Selasa, 04 Januari 2022

MAKALAH AKHLAK TASAWUF Neosufisme

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Kecenderungan kehidupan yang berlatar belakang falsafah kapitalisme bukan saja menjadikan gaya kehidupan manusia ke arah materialistic-hedonistic tetapi juga menimbulkan rasa terancam dan kekacauan dalam masyarakat. Kehidupan manusia di penuhi kezaliman, kesedihan dan keruntuhan akhlak, seolah-olah tiada lagi harapan dan cinta dalam kehidupan seharian. Berdasarkan hal ini, modernisme dilihat gagal memberikan kehidupan yang lebih bermakna dalam kehidupan manusia, sehingga keadaan ini telah menimbulkan berbagai persoalan dalam masyarakat.

Dalam perjalanan sejarah spiritualisme Muslim, terlihat bahwa transendensi atau tasawuf merupakan jalan ketuhanan spiritual para sufi. Ini karena jalan itu dirasakan amat releven dengan kehidupan. Dalam suasana transendensi, seorang sufi mengalami suasana realita yang baru yaitu suatu kehidupan yang bebas dari hidup yang dipenuhi dengan kezaliman, ketamakan, sifat dan rakus. Dengan menempuhi dunia spiritual ini, seseorang itu merasakan hidup di alam kecintaan dan alam kemenangan. Bagi kelompok ini, realita spiritual yang ditempuh bukanlah sesuatu yang ilusi, tetapi benar-benar suatu realita yang hanya dapat dinikmati sebagai sesuatu pengalaman keagamaan.

 

 

 

Pada perkembangan selanjutnya, tasawuf yang pada akhirnya melembaga menjadi tarekat sebagian besar selalu mempraktekkan sikap uzlah yang bertujuan melakukan pembersihan jiwa dengan cara menjauhi kehidupan dunia. Hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan umat Islam menjadi apatis terhadap kehidupan dunia, lupa akan tugas sebagai khalifah di bumi dan menghindar dari tanggung jawabnya sebagai insan sosial. Maka terjadilah ketimpangan di sini, di mana akhirnya jalan spiritual yang dipilih membuatnya menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan dan cenderung lebih mementingkan urusan akhirat, sehingga yang ia dapatkan adalah kesalehan individual dan bukan kesalehan sosial.

B.   Tujuan Penulisan

1.      Mengetahui Ciri-Ciri Neosufisme.

2.      Mengetahui Perkembangan Neosufisme di Zaman Modern.

3.      Mengetahui Karakter Dasar Neosufisme.

4.      Mengetahui Tokoh-Tokoh Perkembangan Tasawuf di Indonesia.

5.      Mengetahui Gagasan Neosufisme.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.  Pengertian Neosufisme

Menurut Fazlur Rahman, neosufisme adalah “reformed sufism” yang maknanya adalah sufisme yang telah diperbaharui. Sekiranya pada era kecemerlangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan adalah sifat ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini ianya digantikan dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks. Neosufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada pembinaan semula sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu didapati lebih bersifat individu dan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah “puritanis dan aktivis”. Tokoh-tokoh atau kumpulan yang paling berperanan dalam reformasi sufisme ini juga merupakan paling bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme. Menurut Fazlur Rahman, kumpulan tersebut adalah kumpulan Ahl Hadis. Mereka ini coba untuk menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan dengan Islam ortodoks terutamanya motif moral sufisme melalui teknik zikir, muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah swt.
Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa tujuan neosufisme cenderung kepada penekanan yang lebih intensif terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi. Akibat dari sikap keberagamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan nilai antara kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang “terresterial” dengan kehidupan yang kosmologis.

Dalam hal ini, al-Qushashi menyatakan bahawa sufi yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari masyarakat, tetapi sufi yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakukan al-’amr bi al-ma’ruf wa nahy `an al- munkar (ishlah) demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. 
Manakala Sa‘id Ramadan al-Buti pula mengutarakan konsep Ruhaniyyah al-Ijtima`iyyah atau spiritualisme sosial. Beliau merupakan penggerak kepada konsep neosufisme ini yang bermarkas di Geneva. Dalam hal ini al-Buti mengecam sikap dan cara hidup seperti yang digambarkan sufi terdahulu yang sangat mementingkan ukhrawi, sehingga tersisih daripada kehidupan masyarakat yang menurutnya itu adalah egois dan pengecut, hanya mementingkan diri sendiri. Sikap hidup yang benar adalah “tawazun” yaitu keseimbangan dalam diri sendiri termasuk dalam kehidupan spiritualnya serta kehidupan duniawi dan ukhrawi.

B.     Ciri-Ciri Neosufisme

Adapun cirri-ciri Neo-Sufisme menurut Fazlurrahman memiliki yang membedakan dengan tasawuf popler:

1.      Neo sufisme, memberikan penghargaan positif pada dunia untuk itu seorang sufi, menurut paham ini tidak harus miskin, bahkan boleh kaya. Kesalehan, menurut paham ini bukan menolak dengan harta dan kekayaan, tetapi mempergunakannya sesuai dengan petunjuk Allah dan sunah Rasul.

2.       Neo Sufisme menekankan kesucian moral dan akhlak ul karimah sebagai upaya memperkuat iman dan taqwa. Peningkatan moral disini individu yang sosial, melainkan juga moral masyarakat.

 

 

 

3.      Neo Sufisme terdapat aktifitas dan dinamika baik dalam berpikir maupun dalam bertindak. Dalam bidang intlektual, penganut Neosufisme bersifat sangat terbuka dan inklusifistik. Mereka dapat menerima semua khasanah intlektual islam sejauh dapat dipertemukan dengan Alquran dan Al-Sunnah. Sementara dalam kemasyarakatan, mereka terlibat secara aktif dalam rekayasa  sosial-moral masyarakat dengan melakukan amar makruf dan nahi munkar[1].

C.    Perkembangan Neosufisme di Zaman Modern

Modernisme yang berkembang Barat telah melahirkan pandangan hidup mekanistik dan atomistik. Hal ini terbukti dengan maju dan berkembangnya industrialisasi dan kemajuan tehnologi. Dilihat dari berbagai dampak positifnya, modernisme juga melahirkan perombakan pola kognitif manusia. Mekanisme kehidupan manusia berubah menjadi materi oriented dan berlalu mementingkan aspek lahiriah saja. Lambat laun, hal tersebut menjadikan manusia kehilangan jati diri, seni menjalani hidup untuk saling menghormati, tolong menolong dan dalam tingkat yang paling krusial kehilangan identitas yang berdampak menghilangkan nilai kemanusiaan.

Hingga di sinilah, aspek bathiniyah manusia sudah sangat nampak sangat dibutuhkan, yang mampu memberikan siraman spiritual hati manusia yang gersang berada dalam keterasingan eksistensi dan dunianya sendiri. Modernisasi memberikan tantangan tersendiri bari agama atau relegiusitas, namun tidak bisa “menghilangkan” agama dari muka bumi ini[2]. Karena semakin seseorang terbentur dalam kebuntuan makna hidup, maka ia akan semakin rajin mencari jawaban dari keterasingannya dan berupaya menemukan spiritualitas jati dirinya. Di silah tasawuf akan memainkan peran yang sangat signifikan menyuburkan area esoteris atau bathiniyah.

Peran tasawuf sebagai solusi yang mampu menghadirkan jawaban dari persoalan dalam kehidupan moderen merupakan kontribusi yang bernilai mahal. Maka tasawuf dengan model neo-sufisme sesungguhnya merupakan bentuk esoteerisme atau penghayatan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam pembentukan sosial masyarakat, bukan hanya ingin mencapai kesolehan individu, namun lebih dari pada itu, terbentuknya tatanan kesolehan sosial yang universal. Hal itu hanya bisa diperoleh dengan penghayatan sikap keagamaan yang positif dalam memahami agama yang memberikan porsi seimbang antara kosmos dunia dan akhirat[3].

Dengan uraian di atas, maka corak dan karakter neo-sufisme yang secara eksistensial adalah dimensi esoterisme Islam, menjadi sangat dibutuhkan oleh orang mederen dewasa ini, yang telah kehilangan penghayatan batinnya. Sekaligus tidak usah takut ketika menjadi pengamalnya akan kehilangan partisipasi dalam kompetisi duniawi, karena neo-sufisme menekankan sikap aktifisme dalam berfikir dan bertindak, bukan malah menjauh sebagaimana dalam tasawuf “ektrem”.

 

 

Tidak sulit kiranya untuk meramalkan, prospek neo-sufisme sangat pesat untuk berkembang dikemudian hari, terlebih ketika klimaks modernisasi sudah mencapai puncaknya. Bisa dilihat sekarang ini di perkotaan, fenomena maraknya bermunculan komunitas yang mengatas namakan agama dan aliran spiritual mulai bertebaran, guna memberikan siraman kegersangan hati manusia moderen.

D.  Karakter Dasar Neosufisme

Berdasarkan pada komentar para ahli dalam bidang tasawuf, yang membedakan neo-sufisme dibandingkan dengan sufisme lama adalah sebagai berikut[4] :

Pertama, menolak terhadap praktek tawawuf yang ekstrim dan ekstatis, seperti ritual dzikir yang diiringi tarian dan musik, atau praktek dzikir yang heboh dan tidak terkendali[5]. Dengan demikian neo-sufisme terkesan agak menyederhanakan berbagai metode dan akspresi yang dilakukan sesuai dengan konsep syari’ah.

Kedua, menolak pemujaan yang berlebihan terhadap para wali-sufi dan kuburannya atau tempat-tempat lain yang dianggap kramat-suci. Fenomena ini didasari fanatisme berlebihan, yang mengakibatkan runtuhnya iman dan menghancurkan basis tauhidullah, bisa dilihat jelas terjadi di Saudi Arabia sebelum munculnya gerakan Wahabi abad ke-18. Pola sikap ini banyak diilhami oleh Ibn Taimiyyah[6].

Ketiga, menolak ajaran wahdah al-wujud[7]. Pemahaman ini kontroversial dengan pemahaman orang awam dan ulama’ fikih. Dalam neo-sufisme, konsep ini lebih dipahami sebagai kerangka transendensi Tuhan sehingga tetap sebagai Tuhan yang Khaliq[8].

Keempat, penolakan terhadap fanatisme murid kepada sang guru atau mursyid. Dalam tasawuf lama terdapat pandangan bahwa hanya dengan kepatuhan dan loyalitas mutlak terhadap guru, sang murid akan mecapai kemajuan spiritual atau maqam tertinggi, hal ini sudah menjadi kepercayaan mengakar. Dalam neo-sufisme, murid tidak harus memenuhi perintah dan ajaran sang guru jika jelas-jelas bertentangan dengan syari’at, bahkan murid berhak dan harus melawannya. Dengan demikian, dalam neo-sufisme, hubungan guru dan murid berlandaskan pada komitmen sosial dan moral akhlak yang harus memiliki kesesuaian dengan al-Quran dan al-Sunnah.

Kelima, dalam dimensi neo-sufisme, yang diposisikan sebagai syekh tarekat adalah langsung Nabi Saw., bukan para awliya atau pendiri-pendiri tarekat. Dengan demikian neo-sufisme hendak untuk menempatkan Nabi Saw. sebagai pendiri tarekat yang kemudian dijadikan sebagai teladan dalam kegiatan berfikir, berdzikir[9] dan suri tauladan dalam hal apapun.

Keenam, menciptakan organisasi massa yang terstruktur dan tersentralisasi secara cukup hierarkis dibawah otoritas pendiri tarekat dan para khalifah, namun masih berorientasi komunal atau sosial. Maka neo-sufisme mempelajari tasawuf berarti melakukan inisiasi atau masuk dalam organisasi massa.

Ketujuh, menitik tekankan khusus pada kajian hadist atau sunnah yang betul-betul shahih, terutama tema terkait dengan memberi pengaruh pada rekonstruksi sosial-moral masyarakat, dari pada hanya ketetapan hukum fikih[10].

Kedelapan, menolak taklid dan penegasan hak individu muslim melakukan ijtihad. Maka neo-sufisme berupaya mendorong orang muslim untuk mempunyai kapasitas keilmuan dan kemampuan berijtihad dari pada sekedar taklid pada ulama tampa reserve.

Kesembilan, kesediaan berpolitik dan heroik patriotisme militerian untuk membela Islam[11]. Jika tasawuf lama cenderung uzlah menghadapi realita sosial yang tidak baik dalam pertumbuhan keislaman, maka beda halnya dengan neo-sufisme yang dengan karakter aktifisnya siap menghadapi tantangan dan memberikan respos perubahan konstruktif dan positif melawan ekspansi imperialisme Barat, terutama pada abad ke-18.

 

 

E.     Tokoh-Tokoh Perkembangan Tasawuf di Indonesia

Dalam melihat perkembangan tasawuf di Indonesia, yunasril Ali membaginya tiga periode[12], yaitu:

Pertama, periode masa pertumbuhan dengan tokoh-tokoh seperti Hamzah Al-Fanshuri,  Syamsuddin As-Sumathrani, Abdur Rauf al-Fanshuri (Al-Sinkily), Naruddin Ar-Raniry, Syekh Burhanuddin Ulakan dan Syekh Yusuf Tajul Khalwat atau Yusuf Al-Maqassari.

Kedua, adalah masa perkembangan dengan tokoh-tokoh seperti Syekh Abdush Shamad Al-Falimbani, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari dan Syekh Daud Al-Fathani.

Ketiga, adalah masa permunian tasawuf dengan tokoh-tokoh seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abdul Karim Amrullah, Syekh Abdur Rauf Al-karnusyi dan Hamka.

F.   Gagasan Neosufisme

Walaupun sering Neo-sufisme dikatakan sebagai fenomena yang muncul pada abad ke-19 dan 20-an, akan tetapi sesungguhnya sudah ada pada abad-abad sebelumnya, dan mengalama pengembangan untuk menyesuaikan dengan modernitas[13].

Istilah Neo-sufisme muncul untuk menggambarkan suatu bentuk pembaharuan dalam tasawuf yang memunculkan apa yang disebut reformed sufism, diperkenalkan pertama kali oleh Fazlur Rahman (1919-1988)[14]. Model karakter tasawuf “lama” direformasi dan dikembalikan original bersih dari karakter ekstatis dan metafisisnya diganti dengan ajaran syari’ah subtantif yang mampu beradaptasi dengan modernitas. Dengan ini Neo-sufismen berada dalam ruang lingkup kendali syari’ah yang berlandaskan pada dasar ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah yang senantiasa memiliki relevansi dengan zaman[15].

Pernah ulama’ klasik mencoba untuk mengembalikan tasawuf dalam pangkuan syari’ah, seperti apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyyah (w.728 H) yang kemudian dilanjutkan oleh muritnya, Ibn Qoyyim. Begitu juga salah seorang ulama’ Indonesia, yaitu Buya Hamka juga telah menampilkan istilah “Tasawuf Moderen” yang memiliki kesamaan nuansa dan visi dengan istilah Neo-sufisme yang dicetuskan pertama kali oleh Fazlur Rahman[16].

 

 

Keberadaan Neo-sufisme sesungguhnya mengkritik syari’ah dan juga tasawuf lama “tertentu”. Neo-sufisme mengkritik pemahaman syari’ah oriented yang legal-formal dan terkesan sangat eksoteris, ritual tampa ruh, ibadah yang gersang tampa pemaknaan. Dan Neo-sufisme juga mengkritik adanya ajaran tasawuf lama yang penabur paham isolatif, pasif, sangat individualistik dan bahkan tidak proporsional dalam menyikapi kehidupan dunia[17].

Neo-sufisme yang memiliki kecendrungan perhatiannya pada rekonstruksi sosial-moral masyarakat Islam sebagai kritik pada tasawuf lama yang cenderung individualis, dan hanya ukhrawi oriented sehingga mengakibatkan terkesan pasif. Maka keberadaan Neo-sufisme sangatlah berbeda, ia bersifat aktifis dan memiliki antosiame tinggi terhadap kehidupan duniawi. Dalam konteks ini, aktififisme Neo-sufisme terlihat kentara pada banyak tokohnya yang berusaha melakukan perubahan dalam masyarakat Islam melalui anjuran kepada kaum muslimin untuk berusaha, belajar, berkarya dan bekerja keras secara mandiri dari pada menunggu datangnya intervensi dan pertolongan eskatologis dari Tuhan[18].

Sebagai contoh salah satu dalam jaringan ulama’ Neo-sufisme Nusantara, Al-Qusyasi (w. 1071 H), ia mengarahkan dan menganjurkan kaum muslimin untuk meninggalkan kemalasan dan kebodohan dengan menggunakan waktu sebaik-baiknya. Fungi kekhalifahan manusia harus dioptimalkan dalam rangka memenuhi kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Menurut al-Qusyasi, sufi sebenarnya bukanlah orang yang mengasingkan diri dari masyarakat, akan tetapi sufi adalah yang aktif melakukan amal am’ruf nahi munkar demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat[19].

Dari ulasan di atas terlihat, bahwa gerak sejarah terhadap ranah neo-sufisme pada dasarnya adalah kelanjutan (contiunity) dari unsur penghayatan tradisi tasawuf lama yang ekstatis dan mistik-filosofis, kemudian diperbaharui dan dilakukan perubahan (change) sesuai dengan syari’ah dan relevan dalam menghadapi perubahan modernitas, khususnya watak aktif dan turut menjadi bagian menjadi solusi dalam kompleksitas problem masyarakat[20].


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Neosufisme merupakan jalan alternatif yang ditawarkan bagi siapa yang ingin menempuh jalan menuju Allah swt. Meskipun “neosufisme” tetap mengandung kontroversi yang panjang hingga kini. Neosufisme bukan barang baru, ia merupakan upaya menghidupkan tradisi sufi model “salafi”, yaitu melakukan praktik sufi di tengah kesibukan duniawi yang sudah dipraktikkan Nabi saw. dan para sahabatnya. Dengan demikian, hemat penulis bukan tidak mungkin bahwa istilah neosufisme juga akan berganti dengan istilah yang lain, yang intinya adalah menghidupkan nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan modern atau menjadi manusia modern yang mempraktikkan nilai-nilai tasawuf. Sebab, bukankah dulu Hamka telah menggagas ‘Tasawuf Modern” dan era kini Haidar Bagir menamai dengan “Tasawuf Positif”. Penulis membuat satu hipotesa bahwa neosufisme ini akan terus berkembang dan diminati oleh masyarakat, karena kecendrungan manusia selalu mencari ketenangan batin dan jiwanya dengan tidak harus meninggalkan aktifitas harian mereka. Wallahu a’lam.

Dengan demikian, maka untuk masa sekarang tasawuf dituntut untuk mengarahkan orientasi dan melaksanakan tanggung jawab baru, yaitu menyempurnakan moral individual ke moral struktural sosial dengan cara melakukan gerak perubahan: (1) dari jiwa ke tubuh, (2) dari rohani ke jasmani, (3) dari etika individual ke etika sosial, (4) dari meditasi ke tindakan terbuka, (5) dari isolasi ke gerakan sosial-politik, (6) dari pasif ke aktif, (7) dari kesatuan hayal ke persatuan nyata (relaitas). Dengan demikian Neo-sufisme menciptakan hubungan harmonis antara tasawuf dengan kekayaan dan kemoderenan, perpaduan keduanya justru akan melahirkan kekuatan besar dalam merubah dunia lebih baik. Neo-sufisme melakukannya dengan cara mencampurkan hal-hal keduniawian dengan subtansi aktifisme spiritualitas yang akan memberikan makna bagi nilai hidup dan manusia. Dengan kata lain, bahwa neo-sufisme menginginkan keselarasan

B.     Saran

     Dari uraian diatas semoga bermanfaat bagi kita semua, dan penulis sangat mengharapkan keritik dan saran supaya dalam penulisan yang selanjutnya penulis lebih memperhatkan lagi dari kta-kata dan penjelasan yang kurang baik.

     Bila ada penulisan yang salah kata atau kurang baik, penulis juga hanyalah manusia biasa yang tak luput dari dosa. Penulis juga banyak mengucapkan terima kasih untuk semua rekan-rekan yang telaah membantu dalam pembuatan makalah ini.

      

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Mukhtar, M.Si. Memahami Ilmu Tasawuf. Yoyakarta: Aura Media, 2009.

Drs. K. Permadi, S. Pengantar Ilmu Tasawwauf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Al-Taftazani, Abu al-Wafa’, al-Tasawwuf al-Islam wa Madarisuhu, Iskandariyah: Dar al-Maktabah al-Jami’ah, 1974

__________, Madkhal ilal Tashawwuf al-Islami, Cairo: Daruts Tsaqafah, 1979.

Azra, Azyumardi, “Tasawuf dan Tarekat”, dalam Taufik Abdullah dkk. (eds.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002

_________, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Pada Abad 17 dan 18, (Bandung: Mizan, 1995

_________, Neo-Sufisme dan Masa Depannya, dalam Muhammad Wayuni Nafis, (ed.). Rekonstruksi dan Renungan Releguis Islam, Jakarta: Paramadina, 1996

Damani, Mohammad, Tasawuf Positif dalam Pemikiran HAMKA, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981

Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973

Nicholson, R.A., The Idea of Personality in Sufism, Mohammad Ahmad, (New Delhi, 1976

Siregar, A. Rivay, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Rajawali Press, 1999

Syukur, M. Amin, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999

_________, Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

Team Penyusun, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan: Proyek Diterbitkan IAIN Sumatra Utara, 1982

Valiudin, Mir, Tasawuf dalam Quran, terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus, Jakarata: Pustaka Firdaus, 1987

[1] A. Ilyas Ismail, M.A. “Neo Sufisme”, Rupbrik ‘Hikmah’ Harian Replubika, 13 mei 1997.

2 Walaupun modernisasi menghadirkan sekulerisasi, namun tetap saja agama mempunyai peran spesial di hati manusia dalam menjalani kehidupannya. Lihat Amin Syukur, Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001), hlm. 45. Lihat pula Azyumardi Azra, Neo-Sufisme dan Masa Depannya, dalam Muhammad Wayuni Nafis, (ed.). Rekonstruksi dan Renungan Releguis Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 288.

3 Abdul Munir Mulkhan, Neo-Sufisme dan Pudarnya Fundamentalisme di Pedesaan, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 187. Lihat pula Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, (Bandung: Mizan, 2006).

4 Diambil dari Azyumardi Azra, Tasawuf dan Tarekat…, hlm. 379.

5 Ritual ini memang mengundang perdebatan dikalangan ulama fikih, karena sifatnya yang inkonvensional dan sulit ditemukan rujukan dasarnya dalam praktek Nabi Saw. dan para sahabat Ra.

6 Fazlur Rahman, Islam…, hlm. 196. Lihat pula Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995).

7 Yang dipopulerkan oleh Ibn ‘Arabi (1165-1240), yaitu bersatunya antara dimensi Pencipta dengan yang diciptakan.

8 Lebih lengkapnya lihat dalam Kautsar Azhari Noer, Wahdal al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1999).

9 Maka segenap doa, zikir, puji-pujian, wirid-wirid lainnya serta amalan-amalan ibadahnya diambil langsung dari Nabi sendiri yang ma’tsurat.

10 Sebagaimana Fazlur Rahman mengatakan, “bahwa kelompok yang bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme adalah kelompok ahl al-hadist. Karena kelompok ahl al-hadist menyimpulkan, gerakan sufisme telah menjadi magnet dan menarik simpati secara menawan dalam berbagai belahan dunia Islam secara emosional, spiritual, dan intelektual, dan tidak mungkin sama sekali mengabaikan sufisme.” Lihat bukunya Islam…, hlm. 285-286.

11 Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, para ulama dan gerakan tasawuf memiliki andil besar melawan kolonial penjajah pada waktu itu membuat perlawanan untuk pembebasan dan kemerdekaan bangsa. Lebih lengkapnya lihat Sartono Kartodirdjo, Peasant’s Revolt of Banten in 1888, (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1966). Dan juga Azra, Tasawuf…, hlm. 381.

12 Walaupun modernisasi menghadirkan sekulerisasi, namun tetap saja agama mempunyai peran spesial di hati manusia dalam menjalani kehidupannya. Lihat Amin Syukur, Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001), hlm. 45. Lihat pula Azyumardi Azra, Neo-Sufisme dan Masa Depannya, dalam Muhammad Wayuni Nafis, (ed.). Rekonstruksi dan Renungan Releguis Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 288.

13 Azyumardi Azra, “Tasawuf dan Tarekat”, dalam Taufik Abdullah dkk. (eds.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 379.

14 Guru besar Filsafat Islam dari Pakistan yang berkarir di Universitas Chicago, Amerika. Ciri utama neo-sufisme menurutnya adalah penekanannya pada motif moral, pemurnian akidah dan kesucian jiwa, serta menanamkan sukap positiv pada dunai. Lihat Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 112.

15 Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 193. Bisa dilihat pula Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.273.

16 Ada beberapa istilah yang memiliki kesamaan, misalkan tasawuf aktif, tasawuf positif, tasawuf moderen dan lain sebagainya. Bisa dilihat buku Hamka, Tasawuf Moderen (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980), dan juga Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981). Dan lihat pula Mohammad Damani, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000).

17 Budhy Munawar-Rahman dkk, (eds.), Ensiklopedi Nurcholis Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, (Bandung: Mizan, Paramadina dan CSL, 2006), hlm. 2188.

18 Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Nurcholis Majid dalam Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995), hlm. 94.

19 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Pada Abad 17 dan 18, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 180. Dan lihat juga A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), hlm. 252.

20 M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 97.



[1] A. Ilyas Ismail, M.A. “Neo Sufisme”, Rupbrik ‘Hikmah’ Harian Replubika, 13 mei 1997.

[2] Walaupun modernisasi menghadirkan sekulerisasi, namun tetap saja agama mempunyai peran spesial di hati manusia dalam menjalani kehidupannya. Lihat Amin Syukur, Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001), hlm. 45. Lihat pula Azyumardi Azra, Neo-Sufisme dan Masa Depannya, dalam Muhammad Wayuni Nafis, (ed.). Rekonstruksi dan Renungan Releguis Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 288.

[3] Abdul Munir Mulkhan, Neo-Sufisme dan Pudarnya Fundamentalisme di Pedesaan, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 187. Lihat pula Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, (Bandung: Mizan, 2006).

[4] Diambil dari Azyumardi Azra, Tasawuf dan Tarekat…, hlm. 379.

[5] Ritual ini memang mengundang perdebatan dikalangan ulama fikih, karena sifatnya yang inkonvensional dan sulit ditemukan rujukan dasarnya dalam praktek Nabi Saw. dan para sahabat Ra.

[6] Fazlur Rahman, Islam…, hlm. 196. Lihat pula Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995).

[7] Yang dipopulerkan oleh Ibn ‘Arabi (1165-1240), yaitu bersatunya antara dimensi Pencipta dengan yang diciptakan.

[8] Lebih lengkapnya lihat dalam Kautsar Azhari Noer, Wahdal al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1999).

[9] Maka segenap doa, zikir, puji-pujian, wirid-wirid lainnya serta amalan-amalan ibadahnya diambil langsung dari Nabi sendiri yang ma’tsurat.

[10] Sebagaimana Fazlur Rahman mengatakan, “bahwa kelompok yang bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme adalah kelompok ahl al-hadist. Karena kelompok ahl al-hadist menyimpulkan, gerakan sufisme telah menjadi magnet dan menarik simpati secara menawan dalam berbagai belahan dunia Islam secara emosional, spiritual, dan intelektual, dan tidak mungkin sama sekali mengabaikan sufisme.” Lihat bukunya Islam…, hlm. 285-286.

[11] Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, para ulama dan gerakan tasawuf memiliki andil besar melawan kolonial penjajah pada waktu itu membuat perlawanan untuk pembebasan dan kemerdekaan bangsa. Lebih lengkapnya lihat Sartono Kartodirdjo, Peasant’s Revolt of Banten in 1888, (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1966). Dan juga Azra, Tasawuf…, hlm. 381.

[12] Walaupun modernisasi menghadirkan sekulerisasi, namun tetap saja agama mempunyai peran spesial di hati manusia dalam menjalani kehidupannya. Lihat Amin Syukur, Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001), hlm. 45. Lihat pula Azyumardi Azra, Neo-Sufisme dan Masa Depannya, dalam Muhammad Wayuni Nafis, (ed.). Rekonstruksi dan Renungan Releguis Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 288.

[13] Azyumardi Azra, “Tasawuf dan Tarekat”, dalam Taufik Abdullah dkk. (eds.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 379.

[14] Guru besar Filsafat Islam dari Pakistan yang berkarir di Universitas Chicago, Amerika. Ciri utama neo-sufisme menurutnya adalah penekanannya pada motif moral, pemurnian akidah dan kesucian jiwa, serta menanamkan sukap positiv pada dunai. Lihat Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 112.

[15] Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 193. Bisa dilihat pula Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.273.

[16] Ada beberapa istilah yang memiliki kesamaan, misalkan tasawuf aktif, tasawuf positif, tasawuf moderen dan lain sebagainya. Bisa dilihat buku Hamka, Tasawuf Moderen (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980), dan juga Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981). Dan lihat pula Mohammad Damani, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000).

[17] Budhy Munawar-Rahman dkk, (eds.), Ensiklopedi Nurcholis Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, (Bandung: Mizan, Paramadina dan CSL, 2006), hlm. 2188.

[18] Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Nurcholis Majid dalam Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995), hlm. 94.

[19] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Pada Abad 17 dan 18, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 180. Dan lihat juga A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), hlm. 252.

[20] M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 97.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar