Selasa, 04 Januari 2022

Makalah Manajemen Pengelolaan dan Pendayagunaan Zakat

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Rumusan Masalah

Islam terdiri dari dua komponen yang saling berhubungan antara satu dan yang lain, yaitu akidah dan syariah. Dalam hal ini akidah adalah suatu keyakinan antara manusia dan pencipta-Nya. Syariah adalah seperangkat aturan yang berkaitan dengan cara-cara yang harus dilakukan manusia sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhannya.

Dalam islam, persoalan ekonomi adalah salah satu kunci terpenting dalam hubungan antar sesama manusia, karean prinsip makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pentingnya eksistensi zakat juga dalam kehidupan masyarakat muslim dapat dilihat dari kedudukannya yang dikategorikan sebagai salah satu rukun islam setelah shalat lima waktu.

Zakat sendiri dapat digunakan sebagai pembersih harta yang kita miliki, pemelihara dan pengembang nikmat, penolak, pelindung, dan penjaga dari mara bahaya. Jadi zakat itu sendiri sangatlah penting bagi seseorang yang mampu dan wajib hukumnya bagi orang yang sudah paham hukum.

Zakat merupakan pembeda antara dimensi keislaman dan kekafiran, keimanan dan kemunafikan, serta antara ketakwaan dan kedurhakaan. Sehingga zakat tidak hanya berusaha menghilangkan jurang antara yang mampu dan tidak mampu dari sudut pandang ekonomi saja, tetapi juga dari sudut pandang sosialnya. Dengan adanya zakat di masyarakat muslim khususnya dan dunia muslim umumnya dapat membangun suatu ukuwah islamiyah yang solid secara keimanan religius namun juga solid secara sosial dan ekonomi.

Dalam surah At-taubah ayat 60 dikemukakan bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat adalah orang yang bertugas mengurus zakat (‘amilina  ‘alaiha). Sedangkan dalam surah At-taubah ayat 103 bahwa zakat itu diambil dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki)  untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Yang mengambil dan menjemput tersebut adalah para petugas (‘amil).[1] Imam Qurtubi menafsirkan surah At-Taubah ayat 60 menyatakan bahwa amil itu adalah orang yang ditugaskan oleh imam atau pemerintah untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya. Karena itu Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seorang dari suku Asad yang bernama ibnu lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim.[2]

Dengan demikian untuk mencapai tujuan zakat dan hikmahnya, maka perlunya pemahaman konstektual dan komprehensif dari delapan ashnaf, sehingga kelompok yang brhak mendapatkan dana zakat dapat menerima haknya.

 

B.       Rumusan Masalah

1.    Bagaimana manajemen pengelolaan zakat?

2.    Bagaimana pendayagunaan zakat?

 

C.      Tujuan

1.    Untuk mengetahui manajemen pengelolaan zakat.

2.    Untuk mengetahui pendayagunaan zakat.

 

BAB II

PEMBAHASAN

Manajemen pengelolaan dan Pendayagunaan Zakat

 

A.    Manajemen Pengelolaan Zakat

Manajemen, keberadaannya merupakan tuntutan dalam pengaturan kehidupan masyarakat. Manajemen adalah pekerjaan intelektual yang dilakukan orang dalam hubungannya dengan organisasi bisnis, ekonomi, sosial dan yang lainnya.

Secara operasional dan fungsional manajemen zakat dapat dijelaskan secara rinci diantaranya berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan:

1.    Perencanaan Zakat

Dalam manajemen zakat proses awal perlu dilakukan perencanaan. Secara konseptual perencanaan adalah proses pemikiran penentuan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai, tindakan yang harus dilaksanakan, bentuk organisasi yang tetap untuk mencapainya, dan orang-orang yang bertanggung jawab terhadap kegiatan yang hendak dilaksanakan oleh Badan Amil Zakat. Dengan kata lain perencanaan menyangkut pembuatan keputusan tentang apa yang hendak dilakukan, bagaimana cara melakukan, kapan melakukan dan siapa yang melakukan secara terorganisasi.

Perencanaan zakat tentunya berkaitan dengan kegiatan dengan proses sebagai berikut:

a.    Menetapkan sasaran dan tujuan zakat. Sasaran zakat berkaitan dengan orang yang berkewajiban membayar zakat (muzakki) dan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq). Sedangkan tujuannya adalah menyantuni orang yang berhak agar terpenuhi kebutuhan dasarnya atau meringankan beban mereka.

b.    Menetapkan bentuk organisasi atau kelembagaan zakat yang sesuai.

c.    Menetapkan cara melakukan penggalian sumber dan distribusi zakat.

d.   Dalam hal ini dilakukan identifikasi orang-orang yang berkewajiban zakat dan orang-orang yang berhak menerima zakat.

e.    Menetapkan amil zakat dengan menentukan orang yang memiliki komitmen dan profesionalisme untuk melakukan pengelolaan zakat.

f.     Menetapkan sistem pengawasan terhadap pelaksanaan zakat, baik mulai dari pembuatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengembangan secara terus menerus secara berkesinambungan.[3]

2.    Pelaksanaan Kegiatan Zakat

Pengelolaan zakat diperlukan pengelola zakat yang profesional, mempunyai kompetensi dan komitmen sesuai dengan kegiatan yang dilakukan. Berkaitan dengan kriteria pelaksanaan zakat dan kriteria pemimpin Badan atau Lembaga Amil Zakat.

Pelaksanaan zakat harus memenuhi beberapa kriteria diantaranya yaitu:

a)      Beragama Islam. Zakat adalah salah satu urusan utama kaum muslimin yang termasuk rukun Islam (rukun islam ketiga), karena itu seharusnya apabila urusan penting kaum muslimin diurtus oleh sesama muslim

b)      Mukallaf yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima tanggung jawab mengurus urusan umat.

c)      Memilki sifat amanah dan jujur, sifat ini penting untuk menjaga kepercayaan umat. Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat, jika memang lembaga ini patut dan layak dipercaya. Keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk transparansi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara berkala dan juga ketepatan penyalurannya sejalan dengan ketentuan syariah Islam. Sifat amanah dan professional ini dikisahkan tentang Nabi Yusuf as yang mendapatkan kepercayaan sebagai bendaharawan negeri Mesir, yang saat itu dilanda paceklik berhasil membangun kembali kesejahteraan masyarakat karena kemampuannya menjaga amanah. Firman Allah SWT QS. Yusuf:55

 

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَآئِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

 

Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".

 

d)      Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan ia mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat kepada masyarakat.

e)      Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Amanah dan jujur merupakan syarat yang penting akan tetapi juga harus ditunjang oleh kemampuan dalam melaksanakan tugas.

f)        Motivasi dan kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya. Amil zakat yang baik adalah amil zakat yang fuul time dalam melaksanakan tugasnya, tidak asal-asalan dan tidak pula sambilan

g)      Syarat yang tidak kalah pentingnya, hemat penulis memiliki kemampuan analisis perhitungan zakat, manajemen, IT dan metode pemanfataan dan pemberdayaan zakat.

h)      Peningkatan capacity building amil sehingga berkompetisi setiap momen dan periode tertentu.[4]

3.    Pengawasan Zakat

Secara konepsional dan operasional pengawasan adalah suatu upaya sistematis, untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan untuk menetapkan apakah terjadi suatu penyimpangan dan mengukur siknifikansi penyimpangan terebut untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya LAZ telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan LAZ.

Secara menejerial pengawasan zakat adalah mengukur dan memperbaiki kinerja amil zakat guna memastikan bahwa LAZ disemua tingkat dan semua yang telah dirancang untuk mencapainya yang telah sedang dilaksanakan. Adapun pola pengawasannya adalah sebagai berikut:

a.       Menetapkan sistem dan standar operasional pengawasan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditentukan oleh Badan Amil Zakat.

b.      Mengukur kinerja. Pengawas dalam hal ini melakukan pengukuran atau mengevaluasi kinerja dengan standar yang telah ditentukan dengan proses yang berkelanjutan.

c.       Memperbaiki penyimpangan. Proses pengawasan tidak lengkap jika tidak ada tindakan perbaikan terhadap penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi.[5]

 

Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat memiliki beberapa keuntungan antara lain:

a)      Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat.

b)      Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki.

c)      Untuk mencapai efisiensi dan efektifitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala proritas yang ada pada suatu tempat.

d)      Untuk memperlihatkan syiar islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami.

e)      Untuk memudahkan kordinasi dan konsolidasi data muzakki dan mustahiq.

f)        Untuk memudahkan pelaporan dan pertanggungjawaban ke publik.

g)      Agar pengelolaaannya dapat dikelola secara professional (pen).

 

 Sebaliknya jika zakat diserahkan langsung dari muzakki ke mustahik, meskipun secara hukum syar’i adalah sah, akan tetapi disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan pemerataan dan kesejahteraan ummat, akan sulit diwujudkan.[6]

 

B.     Tujuan Pengelolaan Zakat

Dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 dikemukakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan:

1.      Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama.

2.      Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan masyarakat dan keadilan sosial.

3.      Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.[7]

 

Dalam Bab III Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dikemukakan bahwa organisasi pengelola zakat terdiri dari dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Selanjutnya bahwa setiap pengelola zakat karena kelalaiannya tidak mencatat dengan tidak benar tentang zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris dan kaffarat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 pasal 12 dan pasal 11 Undang-Undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000.

 

C.    Persyaratan Lembaga Pengelola  Zakat

Persyaratan teknis lembaga zakat berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI nomor 581 tahun 1991 adalah:

1)      Berbadan Hukum,

2)      Memiliki data muzakki dan mustahik,

3)      Memiliki program kerja yang jelas,

4)      Memmiliki pembukuan dan manajemen yang baik,

5)      Melampirkan surat pernrnyataan bersedia diaudit.

 

Persyaratan tersebut diharapkan dapat mengarah pada profesionalitas dan trasparansi dari setiap pengelolaan zakat.[8]

 

D.    Pendayagunaan Zakat (Taharruf al-Zakah)

Pendayagunaan zakat adalah penafsiran yang longgar terhadap distribusi dan alokasi (jatah) zakat.[9]

Dalam pendekatan fiqih, dasar pendayagunaan zakat khususnya didasarkan pada surah At-Taubah: 60 sebagai berikut:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)  budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Ayat ini menjelaskan tentang peruntukan kepada siapa zakat itu diberikan. Para ahli tafsir mengurakan kedudukan ayat tersebut dalam uraian yang beragam, baik terhadap kuantitas, kualitas, dan perioritas. Diantara uraian tersebut secara singkat adalah sebagai berikut:

1.      Menurut sebagian ulama, zakat boleh dibagikan kepada satu golongan saja dari delapan golongan itu, yaitu diberikan kepada mereka yang paling membutuhkan.

2.      Menurut sebagian ulama lain, zakat hanya diberikan kepada delapan ashnaf dan tidak boleh diberikan kepada selain delapan ashnaf tersebut.

3.      Menurut Al- Qurthubi dalam tafsirnya menarik kesimpulan bahwa tidak ada cara tertentu dan teteap, sejak zaman Rasulullah SAW maupun pada masa Khulafaurrasyidin menempuh kebijaksanaan dan prioritas.

4.      Sebagian lain, tidak ada perincian lain yang menjelaskan pembagian dianatara 8 golongan tersebut. Ayat tersebut hanya menetapkan kategori yang berhak menerima zakat hanya ada 8 glongan. Nabi sendiri tidak pernah menerangkan cara pembagian zakat tersebut, bahkan beliau memberi mustahik sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, dan disesuaikan pula dengan jumlah persiapan harta benda yang ada.[10]

 

Penjelasan dari para ulama terhadap maksud ayat tersebut menujnjukkan bahwa konsep pendayagunaan atau pihak-pihak yang berhak menerima zakat, dalam penerapannya memberikan atau membuka keluasan pintu ijtihad bagi mujtahid termasuk kepala negara dan Badan Amil Zakat, untuk mendistribusikan dan mendayagunaan zakat sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi sesuai dengan kemaslahatan yang dapat dicapai dari potensi zakat tersebut.

Sebagaimana dimaklumi konsep maslahat senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan umat. Untuk ketentuan kemaslahatan, biasa dikenal dengan adanya skala prioritas. Metode prioritas ini dapat dipakai sebagai alat yang efektif untuk melaksankan fungsi alokatif dan distribusi dalam kebijakan pendayagunaan zakat.

Dengan demikian, bahwa maksud At-Taubah ayat 60, sangat berkaitan dengan kepentingan kemaslahatan manusia secara keseluruhan. Dari ayat tersebut dpat dipahami baha Allah SWT tidak menetapkan perbandingan yang tetap antara bagian-bagian antara masing-masing delapan pokok alokasi (ashnaf), tidak menetapkan delapan ashnaf tersebut harus diberi semuanya, tidak boleh keluar dari delapan ashnaf, dan tidak menetapkan zakat harus dibagikan dengan segera setelah masa pungutan zakat  serta tidak ada ketentuan bahwa semua hasil pungutan zakat harus dibagikan semuanya.[11]

Berdasarkan uraian sebelumnya, agar harta zakat dapat diberdayagunakan secara maksimal maka pemaknaan kontekstual terhadap delapan ashnaf yang dapat didanai dengan zakat adalah sebagai berikut:

1.      Membantu kelompok fakir miskin. Orang miskin disamping tidak mampu dibidang finansial, meraka juga tidak memilki pengetahuan dan akses. Untuk mencapai tujuan zakat sebagai upaya membantu masyarakat miskin keluar dari krisis yang menghimpit mereka, maka disamping dana zakat yang diberikan bersifat konsumtif juga dapat dipergunakan untuk program yang mengarah pada upaya mendapatkan hak kaum miskin. Oleh karena itu, semua upaya atau kegaiatan untuk membantu orang miskin dapat masuk dalam jatah fuqara’ dan masakin. Seperti untuk membantu pengobatan orang miskin, dan membantu mendapatkan pendidikan. Karena bantuan tersebut juga dapat dinikmati secara langsung oleh mereka.

2.      Gharimin. Syafiiyah menyatakan bahwa gharim meliputi hutang karena mendamaikan orang yang bersengketa. Dana zakat dapat digunakan untuk pengganti pengeluaran tersebut, meskipun orangnya secara pribadi mampu. Hutang untuk kepentingan pribadi, dan hutang karena menjamin orang lain. Untuk dua yang terakhir, dana zakat diberikan kepada yang berhutang kalau dia tidak mampu membayarnya.

3.      Muallaf. Pemberian zakat kepada muallaf kelihatannya dengan tujuan agar umat islam merasa nyaman dan terjauh dari tindakan anarkis kelompok agama lain. Meskipun ada perbedaan muallaf yang diberi tetapi tujuannya sama yaitu untuk menjaga umat islam tetap dalam keyakinannya dan menjauhkannya dari tindakan kelompok lain yang dapat mengganggu dan merusak.

4.       Amil. Yaitu bertugas mulai dari penentuan wajib zakat, penghitungan dan pemungutan zakat. Merka juga bertugas mendistribusikan harta zakat tersebut kepada prang yang berhak menerimanya. Menurut Ibn Rasyid memahami bahwa amil bukan hanya terbatas pada amil zakat, tetapi termasuk juga para hakim dan orang yang ternasuk dalam pengertian mereka yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan umum umat islam.

5.      Riqab. Dalam sejarahnya, jauh sebelum islam datang riqab terjadi karena sebab tawanan perang. Oleh sebab itu, ada beberapa cara yang digunakak utnuk membantu memerdekakan budak, seperti sebagai sanksi dari beberapa pelanggaran terhadap aturan islam. harta zakat pun diperuntukkan bagi budak yang masuk  islam untuk mendapatkan hak kemerdekaannya sebagai manusia.[12]

6.      Sabilillah. Pada masa awal dipahami dengan jihad fi sabilillah, namun dalam perkembangannya sabilillah tidak hanya terbatas pada jihad, tetapi mencakup semua program dan kegiatan yang memberikan kemaslahatan pada umat islam.zakat untuk sabilillah diberikan kepada pribadi yang mencurahkan perhatiannya untuk kepentingan umum umat islam, sebagai kompensasi dari tugas yang mereka lakukan. Disamping itu juga diberikan untuk pelaksanaan program atau kegiatan untuk mewujudkam kemaslahatan umum umat islam, seperti benteng, mendrikan rumah sakit dan pemberian layanan kesehatan. Bahkan termasuk dalam kategori ini semua upaya pemberantasan kejahatan.

7.      Ibn Sabil. Sebagai penerima zakat sering dipahami dengan orang-orang yang kehabisan biaya di perjalanan ke suatu temapat bukan untuk maksiat. Tujuan pemberian sekat untuk mengatasi ketelantaran, meskipun di kampungnya ia termasuk mampu. Penerimaan zakat pada kelompok ini disebabkan oleh ketidak mampuan sementara.[13]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

E.     PENUTUP

Tujuan dari hukum islam adalah terciptanya kehidupan yang baik dan kedamaian di dunia dan akhirat. Tujuan tersebut merupakan manifestasi dari rahman dan rahim Allah. Zakat sebagai satu kewajiban yang diajarkan Allah kepada orang-orang yang beriman, memiliki tujuan dan hikmah seiring dengan tujuan dari ditetapkannya hukum yaitu terciptanya kemaslahatan dan terhindar dari mafsadat. Dana zakat dapat didistribusikan kepada orang yang tidak mampu atau lembaga yang tujuannya memebrikan bantuannya untuk meringankan himpitan ekonomi, membantu mereka untuk mendapatkan haknya dan untuk kegiatan yang bertujuan untuk kemaslahatan umum umat islam. Luasnya cakupan dari istilah yang digunakan dalam delapan ashnaf tesebut tidak pada tematnya jika harus membatasi pada artian khusus.

Secara singkat pengelolaan zakat tidak harus dilakukan secara konvensional saja, tetapi harus ditambah dengan pola-pola inkonvensional yang efektif dapat mengurangi angka kemiskinan, penting untuk disadari pula bahwa perubahan paradigma pengelolaan zakat ini tidak akan berjalan baik hanya dengan mengandalkan upaya pemerintah secara mutlak, hal ini dikarenakan sekalipun pemerintah merupakan pelaku tunggal dari pengelolaan zakat tersebut namun masyarakat adalah katalisator dari proses tersebut. Sehingga dengan demikian maqosid al syariah dari zakat demi pengentasan kemiskinan dapat terwujud dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat umat islam kususnya di Indonesia dan di dunia umumnya, apabila adanya kerjasama yang baik dari pemerintah meupun masyarakat dalam mengupayakan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat tersebut.

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Yusuf al-Qardawi, Al-Ibadah fil Islam, Beirut: Muassasah Risalah, 1993.

 

Sayid sabiq, Fiqh Sunnah, Kuwait: daer el-bayan, 1968.

 

Fathurrahman Djamil,Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS, Jakarta: Piramedia, 2004.

 

Muh. Ridwan, Zakat Dan Kemiskinan, UII Press Yokyakarta, 2002.



1 Yusuf al-Qardawi, Al-Ibadah fil Islam, Beirut: Muassasah Risalah, 1993

 hal 235

2 Sayid sabiq, Fiqh Sunnah, Kuwait: daer el-bayan, 1968, hal 146

       [3] Islmail Nawawi, Zakat dalam Perspektif Fiqh, Sosial, dan Ekonomi, (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), h. 46.

       [4]  Yusuf, Al-Ibadah fil Islam, hal. 367-369

       [5]  Islmail, Zakat dalam Perspektif Fiqh, Sosial, dan Ekonomi, h. 65.

       [6] Sayid, Fiqh Sunnah, hal. 158.

       [7] Yusuf, Al-Ibadah fil Islam, hal. 361.

       [8] Muh. Ridwan, Zakat Dan Kemiskinan, (Yogyakarta: UII Press 2002), hal 122 .

       [9] Schedul Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hal. 2.

       [10] Fathurrahman Djamil, Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS,( Jakarta: Piramedia, 2004), hal. 8-9.

       [11] Ibid, hal. 10.

       [12] Ibid, hal. 23.

       [13] Ibid, hal. 24.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar