Selasa, 04 Januari 2022

MAKALAH HUBUNGAN FISKAL ANTARA LEMBAGA PEMERINTAHAN

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Dewasa ini, setiap negara membutuhkan dana yang cukup besar untuk melaksanakan pembangunan dan menyelenggarakan pemerintahan. Negara akan selalu mengatur penerimaan dan pengeluaran keuangan negara tertuang dalam (APBN). Sementara di sisi lain, kebijakan anggaran atau fiskal untuk membiayai pembangunan tersebut menghadapi kendala. Persoalannya adalah kesulitan dalam pembentukan modal, baik yang bersumber dari penerimaan pemerintah yang berasal dari ekspor barang ke luar negri maupun dari masyarakat melalui instrumen pajak dan instrumen lembaga-lembaga keuangan. Untuk mencukupi kekurangan sumber daya modal ini, maka pemerintah negara yeng bersangkutan berusaha untuk mendatangkan sumber daya modal dari luar negri melalui berbagai jenis pinjaman.Pada masa krisis ekonomi, utang luar negri Indonesia, termasuk utang luar negri pemerintah, telah meningkat drastis. Sehingga menyebabkan pemerintah Indonesia harus menambah utang luar negri yang baru untuk membayar utang luar negri yang lama.

 

  1. Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan kebijakan fiskal dipemerintahan?

 

  1. Tujuan Masalah

Mengetahui apa saja hubungan fiskal antar pemerintahan.


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Ruang Lingkup Kebjakan Fiskal

Kebijakan fiskal adalah langkah-langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam pembelenjaannya dengan maksud untuk  untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapai.

1.      Bentuk – Bentuk Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu:

1.      Kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atas barang dan jasa.

Pembelian pemerintah atau belanja negara merupakan unsur di dalam pendapatan nasional yang dilambangkan dengan huruf “G”.Pembelian atas barang dan jasa pemerintah ini mencakup pemerintah daerah, dan pusat.Belanja pemerintah ini meliputi pembangunan mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi.

Untuk jalan raya, jalan tol, bangunan sekolah, gedung pemerintahan, peralatan kemiliteran, dan gaji guru sekolah.

2.      Kebijakan yang menyangkut perpajakan

Pajak merupakan pendapatan yang paling besar di samping pendapatan yang berasal dari migas.Baik perusahaan maupun rumah tangga mempunyai kewajiban melakukan pembayaran pajak atas beberapa bahkan seluruh kegiatan yang dilakukan.Pajak yang dibayarkan digunakan semata-mata untuk pembangunan negara tersebut.Kebijakan pemerintah atas perpajakan mengalami pembaharuan dari waktu ke waktu, hal ini disebut tax reform (pembaharuan pajak).Tax reform yang dilakukan pemerintah mengikuti adanya perubahan di dalam masyarakat, seperti meningkatnya pendapatan, meningkatnya.

3.      Kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer.

Pembayaran transfer meliputi kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, dan tunjangan pensiun. Jika dilihat pembayaran transfer merupakan bagian belanja pemerintah tetapi sebenarnya pembayaran tansfer tidak masuk dalam komponen G di dalam perhitungan pendapatan nasional. Alasannya yaitu karena transfer bukan merupakan pembelian sesuatu barang yang baru diproduksi dan pembayaran tersebut bukan karena jual beli barang dan jasa. Pembayaran transfer mempengaruhi pendapatan rumah tangga, namun tidak mencerminkan produksi perekonomian. Karena PDB dimaksudkan untuk mengukur pendapatan dari produksi barang dan jasa serta pengeluaran atas produksi barang dan jasa, pembayaran transfer tidak dihitung sebagai bagian dari belanja pemerintah.

Salah satu gagasan utama Keynes pada tahun 1930-an adalah kebijakan fiskal dapat dan hendaknya digunakan untuk menstabilkan tingkat keluaran dan peluang kerja. Secara spesifik menurut Keynes, terdapat dua hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam kebijakan fiskal yaitu:

a.       Kebijakan fiskal ekspansioner yaitu memotong pajak dan/atau menaikkan pengeluaran untuk mengeluarkan perekonomian dari penurunan.

b.      Kebijakan fiskal kontraksioner yaitu menaikkan pajak dan/atau memangkas pengeluaran untuk mengeluarkan perekonomian dari inflasi.

Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

Kebijakan fiskal mempunyai pengaruh baik jangka panjang maupun jangka pendek. Kebijakan fiskal mempengaruhi tabungan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, sedangkan dalam jangka pendek mempunyai pengaruh terhadap permintaan agregat barang dan jasa.

Kebijakan memiliki perioritas, yaitu  mengatasi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan masalah-masalah APBN lainnya.

Sebelum pembahasan melebar, setidaknya pemahaman konseptual anggaran dapat kita pahami. Pengertian anggaran antara lain sebagai berikut:

a.       Anggaran merupakan prakiraan dari penerimaan dan pengeluaran dalam jangka waktu tertentu.

b.      Anggaran menggambarkan daftar belanja. Akan tetapi, anggaran di batasi oleh pendapatan untuk menjaga keseimbangan dan mencega pemborosan.

Suatu anggaranmungkin hanya difungsikan sebagai instrumen untuk mencatat penerimaan dan pengeluaran saja, sehingga dalam suatu pemerintahan anggaran negara di anggap sebagai pedoman keluar masuknya keuangan negara.

2.      Pengertian APBN

a.       Menurut UU No. 17 Tahun 2003, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

b.      Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang – undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.

c.       Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945, Rancangan Undang – Undang Angaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Di Indonesia, kebijakan fiskal mempunyai dua prioritas. Prioritas pertama adalah mengatasi APBN, dan masalah – masalah APBN lainnya. Defisit APBN terjadi apabila penerimaan pemerintah lebih kecil daripada pengeluarannya. Prioritas kedua adalah mengatasi masalah stabilitas ekonomi makro, yang terkait dengan antara lain laju pertumbuhan ekonomi, tingkat atau laju pertumbuhan inflasi, jumlah kesempatan kerja/ penggangguran dan saldo neraca pembayaran. Apabila APBN defisit, pemerintah hanya mempunyai dua pilihan untuk membiayai saldo negatif tersebut, yaitu didanai oleh Bank Indoneisa lewat printing money yang berarti jumlah uang yang beredar di masyarakat meningkat, atau melebihi pinjaman, baik dari dalam negeri, misalnya dengan menerbitkan obligasi, atau dari luar negeri ( cara yang kedua ini berarti ekonomi tidak lagi tertutup ). Karena opsi pertama tersebut sangat berisiko terhadap peningkatan laju inflasi, maka biasanya opsi kedua yang dipilih.

 

3.      Fungsi APBN

a.       Fungsi Otorisasi

Anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan, Dengan demikian, pembelanjaan atau pendapatan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

b.      Fungsi Alokasi

Pemerintah harus membagikan pendapatan yang telah diterima ke pos – pos belanja yang telah ditetapkan di dalam APBN. Pengalokasian tersebut penting artinya bagi keberhasilan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.

c.       Fungsi Perencanaan

Dengan APBN, pemerintah dapat merencanakan untuk menciptakan dan meningkatkan kemakmuran rakyat. Misalnya pembangunan jalan untuk memperlancar kegiatan ekonomi masyarakat atau negara serta dapat merencanakan pembangunan infrastruktur lainnya dengan anggaran yang ada.

d.      Fungsi Distribusi

Pendapatan negara tidak semuanya akan dibelanjakan untuk membangun sarana dan prasarana umum. Sebagian akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk dana pensiun (transfer payment) dan dapat juga berupa subsidi/bantuan.

e.       Fungsi Stabilisasi

Anggaran pemerintah akan menjadi alat untuk memelihara dan selalu mengupayakan keseimbangan pokok perekonomian.

f.       Fungsi Pengawasan

APBN menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan telah sesuai denga ketentuan yang ditetapkan. Dengan demikian penyusunan APBN memudahkan rakyat untuk menilai tindakan pemerintah dalam menggunakan uang negara.[1]

 

4.      Komponen – komponen APBN

APBN  mempunyai dua komponen besar yaitu :

a.       Anggaran pendapatan Negara terdiri dari:

·         Pajak

·         Retribusi

·         Royalti

·         Bagian laba BUMN

·         Dan berbagai pendapatan non-pajak lainnya.

b.      Anggaran pengeluaran pemerintah Pusat  terdiri dari :

·         Pengeluaran pemerintah pusat

·         Pengeluaran pemerintah daerah

 

B.     Hubungan Fiskal Antar Pemerintah Pusat

Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang. APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.

Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Dalam hal ini perumus kebijakan (presiden, DPR), pengawas keuangan (BPK, BPKP), pelaksana keuangan (Depkeu, Depdagri, Departemen Teknis) harus mengupayakan agar kebijakan fiskal benar-benar bermanfaat bagi rakyat banyak.

Dalam hal pertanggungjawaban pelaksanaan APBN Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

1.      APBN Realisasi versus APBN Revisi

Ada dua versi APBN, yakni APBN realisasi dan APBN revisi. APBN yang direvisi biasanya disebut APBN- Perubahan (APBN-P). Revisi bisa dilakukan dengan atau tanpa kebijakan. Realisasi APBN bisa lebih besar, sama atau lebih kecil dari anggaran, baik anggaran awal atau anggaran yang telah direvisi. Memang yang penting bagi pemerintah adalah setelah dilakukan revisi, defisit anggaran bisa lebih kecil atau paling tidak bertambah besar, tetapi tentu ini sangat tergantung pada kondisi perekonomian saat itu yang menjadi alasan utama revisi APBN atau RAPBN dilakukan. Revisi APBN tidak selalu berarti beban pemerintah semakin berat, atau pengeluaran dan defisit APBN yang direvisi tidak harus selalu lebih besar dari anggaran semula, tergantung penyebab utama dilakukannya revisi dan metode penghitungannya serta asumsi – asumsi baru yang menjadi dasar revisi.[2]

Indonesia merupakan salah satu negara dunia ketiga. Sebelum terjadinya krisis moneter di kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak akhir tahun 1970-an selalu positif serta tingkat pendapatan per kapita yang relatif rendah, menyebabkan target pertumbuhan yang relatif tinggi tersebut tidak cukup dibiayai dengan modal sendiri, tetapi harus ditunjang dengan menggunakan modal asing.Sejalan dengan semakin meningkatnya kontribusi swasta domestik dalam pembangunan ekonomi nasional maka peran pemerintah pun semakin berkurang. Fenomena tersebut akhirnya menyebabkan struktur utang luar negeri mengalami banyak perubahan. Pada awalnya ULN indonesia lebih banyak dilakukan oleh pemerintah. Pinjaman tersebut diterima dalam bentuk hibah. Karena semakin pesatnya pembangunan dan terbatasnya kemampuan pemerintah maka pinjaman oleh luar negeri dibatasi.

Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu Negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Berdasarkan dari beberapa teori dan pendapat yang dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengelolaan keuangan Negara untuk mengarahkan kondisi perekonomian menjadi lebih baik yang terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran Negara yang tercantum dalam APBN.

Kebijakan fiskal memegang peranan yang cukup penting dalam menstabilkan tingkat kegiatan ekonomi dan menciptakan tingkat kegiatan ekonomi ke arah tingkat yang dikehendaki. Pandangan ini dalam buku Keynes menjadi landasan dalam perkembangan teori makro ekonomi. Pandangan atau keyakinan ini sangat berbeda sekali dengan yang dianut ahli-ahli ekonomi dan pihak pemerintah di dalam zamannya ahli-ahli ekonomi klasik. Ahli ekonomi klasik menekankan tentang perlunya menjalankan anggaran belanja seimbang. Disini mereka menekankan tentang perlunya menjalankan sistem pasar bebas dan mengurangi campur tangan pemerintah, termasuk kebijakan fiskal yang aktif dalam perekonomian.

Maka dari itu diperlukannya kebijakan fiskal baik di sektor dalam negeri maupun sektor luar negeri. Kebijakan fiskal di sektor dalam negeri dapat berupa kebijakan anggaran atau politik anggaran:

a.       Pembiayaan fungsional

Pembiayaan pengeluaran pemerintah ditentukan sedemikian rupa sehingga tidak langsung berpengaruh terhadap pendapatan nasional. Tujuan utama adalah meningkatkan kesempatan kerja (employment). Penerimaan pemerintah dari sector pajak bukan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah, namun untuk mengatur pengeluaran dari pihak swasta. Untuk menekan inflasi, maka diatasi dengan kebijakan pinjaman. Jika sektor pajak dan pinjaman tidak berhasil, maka tindakan pemerintah adalah mencetak uang. Jadi, dalam hal ini sector pajak dengan pengeluaran pemerintah terpisah.

b.      Pengelolaan anggaran

Penerimaan dan pengeluaran dengan perpajakan dan pinjaman adalah paket yang tidak bisa dipisahkan. Dalam penjelasan Alvin Hansen, untuk mencipatakan anggaran yang berimbang maka diperlukan resep bahwa jika terjadi depresi, maka dapat ditempuh anggaran deficit, dan jika terjadi inflasi maka ditempuh anggaran belanja surplus.

c.       Stabilisasi anggaran otomatis

Dalam stabilisasi anggaran ini, diharapkan terjadi keseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan pemerintah tanpa adanya campur tangan langsung pemerintah yang disengaja. Dalam hal ini, pengeluaran pemerintah ditekan pada asas manfaat dan biaya relative dari setiap paket program. Pajak ditetapkan sedemikian rupa sehingga terdapat anggaran belanja surplus dalam kesempatan kerja.

d.      Anggaran belanja seimbang

Kebijakan anggaran belnja yang dianut masing-masing Negara dapat berbeda-beda, tergantung keadaan dan arah yang akan dicapai dalam jangka pendek dan jangka panjangnya. Berikut beberapa cara yang dapt ditempuh negara dalam mencapai manfaat tertinggi dalam mengelola anggaran:

1.      Anggaran Defisit

(Defisit Budget) / kebijakan fiskal ekspansif anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan Negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keadaan ekonomi sedang resesif.

2.      Anggaran Surplus

(Surplus Budget) / kebijakan fiscal kontraktif anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar dari pada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.

3.      Anggaran Berimbang

(Balanced Budget) anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.

Sedangkan kebijakan fiskal di sektor luar negeri memiliki istilah lain yaitu, kebijakan memindah pengeluaran. Di dalam kebijakan ini pengeluaran para pelaku ekonomi tidak berkurang, hanya dipindah dan di geser pada bidang yang tidak terlalu berisiko memperburuk perekonomian. Kebijakan ini dapat dilakukan secara paksa dan dapat juga dipergunakan dengan memakai rangsangan. Secara paksa kebijakan ini ditempuh dengan cara:

1.      Mengenakan tarif / kuota, dengan tindakan ini diharapkan masyarakat akan memindah konsumsinya ke komoditi buatan dalam negeri, karena dengan dikenakannya kedua hambatan perdagangan tersebut, harga komoditi impor menjadi mahal.

2.      Mengawasi pemakaian valuta asing, hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan maksud dan tujuan orang membutuhkan dan menggunakan valuta asing. Kemudahan akan diberikan kepada mereka yang akan menggunakan valuta asing tersebut untuk mengekspor komoditi yang membantu terpenuhinya kebutuhan rakyat banyak dan demi meningkatkan produktivitas perekonomian.

3.      Untuk kebijakan memindah pengeluaran yang dilakukan dengan rangsangan dapat ditempuh dengan cara :

a.       Menciptakan rangsangan-rangsangan ekspor, misalnya denga mengurangi pajak komoditi ekspor, menyederhanakan prosedur ekspor, dan lainnya.

b.      Menstabilkan upah dan harga di dalam negeri, dengan demikian akan lebih member iklim yang lebih sehat bagi masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi produk dalam negeri.

Pada tahun 2004 yang akan datang, pemerintah menargetkan defisit anggaran sekitar 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) serta rasio utang terhadap PDB kurang lebih 60 persen. Angka tersebut merupakan bagian dari konsolidasi fiskal jangka menengah yang mengupayakan anggaran berimbang pada tahun 2005.

Strategi penurunan defisit anggaran ditempuh melalui dua langkah pokok, yaitu: (a) peningkatan penerimaan negara, terutama penerimaan pajak dan (b) pengendalian dan penajaman prioritas alokasi belanja negara.

Dengan cara optimalisasi pengelolaan utang dan pemilihan pembiayaan alternatif yang tepat. Dengan pertumbuhan PDB nominal antara 12-13 persen per tahun dan stok utang pemerintah yang relatif tidak bertambah, maka rasio antara utang dengan PDB akan menurun.

Selama ini, dengan langkah-langkah peningkatan pendapatan negara dan pengendalian pengeluaran negara, defisit anggaran berhasil diturunkan secara berarti dalam beberapa tahun terakhir. Dalam tahun 2000 yang semula diperkirakan sekitar 4,8 persen dari PDB, dalam realisasinya hanya mencapai 1,6 persen dari PDB.

Dalam tahun-tahun berikutnya, rasio defisit anggaran terhadap PDB dimaksud dapat ditekan menjadi 2,8 persen pada tahun 2001, dan bahkan dapat diturunkan lagi hingga sekitar 1,7 persen dari PDB dalam tahun 2002. Dalam tahun 2003, defisit anggaran ditargetkan sekitar 1,8 persen dari PDB.

Berdasarkan arah perkembangan tersebut, ke depan, khususnya memasuki 2004, tantangan yang dihadapi diperkirakan akan bertambah dari pengendalian defisit anggaran dan penentuan strategi pembiayaan yang tepat.

Oleh karena itu, dalam tahun anggaran 2004, permasalahan dalam bidang fiskal tidak hanya mencakup kompleksitas dalam memformulasikan besaran penerimaan dan mengatur kombinasi alokasi pengeluaran negara yang optimal.

Akan tetapi, akan lebih menonjol ke arah bagaimana menutup kekurangan pembiayaan (financing gap) berkaitan dengan membengkaknya jumlah pinjaman yang jatuh tempo, baik utang dalam negeri yang diperkirakan akan mencapai sekitar 1,2 persen dari PDB maupun utang luar negeri yang diperkirakan sekitar 2,2 persen dari PDB.

C.    Hubungan BPK dengan DPR

Seperti yang telah kita ketahui bersama, konstitusi negara kita, Undang-Undang Dasar 1945, membentuk BPK hanya untuk melaksanakan satu tugas, menegakkan transparansi fiskal guna membantu lembaga perwakilan rakyat dalam melaksanakan hak bujetnya. BPK melaksanakan tugas itu melalui pemeriksaan atau audit pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.

Naskah asli Undang-Undang Dasar 1945, yang disusun oleh the founding fathers kita menugaskan BPK sebagai satu-satunya auditor yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Berbeda dengan di banyak negara lain, Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan BPK sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang ada dalam struktur negara kita. Di berbagai negara yang lain lembaga auditor ekstemal seperti BPK ditempatkan langsung di bawah lembaga legislatif sebagai pemegang hak bujet. Lembaga legislatif itulah yang menugaskan auditor eksternal untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Selain tetap mempertahankan pemberian hak eksklusif pemeriksaan keuangan negara kepada BPK, perubahan ketiga dari UUD 1945 justru telah memperkuat posisinya dengan memberikan kedudukan yang “bebas dan mandiri" kepada BPK.

Baik naskah asli maupun perubahan, UUD 1945 menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. ltulah sebabnya mengapa diberikan kedudukan tinggi, kebebasan dan kemandirian kepada BPK. Maksudnya adalah agar BPK dapat melaksanakan tugasnya secara objektif. BPK dapat memeriksa dan melaporkan keuangan negara sebagaimana adanya, bebas dari pengaruh maupun tekanan politik. Termasuk dari ketiga cabang pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun judikatif.

Hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada rakyat banyak, utamanya pembayar pajak, melalui wakil-wakilnya di DPR serta DPRD sebagai pemegang hak bujet. Seperti halnya DPR, DPD juga menerima laporan hasil pemeriksaan keuangan Pemerintah Pusat. Sementara itu, DPRD menerima laporan hasil pemeriksaan keuangan pemerintah daerahnya masing-masing. Semuanya itu diatur dalam UU No. 22 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD (Pasa147) dan UU No. 15 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Pasal 17, ayat 1).

Walaupun DPD tidak memiliki hak bujet, posisinya sangat penting. Karena DPD memiliki fungsi memberikan pertimbangan kepada DPR dalam hal penyusunan Rancangan APBN Pemerintah Pusat maupun dalam mengawasi pelaksanaannya setelah menjadi APBN.

Dengan menggunakan hak legislasinya, DPR dan DPRD memiliki hak dan wewenang masing-masing untuk menindak lanjuti temuan-temuan BPK. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebut bahwa BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaannya itu. BPK pun dapat memproses secara pidana auditee yang tidak serius melakukan koreksi terhadap temuannya. Temuan-temuan yang mengandung unsur pidana seperti ini wajib diserahkan oleh BPK kepada penegak hukum. Temuan pemeriksaan BPK tersebut merupakan bukti awal yang dapat diperdalam dan ditindaklanjuti oleh penegak hukum.

Memenuhi amanat konstitusi, BPK juga menerima penugasan dari lembaga pemegang hak bujet (DPR dan DPRD) untuk melakukan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan khusus itu juga dapat dilakukan berdasarkan inisiatif sendiri, baik atas dasar permintaan pemerintah, pengaduan masyarakat maupun pendalaman pemeriksaan kami sendiri. Atas penugasan dari DPR, kini BPK tengah melakukan pemeriksaan atas penggunaan dana oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan tentang subsidi BBM.

Melalui pemulihan kewenangan serta kebebasan maupun kemandiriannya BPK diharapkan akan dapat menegakkan transparansi fiskal. Pada gilirannya ini akan memulihkan kembali penggunaan hak bujet milik rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR dan DPRD yang telah mengalami erosi dalam era otoriter Orde Baru. Pemulihan hak bujet rakyat itu diharapkan akan dapat memperbaiki pengelolaan serta pertanggungjawaban keuangan negara yang selama ini ”morat-marit” sehingga kita dilanda oleh krisis perekonomian sejak tujuh tahun terakhir. Transparansi fiskal sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat membayar pajak maupun kepercayaan mereka memegang Surat Utang Negara (SUN). Transparansi fiskal tersebut juga menambah kepercayaan kreditur internasional dalam memberikan hibah maupun pinjaman kepada Pemerintah Indonesia.

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) memiliki mandat yang kokoh di dalam Pasal 23 E – G Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Mandat yang kokoh tersebut perlu diwujudkan dalam bentuk hasil kerja yang mampu memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholders). Stakeholders BPK yang utama adalah rakyat yang telah memberikan keterwakilannya melalui pemilihan umum kepada lembaga perwakilan (DPR/DPRD dan DPD) serta pemerintah. BPK tidak bekerja semata-mata untuk kebutuhan dirinya – pemenuhan profesionalisme pemeriksaan, tetapi juga memenuhi mandat yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dan kebutuhan stakeholders tersebut.

Menurut UU No. 15 Tahun 2004, BPK wajib menyerahkan laporan pemeriksaan-nya kepada Lembaga Perwakilan Rakyat (DPR, DPD dan DPRD). Segera setelah diserahkannya kepada Lembaga-Lembaga Perwakilan Rakyat itu, BPK wajib untuk memuatnya dalam website-nya agar dapat di akses oleh masyarakat luas. Hal-hal yang mengandung unsur pidana dilaporkan oleh BPK kepada penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK-Komisi Pemberantasan Korupsi). Pada gilirannya, Pemerintah, Lembaga-Lembaga Perwakilan dan para penegak hukum tersebut menindaklanjuti temuan pemeriksaan serta rekomendasi BPK. Sebagai lembaga legislatif yang memiliki hak bujet, DPR dan DPRD dapat menerbitkan Undang-Undang dan mendesak Pemerintah untuk memperbaiki sistem pengelolaan uang serta asetnya. Lembaga Perwakilan Rakyat juga dapat meneruskan kasus tindakan kriminal untuk diusut lebih lanjut oleh penegak hukum.

Dengan menggunakan hak legislasinya, DPR dan DPRD memiliki hak dan wewenang masing-masing untuk menindak lanjuti temuan-temuan BPK. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebut bahwa BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaannya itu. BPK pun dapat memproses secara pidana auditee yang tidak serius melakukan koreksi terhadap temuannya. Temuan-temuan yang mengandung unsur pidana seperti ini wajib diserahkan oleh BPK kepada penegak hukum. Temuan pemeriksaan BPK tersebut merupakan bukti awal yang dapat diperdalam dan ditindaklanjuti oleh penegak hukum.

Hubungan kerja BPK dengan DPR, baik yang menyangkut hasil temuan maupun tentang tindak lanjut hasil pemeriksaan. Dalam UUD 45 Pasal 23 E ayat (2) menegaskan bahwa hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. Pasal 23E ayat(3) berbunyi: hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang . Jadi UUD45 menegaskan bahwa yang “utama” menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK itu adalah “lembaga perwakilan”, baru badan (lain) sesuai undang-undang.

Pengelolaan keuangan negara merupakan suatu kegiatan yang akan mempengaruhi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia.

Perubahan kepemimpinan di BPK pada saat ini terjadi bersamaan dengan perubahan lingkungan eksternal yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara. Perubahan tersebut antara lain meningkatnya kesadaran masyarakat untuk memiliki pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan transparan dalam mengelola keuangan negara.

Perubahan lingkungan eksternal yang kedua adalah kewajiban Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menyusun laporan keuangan sebagai wujud akuntabilitas pengelolaan keuangan negara/daerah. Sesuai dengan Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, BPK mempunyai kewajiban dan mandat untuk melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan tersebut.

Perubahan lingkungan eksternal yang terakhir berkaitan dengan pemberian otonomi kepada daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah dan juga keuangan Pemerintah Pusat. Pengelolaan keuangan negara yang sebelumnya terpusat di ibu kota negara menjadi tersebar di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota.

Perubahan-perubahan dalam penyelenggaraan negara di atas sangat mempengaruh posisi BPK sebagai satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hal inilah yang mendorong BPK menyusun Rencana Strategis 2011 – 2015 agar dapat dengan segera mengadaptasi perubahan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.[3]

Hubungan antar DPR dan BPK di atur di dalam:

1.      UUD 1945 pasal 23E ayat 2 yang berbunyi, “Hasil pemeriksa keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.”

2.      UUD 1945 pasal 23F ayat 1 yang berbunyi, “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.”

3.      UU no 15 tahun 2006 pasal 7 ayat 1 yang berbunyi, “BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.”

4.      UU no 15 tahun 2006 pasal 7 ayat 4 yang berbunyi, “Tata cara penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPR, DPD, dan DPRD diatur bersama oleh BPK dengan masing-masing lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya.”

5.      UU no 15 tahun 2006 pasal 11 mengenai kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan.

6.      UU no 15 tahun 2006 pasal 14 ayat 1 yang berbunyi, “Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.”

7.      UU no 15 tahun 2006 pasal 14 ayat 3 yang berbunyi, “Calon anggota BPK diumumkan oleh DPR kepada publik untuk memperoleh masukan dari masyarakat.” UU no 15 tahun 2006 pasal 14 ayat 4 yang berbunyi, “DPR memulai proses pemilihan anggota BPK terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan anggota BPK yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota BPK yang lama.”

8.      UU no 15 tahun 2006 pasal 21 ayat 2 yang berbunyi, “Pemberhentian Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diresmikan dengan Keputusan Presiden atas usul BPK atau DPR.”

9.      UU no 15 tahun 2006 pasal 35 ayat 2 yang berbunyi, “Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh BPK kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.”

Terkait dengan masalah-masalah ekonomi sekarang ini DPR-RI akan segera meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit khusus terhadap Bank Indonesia (BI) terkait tugas otoritas moneter dalam menjaga pergerakan nilai tukar rupiah. Sementara intervensi ke pasar uang menggunakan cadangan devisa diibaratkan seperti menggarami lautan.

Ini terkait adanya kecurigaan pelemahan rupiah yang disengaja BI karena disinyalir mencari keuntungan dengan adanya pelemahan nilai rupiah belakangan ini. Namun, menurut Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Golkar, Misbakhun, DPR tidak bisa membuktikan kecurigaan tersebut, sehingga perlu meminta bantuan BPK.

Menurut Misbakhun, pihaknya menginginkan agar otoritas keuangan yang dipimpin Agus Martowardojo tersebut lebih transparan dan terbuka dalam menerapkan tata kelola yang baik, baik itu penggunaan cadangan devisa negara untuk intervensi rupiah.

Karena itu, DPR memberikan saran pada BI untuk membuka apa saja sebenarnya yang dilakukan BI dalam rangka melakukan intrvensi pasar. Karena posisi cadangan devisa sudah berkurang sekitar US$7 miliar sejak Januari hingga Agustus, namun rupiah makin terpuruk.

Ini perlu dilakukan supaya ada tata kelola yang baik dalam melakukan intervensi pasar, dalam melakukan kebijakan pengelolaan devisa dan kebijakan moneter ini, maka DPR mengusulkan BI agar diaudit BPK dalam rangka melakukan kebijakan moneter.

Misbakhun juga meminta BI untuk melakukan upaya optimal dan lebih serius dalam menekan laju penurunan nilai tukar rupiah, terutama kebijakan suku bunga acuan (BI Rate).

Pasalnya, semakin rupiah tak berdaya terhadap keperkasaan US$, maka dunia usaha semakin tertekan dan tidak tanggung-tanggung untuk melakukan pemberhentian hubungan kerja (PHK) terlebih untuk industri yang menggunakan bahan baku impor.

Menurut beliau, PHK pun menjadi jalan terakhir yang dipilih pengusaha di tengah hasil produksinya yang tidak menguntungkan karena daya beli masyarakat yang menurun, sedangkan biaya barang baku impor. Apalagi saat ini, rupiah telah menembus Rp14.700 per US$ mengakibatkan nilai bahan baku impor makin mahal.

Kurs rupiah terhadap dolar AS yang belakangan ini terus merosot makin mendekati level Rp15.000 telah membuat banyak pihak mempertanyakan. Nilai tukar rupiah pada akhir pekan lalu sudah sempat menembus level Rp14.700 per US$.

Ekonom Danareksa Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, BI diminta untuk lebih aktif di pasar obligasi untuk membantu penguatan nilai tukar rupiah. Kebijakan BI yang hanya bergelut di pasar valas dinilai tak akan cukup "mengangkat” rupiahbila obligasi pemerintah terlalu banyak dikuasai asing.

Hingga saat ini, Purbaya belum melihat ada upaya dari BI untuk menopang ekonomi nasional. Kebijakan suku bunga BI Rate yang dipatok 7,5% dinilai sebagai kebijakan moneter yang ketat di mata investor.

Secara terpisah, upaya BI menjaga nilai tukarrupiahdengan menggelontorkan cadangan devisa di pasar valas dinilai akan sia-sia bila kepercayaan pasar ke pemerintah sangat minim. Upaya BI itu dianalogikan layaknya seseorang yang terus menerus menabur garam di laut.

Menurut Enny, BI tak akan bisa kerja sendiri. Pemerintah kata dia harus membantu bank sentral itu dengan memperbaiki neraca pembayaran. Namun, dia mengakui perbaikan neraca pembayaran cukup membutuhkan waktu yang tidak singkat. Oleh karena itu ucap dia, satu-satunya jalan mengerem pelemahanrupiahadalah dengan meningkatkan kepercayaan pasar.

Menurut peneliti AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia) Salamuddin Daeng, pelemahan rupiah telah disebabkan oleh beberapa faktor. Antara lain kenaikan harga-harga barang membuat inflasi tinggi dan tidak terkendali. Sementara pada saat yang sama daya beli masyarakat jatuh.

Terkait dengan sumber lain PDI Perjuangan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap Bank Indonesia mengingat kurang efektifnya bank sentral itu mengelola nilai tukar.

Ketua DPP PDIP bidang Ekonomi, Hendrawan Supratikno mengatakan permintaan itu mendesak diajukan mengingat nilai rupiah sudah anjlok hingga di atas 18% sejak Januari lalu. Padahal, selama 2014, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hanya 1,74%.

Dalam keterangannya kepada wartawan Hendrawan meminta otoritas Bank Indonesia bertindak secara tegas dan antisipatif dalam menjaga nilai tukar rupiah. Selan itu, BI juga diminta untuk memberi bobot lebih pada penguatan kurs dalam kebijakan moneter.

Meski mengaku tidak curiga dengan tindakan intervensi yang diambil terkait penguatan kurs, namun Hendrawan mempertanyakan beberapa pernyataan yang dikeluarkan BI.

Beliau mencontohkan pernyataan yang menyebutkan bahwa meskipun melemah terhadap dolar AS, rupiah menguat terhadap mata uang lain. Beliau juga mengkhawatirkan spekulasi pasar bahwa rupiah akan menembus angka psikologis Rp15.000 per dolar AS kalau antisipasi BI tidak efektif.

Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR Juliari Batubara mengatakan kebijakan yang ditunggu masyarakat dari pemerintah saat ini adalah kebijakan konkret yang langsung bisa dirasakan. Menurutnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat melemahnya nilai tukar rupiah sudah sangat mengkhawatirkan sehingga diperlukan tindakan konkret.

Untuk itu, beliau meminta BI menurunkan tingkat suku bunga acuan sebagaimana yang juga dilakukan oleh negara lain agar sektor industri tidak kian terpukul. Selain itu, pemerintah juga perlu menurunkan pajak korporasi sebagaimana yang diakukan di Amerika Serikat.\

D.    Hubungan BPK, DPR dan DPRD

Badan pemeriksa Keuangan Republik Indonesia atau biasa disebut dengan BPK adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan  dan tanggung jawab keuangan negara.

Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri. Adapun Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau yang biasa disebut DPR adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau juga biasa disebut dengan DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah di provinsi/kabupaten/kota di Indonesia. DPRD disebutkan dalam UUD 1945 pasal 13 ayat 3: Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat  Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. DPRD kemudian di atur lebih lanjut dengan undang-undang, terakhir melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014.

Hubungan: Sesuai dengan amanat UUD 1945, keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan satu lembaga negara republik Indonesia yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hasil pemeriksaan tersebut di serahkan kepada lembaga perwakilan yakni DPR, DPD, dan DPRD untuk di jadikan dasar bagi mereka untuk menindak lanjuti hasil pemeriksaan BPK tersebut sesuai dengan kewenangannya.

Di dalam konstitusi, kedudukan lembaga perwakilan tampak cukup jelas memegang peranan cukup penting dan startegis untuk memastikan penilaian dan rekomdasi BPK atas kinerja sektor publik dapat di terima dan dapat di tindak lanjuti.

                                  BPK

                                                    

            Mandat                                    Audit

 

 

DPR, DPD, DPRD                        ENTITIE

                        Accountability

E.     HUBUNGANPEMERINTAH PUSAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH - DESENTRALISASI FISKAL

  1. Pengertian

Desentralisasi sebagai suatu konsep:

Secara harfiah desentralisasi adlah lawn dari kata sentralisasi yang dapat diartikan sebagai suatu pemusatan (Adjective) berkaitan dengan suatu kewenangan (authoriti) pemerintahan, lalu ada istilah misalnya kantir pusat pemerintah pusat dan sebagainya.

Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daereh dan Desentralisasi. Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah Provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah Kabupaten dan daerah Kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Ditinjau dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat dilihat dari Adanya hubungan dalam penyelenggaraan pemerintahan, Kebijakan desentralisasi dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities (dampak) akhir dari penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara.[4]

2.      Desentralisasi anggaran pemerintah pusat dan daerah

Kinerja pemerintah baik pusat maupun daerah seringkali diukur dengan penyerapan anggarannya. Hal ini tidak salah, karena dengan anggaran yang terserap dengan baik, efektif, efien dan optimal maka masyarakat dapat merasakan manfaatnya seperti pelayanan pemerintah yang makin baik, infrastruktur yang makin banyak dan lengkap, pertumbuhan ekonomi yang makin baik dan lain sebagainya. Lantas, apakah suatu pemerintah dikatakan bagus kinerjanya bila anggarannya habis atau sebaliknya, kinerjanya dianggap buruk bila anggarannya tidak terserap sehingga masih banyak sisa hingga akhir tahun anggaran.

Tuntutan agar pemerintah pusat/daerah menghabiskan anggaran yang sudah direncanakan untuk tahun bersangkutan selalu memicu pengeluaran negara yang terkesan ngasal, yang penting anggaran habis namun tidak peduli terhadap efiensi, efektivitas, optimal tidaknya serta manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Maka tidak aneh, diakhir tahun anggaran terutama di bulan Desember ini makin banyak pekerjaan fisik yang dilaksanakan, makin banyak kegiatan semacam seminar-seminar di hotel-hotel hingga menjamurnya iklan-iklan di televisi.

            Ada beberapa permasalahan yang di hadapi pemerintah yaitu

a.       Permasalahan Perencanaan

dealnya sistem penganggaran yang dilakukan pemerintah adalah berbasis kinerja. Namun sayangnya sampai saat ini hal ini belum bisa dilaksanakan dengan semestinya. Anggaran yang dibuat dari tahun ketahun tidak banyak jauh berbeda yaitu masih dengan menambahkan sekian persen dari tahun sebelumnya. Pola penganggaran juga belum banyak berubah yaitu mengusulkan sebanyak-banyaknya karena bila nanti ada yang dipotong/tidak disetujui, masih tersedia banyak dana yang bisa digunakan. Anggaran dibuat bukan berdasarkan kebutuhan real namun yang dipentingkan adalah banyak alokasi anggaran. Akibatnya banyak item anggaran yang relatif sama dengan tahun sebelumnya sedangkan kebutuhan masyarakat tidak lagi sama atau prioritasnya telah berubah dan duplikasi anggaran diberbagai kegiatan Hal ini juga menyebabkan tetap tersedianya anggaran untuk kegiatan yang semestinya tidak berulang setiap tahun. Misalnya pembuatan master plan yang seharusnya hanya satu kali saja dibuat.

b.      Permasalahan Pelaksanaan

Perencanaan anggaran yang kurang baik jelas berimbas pada pelaksanaan anggarannya. Anggaran yang dibuat bukan berdasarkan kebutuhan jelas tidak membuat pelaksanaannya harus dilaksanakan secepat mungkin. Contohnya anggaran pengadaan komputer pada suatu kantor yang masih memadai peralatan komputernya. Karena bukan kebutuhan mendesak namun tetap dianggarkan, maka tidak harus buru-buru membelinya. Barulah menjelang akhir tahun dilakukan pembelian agar dananya terserap habis. Padahal bila memang dibutuhkan, tentulah komputer tersebut akan dibeli diawal tahun agar dapat segera digunakan untuk melaksanakan pekerjaan. Maka anggaran akhir taun bisa terserap habis.[5]

Anggaran yang dihabiskan belum tentu juga memberikan manfaat pada masyarakat. Hal ini tergantung komposisi anggaran yang dibuat sebelumnya. Bila anggaran lebih banyak diperuntukkan bagi insfrastruktur, pelayanan kesehatan, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, tentu hal ini akan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Namun bila lebih banyak anggaran belanja pegawai, hibah, bantuan sosial dan belanja operasional pemerintahan tentulah diragukan besarnya manfaat yang akan dirasakan masyarakat akan anggaran tersebut. Cukup banyak contoh dimana suatu daerah yang anggarannya bisa terserap hingga mendekati seratus persen namun infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat tidak kunjung ada perbaikan.

Masalah anggaran pemerintah tidak sesederhana apakah telah terserap semuanya atau masih banyak yang tersisa. Masalah anggaran ini bermula dari perencanaannya dan berlanjut hingga ke pelaksanaannya. Selama tidak ada kemauan dari berbagai pihak, maka anggaran pemerintah tidak dapat dimanfaatkan optimal untuk melayani masyarat dan membuat rakyat sejahtera. Anggaran hanya menjadi suatu rutinitas yang wajib dilaksanakan tanpa peduli apa yang akan dihasilkan/diberikan pada masyarakat/rakyat.

Alasan rendahnya penyerapan anggaran di kementerian yang disampaikan pemerintah dinilai aneh. Pemerintah menilai masa pembahasan anggaran cukup lama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Kementerian Keuangan sehingga waktu sisa pelaksanaan lebih sedikit daripada saat pembahasan masalah anggaran.

Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengatakan, pembahasan anggaran di DPR sudah sesuai dengan waktu penyampaian nota keuangan oleh Presiden ke DPR dan penyampaian Pagu Sementara Kementerian/Lembaga oleh Kementerian Keuangan ke Badan Anggaran DPR.

"Jika pemerintah merasa waktu yang tersedia untuk merealisasikan anggaran tinggal sedikit, harusnya pemerintah melakukan penyesuaian dalam mengajukan rencana pembahasan ke DPR," kata Mahfudz, melalui pesan singkat, Jumat (28/12/2012).

Hal itu dikatakan Mahfudz menyikapi evaluasi kinerja kementerian di 2012 yang disampaikan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan dalam Sidang Kabinet Paripurna, Kamis kemarin. Salah satu yang disoroti adalah rendahnya penyerapan anggaran negara.

Seperti diberitakan sebelumnya, penyerapan anggaran kementerian cenderung menumpuk pada akhir tahun. Bahkan, menurut Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), enam kementerian menyerap anggaran kurang dari 20 persen.

Keenam kementerian itu adalah Kementerian Perumahan Rakyat (penyerapan baru 1,9 persen), Kementerian Pemuda dan Olahraga (4,2 persen), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (10,8 persen), Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (10,9 persen), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (17,8 persen), serta Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (19,3 persen).

Pemerintah memangkas alokasi anggaran belanja Kementerian dan Lembaga (K/L) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016. Sebaliknya, pemerintah memperbesar dana transfer ke daerah dan dana desa masing-masing menjadi Rp 735,2 triliun dan Rp 47 triliun. Jumlahnya lebih besar masing-masing 14 persen dan lebih 100 persen dari anggaran belanja tahun ini.

“Tahun ini pertama kalinya dana transfer (ke daerah) lebih besar dari (belanja) K/L,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas Sofyan Djalil dalam konferensi pers bersama sejumlah menteri untuk menjelaskan detail RAPBN 2016 di Gedung Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, Jumat (14/8).[6]

Dalam kesempatan tersebut, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menimpali, kebijakan memperbesar dana ke daerah ketimbang dana belanja K/L tersebut untuk menegaskan desentralisasi anggaran. Selain memberi kewenangan secara politik kepada daerah, perlu juga melimpahkan kewenangan anggaran. “Dana KL itu operasional dan terkadang bertabrakan dengan kewenangan daerah,” katanya.

Namun, untuk memastikan dana transfer ke daerah itu terserap untuk pembangunan dan tidak disimpan di perbankan, pemerintah mengusulkan adanya surat utang negara (SUN) bagi daerah-daerah yang memiliki anggaran berlebih. Nantinya, pemerintah pusat akan menentukan daerah mana saja yang memperoleh dana transfer daerah berupa SUN berdasarkan berbagai indikator.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai agak sulit kalau pemerintah mengandalkan belanja daerah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen tahun depan. Pasalnya, selama ini, penyerapan anggaran oleh pemerintah daerah lamban. Jadi, pemerintah pusat perlu mengambil kebijakan tegas dan memberikan hukuman bagi daerah yang lamban menggunakan anggarannya. “Harus ada punishment, bisa dengan mengurangi anggarannya,” katanya.

Sementara itu, Sofyan menekankan tiga kunci utama pemerintah dalam penggunaan anggaran tahun depan. Pertama, pembangunan sektor-sektor unggulan. “Ada lima sektor, yaitu kedaulatan pangan, kemaritiman dan kelautan, kedaulatan energi dan listrik, industri, serta pariwisata.

Kedua, pengembangan sumberdaya manusia (SDM) yaitu alokasi anggaran untuk pendidikan dan kesehatan. “Untuk kesehatan, ini pertama kali dipenuhi anggaran 5 persen (dari APBN),” kata Sofyan. Ketiga, mempersempit kesenjangan pendapatan antar-daerah. Caranya dengan mengucurkan dana desa. “Ini instrumen utama desentralisasi fiskal,”

Pembangunan daerah sebagai bagian dari integral dari pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat munuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub sistem pemerintahan Negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggung jawaban kepada masyarakat. Dalam rangka penyelengaraan pemerintahan pelayanan  masyarakat, dan pembangunan, pemerintahan suatu Negara pada hakikatnya mengembang tiga fungsi utama yakni :

·         Fungsi alokasi yang meliputi antara lain, sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan pelayanan masyarakat.

·         Fungsi distribusi yang meliputi, antara lain, pendapatan dan kekayaan masyarakat, pemerataan pembangunan.

·          Dan fungsi stabilisasi yang meliputi antara lain pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter.

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan pertanggung jawab di Daerah secara proposional, yang diwujdukan dengan paraturan, pembagian dan pemamfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan pemerintah Daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan Daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan. Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam wilayah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dana perimbangan merupakan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, serta dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana perimbangan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, mengingat tujuan masing-masing jenis sumber tersebut saling mengisi dan melengkapi.[7]

Menurut Sidik(1999: 2) ada empat kriteria untuk menjamin sistem hubungan keuangan Pusat-Daerah yang baik. Pertama, harus memberikan pembagian kewenangan yang rasional dari perbagai tingkat pemerintahan mengenai penggalian sumber dana pemerintah dan kewenangan penggunaannya; kedua,  menyajikan suatu bagian yang memadai dari sumber-sumber dana masyarakat secara keseluruhan untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi penyediaan pelayanan dan pembangunan yang diselenggarakan pemerintah daerah; ketiga,  sejauh mungkin membagi pengeluaran pemerintah secara adil diantara daerah daerah atau sekuranng-kurangnya memberikan prioritas pada pemerataan pelayanan kebutuhan dasar tertentu; dan keempat, pajak dan retribusi yang dikenakan pemerintah daerah harus sejalan dengan  distribusi yang adil atas beban keseluruhan dari pengeluaran pemerintah dalam masyarakat.[8]

Dalam melaksanakan perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat dan Daerah tersebut perlu memperhatikan kebutuhan pembiayaan bagi pelaksanaan kewenangan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, antara lain pembiayaan bagi politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, pengelolaan moneter dan fiscal, agama serta kewajiban pengembalian pinjaman pemerintahan Pusat. Undang-Undang nomor 22/ 1999 juga mengatur kewenangan Daerah untuk membentuk Dana Cadangan yang bersumber dari penerimaan daerah, serta sistem pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan dalam rangka desentralisasi dilakukan oleh Kepala Daerah kepada DPRD. Berbagai laporan keuangan Daerah ditempatkan dalam dokumen Daerah agar dapat diketahui oleh masyarakat sehingga terwujud keterbukaan dalam pengelolaan keuangan Daerah.

Perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 1956 tidak dapat dilaksanakan sesuai yang diharapkan, karena antara lain beberapa faktor untuk menghitung pembagian keuangan kepala daerah belum memungkinkan untuk dipergunakan. Selain itu mengingat berbagai jenis pajak yang merupakan sumber bagi pelaksanaan perimbangan keuangan tersebut saat ini sudah tidak diberlakukan lagi melalui berbagai peraturan perundangan, serta adanya kebutahan dan aspirasi masyarakat yang berkembang dalam mendukung otonomi daerah, maka perlu ditetapkan Undang-Undang yang mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.[9]

Undang-Undang No 25/1999 mempunyai tujuan pokok antara lain:

1)      Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomiann daerah.

2)      Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proposional, rasional,  transparan, partisipatif, bertanggung jawab ( akuntabel ) dan pasti.

3)       Mewujudkan sistem perimbangan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat dan Daerah, mendukung pelaksanaan otonomi Daerah dengan penyelenggaraan pemerintah daerah yang transparan, memperhatikan partisipasi masyarakat dan pertanggung jawaban kepada masyarakat, mengurangi kesenjangan antar Daerah dalam kemampuannya untuk membiayai tanggung jawab otonominya dan memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan.

4)      Menjadi acuan dalam alokasi penerimaan Negara bagi daerah.

5)      Mempertegas sistem pertanggung jawaban keuangan oleh pemerintah Daerah.

6)      Menjadi pedoman pokok tentang keuangan Daerah.

Penyelenggaraan tugas daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dibiayai atas beban APBD. Penyelenggaraan tugas pemerintah pusat yang dilaksanakan perangkat Daerah Propinsi dalam rangka pelaksanaan Dekosentrasi dibiayai atas beban APBN. Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan Pemerintah Pusat kepad Bupati/ Walikota diikuti dengan pembiayaannya.penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat Kepada Gubernur atau Bupati/ Walikota dapat dikukan dalam rangka Desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan. Setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat Kepada Daerah dalam rangka desentralisasi dan dekosentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya munusia dan sarana serta pengelokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut.

Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menetapkan bahwa pinjaman Daerah adalah sebagai salah satu sumber penerimaan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.dana pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah yang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana Daerah atau harga tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman serta memberikan mamfaat bagi pelayanan masyarakat. Selain itu daerah dimungkinkan pula melakukan pinjaman dengan tujuan lain, seperti mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan dengan arus kas daerah. Pinjaman daerah perlu disesuaikan dengan kemampuan daerah karena dapat menimbulkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun tahun berikutnya yang cukup berat sehingga perlu didukung dengan keterampilan perangkat Daerah dalam mengelola pinjaman Daerah.

Dana perimbangan  terdirid dari :

·         Dana Bagi Hasi

·          Dana Alokasi Umum

·         Dana Alokasi Khusus

Dana bagi hasil adalah bagian daerah dari penerimaan pajak Bumi dan Bagunan, bea perolehan Hak atas tanah dan bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam. Dana bagi hasil merupakan alokasi pada dasarnya memperhatikan potensi daerah Pengahasil.

Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana alokasi umum dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat daerah, sehingga perpedaan antara daerah yang maju dan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil.

Dana alokasi khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan tertentu. Dana alokasi khusus bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus Daerah. Dengan demikian sejalan dengan kebutuhan pokoknya dana perimbangan dapat lebih memperdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proposional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab serta memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan.

Pokok pokok perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ( UU nomor 33 tahun 2004 hendak mengatur suatu perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berdasarkan atas hubungan fungsi, yaitu berupa sistem keuangan daerah yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab antartingkat pemerintahan sesuai dengan pengaturan pada UU tentang pemerintah daerah. UU perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah meliput ruang lingkup pengaturan dari: (1)prinsip-prinsip pembiayaan fungsi pemerintah di daerah.(2)sumber-sumber pembiayaan fungsi dan tugas tanggung jawab daerah yang meliputi: (a) pendapatn asli daerah, ( b)Dana Perimbangan (c)pinjaman, (d)pembiayaan pelaksanaan asas dekosentrasi bagi propinsi, (3)pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah, ( 4) sistem informasi keuangan daerah.[10]

UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Agar sesuai dengan laju perkembangan kehidupan masyarakat, kemudian diganti dengan UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah. Sesuai dengan UU No 22 tahun 1999 yang diganti dengan UU No 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali kewenangan mengenai pemerintahan dalam bidang pertahanan, keamanan, politik luar negeri, fiscal, moneter, peradilan, agama dan administrasi pemerintahan yang bersifat strategis.uraian singkat tersebut menunjukan bahwa telah terjadi berubahan-perubahan besar dalam desain kebijakan hubungan antara pemerintah pusat yang dratis dan radikal. Tentunya perubahan ini akan berdampak positif dan negative, bahkan rawan terhadap gejolak konflik, gonjangan krisis dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi konflik kalau tidak kita sikapi dengan bijaksana. Sebab boleh jadi otonomi justru akan melahirkan raja-raja kecil didaerah yang dapat membuka pintu keluasaan korupsi dtingkat local. Oleh karena itu, perubahan Undang-Undang pemerintah daerah akan berimplikasi pada hubungan keuangan pusat dan daerah, berkaitan dengan siklus pengelolaan dana yang berasal dari pusat kepada daerah.[11]

Implementasi kebijakan desentralisasi fiscal di Indonesia dapat dilihat dari isu poko tersebut : pertama, pengelolaan keuangan Negara, dari sisi keuangan Negara, kebijakan pelaksanaan desentralisasi fiscal telah membawa konsekwensi kepada perubahan yang cukup mendasar, mengenenai pengaturan hubungan pusat dan daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang dalam banyak literature disebutb intergoverment fiscal relation.kedua, menyangkut pendapatan asli daerah. Salah satu wujud dan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri dengan potensinya masing-masing.

Kewenangan pemumutan pajak dan retribusi, berdasarkan paraturan perundang-undangan yang berlaku, daerah diberi kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan retribusi daerah sampai saat ini, distribusi kewengan perpajakan antara daerah dan pusat terjadi ketimpangan yang realtif besar. Ketiga, tentang bentuk-bentuk bagi hasil. Untuk menguragi ketimpangan vertical ( vertival imbalance ) antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Keempat, mengenai dana alokasi umum.

Perimbangan keuangan antara pusat daen daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah ( dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal 25 % dari penerimaan dalam negeri jadi kepastian daerah akan sumber-sumber pendapatan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.kelima, Dana Alokasi Khusus ( DAK ). Pengertian DAK adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuahan khusus.

Alokasi DAK ditentukan dengan memperhatikan tersediannya dana dalam APBN sesuai d engan UU Nomor 25 Tahun 1999 Jo UU Nomor 33 tahun 2004. Adapun yang dimakud dengan kebutuhan khusus diantaranya adalah : (a) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum; (b) kebutuhan yang merupakan komitmen/prioritas nasional.

Setelah UU No 32 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan Pusat dan Daerah disahkan dan diterapkan, segera muncul permasalahan baru, terutama menyangkut soal desentralisasi fiskla dan pengelolaan SDA. Tentu saja hal tersebut tidak memuaskan semua pihak. Bahkan banyak pihak yang justru gundah atas adanya implementasi tersebut. dalam hal ini desentralisasi fiscal maupun kewenangan pengelolaan SDA, eksploitasi pusat atas daerah menjadi wacana yang tampak pada implementasi otonomi daerah selama ini. Belum lagi soal good governance yang juga menjadi problem besar dalam pemerintahan daerah. Pada satu sisi, adanya problem berupa dana pemerintah pusat ke daerah yang belum sebanding dengan yang diserap pusat dan daerah. Sedang disisi lain, dana yang ditransfer pusat tidak dikelola maksimal oleh pemerintah daerah untuk kesejahteraan  rakyat (Antara News, 2 Januari 2008).

Idealnya Otda menciptakan sistem pembiayaan yang adil dan seimbang. Serta memunculkan good governance dengan pembiayaan yang akuntabel, transparan, pasti serta partisipatif. Pemamfaatan dana perimbangan oleh Pemerintah Daerah memang belum dimaksimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, dana perimbangan pusat untuk daerah tetap harus sebanding dengan yang diserap pusat dan daerah tersebut. bila tidak, ancaman desintegrasi bangsa akan terus membayangi negeri ini.

Semangat pemerintah Indonesia yang ingin segera  dapat mewujudkan good corporate perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak. UU no 32 tahun2004 dan UU No 33 tahun 2004 yang menitipberatkan pada pola transparansi serta akuntabilitas jelas terlihat bahwa pemerintah menginginkan adanya pola penyusunan, pelaksanaan dan perartanggung jawaban keuangan daerah; tidak hanya melibatkan semua komponen masyarakat, bahkan hasil akhir dan semua itu hendak ditujukan untuk kepentingan masyarakat.

Transparansi mulai dilakukan oleh pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah; iklan lelang proyek pemerintah juga sudah diatur dan mempunyai kekuatan hokum;laporan kerja maupun pertanggung jawaban keuangan daerah juga sudah dikemas sedemikian rupa, sehingga sangat normative, walaupun belum semua pemda melakukannya.


BAB III

KESIMPULAN

 

 

Di Indonesia, kebijakan fiskal mempunyai dua prioritas. Prioritas pertama adalah mengatasi APBN, dan masalah – masalah APBN lainnya. Defisit APBN terjadi apabila penerimaan pemerintah lebih kecil daripada pengeluarannya. Prioritas kedua adalah mengatasi masalah stabilitas ekonomi makro, yang terkait dengan antara lain laju pertumbuhan ekonomi, tingkat atau laju pertumbuhan inflasi, jumlah kesempatan kerja/ penggangguran dan saldo neraca pembayaran. Apabila APBN defisit, pemerintah hanya mempunyai dua pilihan untuk membiayai saldo negatif tersebut, yaitu didanai oleh Bank Indoneisa lewat printing money yang berarti jumlah uang yang beredar di masyarakat meningkat, atau melebihi pinjaman, baik dari dalam negeri, misalnya dengan menerbitkan obligasi, atau dari luar negeri (cara yang kedua ini berarti ekonomi tidak lagi tertutup). Karena opsi pertama tersebut sangat berisiko terhadap peningkatan laju inflasi, maka biasanya opsi kedua yang dipilih.


DAFTAR PUSTAKA

 

 

Ani Sri Rahayu, pengantar Kebijakan Fiskal, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010),

http://www.bpk.go.id/page/rencana-strategis

https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_daerah_di_Indonesia

http://www.kompasiana.com/amirsyahoke/apakah-anggaran-pemerintah-harus-dihabiskan_552abad6f17e61c337d623ca Amirsyah Oke, 02 Oktober 2015

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/12/28/11335383/Masalah.Penyerapan.Anggaran.Ada.di.Pemerintah Jumat, 28 Desember 2012 | 11:33 WIB

Dikutip dari Deddy Supriady Bratakusumah, Ph.D dkk,2002, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Gramedia : Jakarta.

Dikutip dari  Edy Suandi hamid, 2005, Formula Alternatif DAU, Upaya mengatasi ketimpangan Fiskal dalam era otonomi daerah, UII press, Yogyakarta

Prof dr Abdul Halim dan Ibnu Mujib,2009,Problem dan Perimbangan Keuangan pemerintahan Pusat daerah.peluang dan tantangan dalam pengelolaan sumber daya Daerah . Sekolah Paskasarjana UGM, Yogyakarta.

http://wonderwall92.blogspot.co.id/2012/12/apbn-kebijakan-fiskal-dan-utang-luar.html

 



[1]Ani Sri Rahayu, pengantar Kebijakan Fiskal, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), hlm 269

[2]http://wonderwall92.blogspot.co.id/2012/12/apbn-kebijakan-fiskal-dan-utang-luar.html

[3] http://www.bpk.go.id/page/rencana-strategis

[7]  Dikutip dari Deddy Supriady Bratakusumah, Ph.D dkk,2002, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Gramedia : Jakarta. Hlm  168-169

[8]  Ibid  Hlm  170

[9] Dikutip dari  Edy Suandi hamid, 2005, Formula Alternatif DAU, Upaya mengatasi ketimpangan Fiskal dalam era otonomi daerah, UII press, Yogyakarta Hlm 12-13

[10] Prof dr Abdul Halim dan Ibnu Mujib,2009,Problem dan Perimbangan Keuangan pemerintahan Pusat daerah.peluang dan tantangan dalam pengelolaan sumber daya Daerah . Sekolah Paskasarjana UGM, Yogyakarta hlm 13

[11] Ibid hlm  23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar