BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kecenderungan kehidupan yang berlatar belakang
falsafah kapitalisme bukan saja menjadikan gaya kehidupan manusia ke arah
materialistic-hedonistic tetapi juga menimbulkan rasa terancam dan kekacauan
dalam masyarakat. Kehidupan manusia di penuhi kezaliman, kesedihan dan
keruntuhan akhlak, seolah-olah tiada lagi harapan dan cinta dalam kehidupan
seharian. Berdasarkan hal ini, modernisme dilihat gagal memberikan kehidupan
yang lebih bermakna dalam kehidupan manusia, sehingga keadaan ini telah
menimbulkan berbagai persoalan dalam masyarakat.
Dalam perjalanan sejarah spiritualisme Muslim,
terlihat bahwa transendensi atau tasawuf merupakan jalan ketuhanan spiritual
para sufi. Ini karena jalan itu dirasakan amat releven dengan kehidupan. Dalam
suasana transendensi, seorang sufi mengalami suasana realita yang baru yaitu
suatu kehidupan yang bebas dari hidup yang dipenuhi dengan kezaliman,
ketamakan, sifat dan rakus. Dengan menempuhi dunia spiritual ini, seseorang itu
merasakan hidup di alam kecintaan dan alam kemenangan. Bagi kelompok ini,
realita spiritual yang ditempuh bukanlah sesuatu yang ilusi, tetapi benar-benar
suatu realita yang hanya dapat dinikmati sebagai sesuatu pengalaman keagamaan.
Pada perkembangan selanjutnya, tasawuf yang pada
akhirnya melembaga menjadi tarekat sebagian besar selalu mempraktekkan sikap
uzlah yang bertujuan melakukan pembersihan jiwa dengan cara menjauhi kehidupan
dunia. Hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan umat Islam menjadi
apatis terhadap kehidupan dunia, lupa akan tugas sebagai khalifah di bumi dan
menghindar dari tanggung jawabnya sebagai insan sosial. Maka terjadilah
ketimpangan di sini, di mana akhirnya jalan spiritual yang dipilih membuatnya
menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan dan cenderung lebih mementingkan
urusan akhirat, sehingga yang ia dapatkan adalah kesalehan individual dan bukan
kesalehan sosial.
B.
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
Ciri-Ciri Neosufisme.
2. Mengetahui
Perkembangan Neosufisme di Zaman Modern.
3. Mengetahui
Karakter Dasar Neosufisme.
4. Mengetahui
Tokoh-Tokoh Perkembangan Tasawuf di Indonesia.
5.
Mengetahui Gagasan
Neosufisme.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Neosufisme
Menurut Fazlur Rahman, neosufisme adalah “reformed
sufism” yang maknanya adalah sufisme yang telah diperbaharui. Sekiranya pada
era kecemerlangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan adalah sifat
ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini ianya digantikan
dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks. Neosufisme mengalihkan pusat pengamatan
kepada pembinaan semula sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme
terdahulu didapati lebih bersifat individu dan hampir tidak melibatkan diri
dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme
adalah “puritanis dan aktivis”. Tokoh-tokoh atau kumpulan yang paling
berperanan dalam reformasi sufisme ini juga merupakan paling bertanggung jawab
dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme. Menurut Fazlur Rahman, kumpulan
tersebut adalah kumpulan Ahl Hadis. Mereka ini coba untuk menyesuaikan sebanyak
mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan dengan Islam ortodoks
terutamanya motif moral sufisme melalui teknik zikir, muraqabah atau mendekatkan
diri kepada Allah swt.
Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa tujuan neosufisme cenderung kepada
penekanan yang lebih intensif terhadap memperkukuh iman sesuai dengan
prinsip-prinsip akidah Islam dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan
ukhrawi. Akibat dari sikap keberagamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan
nilai antara kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan
yang “terresterial” dengan kehidupan yang kosmologis.
Dalam hal ini, al-Qushashi menyatakan bahawa sufi yang
sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari masyarakat, tetapi sufi yang
tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakukan al-’amr bi al-ma’ruf
wa nahy `an al- munkar (ishlah) demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
Manakala Sa‘id Ramadan al-Buti pula mengutarakan konsep Ruhaniyyah
al-Ijtima`iyyah atau spiritualisme sosial. Beliau merupakan penggerak kepada
konsep neosufisme ini yang bermarkas di Geneva. Dalam hal ini al-Buti mengecam
sikap dan cara hidup seperti yang digambarkan sufi terdahulu yang sangat
mementingkan ukhrawi, sehingga tersisih daripada kehidupan masyarakat yang
menurutnya itu adalah egois dan pengecut, hanya mementingkan diri sendiri.
Sikap hidup yang benar adalah “tawazun” yaitu keseimbangan dalam diri sendiri
termasuk dalam kehidupan spiritualnya serta kehidupan duniawi dan ukhrawi.
B.
Ciri-Ciri
Neosufisme
Adapun cirri-ciri Neo-Sufisme menurut Fazlurrahman memiliki yang membedakan
dengan tasawuf popler:
1.
Neo sufisme, memberikan penghargaan positif pada dunia untuk itu seorang
sufi, menurut paham ini tidak harus miskin, bahkan boleh kaya. Kesalehan,
menurut paham ini bukan menolak dengan harta dan kekayaan, tetapi
mempergunakannya sesuai dengan petunjuk Allah dan sunah Rasul.
2.
Neo Sufisme menekankan kesucian moral dan akhlak ul karimah sebagai
upaya memperkuat iman dan taqwa. Peningkatan moral disini individu yang sosial,
melainkan juga moral masyarakat.
3.
Neo Sufisme terdapat aktifitas dan dinamika baik dalam berpikir maupun
dalam bertindak. Dalam bidang intlektual, penganut Neosufisme bersifat sangat
terbuka dan inklusifistik. Mereka dapat menerima semua khasanah intlektual
islam sejauh dapat dipertemukan dengan Alquran dan Al-Sunnah. Sementara dalam
kemasyarakatan, mereka terlibat secara aktif dalam rekayasa sosial-moral
masyarakat dengan melakukan amar makruf dan nahi
munkar[1].
C.
Perkembangan
Neosufisme di Zaman Modern
Modernisme yang berkembang Barat telah melahirkan pandangan hidup
mekanistik dan atomistik. Hal ini terbukti dengan maju dan berkembangnya industrialisasi
dan kemajuan tehnologi. Dilihat dari berbagai dampak positifnya, modernisme
juga melahirkan perombakan pola kognitif manusia. Mekanisme kehidupan manusia
berubah menjadi materi oriented dan berlalu mementingkan aspek lahiriah saja.
Lambat laun, hal tersebut menjadikan manusia kehilangan jati diri, seni
menjalani hidup untuk saling menghormati, tolong menolong dan dalam tingkat
yang paling krusial kehilangan identitas yang berdampak menghilangkan nilai
kemanusiaan.
Hingga di sinilah, aspek bathiniyah manusia sudah sangat nampak sangat
dibutuhkan, yang mampu memberikan siraman spiritual hati manusia yang gersang
berada dalam keterasingan eksistensi dan dunianya sendiri. Modernisasi
memberikan tantangan tersendiri bari agama atau relegiusitas, namun tidak bisa
“menghilangkan” agama dari muka bumi ini[2].
Karena semakin seseorang terbentur dalam kebuntuan makna hidup, maka ia akan
semakin rajin mencari jawaban dari keterasingannya dan berupaya menemukan
spiritualitas jati dirinya. Di silah tasawuf akan memainkan peran yang sangat
signifikan menyuburkan area esoteris atau bathiniyah.
Peran tasawuf sebagai solusi yang mampu menghadirkan jawaban dari persoalan
dalam kehidupan moderen merupakan kontribusi yang bernilai mahal. Maka tasawuf
dengan model neo-sufisme sesungguhnya merupakan bentuk esoteerisme atau
penghayatan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam pembentukan
sosial masyarakat, bukan hanya ingin mencapai kesolehan individu, namun lebih
dari pada itu, terbentuknya tatanan kesolehan sosial yang universal. Hal itu
hanya bisa diperoleh dengan penghayatan sikap keagamaan yang positif dalam
memahami agama yang memberikan porsi seimbang antara kosmos dunia dan akhirat[3].
Dengan uraian di atas, maka corak dan karakter neo-sufisme yang secara
eksistensial adalah dimensi esoterisme Islam, menjadi sangat dibutuhkan oleh
orang mederen dewasa ini, yang telah kehilangan penghayatan batinnya. Sekaligus
tidak usah takut ketika menjadi pengamalnya akan kehilangan partisipasi dalam
kompetisi duniawi, karena neo-sufisme menekankan sikap aktifisme dalam berfikir
dan bertindak, bukan malah menjauh sebagaimana dalam tasawuf “ektrem”.
Tidak sulit kiranya untuk meramalkan, prospek neo-sufisme sangat pesat
untuk berkembang dikemudian hari, terlebih ketika klimaks modernisasi sudah
mencapai puncaknya. Bisa dilihat sekarang ini di perkotaan, fenomena maraknya
bermunculan komunitas yang mengatas namakan agama dan aliran spiritual mulai
bertebaran, guna memberikan siraman kegersangan hati manusia moderen.
D.
Karakter
Dasar Neosufisme
Berdasarkan pada komentar para ahli dalam bidang tasawuf, yang membedakan
neo-sufisme dibandingkan dengan sufisme lama adalah sebagai berikut[4]
:
Pertama, menolak terhadap praktek tawawuf yang ekstrim dan
ekstatis, seperti ritual dzikir yang diiringi tarian dan musik, atau praktek
dzikir yang heboh dan tidak terkendali[5].
Dengan demikian neo-sufisme terkesan agak menyederhanakan berbagai metode dan
akspresi yang dilakukan sesuai dengan konsep syari’ah.
Kedua, menolak pemujaan yang berlebihan terhadap para
wali-sufi dan kuburannya atau tempat-tempat lain yang dianggap kramat-suci.
Fenomena ini didasari fanatisme berlebihan, yang mengakibatkan runtuhnya iman
dan menghancurkan basis tauhidullah, bisa dilihat jelas terjadi di Saudi
Arabia sebelum munculnya gerakan Wahabi abad ke-18. Pola sikap ini banyak
diilhami oleh Ibn Taimiyyah[6].
Ketiga, menolak ajaran wahdah al-wujud[7].
Pemahaman ini kontroversial dengan pemahaman orang awam dan ulama’ fikih. Dalam
neo-sufisme, konsep ini lebih dipahami sebagai kerangka transendensi Tuhan
sehingga tetap sebagai Tuhan yang Khaliq[8].
Keempat, penolakan terhadap fanatisme murid kepada sang guru
atau mursyid. Dalam tasawuf lama terdapat pandangan bahwa hanya dengan
kepatuhan dan loyalitas mutlak terhadap guru, sang murid akan mecapai kemajuan
spiritual atau maqam tertinggi, hal ini sudah menjadi kepercayaan
mengakar. Dalam neo-sufisme, murid tidak harus memenuhi perintah dan ajaran
sang guru jika jelas-jelas bertentangan dengan syari’at, bahkan murid berhak
dan harus melawannya. Dengan demikian, dalam neo-sufisme, hubungan guru dan
murid berlandaskan pada komitmen sosial dan moral akhlak yang harus memiliki
kesesuaian dengan al-Quran dan al-Sunnah.
Kelima, dalam dimensi neo-sufisme, yang diposisikan sebagai syekh
tarekat adalah langsung Nabi Saw., bukan para awliya atau
pendiri-pendiri tarekat. Dengan demikian neo-sufisme hendak untuk menempatkan
Nabi Saw. sebagai pendiri tarekat yang kemudian dijadikan sebagai teladan dalam
kegiatan berfikir, berdzikir[9]
dan suri tauladan dalam hal apapun.
Keenam, menciptakan organisasi massa yang terstruktur dan
tersentralisasi secara cukup hierarkis dibawah otoritas pendiri tarekat dan
para khalifah, namun masih berorientasi komunal atau sosial. Maka neo-sufisme
mempelajari tasawuf berarti melakukan inisiasi atau masuk dalam organisasi
massa.
Ketujuh, menitik tekankan khusus pada kajian hadist atau sunnah
yang betul-betul shahih, terutama tema terkait dengan memberi pengaruh
pada rekonstruksi sosial-moral masyarakat, dari pada hanya ketetapan hukum
fikih[10].
Kedelapan, menolak taklid dan penegasan hak individu muslim
melakukan ijtihad. Maka neo-sufisme berupaya mendorong orang muslim untuk
mempunyai kapasitas keilmuan dan kemampuan berijtihad dari pada sekedar taklid
pada ulama tampa reserve.
Kesembilan, kesediaan berpolitik dan heroik patriotisme militerian
untuk membela Islam[11].
Jika tasawuf lama cenderung uzlah menghadapi realita sosial yang tidak
baik dalam pertumbuhan keislaman, maka beda halnya dengan neo-sufisme
yang dengan karakter aktifisnya siap menghadapi tantangan dan memberikan respos
perubahan konstruktif dan positif melawan ekspansi imperialisme Barat, terutama
pada abad ke-18.
E.
Tokoh-Tokoh
Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Dalam melihat perkembangan tasawuf di Indonesia,
yunasril Ali membaginya tiga periode[12], yaitu:
Pertama, periode masa pertumbuhan dengan tokoh-tokoh
seperti Hamzah Al-Fanshuri, Syamsuddin As-Sumathrani, Abdur Rauf
al-Fanshuri (Al-Sinkily), Naruddin Ar-Raniry, Syekh Burhanuddin Ulakan dan
Syekh Yusuf Tajul Khalwat atau Yusuf Al-Maqassari.
Kedua, adalah masa perkembangan dengan tokoh-tokoh
seperti Syekh Abdush Shamad Al-Falimbani, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary,
Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari dan Syekh Daud Al-Fathani.
Ketiga, adalah masa permunian tasawuf dengan
tokoh-tokoh seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Muhammad Jamil
Jambek, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abdul Karim Amrullah, Syekh Abdur Rauf
Al-karnusyi dan Hamka.
F. Gagasan Neosufisme
Walaupun sering Neo-sufisme dikatakan sebagai fenomena yang muncul pada
abad ke-19 dan 20-an, akan tetapi sesungguhnya sudah ada pada abad-abad
sebelumnya, dan mengalama pengembangan untuk menyesuaikan dengan modernitas[13].
Istilah Neo-sufisme muncul untuk menggambarkan suatu bentuk pembaharuan
dalam tasawuf yang memunculkan apa yang disebut reformed sufism, diperkenalkan
pertama kali oleh Fazlur Rahman (1919-1988)[14].
Model karakter tasawuf “lama” direformasi dan dikembalikan original bersih dari
karakter ekstatis dan metafisisnya diganti dengan ajaran syari’ah subtantif
yang mampu beradaptasi dengan modernitas. Dengan ini Neo-sufismen berada dalam
ruang lingkup kendali syari’ah yang berlandaskan pada dasar ajaran Islam yaitu
al-Qur’an dan al-Sunnah yang senantiasa memiliki relevansi dengan zaman[15].
Pernah ulama’ klasik mencoba untuk mengembalikan tasawuf dalam pangkuan
syari’ah, seperti apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyyah (w.728 H) yang kemudian
dilanjutkan oleh muritnya, Ibn Qoyyim. Begitu juga salah seorang ulama’
Indonesia, yaitu Buya Hamka juga telah menampilkan istilah “Tasawuf Moderen” yang
memiliki kesamaan nuansa dan visi dengan istilah Neo-sufisme yang dicetuskan
pertama kali oleh Fazlur Rahman[16].
Keberadaan Neo-sufisme sesungguhnya mengkritik syari’ah dan juga
tasawuf lama “tertentu”. Neo-sufisme mengkritik pemahaman syari’ah oriented
yang legal-formal dan terkesan sangat eksoteris, ritual tampa ruh, ibadah yang
gersang tampa pemaknaan. Dan Neo-sufisme juga mengkritik adanya ajaran tasawuf
lama yang penabur paham isolatif, pasif, sangat individualistik dan bahkan
tidak proporsional dalam menyikapi kehidupan dunia[17].
Neo-sufisme yang memiliki kecendrungan perhatiannya pada rekonstruksi
sosial-moral masyarakat Islam sebagai kritik pada tasawuf lama yang cenderung
individualis, dan hanya ukhrawi oriented sehingga mengakibatkan terkesan pasif.
Maka keberadaan Neo-sufisme sangatlah berbeda, ia bersifat aktifis dan memiliki
antosiame tinggi terhadap kehidupan duniawi. Dalam konteks ini, aktififisme
Neo-sufisme terlihat kentara pada banyak tokohnya yang berusaha melakukan
perubahan dalam masyarakat Islam melalui anjuran kepada kaum muslimin untuk
berusaha, belajar, berkarya dan bekerja keras secara mandiri dari pada menunggu
datangnya intervensi dan pertolongan eskatologis dari Tuhan[18].
Sebagai contoh salah satu dalam jaringan ulama’ Neo-sufisme Nusantara,
Al-Qusyasi (w. 1071 H), ia mengarahkan dan menganjurkan kaum muslimin untuk
meninggalkan kemalasan dan kebodohan dengan menggunakan waktu sebaik-baiknya.
Fungi kekhalifahan manusia harus dioptimalkan dalam rangka memenuhi kebutuhan
jasmaniah dan rohaniah. Menurut al-Qusyasi, sufi sebenarnya bukanlah orang yang
mengasingkan diri dari masyarakat, akan tetapi sufi adalah yang aktif melakukan
amal am’ruf nahi munkar demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat[19].
Dari ulasan di atas terlihat, bahwa gerak sejarah terhadap ranah
neo-sufisme pada dasarnya adalah kelanjutan (contiunity) dari unsur
penghayatan tradisi tasawuf lama yang ekstatis dan mistik-filosofis, kemudian
diperbaharui dan dilakukan perubahan (change) sesuai dengan syari’ah dan
relevan dalam menghadapi perubahan modernitas, khususnya watak aktif dan turut
menjadi bagian menjadi solusi dalam kompleksitas problem masyarakat[20].
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Neosufisme merupakan jalan alternatif yang ditawarkan
bagi siapa yang ingin menempuh jalan menuju Allah swt. Meskipun “neosufisme”
tetap mengandung kontroversi yang panjang hingga kini. Neosufisme bukan barang
baru, ia merupakan upaya menghidupkan tradisi sufi model “salafi”, yaitu
melakukan praktik sufi di tengah kesibukan duniawi yang sudah dipraktikkan Nabi
saw. dan para sahabatnya. Dengan demikian, hemat penulis bukan tidak mungkin
bahwa istilah neosufisme juga akan berganti dengan istilah yang lain, yang
intinya adalah menghidupkan nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan modern atau
menjadi manusia modern yang mempraktikkan nilai-nilai tasawuf. Sebab, bukankah
dulu Hamka telah menggagas ‘Tasawuf Modern” dan era kini Haidar Bagir menamai
dengan “Tasawuf Positif”. Penulis membuat satu hipotesa bahwa neosufisme ini
akan terus berkembang dan diminati oleh masyarakat, karena kecendrungan manusia
selalu mencari ketenangan batin dan jiwanya dengan tidak harus meninggalkan
aktifitas harian mereka. Wallahu a’lam.
Dengan
demikian, maka untuk masa sekarang tasawuf dituntut untuk mengarahkan orientasi
dan melaksanakan tanggung jawab baru, yaitu menyempurnakan moral individual ke
moral struktural sosial dengan cara melakukan gerak perubahan: (1) dari jiwa ke
tubuh, (2) dari rohani ke jasmani, (3) dari etika individual ke etika sosial,
(4) dari meditasi ke tindakan terbuka, (5) dari isolasi ke gerakan
sosial-politik, (6) dari pasif ke aktif, (7) dari kesatuan hayal ke persatuan
nyata (relaitas). Dengan demikian Neo-sufisme menciptakan hubungan harmonis
antara tasawuf dengan kekayaan dan kemoderenan, perpaduan keduanya justru akan
melahirkan kekuatan besar dalam merubah dunia lebih baik. Neo-sufisme
melakukannya dengan cara mencampurkan hal-hal keduniawian dengan subtansi aktifisme
spiritualitas yang akan memberikan makna bagi nilai hidup dan manusia. Dengan
kata lain, bahwa neo-sufisme menginginkan keselarasan
B.
Saran
Dari uraian diatas semoga bermanfaat bagi
kita semua, dan penulis sangat mengharapkan keritik dan saran supaya dalam
penulisan yang selanjutnya penulis lebih memperhatkan lagi dari kta-kata dan
penjelasan yang kurang baik.
Bila ada penulisan yang salah kata atau
kurang baik, penulis juga hanyalah manusia biasa yang tak luput dari dosa.
Penulis juga banyak mengucapkan terima kasih untuk semua rekan-rekan yang
telaah membantu dalam pembuatan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Hadi, Mukhtar, M.Si. Memahami Ilmu Tasawuf. Yoyakarta:
Aura Media, 2009.
Drs. K. Permadi, S. Pengantar Ilmu Tasawwauf. Jakarta:
Rineka Cipta, 2004.
Al-Taftazani,
Abu al-Wafa’, al-Tasawwuf al-Islam wa Madarisuhu, Iskandariyah: Dar
al-Maktabah al-Jami’ah, 1974
__________, Madkhal
ilal Tashawwuf al-Islami, Cairo: Daruts Tsaqafah, 1979.
Azra,
Azyumardi, “Tasawuf dan Tarekat”, dalam Taufik Abdullah dkk. (eds.), Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002
_________, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Nusantara Pada Abad 17 dan 18, (Bandung: Mizan, 1995
_________, Neo-Sufisme
dan Masa Depannya, dalam Muhammad Wayuni Nafis, (ed.). Rekonstruksi dan
Renungan Releguis Islam, Jakarta: Paramadina, 1996
Damani,
Mohammad, Tasawuf Positif dalam Pemikiran HAMKA, Yogyakarta: Fajar
Pustaka, 2000
Hamka, Tasawuf
Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981
Nasution,
Harun, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Nicholson,
R.A., The Idea of Personality in Sufism, Mohammad Ahmad, (New Delhi,
1976
Siregar, A.
Rivay, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Rajawali
Press, 1999
Syukur, M.
Amin, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999
_________, Tasawuf
dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Team
Penyusun, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan: Proyek Diterbitkan IAIN Sumatra
Utara, 1982
Valiudin,
Mir, Tasawuf dalam Quran, terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus,
Jakarata: Pustaka Firdaus, 1987
[1] A. Ilyas Ismail, M.A. “Neo Sufisme”, Rupbrik ‘Hikmah’
Harian Replubika, 13
mei 1997.
2
Walaupun modernisasi menghadirkan sekulerisasi, namun tetap saja agama
mempunyai peran spesial di hati manusia dalam menjalani kehidupannya. Lihat
Amin Syukur, Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001),
hlm. 45. Lihat pula Azyumardi Azra, Neo-Sufisme dan Masa Depannya, dalam
Muhammad Wayuni Nafis, (ed.). Rekonstruksi dan Renungan Releguis Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1996), hlm. 288.
3
Abdul Munir Mulkhan, Neo-Sufisme dan Pudarnya Fundamentalisme di Pedesaan, (Yogyakarta:
UII Press, 2000), hlm. 187. Lihat pula Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai
Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, (Bandung:
Mizan, 2006).
4
Diambil dari Azyumardi Azra, Tasawuf dan Tarekat…, hlm. 379.
5
Ritual ini memang mengundang perdebatan dikalangan ulama fikih, karena sifatnya
yang inkonvensional dan sulit ditemukan rujukan dasarnya dalam praktek Nabi
Saw. dan para sahabat Ra.
6
Fazlur Rahman, Islam…, hlm. 196. Lihat pula Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995).
7
Yang dipopulerkan oleh Ibn ‘Arabi (1165-1240), yaitu bersatunya antara dimensi
Pencipta dengan yang diciptakan.
8
Lebih lengkapnya lihat dalam Kautsar Azhari Noer, Wahdal al-Wujud dalam
Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1999).
9
Maka segenap doa, zikir, puji-pujian, wirid-wirid lainnya serta amalan-amalan
ibadahnya diambil langsung dari Nabi sendiri yang ma’tsurat.
10
Sebagaimana Fazlur Rahman mengatakan, “bahwa kelompok yang bertanggung jawab
dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme adalah kelompok ahl al-hadist.
Karena kelompok ahl al-hadist menyimpulkan, gerakan sufisme telah
menjadi magnet dan menarik simpati secara menawan dalam berbagai belahan dunia
Islam secara emosional, spiritual, dan intelektual, dan tidak mungkin sama
sekali mengabaikan sufisme.” Lihat bukunya Islam…, hlm. 285-286.
11
Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, para ulama dan gerakan tasawuf memiliki
andil besar melawan kolonial penjajah pada waktu itu membuat perlawanan untuk
pembebasan dan kemerdekaan bangsa. Lebih lengkapnya lihat Sartono Kartodirdjo, Peasant’s
Revolt of Banten in 1888, (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1966). Dan juga
Azra, Tasawuf…, hlm. 381.
12
Walaupun modernisasi menghadirkan sekulerisasi, namun tetap saja agama
mempunyai peran spesial di hati manusia dalam menjalani kehidupannya. Lihat
Amin Syukur, Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001),
hlm. 45. Lihat pula Azyumardi Azra, Neo-Sufisme dan Masa Depannya, dalam
Muhammad Wayuni Nafis, (ed.). Rekonstruksi dan Renungan Releguis Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1996), hlm. 288.
13
Azyumardi Azra, “Tasawuf dan Tarekat”, dalam Taufik Abdullah dkk.
(eds.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002), hlm. 379.
14
Guru besar Filsafat Islam dari Pakistan yang berkarir di Universitas Chicago,
Amerika. Ciri utama neo-sufisme menurutnya adalah penekanannya pada motif
moral, pemurnian akidah dan kesucian jiwa, serta menanamkan sukap positiv pada
dunai. Lihat Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 112.
15
Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka,
1984), hlm. 193. Bisa dilihat pula Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.273.
16
Ada beberapa istilah yang memiliki kesamaan, misalkan tasawuf aktif,
tasawuf positif, tasawuf moderen dan lain sebagainya. Bisa dilihat buku
Hamka, Tasawuf Moderen (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980), dan juga Tasawuf
Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981). Dan
lihat pula Mohammad Damani, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, (Yogyakarta:
Fajar Pustaka, 2000).
17
Budhy Munawar-Rahman dkk, (eds.), Ensiklopedi Nurcholis Madjid: Pemikiran
Islam di Kanvas Peradaban, (Bandung: Mizan, Paramadina dan CSL, 2006),
hlm. 2188.
18
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Nurcholis Majid dalam Islam Agama
Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah, (Jakarta:
Yayasan Paramadina, 1995), hlm. 94.
19
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Pada Abad 17 dan
18, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 180. Dan lihat juga A. Rivay Siregar, Tasawuf:
Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), hlm.
252.
20
M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad
21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 97.
[1] A. Ilyas Ismail, M.A. “Neo Sufisme”, Rupbrik ‘Hikmah’ Harian Replubika, 13 mei 1997.
[2]
Walaupun modernisasi menghadirkan sekulerisasi, namun tetap saja agama
mempunyai peran spesial di hati manusia dalam menjalani kehidupannya. Lihat
Amin Syukur, Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001),
hlm. 45. Lihat pula Azyumardi Azra, Neo-Sufisme dan Masa Depannya, dalam
Muhammad Wayuni Nafis, (ed.). Rekonstruksi dan Renungan Releguis Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1996), hlm. 288.
[3]
Abdul Munir Mulkhan, Neo-Sufisme dan Pudarnya Fundamentalisme di Pedesaan, (Yogyakarta:
UII Press, 2000), hlm. 187. Lihat pula Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai
Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, (Bandung:
Mizan, 2006).
[4]
Diambil dari Azyumardi Azra, Tasawuf dan Tarekat…, hlm. 379.
[5]
Ritual ini memang mengundang perdebatan dikalangan ulama fikih, karena sifatnya
yang inkonvensional dan sulit ditemukan rujukan dasarnya dalam praktek Nabi
Saw. dan para sahabat Ra.
[6]
Fazlur Rahman, Islam…, hlm. 196. Lihat pula Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995).
[7]
Yang dipopulerkan oleh Ibn ‘Arabi (1165-1240), yaitu bersatunya antara dimensi
Pencipta dengan yang diciptakan.
[8]
Lebih lengkapnya lihat dalam Kautsar Azhari Noer, Wahdal al-Wujud dalam
Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1999).
[9]
Maka segenap doa, zikir, puji-pujian, wirid-wirid lainnya serta amalan-amalan
ibadahnya diambil langsung dari Nabi sendiri yang ma’tsurat.
[10]
Sebagaimana Fazlur Rahman mengatakan, “bahwa kelompok yang bertanggung jawab
dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme adalah kelompok ahl al-hadist.
Karena kelompok ahl al-hadist menyimpulkan, gerakan sufisme telah
menjadi magnet dan menarik simpati secara menawan dalam berbagai belahan dunia
Islam secara emosional, spiritual, dan intelektual, dan tidak mungkin sama
sekali mengabaikan sufisme.” Lihat bukunya Islam…, hlm. 285-286.
[11]
Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, para ulama dan gerakan tasawuf memiliki
andil besar melawan kolonial penjajah pada waktu itu membuat perlawanan untuk
pembebasan dan kemerdekaan bangsa. Lebih lengkapnya lihat Sartono Kartodirdjo, Peasant’s
Revolt of Banten in 1888, (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1966). Dan juga
Azra, Tasawuf…, hlm. 381.
[12]
Walaupun modernisasi menghadirkan sekulerisasi, namun tetap saja agama
mempunyai peran spesial di hati manusia dalam menjalani kehidupannya. Lihat
Amin Syukur, Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001),
hlm. 45. Lihat pula Azyumardi Azra, Neo-Sufisme dan Masa Depannya, dalam
Muhammad Wayuni Nafis, (ed.). Rekonstruksi dan Renungan Releguis Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1996), hlm. 288.
[13]
Azyumardi Azra, “Tasawuf dan Tarekat”, dalam Taufik Abdullah dkk.
(eds.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002), hlm. 379.
[14]
Guru besar Filsafat Islam dari Pakistan yang berkarir di Universitas Chicago,
Amerika. Ciri utama neo-sufisme menurutnya adalah penekanannya pada motif
moral, pemurnian akidah dan kesucian jiwa, serta menanamkan sukap positiv pada
dunai. Lihat Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 112.
[15]
Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka,
1984), hlm. 193. Bisa dilihat pula Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.273.
[16]
Ada beberapa istilah yang memiliki kesamaan, misalkan tasawuf aktif,
tasawuf positif, tasawuf moderen dan lain sebagainya. Bisa dilihat buku
Hamka, Tasawuf Moderen (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980), dan juga Tasawuf
Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981). Dan
lihat pula Mohammad Damani, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, (Yogyakarta:
Fajar Pustaka, 2000).
[17]
Budhy Munawar-Rahman dkk, (eds.), Ensiklopedi Nurcholis Madjid: Pemikiran
Islam di Kanvas Peradaban, (Bandung: Mizan, Paramadina dan CSL, 2006),
hlm. 2188.
[18]
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Nurcholis Majid dalam Islam Agama
Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah, (Jakarta:
Yayasan Paramadina, 1995), hlm. 94.
[19]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Pada Abad 17 dan
18, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 180. Dan lihat juga A. Rivay Siregar, Tasawuf:
Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), hlm.
252.
[20]
M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad
21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 97.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar