia memperbaharui
pandangannya. Alam tak lagi dipandang sebagai subyek yang bisa mengatur
manusia, melainkan menjadi obyek yang dipengaruhi manusia sesuai
kepentingannya.
Kalau kita sepakat bahwa manusia mengalami tiga fase budaya
tersebut, saat ini manusia telah melampauinya. Manusia telah berhasil melampaui
batas-batas pemahaman akan diri dan lingkungannya. Ia tak lagi melihat dirinya
sebagai makhluk yang hanya mampu beradaptasi, tapi juga merasa memiliki kemauan
dan kemampuan untuk mewujudkan semua impiannya.
2. Antropologi Agama
Sebagaimana yang telah disebutkan
pada bagian terdahulu bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
manusia baik dari aspek fisik maupun dengan hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan sosialnya. Sedangkan agama menurut Harun Nasution berasal dari bahasa
Sanskrit yaitu:
kata a: tidak, dan gam: pergi, jadi
agama artinya tidak pergi, tetap ditempat diwarisi secara turun temurun. Secara
terminologi, defenisi agama sebagai
berikut: (1)Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib
yang harus dipatuhi, (2) Pengakuan terhadap kekuatan gaib yang menguasai
manusia, (3)Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan
pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia, (4) Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang
menimbulkan cara hidup tertentu, (5) Suatu sistem tingkah laku yang berasal
dari kekuatan gaib, (6) Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang
diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib, (7) Pemujaan terhadap kekuatan
gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasan takut terhadap kekuatan
misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia, (8) Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada
manusia melalui seorang Rasul.
Berdasarkan dari pemaparan di atas,
dapat dipahami bahwa antropologi agama adalah salah satu upaya untuk memahami
agama melaui ilmu yang mempelajari tentang manusia sebagai penganut agama tersebut termasuk
fenomena yang ada di sekitarnya, karena agama merupakan bagian dari kehidupan
manusia yang tidak dapat dipisahkan. Melalui antropologi, diharapkan agama
dapat lebih mudah untuk dipahami dan mampu mengatasi permasalahan yang timbul.
P.L Stein dan B.M Rowe (1982) menyebutkan, mempelajari manusia tidak dapat
lepas dari aspek lingkungan alam di sekitar kehidupan mereka. Saat ini pada
hakikatnya, antropologi mendasarkan pendekatannya pada prinsip holistik, yaitu
memahami manusia sebagai satu keutuhan (total being). Antropologi mempelajari
manusia masa kini dan masa lalu dari pelbagai penjuru dunia dengan segala
aspek, yaitu: fisik, psikologi, sosial, moral, sistem polotik, kesenian,
kekerabatan, filsafat, dan agama.
Koentjaraningrat dalam bukunya menyebutkan bahwa, Antropologi
sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri masa perkembangannya berawal dari
kedatangan orang-orang Eropa ke Benua Afrika, Asia dan Antartika, sebelum abad
ke 18 M, hasil perjalanan mereka menuju berbagai wilayah dengan berbagai misi
perjalanan yang terdiri dari para musafir, pelaut, pendeta, penyiar agama dan
pegawai pemerintah jajahan mulai dikumpulkan dalam himpunan buku besar yang
memuat deskripsi adat istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik
berbagai warna suku bangsa. Pengetahuan tentang ciri-ciri fisik ini kemudian
dikenal dengan istilah etnografi.
Dalam fase perkembangannya,
antropologi agama terbagi pada beberapa aliran, diantaranya, aliran fungsional,
aliran struktural dan aliran historis.
Aliran fungsional atau fungsionalisme dengan tokohnya Brosnilaw Kacper
(1884-1942) berpendapat bahwa suatu aspek kebudayaan, termasuk model-model keagamaan
mempunyai fungsi dalam kaitannya dengan aspek lain sebagai kesatuan, dan juga
berkeyakinan bahwa institusi-institusi atau lembaga-lembaga kebudayaan dan
keagamaan mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat.
Penelitian dalam aliran fungsionalis ini bersifat longitudinal, bahkan bisa
bertahun-tahun.
Aliran struktural dengan tokohnya Clauda Levi Strauss (1908-1975),
tidak begitu banyak melakukan penelitian lapangan, namun ia menganjurkan adanya
dislansi, yakni mengambil jarak dari objek.
Aliran historis, dengan tokohnya E.
Evans Pritchard (1902-1973), mencirikan penggunaan hermeneutic, yakni melakukan
penafsiran terhadap kata-kata dan istilah-istilah bahasa bangsa yang
ditelitinya, disamping watak diakronisnya. Ciri-ciri antropologi historisnya
adalah :
Seperti halnya
sejarah, berusaha mengerti, memahami ciri penting suatu kebudayaan dan
selanjutnya menerjemahkan ciri-ciri itu kedalam kata-kata atau istilah-istilah
bahasa peneliti sendiri. Berusaha menemukan struktur yang mendasari masyarakat
dan kebudayaannya dengan analisis-analisis yang dinamakan analisis struktural.
Struktural masyarakat dan kebudayaan ini kemudian dibandingkan dengan struktur
masyarakat dan kebudayaan yang berbeda.
Sejarah lahirnya antropologi bila dibandingkan dengan perjalanan seorang
filosof muslim yang dikenal dengan nama Al Biruni (973-1048 M), yang telah
melakukan perjalanan ke Asia Selatan,
anak benua mendampingi Sultan Mahmud Al-Faznawi, selama di India – lebih
kurang 13 tahun ia mempelajari bahasa
Sansekerta, budaya India, agamanya, Geografi, Matematik, Astronomi (Ilmu Falak)
dan Filsafat. Dari mempelajari bahasa, budaya, filsafat, agama dan berbagai
ilmu pengetahuan selama di India, Al-Biruni menulis berbagai buku, antara lain:
Tarikh al-Hind, al-Jamahir fi al-Jawahir, Tahqiq ma li al-Hind min Ma’qulah,
Maqbulah fi al-Aql au Marzulah.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya model pendekatan antropologi dalam memahami
agama dengan menggunakan pengamatan terlibat (participant observation) telah
ditunjukkan oleh Al-Biruni dalam mengkaji bahasa, budaya, dan agama masyarakat
India, kehidupan ruhani dan intelektual mereka.
Sebenarnya studi Agama telah dimulai
sejak sebelum masehi, yaitu sebagaimana
diungkapkan oleh Mircea Aliade. Di era Yunani
pra Sokrates sudah lahir catatan dan laporan mengenai kehidupan
keagamaan masyarakat Yunani. Namun secara aklamatif diakui bahwa studi agama
modern didirikan oleh Friedrich Max Muller (1823-1900), yang memunculkan kajian
metode perbandingan terhadap agama-agama yang kemudian dijadikan sebagai
tonggak berdirinya studi agama sebagai sebuah disiplin keilmuan modern. Tradisi
yang muncul dari kajian-kajian agama Muller, memiliki arah dua sisi ; pertama,
kajian terhadap data sejarah agama-agama, dan kedua, kecendrungan kearah kajian
struktur atau muatan dari kehidupan keagamaan itu sendiri.
B.
Pendekatan
Antropologis Dalam Penelitian Agama
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang
atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan
dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa
agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma realitas agama yang
diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya.
Antropologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri secara khusus terbagi
ke dalam 5 sub ilmu yang mempelajari[4] :
1.
Masalah asal
dan perkembangan manusia,
2.
Masalah terjadinya aneka warna ciri fisik manusia
3.
Masalah
terjadinya perkembangan dan persebaran aneka warna kebudayaan manusia
4.
Masalah asal
perkembangan dan persebaran warna bahasa
yang diucapkan oleh manusia
5.
Masalah
mengenai asas masyarakat dan kebudayaan
manusia dari aneka suku bangsa yang tersebar di seluruh dunia dan masa kini.
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan
sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik
keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini
agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan
berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan demikian pendekatan
antropologi dalam mengkaji agama berarti menggunakan cara-cara yang digunakan
oleh disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah dalam upaya memahami
agama. Menurut Amin Abdullah cara kerja –yang dalam hal ini bisa kita artikan
sebagai langkah dan tahapan- pendekatan antropologis pada penelitian agama
memiliki empat ciri fundamental, meliputi[5]:
1.
Deskriptif :
Pendekatan antropologis bermula dan
diawali dari kerja lapangan (field work),
berhubungan dengan orang dan
–atau- masyarakat (kelompok) setempat
yang diamati dalam jangka waktu yang lama.
Inilah yang biasa disebut dengan (thick description).
2.
Lokal Praktis :
Pendekatan antropologis disertai praktik konkrit dan nyata di lapangan. Yakni,
dengan ikut praktik di dalam peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan,
semisal kelahiran, perkawinan, kematian dan pemakaman.
3.
Keterkaitan
antar domain kehidupan secara lebih utuh
(connections across social domains) : Pendekatan antropologis mencari
keterkaitan antara domain-domain kehidupan
sosial secara lebih utuh. Yakni, hubungan antara wilayah ekonomi,
sosial, agama, budaya dan politik. Hal
ini dikarenakan hampir tidak ada satu pun domain wilayah kehidupan yang dapat
berdiri sendiri dan terlepas tanpa terkait dengan wilayah domain kehidupan yang
lainnya.
4.
Komparatif
(Perbandingan) : Pendekatan antropologis –perlu- melakukan perbandingan dengan
berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama.
Melalui
pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran empirik akan dapat
dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul
dan dirumuskan. Antropologi berupaya melihat hubungan antara agama dengan
berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam berbagai penelitian
antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara
kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik.
Menurut kesimpulan penelitian antropologi,
bahwa golongan masyarakat kurang mampu dan golongan miskin lain, pada umumnya
lebih tertarik kepada gerakan keagamaan yang bersifat messianis, yaitu sebuah
kepercayaan rakyat akan datangnya sosok yang dianggap mampu menebar keadilan
dan ketenteraman, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan.
Sedangkan golongan kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat
yang sudah mapan secara ekonomi karena tatanan tersebut menguntungkan
pihaknya. Sebagai contoh sebagaimana
disebut Robert N. Bellah tentang adanya korelasi positif antara ajaran agama
Tokugawa, yakni semacam pencampuran antara agama Budha dan Sinto pada era
pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang Jepang modern.
Contoh
lain yang mencerminkan bahwa studi agama dapat dilakukan melalui pendekatan
antropologi ialah sebagaimana kisah salah seorang dari wali songo atau dikenal
juga dengan sebutan Sembilan wali, yaitu Sunan Kalijaga yang dalam berdakwah, ia punya pola yang sama
dengan Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf”
-bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, sangat toleran pada budaya lokal dan
berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka
mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama akan hilang. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara
suluk sebagai sarana dakwah.
Dengan menggunakan pendekatan dan perspektif
antropologi tersebut di atas dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan
fenomena-fenomena keagamaan, ternyata tidak berdiri sendiri, dan tidak pernah
terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang
mendukung keberadaannya. Inilah makna dari penelitian antropologi dalam
memahami gejala-gejala keagamaan. Agama sebagai fenomena kehidupan yang
merefleksikan diri dalam sistem sosial budaya dan dalam bentuk prilaku berpola
dapat dikaji dan diteliti melalui pendekatan antropologi dengan menggunakan
partisipant observation (pengamatan terlibat). Pendekatan ini sangat ditekuni
para ahli antroplogi untuk memahami prilaku yang tak dapat diukir secara
kuantitatif, karena dapat digunakan untuk memahami berbagai aspek prilaku manusia
beragama secara kualitatif, sebagaimana halnya keimanan, keikhlasan, keakraban,
dan lain-lain konsep yang dibangun dalam kehidupan manusia beragama dapat lebih
dipahami sebagai realitas sosial.
Dalam
hal ini pendekatan antropologi
sebagaimana disebut M. Dawam Rahardjo dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli
Karim, bahwa antropologi dalam kaitan ini lebih mengutamakan pengamatan
langsung, bahkan yang sifatnya partisipatif. Dari sini timbul
kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan
deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologi. Penelitian
antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan sebagai upaya
untuk membebaskan diri dari kungkungan teori formal yang pada dasarnya sangat
abstrak.
C.
Aplikasi
Pendekatan Antropologi Dalam Mengkaji Islam dan Umat Islam
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, aplikasi bermakna penggunaan, penerapan. Adapun pengaplikasian antropologi dalam
mengkaji Islam dan ummat Islam adalah dalam makna menggunakan pendekatan
antropologi budaya dan antropologi sosial dalam mengkaji fenomena keberagamaan
umat Islam. Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keagamaan lewat
antropologi seperti halnya mendekati dan memahami “objek” agama dari berbagai
sudut pengamatan yang berbeda-beda[6].
Adalah Clifford
Greezt dalam karyanya The Religion of Java,sebagai salah satu contoh penerapan
pendekatan antropologi dalam mengkaji Islam dan umat Islam. Dalam karyanya
tersebut Greezt melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di
Jawa, antara santri, priyayi dan abangan.
Melalui
pendekatan antropologi sebagaimana disebut Abuddin Nata, sosok agama yang
berada pada dataran empirik akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar
belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi
berusaha mengkaji hubungan agama dengan pranata sosial yang terjadi dalam
masyarakat, mengkaji hubungan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Dengan
menggunakan pendekatan antropologi dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan
fenomena-fenomena keagamaan ternyata tidak berdiri sendiri dan tidak pernah
terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang
mendukung keberadaannya. Inilah makna pendekatan antropologi dalam memahami
fenomena-fenomena keagamaan.
Dari berbagai
uraian di atas dapat dipahami bahwa pendekatan antropologi bisa dijadikan untuk
mendukung penjelasan bagaimana fenomena-fenomena keagamaan dapat terjadi dan
bagaimana keterkaitannya dengan jaringan institusi dan kelembagaan sosial yang
mendukung keberadaannya. Salah satu contoh yang sampai saat ini masih
berlangsung di tengah-tengah masyarakat kita adalah sebuah upacara “tingkeban”
dan “telonan” yang masih terpengaruh dengan budaya hindu-budha, namun upacara
tersebut dapat kita Islamisasikan dengan memaknainya sebagai sebuah ungkapan
rasa syukur kepada Allah swt lewat untaian surah dalam Al Qur’an dan doa kepada
Allah swt agar diberi keselamatan, baik bayi yang sedang dikandung maupun sang
ibu sendiri.
D.
Penulis dan
Karya Utama Dalam Kajian Antropologi Tentang Islam
Penelitian di
bidang antropologi agama diantaranya
adalah apa yang dilakukan oleh Clifford Greezt dalam meneliti keberadaan umat
Islam di Pulau Jawa pada tahun 50-an dan penelitian ini telah dituliskan dalam
buku The Religion of Java.
Dalam
penelitiannya, Greetz melihat masyarakat
Jawa di Mojokuto sebagai suatu sistem sosial, dengan kebudayaan Jawanya yang
akulturatif dan agama yang sinkretik, yang terdiri atas sub kebudayaan Jawa
yang masing-masing merupakan struktur sosial yang berlainan, yakni: Abangan
(yang intinya berpusat di pedesaan), santri, (yang intinya berpusat di tempat
perdagangan atau pasar) dan priyayi (yang intinya berpusat dikota, kantor
pemerintahan).
Pada masyarakat
Mojokuto yang penduduknya sembilan puluh persen beragama Islam, sesungguhnya
memiliki variasi dalam kepercayaan, nilai dan upacara yang berkaitan dengan
masing-masing struktur sosial tersebut.
Adanya
perbedaan lingkup ketiga struktur sosial tersebut dan adanya latar belakang
sejarah kebudayaan yang berbeda yakni masuknya peradab Hindu dan Islam di Jawa,
sebagaimana disebut Greezt dalam Abuddin Nata, telah melahirkan adanya Abangan
yang menunjukkan pentingnya aspek-aspek animistik, Santri yang menekankan
pentingnya aspek ajaran Islam dan priyayi yang menekankan aspek-aspek Hindu.
Penelitian yang
dilakukan Greezt sebagaimana disebut Abuddin Nata adalah penelitian lapangan
dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada data-data yang
dihimpun melalui wawancara, pengamatan, survey dan Grounded Research yakni peneliti
terlibat dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya.
Dengan demikian
si peneliti tidak beranjak dari suatu teori atau hipotesa tertentu, ia turun
kelapangan tanpa ada pra konsepsi terhadap fenomen keagamaan yang akan diamati.
Kajian lain
tentang Islam dengan menggunakan pendekatan antropologi adalah penelitian
dengan judul: Mesjid dan Bakul Keramat: Konflik dan Integrasi dalam Masyarakat
Bugis Amparita, M. Atho Mudzhar dalam bukunya : Pendekatan Studi Islam dalam
Teori dan Praktek, menyebutkan bahwa penelitian dengan judul di atas adalah penelitian agama sebagai gejala sosial
dengan metode grounded research. Penelitian ini mempelajari bagaimana tiga
kelompok keagamaan di mana orang-orang Islam, orang-orang Towano Tolitang dan
orang-orang Tolitang Benteng di desa Amparita, Sulawesi Selatan, berinteraksi
satu sama lain, kadang-kadang dalam bentuk kerja sama atau bahkan integrasi.
Hasil
penelitian menunjukkan terjadinya konflik antara ketiga kelompok bermula dari
soal keagamaan (upacara kematian tahun 1944), kemudian bertambah intensitas dan
kompleksitasnya setelah masuknya unsur politik (masa pemberontakan DI/TII 1951
dan pemberontakan PKI 1965), kemudian berbagai pranata sosial seperti
perkawinan, pendidikan agama, aturan tentang makanan dan lain-lain berfungsi
melestarikan konflik tersebut.
Selain contoh penelitian kajian Islam melalui
pendekatan antropologi seperti yang telah diuraikan di atas, berikut tokoh
antropologi dunia dan hasil karyanya, antara lain:
1.
Al-Biruni (
973-1048 M )
Al-Biruni adalah seorang filosof
yang telah melakukan perjalanan ke Asia Selatan, selama di India – lebih kurang 13 tahun ia mempelajari bahasa Sansekerta, budaya
India, agamanya, Geografi, Matematik, Astronomi (Ilmu Falak) dan Filsafat. Dari
mempelajari bahasa, budaya, filsafat, agama dan berbagai ilmu pengetahuan
selama di India, Al-Biruni menulis berbagai buku, antara lain: Tarikh al-Hind,
al-Jamahir fi al-Jawahir, Tahqiq ma li al-Hind min Ma’qulah, Maqbulah fi al-Aql
au Marzulah.
2.
Koentjaraningrat
Koentjaraningrat lahir di Yogyakarta
tahun 1923. Beliau lulus Sarjana Sastra Bahasa Indonesia Universitas Indonesia
pada tahun 1952. mendapat gelar MA dalam antropologi dari Yale University
(Amerika Serikat) tahun 1956, dan gelar Doktor Antropologi dari Universitas
Indonesia pada tahun 1958. Sebelum menjalani pensiun tahun 1988, ia menjadi
gurubesar Antropologi pada Universitas Indonesia. Beliau pernah pula menjadi
gurubesar luar biasa pada Universitas Gajah Mada, Akademi Hukum Militer,
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, dan pernah diundang sebagai gurubesar tamu di
Universitas Utrecht (Belanda), Universitas Columbia, Universitas Illinors,
Universitas Ohio, Universitas Wisconsin, Universitas Malaya, Ecole des Hautes
Etudes en Sciences Sociales di Paris, dan Center for South East Asian Studies,
Universitas Kyoto. Penghargaan ilmiah yang diterimanya adalah gelar Doctor
Honoris Causa dari Universitas Utrecht (1976) dan Fukuoka Asian Cultural Price
(1995).
Menurut beliau, dalam menentukan
dasar-dasar dari antropologi Indonesia, kita belum terikat oleh suatu tradisi
sehingga kita masih dapat memilih serta mengkombinasikan berbagai unsur dari
aliran yang paling sesuai yang telah berkembang di negara-negara lain, dan
diselaraskan dengan masalah kemasyarakatan di Indonesia. Karya-karyanya yang telah diterbitkan antara
lain Atlas Etnografi Sedunia, Pengantar Antropologi, dan Keseragaman dan Aneka
Warna Masyarakat Irian Barat.
3.
Parsudi
Suparlan
Prof. Parsudi Suparlan adalah
seorang Antropolog Nasional, ilmuwan sejati, yang berjasa menjadikan
Antropologi di Indonesia memiliki sosok dan corak yang tegas sebagai disiplin
ilmiah, yang tak lain adalah karena pentingnya penguasaan teori. Beliau lulus
Sarjana Antropologi dari Universitas Indonesia tahun 1964. Kemudian menempuh jenjang
MA lulus pada tahun 1972 dan PhD lulus tahun 1976 di Amerika Serikat. Beliau
mencapai gelar Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia tahun 1998. Menurut
beliau, antropologi merupakan disiplin ilmu yang kuat, karena pentingnya teori,
ketajaman analisis, ketepatan metodologi, dan tidak hanya sekedar
mengurai-uraikan data. Selain itu, juga pentingnya pemahaman yang kuat mangenai
konsep kebudayaan dan struktur sosial.
4.
James
Danandjaja
James
Danandjaja dilahirkan di Jakarta 13 April 1934. Beliau adalah tokoh Folklor
Nusantara yang pertama. Bagian budaya yang bernama folklor itu berupa bahasa
rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki, legenda, dongeng, lelucon, nyanyian
rakyat, seni rupa, dan lain sebagainya. Ilmu tentang folklor ia perkenalkan
kepada mahasiswa jurusan Antropologi FISIP Universitas Indonesia sejak tahun
1972. pada mata kuliah tersebut, para mahasiswa antara lain ditugasinya
mengumpulkan berbagai folklor di tanah air. Hasil pengumpulan itulah, antara
lain yang ia gunakan untuk bukunya. Ia mendapatkan Master dari Universitas
Berkeley tahun 1971 dengan karya tulis yang kemudian diterbitkan sebagai buku,
An Annotated Bibliography of Javanese Folklore. Gelar Doktor dalam bidang
Antropologi Psikologi ia peroleh dari Universitas Indonesia tahun 1977, dengan
disertasi Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Buku lain karya Jimmi adalah
Pantomim Suci Betara Berata dari Trunyan, Bali dan Upacara Lingkaran Hidup di
Trunyan, Bali, serta Folklor Indonesia.
BAB
III
KESIMPULAN
Metode-metode yang digunakan untuk memahami Islam suatu saat nanti
mungkin dipandang tidak cukup lagi, sehingga diperlukan adanya pendekatan baru
yang harus terus digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian,
pendekatan-pendekatan (approaches) ini tentu saja mengandung arti satuan dari
teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat banyak pendekatan yang digunakan
dalam memahami agama. Diantaranya adalah pendekatan teologis normative,
antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan, dan pendekatan
filosofis.
Pendekatan manusia dalam memahami agama yang dimaksud adalah cara
pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya
digunakan dalam memahami agama tersebut. Dalam memahami agama melalui
pendekatan antropologi, maka dapat dilaksanakan dengan cara participan
observation, yaitu berperan serta ke dalam masyarakat yang akan di teliti, guna
melihat lebih dalam wujud praktek keagamaan dalam masyarakat tersebut. Sebagai contoh apa yang dilakukan Clifford
Greezt dalam meneliti keberadaan umat Islam di Pulau Jawa pada tahun 50-an dan
penelitian ini telah dituliskan dalam buku The Religion of Java. Akan tetapi,
hendaknya pendekatan antropologi ini tentu saja tetap berpegang kepada sumber
hukum agama kita, yaitu Al Qur’an dan Hadits. Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Studi
Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.I,
1996.
Abdullah, M. Yatimin, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah,
2006.
Abdullah, Taufik dan Karim, M.Rusli, (ed), Metodologi Penelitian
Agama, Yogyakarta : Tiara Wacana
Yogya, 1989.
Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Pengetahuan¸ Bandung: Pustaka,
1984.
Beck, Herman, Metode Penelitian Agama, Yogyakarta : Pasca
Sarjana IAIN Sunan Kalijaga,1990.
Husyain Amin Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya, 2001.
http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/
http://bloggersumut.net/
2009/sejarah budaya-sejarah-sembilan-wali
http://cabiklunik.blogspot.com, Achmad Fedyani Saifuddin, 2007,
Orbituari: Pendekar itu Telah Pergi
http:// catilla.wordpress.com/tag/mistis/ 14 Jun 2011 ... Menurut
Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, (1976), kebudayaan manusia berjalan
melalui 3 fase : Fase Mistis, Fase Ontologis, dan ...
Koentjaraningrat,
Pengantar Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Mudzhar, M. Atho,
Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2001.
Nasution, Harun, Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI. Press, 1979.
Nata, Abuddin, Metodologi
Studi Islam, Jakarat: PT. Raja Grafindo Persada, cetakan ketujuh, 2002.
Permata Norma Ahmad,
Metodologi Studi Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.
Soekanto Soerjono, Sosial
Suatu Pengantar, Jakarta ; CV. Rajawali, 1982.
Tim Penyusun Ensiklopedi,
Ensiklopedi Nasional Indonesia , Jakarta: PT. Delta Pamungkas, 2004.
Tim Penyusun Kamus, Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta : Balai Pustaka, Cetakan
Kesepuluh, 1999.
Tim Penyusun Kamus, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2008.
[1]
Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau
Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet.I, 1996.
[2]
Abdullah,
Taufik dan Karim, M.Rusli, (ed), Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1989.
[3]
Beck,
Herman, Metode Penelitian Agama,
Yogyakarta : Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga,1990.
[4]
Husyain
Amin Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,
2001.
[5]
http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/
[6]
Abdullah, M. Yatimin, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah,
2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar