BAB
I
PENDAHULUAN
A. Rumusan
Masalah
Islam terdiri dari dua komponen
yang saling berhubungan antara satu dan yang lain, yaitu akidah dan syariah.
Dalam hal ini akidah adalah suatu keyakinan antara manusia dan pencipta-Nya.
Syariah adalah seperangkat aturan yang berkaitan dengan cara-cara yang harus
dilakukan manusia sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhannya.
Dalam islam, persoalan ekonomi
adalah salah satu kunci terpenting dalam hubungan antar sesama manusia, karean
prinsip makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Pentingnya eksistensi zakat juga dalam kehidupan masyarakat muslim
dapat dilihat dari kedudukannya yang dikategorikan sebagai salah satu rukun
islam setelah shalat lima waktu.
Zakat sendiri dapat digunakan
sebagai pembersih harta yang kita miliki, pemelihara dan pengembang nikmat, penolak,
pelindung, dan penjaga dari mara bahaya. Jadi zakat itu sendiri sangatlah
penting bagi seseorang yang mampu dan wajib hukumnya bagi orang yang sudah
paham hukum.
Zakat merupakan pembeda antara dimensi
keislaman dan kekafiran, keimanan dan kemunafikan, serta antara ketakwaan dan
kedurhakaan. Sehingga zakat tidak hanya berusaha menghilangkan jurang antara
yang mampu dan tidak mampu dari sudut pandang ekonomi saja, tetapi juga dari
sudut pandang sosialnya. Dengan adanya zakat di masyarakat muslim khususnya dan
dunia muslim umumnya dapat membangun suatu ukuwah islamiyah yang solid secara
keimanan religius namun juga solid secara sosial dan ekonomi.
Dalam surah At-taubah ayat 60 dikemukakan bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat adalah
orang yang bertugas mengurus zakat (‘amilina ‘alaiha). Sedangkan dalam surah At-taubah ayat 103 bahwa zakat itu diambil dari orang-orang yang berkewajiban untuk
berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada yang berhak
menerimanya (mustahiq). Yang mengambil dan menjemput tersebut adalah para
petugas (‘amil).[1] Imam
Qurtubi menafsirkan surah At-Taubah ayat 60
menyatakan bahwa amil itu adalah orang yang ditugaskan oleh imam atau pemerintah
untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari muzakki untuk
kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya. Karena itu Rasulullah SAW
pernah mempekerjakan seorang dari suku Asad yang bernama ibnu lutaibah untuk
mengurus urusan zakat Bani Sulaim.[2]
Dengan demikian untuk mencapai tujuan
zakat dan hikmahnya, maka perlunya pemahaman konstektual dan komprehensif dari
delapan ashnaf, sehingga kelompok yang brhak mendapatkan dana zakat dapat
menerima haknya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
manajemen pengelolaan zakat?
2. Bagaimana
pendayagunaan zakat?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui manajemen pengelolaan zakat.
2. Untuk
mengetahui pendayagunaan zakat.
BAB II
PEMBAHASAN
Manajemen pengelolaan dan Pendayagunaan Zakat
A.
Manajemen
Pengelolaan Zakat
Manajemen,
keberadaannya merupakan tuntutan dalam pengaturan kehidupan masyarakat.
Manajemen adalah pekerjaan intelektual yang dilakukan orang dalam hubungannya
dengan organisasi bisnis, ekonomi, sosial dan yang lainnya.
Secara operasional dan
fungsional manajemen zakat dapat dijelaskan secara rinci diantaranya berkaitan
dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan:
1. Perencanaan
Zakat
Dalam manajemen zakat
proses awal perlu dilakukan perencanaan. Secara konseptual perencanaan adalah
proses pemikiran penentuan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai, tindakan yang
harus dilaksanakan, bentuk organisasi yang tetap untuk mencapainya, dan orang-orang
yang bertanggung jawab terhadap kegiatan yang hendak dilaksanakan oleh Badan
Amil Zakat. Dengan kata lain perencanaan menyangkut pembuatan keputusan tentang
apa yang hendak dilakukan, bagaimana cara melakukan, kapan melakukan dan siapa
yang melakukan secara terorganisasi.
Perencanaan zakat
tentunya berkaitan dengan kegiatan dengan proses sebagai berikut:
a. Menetapkan
sasaran dan tujuan zakat. Sasaran zakat berkaitan dengan orang yang
berkewajiban membayar zakat (muzakki) dan orang yang berhak menerima zakat
(mustahiq). Sedangkan tujuannya adalah menyantuni orang yang berhak agar
terpenuhi kebutuhan dasarnya atau meringankan beban mereka.
b. Menetapkan
bentuk organisasi atau kelembagaan zakat yang sesuai.
c. Menetapkan
cara melakukan penggalian sumber dan distribusi zakat.
d. Dalam
hal ini dilakukan identifikasi orang-orang yang berkewajiban zakat dan
orang-orang yang berhak menerima zakat.
e. Menetapkan
amil zakat dengan menentukan orang yang memiliki komitmen dan profesionalisme
untuk melakukan pengelolaan zakat.
f. Menetapkan
sistem pengawasan terhadap pelaksanaan zakat, baik mulai dari pembuatan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengembangan secara terus menerus secara
berkesinambungan.[3]
2. Pelaksanaan
Kegiatan Zakat
Pengelolaan zakat
diperlukan pengelola zakat yang profesional, mempunyai kompetensi dan komitmen
sesuai dengan kegiatan yang dilakukan. Berkaitan dengan kriteria pelaksanaan
zakat dan kriteria pemimpin Badan atau Lembaga Amil Zakat.
Pelaksanaan zakat harus
memenuhi beberapa kriteria diantaranya yaitu:
a) Beragama Islam. Zakat adalah salah satu urusan
utama kaum muslimin yang termasuk rukun Islam (rukun islam ketiga), karena itu
seharusnya apabila urusan penting kaum muslimin diurtus oleh sesama muslim
b) Mukallaf yaitu orang dewasa yang sehat akal
pikirannya yang siap menerima tanggung jawab mengurus urusan umat.
c) Memilki sifat amanah dan jujur, sifat ini penting untuk
menjaga kepercayaan umat. Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan
zakatnya melalui lembaga pengelola zakat, jika memang lembaga ini patut dan layak
dipercaya. Keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk transparansi (keterbukaan)
dalam menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara berkala dan juga ketepatan
penyalurannya sejalan dengan ketentuan syariah Islam. Sifat amanah dan professional ini dikisahkan tentang Nabi Yusuf as
yang mendapatkan kepercayaan sebagai bendaharawan negeri Mesir, yang saat itu
dilanda paceklik berhasil membangun kembali kesejahteraan masyarakat karena
kemampuannya menjaga amanah. Firman Allah SWT QS. Yusuf:55
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir);
sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".
d) Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang
menyebabkan ia mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan
zakat kepada masyarakat.
e) Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan
sebaik-baiknya. Amanah dan jujur merupakan syarat yang penting akan tetapi juga
harus ditunjang oleh kemampuan dalam melaksanakan tugas.
f)
Motivasi dan kesungguhan amil zakat dalam
melaksanakan tugasnya. Amil zakat yang baik adalah amil zakat yang fuul time
dalam melaksanakan tugasnya, tidak asal-asalan dan tidak pula sambilan
g) Syarat yang tidak kalah pentingnya, hemat penulis memiliki
kemampuan analisis perhitungan zakat, manajemen, IT dan metode pemanfataan dan
pemberdayaan zakat.
h) Peningkatan capacity building amil sehingga berkompetisi setiap momen dan
periode tertentu.[4]
3.
Pengawasan Zakat
Secara
konepsional dan operasional pengawasan adalah suatu upaya sistematis, untuk
menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik
informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah
ditentukan untuk menetapkan apakah terjadi suatu penyimpangan dan mengukur
siknifikansi penyimpangan terebut untuk mengambil tindakan perbaikan yang
diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya LAZ telah digunakan seefektif
dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan LAZ.
Secara
menejerial pengawasan zakat adalah mengukur dan memperbaiki kinerja amil zakat
guna memastikan bahwa LAZ disemua tingkat dan semua yang telah dirancang untuk
mencapainya yang telah sedang dilaksanakan. Adapun pola pengawasannya adalah
sebagai berikut:
a.
Menetapkan sistem dan
standar operasional pengawasan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah
ditentukan oleh Badan Amil Zakat.
b.
Mengukur kinerja.
Pengawas dalam hal ini melakukan pengukuran atau mengevaluasi kinerja dengan
standar yang telah ditentukan dengan proses yang berkelanjutan.
c.
Memperbaiki
penyimpangan. Proses pengawasan tidak lengkap jika tidak ada tindakan perbaikan
terhadap penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi.[5]
Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat
memiliki beberapa keuntungan antara lain:
a)
Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran
zakat.
b)
Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan
langsung untuk menerima zakat dari para muzakki.
c)
Untuk mencapai efisiensi dan efektifitas serta
sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala proritas yang ada
pada suatu tempat.
d)
Untuk memperlihatkan syiar islam dalam semangat
penyelenggaraan pemerintahan yang Islami.
e)
Untuk memudahkan kordinasi dan konsolidasi data
muzakki dan mustahiq.
f)
Untuk memudahkan pelaporan dan pertanggungjawaban
ke publik.
g)
Agar pengelolaaannya dapat dikelola secara
professional (pen).
Sebaliknya jika zakat diserahkan langsung dari
muzakki ke mustahik, meskipun secara hukum syar’i adalah sah, akan tetapi
disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan fungsi
zakat, terutama yang berkaitan dengan pemerataan dan kesejahteraan ummat, akan
sulit diwujudkan.[6]
B.
Tujuan Pengelolaan Zakat
Dalam Undang-Undang No. 38
Tahun 1999 dikemukakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan:
1.
Meningkatkan
pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama.
2.
Meningkatkan
fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan masyarakat dan
keadilan sosial.
3.
Meningkatkan
hasil guna dan daya guna zakat.[7]
Dalam
Bab III Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dikemukakan bahwa organisasi pengelola
zakat terdiri dari dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil
Zakat (LAZ). Selanjutnya bahwa setiap pengelola zakat karena kelalaiannya tidak
mencatat dengan tidak benar tentang zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris
dan kaffarat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 pasal 12 dan pasal 11
Undang-Undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga
bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000.
C.
Persyaratan Lembaga
Pengelola Zakat
Persyaratan teknis
lembaga zakat berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI nomor 581 tahun 1991
adalah:
1)
Berbadan
Hukum,
2)
Memiliki
data muzakki dan mustahik,
3)
Memiliki
program kerja yang jelas,
4)
Memmiliki
pembukuan dan manajemen yang baik,
5)
Melampirkan
surat pernrnyataan bersedia diaudit.
Persyaratan tersebut
diharapkan dapat mengarah pada profesionalitas dan trasparansi dari setiap
pengelolaan zakat.[8]
D.
Pendayagunaan
Zakat (Taharruf al-Zakah)
Pendayagunaan
zakat adalah penafsiran yang longgar terhadap distribusi dan alokasi (jatah)
zakat.[9]
Dalam pendekatan fiqih, dasar pendayagunaan zakat khususnya
didasarkan pada surah At-Taubah: 60 sebagai berikut:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ
عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي
سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ
حَكِيمٌ
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana”.
Ayat ini menjelaskan tentang peruntukan kepada siapa zakat
itu diberikan. Para ahli tafsir mengurakan kedudukan ayat tersebut dalam uraian
yang beragam, baik terhadap kuantitas, kualitas, dan perioritas. Diantara
uraian tersebut secara singkat adalah sebagai berikut:
1.
Menurut sebagian ulama, zakat boleh
dibagikan kepada satu golongan saja dari delapan golongan itu, yaitu diberikan
kepada mereka yang paling membutuhkan.
2.
Menurut sebagian ulama lain, zakat
hanya diberikan kepada delapan ashnaf dan tidak boleh diberikan kepada selain
delapan ashnaf tersebut.
3.
Menurut Al- Qurthubi dalam tafsirnya
menarik kesimpulan bahwa tidak ada cara tertentu dan teteap, sejak zaman
Rasulullah SAW maupun pada masa Khulafaurrasyidin menempuh kebijaksanaan dan prioritas.
4.
Sebagian lain, tidak ada perincian
lain yang menjelaskan pembagian dianatara 8 golongan tersebut. Ayat tersebut
hanya menetapkan kategori yang berhak menerima zakat hanya ada 8 glongan. Nabi
sendiri tidak pernah menerangkan cara pembagian zakat tersebut, bahkan beliau
memberi mustahik sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, dan disesuaikan pula
dengan jumlah persiapan harta benda yang ada.[10]
Penjelasan dari para ulama terhadap maksud ayat
tersebut menujnjukkan bahwa konsep pendayagunaan atau pihak-pihak yang berhak
menerima zakat, dalam penerapannya memberikan atau membuka keluasan pintu
ijtihad bagi mujtahid termasuk kepala negara dan Badan Amil Zakat, untuk
mendistribusikan dan mendayagunaan zakat sesuai dengan kebutuhan situasi dan
kondisi sesuai dengan kemaslahatan yang dapat dicapai dari potensi zakat
tersebut.
Sebagaimana dimaklumi konsep maslahat senantiasa berkembang
sesuai dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan umat. Untuk ketentuan
kemaslahatan, biasa dikenal dengan adanya skala prioritas. Metode prioritas ini
dapat dipakai sebagai alat yang efektif untuk melaksankan fungsi alokatif dan
distribusi dalam kebijakan pendayagunaan zakat.
Dengan demikian, bahwa maksud At-Taubah ayat 60,
sangat berkaitan dengan kepentingan kemaslahatan manusia secara keseluruhan.
Dari ayat tersebut dpat dipahami baha Allah SWT tidak menetapkan perbandingan
yang tetap antara bagian-bagian antara masing-masing delapan pokok alokasi
(ashnaf), tidak menetapkan delapan ashnaf tersebut harus diberi semuanya, tidak
boleh keluar dari delapan ashnaf, dan tidak menetapkan zakat harus dibagikan
dengan segera setelah masa pungutan zakat
serta tidak ada ketentuan bahwa semua hasil pungutan zakat harus
dibagikan semuanya.[11]
Berdasarkan uraian sebelumnya, agar harta zakat dapat
diberdayagunakan secara maksimal maka pemaknaan kontekstual terhadap delapan
ashnaf yang dapat didanai dengan zakat adalah sebagai berikut:
1.
Membantu kelompok fakir miskin. Orang
miskin disamping tidak mampu dibidang finansial, meraka juga tidak memilki
pengetahuan dan akses. Untuk mencapai tujuan zakat sebagai upaya membantu
masyarakat miskin keluar dari krisis yang menghimpit mereka, maka disamping
dana zakat yang diberikan bersifat konsumtif juga dapat dipergunakan untuk
program yang mengarah pada upaya mendapatkan hak kaum miskin. Oleh karena itu,
semua upaya atau kegaiatan untuk membantu orang miskin dapat masuk dalam jatah fuqara’ dan masakin. Seperti untuk membantu pengobatan orang miskin, dan
membantu mendapatkan pendidikan. Karena bantuan tersebut juga dapat dinikmati
secara langsung oleh mereka.
2.
Gharimin. Syafiiyah menyatakan bahwa
gharim meliputi hutang karena mendamaikan orang yang bersengketa. Dana zakat
dapat digunakan untuk pengganti pengeluaran tersebut, meskipun orangnya secara
pribadi mampu. Hutang untuk kepentingan pribadi, dan hutang karena menjamin
orang lain. Untuk dua yang terakhir, dana zakat diberikan kepada yang berhutang
kalau dia tidak mampu membayarnya.
3.
Muallaf. Pemberian zakat kepada
muallaf kelihatannya dengan tujuan agar umat islam merasa nyaman dan terjauh
dari tindakan anarkis kelompok agama lain. Meskipun ada perbedaan muallaf yang
diberi tetapi tujuannya sama yaitu untuk menjaga umat islam tetap dalam
keyakinannya dan menjauhkannya dari tindakan kelompok lain yang dapat
mengganggu dan merusak.
4.
Amil. Yaitu bertugas mulai dari penentuan
wajib zakat, penghitungan dan pemungutan zakat. Merka juga bertugas
mendistribusikan harta zakat tersebut kepada prang yang berhak menerimanya.
Menurut Ibn Rasyid memahami bahwa amil bukan hanya terbatas pada amil zakat,
tetapi termasuk juga para hakim dan orang yang ternasuk dalam pengertian mereka
yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan umum umat islam.
5.
Riqab. Dalam sejarahnya, jauh
sebelum islam datang riqab terjadi karena sebab tawanan perang. Oleh sebab itu,
ada beberapa cara yang digunakak utnuk membantu memerdekakan budak, seperti
sebagai sanksi dari beberapa pelanggaran terhadap aturan islam. harta zakat pun
diperuntukkan bagi budak yang masuk
islam untuk mendapatkan hak kemerdekaannya sebagai manusia.[12]
6.
Sabilillah. Pada masa awal dipahami
dengan jihad fi sabilillah, namun dalam perkembangannya sabilillah tidak hanya
terbatas pada jihad, tetapi mencakup semua program dan kegiatan yang memberikan
kemaslahatan pada umat islam.zakat untuk sabilillah diberikan kepada pribadi
yang mencurahkan perhatiannya untuk kepentingan umum umat islam, sebagai kompensasi
dari tugas yang mereka lakukan. Disamping itu juga diberikan untuk pelaksanaan program
atau kegiatan untuk mewujudkam kemaslahatan umum umat islam, seperti benteng,
mendrikan rumah sakit dan pemberian layanan kesehatan. Bahkan termasuk dalam
kategori ini semua upaya pemberantasan kejahatan.
7.
Ibn Sabil. Sebagai penerima zakat
sering dipahami dengan orang-orang yang kehabisan biaya di perjalanan ke suatu
temapat bukan untuk maksiat. Tujuan pemberian sekat untuk mengatasi
ketelantaran, meskipun di kampungnya ia termasuk mampu. Penerimaan zakat pada
kelompok ini disebabkan oleh ketidak mampuan sementara.[13]
E.
PENUTUP
Tujuan dari hukum islam adalah terciptanya kehidupan
yang baik dan kedamaian di dunia dan akhirat. Tujuan tersebut merupakan
manifestasi dari rahman dan rahim Allah. Zakat sebagai satu kewajiban yang
diajarkan Allah kepada orang-orang yang beriman, memiliki tujuan dan hikmah
seiring dengan tujuan dari ditetapkannya hukum yaitu terciptanya kemaslahatan
dan terhindar dari mafsadat. Dana zakat dapat didistribusikan kepada orang yang
tidak mampu atau lembaga yang tujuannya memebrikan bantuannya untuk meringankan
himpitan ekonomi, membantu mereka untuk mendapatkan haknya dan untuk kegiatan
yang bertujuan untuk kemaslahatan umum umat islam. Luasnya cakupan dari istilah
yang digunakan dalam delapan ashnaf tesebut tidak pada tematnya jika harus
membatasi pada artian khusus.
Secara singkat pengelolaan zakat tidak harus dilakukan
secara konvensional saja, tetapi harus ditambah dengan pola-pola inkonvensional
yang efektif dapat mengurangi angka kemiskinan, penting untuk disadari pula
bahwa perubahan paradigma pengelolaan zakat ini tidak akan berjalan baik hanya
dengan mengandalkan upaya pemerintah secara mutlak, hal ini dikarenakan
sekalipun pemerintah merupakan pelaku tunggal dari pengelolaan zakat tersebut
namun masyarakat adalah katalisator dari proses tersebut. Sehingga dengan
demikian maqosid al syariah dari
zakat demi pengentasan kemiskinan dapat terwujud dengan baik dalam kehidupan
bermasyarakat umat islam kususnya di Indonesia dan di dunia umumnya, apabila
adanya kerjasama yang baik dari pemerintah meupun masyarakat dalam mengupayakan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat tersebut.
Daftar
Pustaka
Yusuf
al-Qardawi, Al-Ibadah
fil Islam, Beirut: Muassasah Risalah, 1993.
Sayid sabiq, Fiqh Sunnah, Kuwait: daer el-bayan, 1968.
Fathurrahman Djamil,Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS, Jakarta:
Piramedia, 2004.
Muh. Ridwan,
Zakat
Dan Kemiskinan, UII Press
Yokyakarta, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar