BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak yang menjadi sumber
ajaran Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang memberi petunjuk kepada jalan
yang benar. Ia berfungsi untuk
memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara
pribadi maupun kelompok.[1]
Ia juga menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya. Al-Qur’an
bagaikan samudra yang tidak pernah kering airnya, gelombangnya tidak pernah
reda, kekayaan dan khazanah yang dikandungnya tidak pernah habis, dapat
dilayari dan selami dengan berbagai cara, dan memberikan manfaat dan dampak
luar biasa bagi kehidupan manusia. Dalam kedudukannya sebagai kitab suci dan
mukjizat bagi kaum muslimin, Al-Qur’an merupakan sumber keamanan, motivasi, dan
inspirasi, sumber dari segala sumber hukum yang tidak pernah kering bagi yang
mengimaninya. Di dalamnya terdapat dokumen historis yang merekam kondisi sosio
ekonomis, religious, ideologis, politis, dan budaya dari peradaban umat manusia
sampai abad ke VII masehi.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
melalui penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat besar bagi
maju-mundurnya umat, menjamin istilah kunci untuk membuka gudang simsimpani
yang tertimbun dalam Al-Qur’an.[2]
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Tafsir
Para pakar ilmu
tafsir banyak memberi pengertian baik secara
etimologi maupun
terminologi terhadap term tafsir. Secara etimologi kata tafsir berarti al-ibanah wa
kasyfu al-mughattha (menjelaskan dan menyingkap yang tertutup). Dalam kamus
Lisan al-‘Arab, tafsir berarti menyingkap maksud kata yang samar. Hal
ini didasarkan pada firman Allah Sûrah al-Furqân: 33
وَلَا
يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”[3]
Sedangkan secara terminologi penulis akan mengungkapkan pendapat para
pakar. Al-Zarqoni menjelaskan tafsir adalah ilmu
untuk memahami al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan
menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.[4]
Menurut
Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân, mendefinisikan tafsir sebagai
ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya,
hukum-hukumnya baik ketika berdiri
sendiri maupun tersusun, dan makna yang
dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal lain yang melengkapinya.[5]
Ilmu
tafsir merupakan bagian dari ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi
kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang
merupakan sumber segala hikmah, serta petunjuk dan pembeda dari yang haq dan
bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga
di zaman modern sekarang ini. Kebutuhan akan tafsir semakin mendesak lantaran
untuk kesempurnaan beragama dapat diraih apabila sesuai dengan syari’at,
sedangkan kesesuaian dengan syari’at bannyak bergantung pada pengetahuan
terhadap Al-Qur’an, kitabullah.[6]
Demikian
ulasan mengenai definisi tafsir. Hal ini menjadi penting untuk diketahui,
karena pada perkembangan penafsiran akan tampak keragaman dan perubahan pada
kurun waktu tertentu. Ulama modern, tentu akan berbeda melihat “tafsir” dengan
ulama terdahulu. Dibawah
ini akan penulis akan
mepaparkan ulasan
mengenai perkembangan tafsir dan penafsiran dari masa klasik sampai modern.
B.
Sejarah dan
Perkembangan Ilmu Tafsir
1.
Tafsir pada Masa
Klasik
Agar
mempermudah pembahasan mengenai perkembangan tafsir pada masa klasik, penulis
akan memetakan dalam tiga pembahasan, yakni (1). Tafsir pada masa Nabi dan
Sahabat. (2). Tafsir pada masa tabi’in dan (3). Tafsir pada masa kodifikasi
(pembukuan).
a.
Tafsir pada masa Nabi
dan Sahabat
Kegiatan penafsiran telah dimulai
sejak Nabi Muhammad masih hidup. Nabi pun menjadi sosok sentral dalam
penafsiran al-Qur’an. Bagi para sahabat, untuk mengetahui makna al-Qur’an
tidaklah terlalu sulit. Karena mereka langsung berhadapan dengan Nabi sebagai penyampai
wahyu, atau kepada sahabat lain yang lebih mengerti. Jika terdapat makna yang
kurang dimengerti, mereka segera menanyakan pada Nabi.[7]
Sehingga ciri penafsiran yang berkembang kalangan sahabat adalah periwayatan
yang dinukil dari Nabi. Hal ini mempertegas firman Allah Sûrah al-Nahl: 44
bahwa Nabi diutus untuk menerangkan kandungan ayat al-Qur’an.
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُون
“Dan Kami
turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Sedikit sekali kalangan sahabat
yang menggunakan penafsiran bil ra’yî dalam menafsirkan al-Qur’an.
Diantara sahabat yang dengan tegas menolak penggunaan akal dalam penafsiran
adalah Abû Bakar dan Umar ibn Khattâb. Abû Bakar pernah berkata:
أَيُّ
أَرْضٍ تُقِلُّنِي وَ أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي
إِذَا قُلْتُ فِي كِتَابِ اللهِ مَالاَ أَعْلَمُ
“Bumi manakah yang menampung aku
dan langit manakah yang menaungi aku, apabila aku mengatakan mengenai kitab
Allah sesuatu yang tidak aku ketahui”
Ia
mengatakan demikian tatkala orang bertanya tentang makna Abbân. Pernyataan
tersebut juga menunjukkan bahwa Abû Bakar tidak membenarkan sesuatu mengenai
kitab Allah jika ia menggunakan ijtihad, bil ra’yî. Tetapi ada pula
beberapa sahabat yang menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad bil ra’yî
selain dengan riwayat, yaitu Ibn Mas’ûd dan Ibn Abbâs.[8]
Secara
garis besar para sahabat berpegang pada tiga hal dalam menafsirkan al-Qur’an,
yaitu al-Qur’an sendiri, Nabi Muhammad sebagai penjelas (mubayyin)
al-Qur’an, dan ijtihad.
Pada
era ini ilmu tafsir tidak dibukukan sama sekali, karena pembukuan dimulai pada
abad ke-2 H. Tafsir pada era ini merupakan salah satu cabang dari hadits,
kondisinya belum tersusun secara sistematis, dan masih diriwayatkan secara acak
untuk ayat-ayat yang berbeda.[9]
b.
Tafsir pada masa
tabi’in
Setelah generasi sahabat berlalu,
muncul mufassir sesudahnya, para tabi’in. Tafsir pada masa tabi’in sudah
mengalami perbedaan mendasar dari sebelumnya. Jika pada masa sahabat
periwayatan didasarkan pada orang tertentu saja (Nabi dan sabahat sendiri),
maka penafsiran yang berkembang pada masa tabi’in mulai banyak bersandar pada
berita-berita israiliyyât dan nasrâniyyât. Selain itu penafsiran
tabi’in juga terkontaminasi unsur sektarian berdasarkan kawasan ataupun mazhab.
Itu disebabkan para tabi’in yang dahulu belajar dari sahabat menyebar ke
berbagai daerah.
Ada tiga aliran besar pada masa
tabi’in. Pertama, aliran Makkah, Sa’îd ibn Jubaîr (w. 712/713 M),
Ikrimah (w. 723 M), dan Mujâhid ibn Jabr (w. 722). Mereka berguru pada Ibn
Abbâs. Kedua, aliran Madinah, Muhammad ibn Ka’âb (w. 735 M), Zaîd ibn
Aslâm al-Qurazhî (w. 735 M) dan Abû Aliyah (w. 708 M). Mereka berguru pada Ubay
ibn Ka’âb. Ketiga, aliran Irak, Alqamah ibn Qaîs (w. 720 M), Amir
al-Sya’bî (w. 723 M), Hasan al-Bashrî (w. 738 M) dan Qatâdah ibn Daimah
al-Sadûsi (w. 735 M). Mereka berguru pada Abdullah ibn Mas’ûd.[10]
Menurut Ibn Taimiyah, bahwa
sepandai-pandainya ulama tabi’in dalam urusan tafsir adalah sahabat-sahabat Ibn
Abbâs dan Ibn Mas’ûd dan ulama Madinah seperti Zaîd ibn Aslâm dan Imam Malîk
ibn Anas. Lebih lanjut, Ibn Taimiyah memandang bahwa Mujâhid adalah mufassir
yang besar. Sehingga al-Syafi’i dan Imam Bukhari berpegang padanya.[11]
Namun ada pula pandangan yang menolak penafsiran Mujâhid. Hal ini dikarenakan
bahwa Mujâhid banyak bertanya pada ahli kitab.[12]
Selain dianggap banyak mengutip riwayat ahli kitab, Mujahid juga dikenal
sebagai mufassir yang memberi porsi luas bagi kebebasan akal dalam menafsirkan
al-Qur’an.[13]
Para
ulama berbeda pendapat mengenai penafsiran yang berasal dari tabi’in jika
tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikitpun dari nabi ataupun sahabat. Mereka
meragukan apakah pendapat tabi’in tersebut dapat dipegangi atau tidak. Mereka
yang menolak penafsiran tabi’in berargumen bahwa para tabi’in tidak menyaksikan
peristiwa dan kondisi pada saat ayat al-Qur’an diturunkan. Sedangkan kalangan
yang mendukung penafsiran tabi’in dapat dijadikan pegangan menyatakan, bahwa
para tabi’in meriwayatkan dari sahabat.[14]
c.
Tafsir pada masa
kodifikasi (pembukuan)
Pasca generasi tabi’in, tafsir
mulai dikodifikasi (dibukuan). Masa
pembukuan tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani
Abbasiyah (sekitar abad 2 H).
Pada
permulaan Bani Abbasiyah, para ulama mulai penulisan tafsir dengan mengumpulkan
hadist-hadist tafsir yang diriwayatkan dari para tabi’in dan sahabat. Mereka
menyusun tafsir dengan menyebut ayat lalu mengutip hadis yang berkaitan dengan
ayat tersebut dari sahabat dan tabi’in. Sehingga tafsir masih menjadi bagian
dari kitab hadis. Diantara ulama yang mengumpulkan hadis guna mendapat tafsir
adalah: Sufyân ibn Uyainah (198 H), Wakî’ ibn Jarrah (196 H), Syu’bah ibn
Hajjâj (160 H), Abdul Rozaq bin Hamam (211 H).
Setelah ulama tersebut di atas,
penulisan tafsir mulai dipisahkan dari kitab-kitab hadis. Sehinggga tafsir
menjadi ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara sistematis sesuai dengan tartib
mushaf. Diantara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibn Majah (w. 273 H), Ibn
Jarîr al-Thabâri (w. 310 H), Ibn Abî Hatîm (w. 327 H), Abu Syaikh ibn Hibbân
(w. 369 H), al-Hakîm (w. 405 H) dan Abû Bakar ibn Mardawaih (w. 410 H).[15]
Sementara al-Dzahabî membagi
beberapa tahapan tafsir pada masa kodifikasi berdasarkan ciri dan
karakteristik. Pertama, penulisan tafsir bersamaan dengan penulisan hadis.
Pada saat hadis dibukukan, tafsir menjadi bagian bab tersendiri di dalamnya. Kedua,
yakni penulisan tafsir yang dipisah dari kitab hadis. Namun penulisan tafsir
tetap berdasarkan periyawatkan yang disandarkan pada Nabi, sahabat, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in (sumber penafsiran bil ma’tsur). Ketiga, tahap ini
penulisan tafsir tetap mencantumkan riwayat-riwayat. Namun ada perbedaan yang
sangat signifikan, riwayat-riwayat tersebut tidak dilengkapi sanadnya. Pada
tahap ini, al-Dzahabî mensinyalir adanya pemalsuan tafsir dan permualan awal
masuknya kisah-kisah isrâiliyyât dalam tafsir. Keempat, sumber
tafsir pada masa ini tidak lagi terbatas pada periwayatan ulama klasik, tetapi
juga berdasarkan ijtihad, bil ra’yi.[16]
2.
Tafsir pada Abad
Pertengahan
Perkembangan tafsir abad
pertengahan dimulai sejak abad ke-9 M hingga abad ke-19 M. Pada abad ini,
perkembangan ilmu pengetahuan berada pada masa keemasan (the golden age).[17]
Perkembangan penafsiran tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan pada
saat tafsir tersebut ditulis. Tafsir kemudian sarat dengan disiplin-disiplin
ilmu yang mengetarinya dan kecenderungan toelogis, terlebih bagi sang mufassir.
Al-Qur’an pun seringkali dijadikan untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan
mazhab/aliran tertentu.
Diantara kitab-kitab tafsir “akbar”
yang muncul pada era keemasan Islam/abad pertengahan antara lain: Jamî’
al-Bayân an Ta’wîl al-Qur’ân karya Ibn Jarîr al-Thabarî (w. 923 M/310 H); al-Kasysyâf
an Haqâ’iq al-Qur’ân karya Abû al-Qasîm Mahmûd ibn Umar al-Zamakhsyari (w.
1144 M/528 H); Mafâtih al-Ghaib karya Fakhruddîn ar-Râzi (w. 1209 M/605
H) dan Tafsîr Jalâlaîn karya Jalâluddîn Mahallî (w. 1459 M) dan
Jalâluddîn al-Suyûti (w. 1505 M).
Pada perkembangan selanjutnya
muncul tafsir karya Ibn Arabi (638 H) yang juga kerap mendapat kritikan. Hal
ini disebabkan Ibn Arabi menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung pahamnya, wahdatul
wujud.[18] Kelahiran Imâduddîn
Ismail ibn Umar ibn Katsîr pada 700 H/1300 M, juga memberi sumbangan bagi
munculnya tafsir abad ini. Kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang terdiri
sepuluh jilid menjadi karya termasyhur selain kitab-kitab lainnya yang ia
tulis.[19]
Pada abad ini muncul pula tafsir Jamî’ al-Ahkâm al-Qur’ân karya Abdullah
al-Qurtubî (671 H). Banyak kalangan ulama menganggap bahwa ia merupakan ulama
Maliki, dan tafsirnya bercorak fiqh, namun al-Qurtubî tidak membatasi pada
ulasan mengenai ayat-ayat hukum saja. Lebih dari itu, ia menafsirkan al-Qur’an
secara keseluruhan. Ulasannya biasa diawali dengan menjelaskan asbâb nuzûl,
macam qira’at, i’rab dan menjelaskan lafaz yang gharib.[20]
Selain nama mufassir di atas,
muncul pula Alî ibn Muhammad al-Baghdadî (678-741 H) dengan karya tafsirnya Tafsîr
Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, atau yang sering disebut dengan Tafsir
al-Khâzin. Sumber-sumber penafsiran dalam tafsir tersebut adalah bil ma’tsûr.
Al-Khâzin menaruh perhatian cukup besar banyak terhadap kisah-kisah
isrâiliyyât. Sehingga ada beberapa penafsirannya yang dianggap menyimpang oleh
Husein al-Dzahabî.[21]
Pada tahun 754 H muncul tafsir Bahrul
Muhît karya Ibn Abû Hayyân al-Andalusî. Dalam kitab tafsirnya yang terdiri
delapan jilid, ia banyak mencurahkan perhatiannya dalam masalah I’rab dan
Nahwu. Karena perhatian yang cukup besar dalam masalah Nahwu, banyak kalangan
menyebut bahwa kitab ini lebih cocok disebut kitab Nahwu, bukan tafsir. Ia
banyak mengutip pendapat Zamakhsyari dalam hal ilmu Nahwu. Namun Abû Hayyan
seringkali tidak sependapat dengan Zamakhsyari, terlebih mengenai paham
ke-Mu’tazilah-annya.[22]
Selain nama-nama di atas, masih
banyak lagi mufassir kitab tafsir yang muncul pada abad pertengahan ini.
Masing-masing memiliki karakter yang menjadi khas penulis tafsir tersebut.
Sebagaimana yang penulis utarakan di atas, bahwa pada abad pertengahan terjadi
akulturasi budaya karena penyebaran Islam ke penjuru dunia, maka hal ini turut menimbulkan
perbedaan penafsiran yang didasari perbedaan mazhab dan tempat.
3.
Tafsir pada era
Modern
Akulturasi budaya pada abad
pertengahan cukup dirasa memberi pengaruh pada penafsiran al-Qur’an abad itu.
Demikian pula pada masa modern, kehadiran kolonialisme dan pengaruh pemikiran
barat pada abad 18-19 M sangat mempengaruhi para mufassir era ini. Perkembangan
ilmu pengetahuan diduga kuat menjadi faktor utama penafsir dalam memberi
respon. Ciri berpikir rasional yang menjadi identitas era modern kemudian
menjadi pijakan awal para penafsir. Mereka umumnya meyakini bahwa umat Islam
belum memahami spirit al-Qur’an, karenanya mereka gagal menangkap spirit
rasional al-Qur’an.
Atas dasar pemikiran yang bersifat
rasionalistik, kebanyakan dari pemikir Muslim modern menafsirkan al-Qur’an
dengan penalaran rasional, dengan jargon penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an,
atau kembali pada al-Qur’an. Kemudian mereka menentang legenda, ide-ide
primitif, fantasi, magis dan tahayyul.[23]
Menurut
Baljon dalam bukunya yang berjudul Modern Muslim Koran Interpretation,
mengatakan bahwa yang apa yang disebut tafsir modern adalah usaha yang
dilakukan para mufassir dalam menafsirkan ayat guna menyesuaikan dengan
tuntunan zaman. Karenanya segala pemikiran yang terkandung dalam al-Qur’an
segera dirasakan membutuhkan penafsiran ulang. Lebih lanjut Baljon menambahkan
bahwa tuntutan ini dirasakan perlu akibat persentuhan dengan peradaban asing
kian lebih intensif.[24]
Salah
satu mufassir era ini adalah Muhammad Abduh (1849-1905), ia adalah tokoh Islam
yang terkenal. Abduh mulai menulis tafsir al-Qur’an atas saran muridnya,
Rasyid Ridha.[25]
Meskipun pada awalnya ia merasa keberatan, akhirnya ia menyetujui juga. Uraian
Abduh atas al-Qur’an mendapatkan perhatian dari salah seorang orientalis, J.
Jomier. Menurutnya analisis yang dilakukan Abduh cukup mendalam serta hal yang
berbeda dari ulasan Abduh adalah keinginannya yang nyata untuk memberikan
ajaran moral dari sebuah ayat.[26]
Selain
Abduh, kaum modernis Arab lainnya juga banyak yang menyuguhkan tafsir yang sama
moderatnya, atau sama konservatifnya. Sampai kemudian muncul metode dan cara
baru dalam penafsiran al-Qur’an. Adalah Thanthâwi Jauhari (w. 1940) yang tidak
terlalu banyak memberi komentar, tetapi ulasan-ulasanya dalam tafsir al-Qur’an
dapat dijadikan pegangan ilmu Biologi atau ilmu pengetahuan lainnya bagi
masyarakat. Sehingga kitab tafsirnya, Al-Jawâhir fi al-Tafsir digadang-gadang
sebagai tafsir bercorak ilmi (santifik).[27]
Ahmad
Mustafa ibn Muhammad ibn Abdul Mun’în al-Marâghi juga mencatatkan namanya
sebagai deretan dari mufassir modern dengan karya tafsirnya, Tafsîr
al-Qur’ân al-Karîm yang sering dikenal dengan sebutan Tafsîr al-Marâghi.
Ia lahir 1883 dan wafat pada 1952. Ia menulis tafsirnya selama sepuluh tahun,
sejak tahun 1940-1950.[28]
Dalam muqaddimah tafsirnya, ia mengemukakan alasan menulis tafsir tersebut. Ia
merasa ikut bertanggung jawab memberi solusi terhadap problem keummatan yang
terjadi di masyarakat dengan berpegang teguh pada al-Qur’an.[29]
Di
samping itu, muncul juga Sayyid Quthb dengan tafsirnya Fi zhilali al-Qur’an dan
Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’ dengan Tafsir al-Bayani li al-Qur’ani
al-Karim.
Di
Indonesia juga muncul beberapa mufassir dan kitab tafsirnya. Antara lain: Tafsîr
al-Qur’ân al-Karîm karya Mahmud Yunus(1899)dan Kasim Bakri, Tafsîr
al-Furqân karya Ahmad Hasan (w. 1887-1958), Tafsîr al-Qur’ân karya
Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin HS, Tafsîr al-Nûr al-Majîd karya Hasbi
al-Siddiqi (1904-1975), Tafsîr al-Azhâr karya Buya Hamka (1908-1981)[30],
dan Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.
Titik
perbedaan tafsir modern dengan sebelumnya adalah bahwa penafsiran abad ke-19
menonjolkan corak reformis-rasional, sains (tafsir ilmi) dan sastra.[31]
Perkembangan selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir, Hermeneutik dan
Semantik. Maka tidak menutup kemungkinan pada era mendatang akan ada lagi
berbagai metode penafsiran untuk mengungkap makna-makna al-Qur’an.
C.
Corak dan
Metode Penafsiran
1.
Tafsir bi
al-Ma’tsur
Cara
penafsirian yang ditempuh oleh para sahabat dan generasi berikutnya itu dalam
kerangka metodologis, disebut jenis tafsir bil al-ma'tsur (periwayatan).
Metode periwayatan ini oleh al-Zarqani didefinisikan sebagai semua bentuk
keterangan dalam Al-Qur'an, al-sunnah atau ucapan sahabat yang menjelaskan
maksud Allah SWT pada nash Al-Qur'an.[32]
Metode bil ma'tsur, memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai
kelemahan-kelemahan. Keistimewaannya, antara lain, adalah :
a. Menekankan pentingnya
bahasan dalam memahami Al-Qur'an,
b. Memaparkan ketelitian
redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesan,
c. Mengikat mufassir dalam
bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subyektivitas
yang berlebihan[33],
d. Dapat dijadikan khazanah
informasi kesejarahan dan periwayatan yang bermanfaat bagi generasi berikutnya.
Disisi
lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode
ini, seperti yang dicatat oleh beberapa ahli tafsir, antara lain adalah :
a.
Terjerumusnya
sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele,
sehingga pesan pokok Al-Qur'an menjadi kabur di celah uraian itu,
b.
Seringkali
konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis
turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh)
hampir dapat di katakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut
bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat
tanpa budaya.[34]
c.
Terjadinya
pemalsuan dalam tafsir karena fanatisme mazhab, politik dan usaha-usaha musuh
Islam.
d.
Masuknya
unsur Isra'iliyat ke dalam tafsir, yaitu unsur-unsur Yahudi dan Nasrani ke
dalam penafsiran Al-Qur'an,
Berkembangnya
penafsiran bi al ma 'tsur zaman itu cukup dapat dipahami karena para
mufassir mengandalkan penguasaan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya secara
baik, juga mereka ingin membuktikan kemu'jizatan Al-Qur'an dan segi bahasanya.
Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemu'jizatan itu untuk masa
kini, agaknya sangat sulit karena kita telah kehilangan kemampuan dan rasa
bahasa Arab itu. Metode periwayatan yang mereka terapkan juga cukup beralasan
dan mempunyai keistimewaan dan kelemahannya. Metode ini istimewa bila ditinjau
dari sudut informasi kesejarahan yang luas, serta obyektivitas mereka dalam
menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada diantara mereka yang menyampaikan
riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai
bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang
peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar yang kokoh.
Cukup
beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan riwayat Al-Qur'an. Karena,
ketika itu, masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan tabi'in
masih cukup dekat dan laju perubahan sosial dan perkembangan ilmu
pengetahuan belum demikian pesat. Disamping itu, penghormatan kepada sahabat,
dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid nabi dan orang-orang berjasa, dan
demikian pula terhadap tabi'in sebagai generasi peringkat kedua khairun
qurun, masih sangat terkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan
akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikutnya masih cukup
mantap.
2.
Tafsir bi
al-Ra’yi
Tafsir
bi al-ra'yi adalah jenis metode penafsiran Al-Qur'an dimana seorang mufassir
menggunakan akal (rasio) sebagai pendekatan utamanya. Sejalan dengan definisi
diatas, Ash-Shabuni menyatakan bahwa tafsir bi al-ra'yi adalah tafsir
ijtihad yang dibina atas dasar-dasar yang tepat serta dapati diikuti, bukan
atas dasar ra‘yu semata atau atas dorongan hawa nafsu atau penafsiran
pemikiran seseorang dengan sesuka hatinya. Sementara menurut Manna al-Qattan,
tafsir bi al-ra'yi adalah suatu metode tafsir dengan menjadikan akal dan
pemahamannya sendiri sebagai sandaran dalam menjelaskan sesuatu.[35]
Sedangkan az-Zarqani secara tegas menyatakan bahwa tafsir bi al-ra’yi merupakan
tafsir ijtihad yang disepakati atau memiliki sanad kepada yang semestinya dan
jauh dari kesesatan dan kebodohan.
3.
Tafsir Tahlily
Metode
tafsir tahliliy, atau yang oleh Baqir Shadr dinamai metode tajzi'iy adalah
suatu metode yang berupaya menjelaskan kandungan ayat-ayat AI-Qur'an dari
berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana
yang tercantum dalam mushaf (Shadr, 1980:10). Cara kerja metode ini terdiri
atas empat langkah, yaitu
a. Mufassir mengikuti
runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushaf,
b.
Diuraikan
dengan mengemukakan arti kosakata dan diikuti dengan penjelasan mengenai arti
global ayat,
c.
Mengemukakan
munasabah (koralasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud
ayat-ayat tersebut satu sama lain,
d.
Mufassir
membahas asbab al-nuzul dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat
dan tabi'in.[36]
Kelemahan
metode tahliliy menurut Quraish Shihab bahwa para penafsir tidak jarang
hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalil pembenaran terhadap
pendapat-pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain itu, terasa sekali
bahwa metode ini tidak mampu memberikan jawaban jawaban yang tuntas terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar
metodologis yang dapat mengurangi subyektivitas mufassirnya. Kelemahan lain
yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy yang
perlu dicarikan penyebabnya adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai
mengikat generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat
teoritis, tidak sepenuhnya mengacu pada penafsiran persoalan-persoalan khusus
yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian-uraian yang bersifat
teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Qur'an untuk setiap
waktu dan tempat.[37] Contoh
dari penafsiran ini adalah karya-karya mufassir klasik seperti tafsir "Jami'
al Bayan fa Tafsir Al-Qur'an", karya Ibn Jarir al-Thabari, tafsir Mafatih
al Ghaib, karya Fakhruddin al-Razi dan lain-lain. Tafsir al Thabari,
dilihat dari coraknya termasuk tafsir bi al-ma 'tsur, yang menggunakan
metode tahliliy, demikian pula dengan tafsir al-Razi.
4.
Tafsir Muqaran
Dalam
bahasa yang sistematis, Said Agil Munawar dan Quraish Shihab mendefinisikan
tafsir muqaran sebagai metode penafsiran yang membandingkan ayat Al-Qur'an yang
satu dengan ayat Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya, tetapi berbeda
masalahnya atau membandingkan ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi Muhammad
saw, yang tampaknya bertentangan dengan ayat-ayat tersebut, atau membandingkan
pendapat ulama tafsir yang lain tentang penafsiran ayat yang sama[38]
Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik beberapa unsur dalam metode
tafsir muqaran :
a. Arah kecenderungan
mufassir dan faktor yang melatar belakanginya,
b.
Penafsiran
ayat Al-Qur'an dengan ayat- Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya namun
berbeda masalahnya,
c.
Penafsiran
ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi yang isinya bertentangan,
d.
Pendapat
ulama tafsir dengan pendapat ulama tafsir lainnya.
Karya-karya
tulis yang termasuk dalam klasifikasi penafsiran muqaran adalah karya tulis
kontemporer, misalnya Al-Qur'an, Bible dan Sains Modern karya
Maurice Bucaile dan Muhammad fi al-Taurat wa al Injil wa Al-Qur'an,
karya Ibrahim Khalili (Rumi, 1413:57).
5.
Tafsir Ijmaly
Tafsir
ijmaliy adalah suatu metode penafsiran Al-Qur'an yang menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur'an dengan cara mengemukakan makna global. Dalam sistematika
uraiannya, mufassir membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunannya yang ada
dalam mushaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat
tersebut. Dengan demikian cara kerjan metode ini tidak jauh berbeda dengan
metode tahliliy, karena keduanya tetap terikat dengan urutan ayat-ayat
sebagaimana yang tersusun dalam mushaf, dan tidak mengaitkan pembahasannya
dengan ayat lain dalam topik yang sama kecuali secara umum saja.[39] Contoh dari tafsir yang
mempergunakan metode ini adalah tafsir Jalalain.
6.
Tafsir Maudhu’i
(Tematik)
Ali
Khalil sebagaimana dikutip oleh Abd al-Hay al-Farmawi memberikan batasan
pengertian tafsir tematik, yaitu : Mengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an yang
mempunyai satu tujuan dan bersekutu dengan tema tertentu. Kemudian sedapat
mungkin ayat-ayat tersebut disusun menurut kronologi turunnya disertai dengan
pemahaman asbab al-Nuzulnya. Lalu oleh mufassir dikomentari, dikaji secara
khusus dalam kerangka tematik, ditinjau segala aspeknya, ditimbang dengan ilmu
yang benar, yang pada gilirannya mufassir dapat menjelaskan sesuai dengan
hakikat topiknya, sehingga dapat ditemukan tujuannya dengan mudah dan menguasainya
dengan sempurna.[40]
Jadi lewat metode ini, penafsiran dilakukan dengan jalan memilih topik
tertentu yang hendak dicarikan penjelasannya menurut Al-Qur'an, kemudian
dikumpulkanlah semua ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan topik ini, kemudian
dicarilah kaitan antara berbagai ayat ini agar satu sama lain bersifat
menjelaskan, baru akhirnya ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman
mengenai ayat-ayat yang saling terkait itu.
Jika pengertian tafsir
tematik itu kita cermati, maka kita dapat menemukan ciri-ciri dari bentuk
tafsir tematik, antara lain :
a.
Obyek
pembahasan atau penafsirannya bukan ayat demi ayat seperti tersusun dalam
urutan mushaf Utsmani sebagaimana yang berlaku dalam tafsir tahlilliy,
melainkan suatu tema tertentu yang ingin diketahui makna atau pengertiannya
secara integral menurut pandangan Al-Qur'an,
b.
Cara
yang ditempuh adalah mengumpulkan seluruh ayat-ayat yang dipandang saling
berkait dan bersekutu dalam satu tema tertentu,
c.
Dalam
proses penafsirannya senantiasa memperhatikan aspek kronologi turunnya ayat dan
asbab al-Nuzulnya,
d.
Sebelum
ayat-ayat tersebut ditafsirkan secara tematik, masing-masing ayat dan
lafaz-lafaz yang terkandung didalamnya dipahami dan ditinjau dan berbagai
aspeknya, seperti bahasa, konteks kesejarahan, "munasabat",
dan sebagainya,
e.
Penafsiran
Al-Qur'an secara tematik ini juga memerlukan berbagai ilmu, baik yang tergolong
dalam "ulum al tafsir" maupun ilmu-ilmu lain yang relevan,
seperti sejarah, sosiologi, antropologi dan sebagainya,
f.
Arah
pembahasan tafsir tematik senantiasa terfokus kepada satu topik yang
ditetapkan,
g.
Tujuan
utama yang ingin dicapai oleh tafsir tematik sebagaimana dikemukakan oleh
al-Farmawy dalam bukunya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i adalah
memahami makna dan hidayah dari Al-Qur'an dan bukan sekedar mengetahui i'jaz
Al-Qur'an, seperti keindahan bahasa atau ketinggian nilai sastranya atau
kehebatan-kehebatan Al-Qur'an lainnya.[41]
Salah satu
pakar tafsir yang mempopulerkan metode ini di Indonesia adalah M. Quraish
Shihab dengan berbagai karyanya.
D. Tafsir dan
Ta’wil
1.
Tafisr
a.
Pengertian
Tafsir
Kata tafsir diambil
dari bahasa arab yaitu fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau
uraian. Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar kata
al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan
makna yang abstrak. Kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup,
sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang musykil
b.
Keduduan Tafsir
Tafsir ialah dari
ilmu-ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi. Ia adalah ilmu yang
paling mulia, sebagai judul, tujuan, dan kebutuhan, karena judul pembicaraan
ialah kalaam atau wahyu Allah SWT yang jadi sumber segala hikmah dan sumber
segala keutamaan. Selanjutnya, bahwa jadi tujuannya ialah berpegang pada tali
Allah yang kuat dan menyampaikan kepada kebahagiaan yang hakikat atau
sebenamya. Sesungguhnya makin terasa kebutuhan padanya ialah, karena setiap
kesempurnaan agama dan dunia, haruslah sesuai dengan ketentuan syara’. Ia
sesuai bila ia sesuai dengan ilmu yang terdapat dalam Kitab Allah SWT.
2.
Ta’wil
a.
Pengertian
Ta’wil
Ta’wil secara bahasa
berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali ke asal. Adapun mengenai arti
takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh
(ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh
lafazh itu. Dengan kata lain, takwil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa
alternatif kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya.
E. Macam-Macam
Tafsir, Kitab-kitab dan pengarangnya
1.
Macam-macam
Tafsir
-
Tafsir bi al-ma’tsur
Tafsir bi al-ma’tsur
adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik
nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun perkataan
(aqwal) tabi’in.
-
tafsir bi al-dirayah
atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’y
Cara penafsiran bil
ma’qul atau lebih populer lagi bir ra`yi menambahkan fungsi ijtihad dalam
proses penafsirannya, di samping menggunakan apa yang digunakan oleh tafsir bil
ma`tsuur. Penjelasan-penjelasannya bersendikan kepada ijtihad dan akal dan
berpegang teguh kepada prinsip-prinsip bahasa Arab dan adat-istiadat orang Arab
dalam mempergunakan bahasanya.
2.
Kitab-kitab dan
Pengarangnya
a.
Tafsir Al Jalalain
Tafsir Al Jalalain adalah tafsir
ringkas yang ditulis oleh dua orang Al hafidz/Al hafidzaan, yaitu Al Hafidz Al
Mahali dan Al Hafidz As Suyuthi. Mereka berdua digelari dengan Jalaluddin, oleh
karena itu dinamakan Al Jalalain, yaitu tafsir dari Jalaluddin Al Mahali dan
Jalaluddin As Suyuthi. Kemudian karena Jalaluddin Al Mahali meninggal dunia
sebelum menyelesaikan tafsirnya tersebut maka diselesaikan oleh As Suyuthi.
b.
Tafsir Ibnu Katsir
Tafsir Ibnu Katsir merupakan salah
satu kitab tafsir yang paling banyak diterima dan tersebar di tengah ummat ini.
Imam Ibnu Katsir telah menghabiskan waktu yang sangat lama untuk menyusunnya,
tidak mengherankan jika penafsiran beliau sangat kaya dengan riwayat, baik
hadits maupun atsar, bahkan hampir seluruh hadits periwayatan dari Imam Ahmad bin
Hanbal -rahimahullah- dalam kitab Al Musnad tercantum dalam kitab tafsir ini.
c.
Tafsir Al-Maraghi
Kitab Tafsir ini sangat menarik
sekaligus kontroversial, karena ditulis oleh ulama modern yang pemikirannya
dianggap dekat dengan kaum mu’tazilah. Ulasan tafsir-tafsir kontemporer ini
ini akan dimulai dengan yang paling populer, yakni Tafsir Al-Maraghi karya
ulama besar Universitas Al-Azhar Mesir, Syaikh Ahmad Musthafa Al-Maraghi.
Tafsir yang terbagi dalam 10 Jilid itu diterbitkan untuk pertama kalinya oleh Maktabah
al-Babi al-Halabi (Kairo) pada tahun 1369 H/1950 M atau dua tahun sebelum
penyusunnya wafat.
F. Kaidah-kaidah
Penafsiran
1.
Kaidah Quraniyah
Kaidah quraniyah ialah penafsiran
al-Quran yang diambil oleh ulumul quran dari al-Quran. Beberapa kaidah yang lazim
digunakan dalam menjelaskan kaidah quraniyah antara lain sebagai berikut:
-
ﺍﻠﻌﺑﺮﺓﺑﻌﻤﻭﻢﺍﻠﻠﻔﻅﻻﺑﺧﺻﻭﺺﺍﻠﺴﺑﺐ[42][5]
Maksudnya yaitu jika satu nas menggunakan redaksi yang
bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nas tersebut,
sekalipun nas tersebut turun untuk menanggapi suatu peristiwa tertentu. Kaidah
ini dipegang oleh mayoritas ulama dengan argumentasinya yang bervariatif.[43][6] Misalnya pada QS Al-Maidah: 38 ﻭﺍﻠﺴﺎﺭﻕﻭﺍﻠﺴﺎﺭﻗﺔﻓﺎﻗﻄﻌﻭﺍﺍﻳﺩﻳﻬﻣﺎﺟﺯﺍﺀﺑﻣﺎﻛﺴﺑﺎﻧﻜﺎﻻﻣﻦﺍﷲﻭﺍﷲﻋﺯﻴﺯﺤﻜﻴﻢ
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
-
Kandungan suatu ayat
yang memiliki keterkaitan
dengan nama Allah menunjukkan bahwa hukum yang terkandung
berkaitan dengan nama yang mulia.
Misalnya QS Al-Baqarah:
32
ﻗﺎﻠﻭﺍﺴﺑﺤﻧﻚﻻﻋﻠﻢﻠﻧﺎﺍﻻﻤﺎﻋﻠﻤﺗﻧﺎﺍﻧﻚﺍﻧﺖﺍﻠﻌﻠﻴﻢﺍﻠﺤﻜﻴﻢ
Artinya: Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada
yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
2.
Kaidah Sunnah
Berdasarkan QS An-Nahl ayat 44 dan
64, Nabi Muhammad sebagai Rasul yang datang untuk menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan
Tuhan. Dengan demikian, maka rasul merupakan sumber penjelas tentang
makna-makna Al-Quran. Beliau tidak menafsirkan menurut akal pikiran, tetapi
menurut wahyu Ilahi.[44]
Kaidah yang dipergunakan diantaranya
ialah:
-
Sunnah harus dipakai
sesuai dengan petunjuk
Al Quran. Secara logika penjelasan itu tidak boleh bertentangan dengan
al-Quran sebagai materi yang dijelaskannya. Dengan demikian penjelasan Nabi saw
selalu dalam kerangka al-Quran. Hal itu terbukti dengan tidak ditemukannya
hadis shahih yang bertentangan dengan al-Quran.
-
Menghimpun hadis yang
pokok bahasannya sama.
Hadis yang dimaksud dalam hal ini adalah hadis yang
shahih, yaitu dengan cara mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang
muhkam, mengkaitkan yang mutlak kepada yang muqayyad, dan menkhususkan yang
umum. Dengan demikian, akan didapatkan suatu pemahaman yang benar dan utuh
berdasarkan suatu ketetapan bahwa hadis berfungsi manafsirkan al-Quran dan
menjelaskan maknanya, menjelaskan makna globalnya, menjelaskan makna yang belum
terungkap, dan sebagainya.
BAB III
Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang abadi. Al-Qur’an ibarat
samudera tak bertepi yang menyimpan berjuta-juta mutiara ilahi. Untuk
meraihnya, semua orang harus berenang dan menyelami samudera al-Qur’an. Tidak
semua penyelam itu memperolah apa yang diinginkannya karena keterbatasan
kemampuannya. Di sinilah letak urgensi perangkat ilmu tafsir.
Ilmu tafsir senantiasa berkembang dri masa ke masa, bahkan para pakar
telah banyak menelurkan tafsir yang sesuai dengan tuntutan zaman demi
menegaskan eksistensi al-Qur’an salih li kulli zaman wa makan.
Banyak sekali metode yang digunakan dalam penafsiran di antaranya metode
tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu’i.
DAFTAR
PUSTAKA
al-Banna, Gamal, Evolusi Tafsir: Dari
Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, Pent. Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi
Press, 2004.
al-Dzahabî, Muhammad Husain, al-Tafsîr
wa al-Mufassirûn, Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 2005, h. 43.
al-Marâghi, Ahmad Mustafa, Tafsîr
al-Marâghi, vol. 1, h. 3.
al-Qaththan,
Manna al-Khallil, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, Riyadh: Mansyurat al-‘ashr
al-hadits, 1973.
al-Siddiqi , Hasbi, Sejarah dan
Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1900.
al-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, Cairo:
Mathba'ah Hijazy, tt.
al-Zarqanî, Abdul Azhîm, Manâhil
al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Maktabah al-Arabiyah, 1995.
Ghafur, Saiful Amin, Profil Mufassir
al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl
al-Tafsîr, Kuwait: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1971.
J.M.S. Baljon, Tafsir
Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1991.
Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir
Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, 2011.
Shihab , M. Quraish, Membumikan
al-Qur’an Bandung: Mizan, 1995.
Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis
Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung:
Mizan, 1995), h. 172.
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 83
[3] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
(Riyadh: Mansyurat al-‘ashr al-hadits, 1973), h. 323.
[4] Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm
al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Maktabah al-Arabiyah, 1995), vol 2, h. 6.
[5] Yang dimaksud “petunjuk-petunjuknya” adalah pengertian yang
ditunjukkan oleh lafaz-lafaz. Kemudian “hukum yang berdiri sendiri atau yang
tersusun”, meliputi ilmu Sharf, I’rab, Bayan, Badi’. “makna yang memungkinkan
baginya ketika tersusun” meliputi pengertian hakiki dan majazi. Sedangkan yang
dimaksud “hal-hal yang melengkapinya” adalah pengetahuan mengenai asbab nuzul,
naskh mansukh, kisah-kisah dan lain sebagainya yang menjadi lingkup kajian ilmu
al-Qur’an. Lihat Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
h. 324.
[6]
Jalaluddin
al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, (Cairo: Mathba'ah Hijazy, tt.)
Juz II, hlm. 172.
[7] Di antara penafsiran Nabi adalah ketika salah seorang sahabat
bertanya tentang salât wustha. Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud salât
wusthâ adalah salat ashar. Selain itu nabi juga menjelaskan bahwa al-Maghdu
dalam surat al-Fatihah berarti kaum Yahudi. Sedangkan al-Dhalîn adalah
kaum Nasrani. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
(Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 2005), h. 43.
[8] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
al-Qur’an-Tafsir, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1900), h. 209.
[9] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
h. 337.
[10] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,
(Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 41.
[11] Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr,
(Kuwait: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1971), h. 37
[12] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
al-Qur’an-Tafsir, h. 218.
[13] Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
(Kairo: Dâr al-Hadîtsah, 2005), juz 1, h. 97.
[14] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
h. 339.
[15] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
h. 340-341.
[16] al-Dzahabî al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr
al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, h. 7-8.
[17] Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 25.
[18] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h.
47.
[19] Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h.
105.
[20] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
h. 380.
[21] al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 1, h.
265-267.
[22] Manna al-Khallil al-Qaththân, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
h. 504.
[23] Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 43.
[24] J.M.S. Baljon, Tafsir
Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1991), h. 2.
[25] Tafsîr al-Manâr karya Muhammad Abdul awalnya
merupakan tema-tema ceramah yang ia adakan di Universitas al-Azhar. Kemudian
diterbitkan dalam bentuk jurnal setiap bulan, dengan pimpinan redaksinya Rasyid
Ridha. Maka penyempurnaan tafsir tersebut dilakukan oleh Ridha.
[26] J.M.S. Baljon, Tafsir
Qur’an Muslim Modern, h. 8.
[27] Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga
Zaman Modern, Pent. Novriantoni Kahar, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h.
176.
[28] Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h.
151-153.
[29] Ahmad Mustafa al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, vol. 1,
h. 3.
[30] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
al-Qur’an-Tafsir, h. 237.
[31] Jane Dammen Mc Auliffe (editor), Encylcopaedia of the
Qur’an, (Brill:
Leiden, 2001), vol. 2, h. 126-132.
[32] Muhammad Abd. Al-Adzim
al-Zarqani. Manahil al-'Irfan fi `Ulum Al-Qur'an, (Mathba'ah Isa al-Bab
al-Halaby, 1957), h. 3.
[33] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung:
Mizan, 1999), h. 157.
[34] Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 49.
[35] Manna
al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 351-352.
[36] Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah
fi al-Tafsir al-Maudlu'i, Kairo: Al-Hadharah al-Arabiyah, 1977, hlm.
18.
[37] Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur'an, hlm. 87.
[38] Said Aqil al-Munawwar, I,jaz
Al-Qur'an dan Metodologi Tafsir, (Semarang : Dina Utama, 1994), hlm.
36.
[39] Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah
fi al-Tafsir al-Maudlu'i,hlm. 67.
[40] Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah
fi al-Tafsir al-Maudlu'i, hlm. 41-42.
[41] Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah
fi al-Tafsir al-Maudlu'i, hlm. 51-55.
[42][5] Abd al-Mun’im
al-Namr. ‘Ulum al-Qur’an
al-Karim. Beirut: Dar Kitab al-Lubnan. 1983. hlm. 100-101.
[43][6] M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi
Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. hlm. 56.
[44][9] Abd Muin
Salim. Beberapa Aspek
Metodologi Tafsir al-Quran.
Ujung Pandang: LSKI. 1990. hlm. 67.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar