BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dewasa ini, setiap negara membutuhkan
dana yang cukup besar untuk melaksanakan pembangunan dan menyelenggarakan
pemerintahan. Negara akan selalu mengatur penerimaan dan pengeluaran keuangan
negara tertuang dalam (APBN). Sementara di sisi lain, kebijakan anggaran atau
fiskal untuk membiayai pembangunan tersebut menghadapi kendala. Persoalannya
adalah kesulitan dalam pembentukan modal, baik yang bersumber dari penerimaan
pemerintah yang berasal dari ekspor barang ke luar negri maupun dari masyarakat
melalui instrumen pajak dan instrumen lembaga-lembaga keuangan. Untuk mencukupi
kekurangan sumber daya modal ini, maka pemerintah negara yeng bersangkutan
berusaha untuk mendatangkan sumber daya modal dari luar negri melalui berbagai
jenis pinjaman.Pada masa krisis ekonomi, utang luar negri Indonesia, termasuk
utang luar negri pemerintah, telah meningkat drastis. Sehingga menyebabkan
pemerintah Indonesia harus menambah utang luar negri yang baru untuk membayar
utang luar negri yang lama.
- Rumusan
Masalah
Bagaimana
hubungan kebijakan fiskal dipemerintahan?
- Tujuan
Masalah
Mengetahui
apa saja hubungan fiskal antar pemerintahan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Ruang Lingkup Kebjakan
Fiskal
Kebijakan fiskal adalah langkah-langkah
pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam
pembelenjaannya dengan maksud untuk untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang
dihadapai.
1. Bentuk
– Bentuk Kebijakan Fiskal
Kebijakan
fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu:
1. Kebijakan
yang menyangkut pembelian pemerintah atas barang dan jasa.
Pembelian pemerintah atau belanja negara
merupakan unsur di dalam pendapatan nasional yang dilambangkan dengan huruf
“G”.Pembelian atas barang dan jasa pemerintah ini mencakup pemerintah daerah,
dan pusat.Belanja pemerintah ini meliputi pembangunan mengatasi masalah-masalah
ekonomi yang dihadapi.
Untuk jalan raya, jalan tol, bangunan
sekolah, gedung pemerintahan, peralatan kemiliteran, dan gaji guru sekolah.
2. Kebijakan
yang menyangkut perpajakan
Pajak merupakan pendapatan yang paling
besar di samping pendapatan yang berasal dari migas.Baik perusahaan maupun
rumah tangga mempunyai kewajiban melakukan pembayaran pajak atas beberapa
bahkan seluruh kegiatan yang dilakukan.Pajak yang dibayarkan digunakan semata-mata
untuk pembangunan negara tersebut.Kebijakan pemerintah atas perpajakan
mengalami pembaharuan dari waktu ke waktu, hal ini disebut tax reform
(pembaharuan pajak).Tax reform yang dilakukan pemerintah mengikuti adanya
perubahan di dalam masyarakat, seperti meningkatnya pendapatan, meningkatnya.
3. Kebijakan
yang menyangkut pembayaran transfer.
Pembayaran transfer meliputi kompensasi
pengangguran, tunjangan keamanan sosial, dan tunjangan pensiun. Jika dilihat
pembayaran transfer merupakan bagian belanja pemerintah tetapi sebenarnya
pembayaran tansfer tidak masuk dalam komponen G di dalam perhitungan pendapatan
nasional. Alasannya yaitu karena transfer bukan merupakan pembelian sesuatu
barang yang baru diproduksi dan pembayaran tersebut bukan karena jual beli barang
dan jasa. Pembayaran transfer mempengaruhi pendapatan rumah tangga, namun tidak
mencerminkan produksi perekonomian. Karena PDB dimaksudkan untuk mengukur
pendapatan dari produksi barang dan jasa serta pengeluaran atas produksi barang
dan jasa, pembayaran transfer tidak dihitung sebagai bagian dari belanja
pemerintah.
Salah satu gagasan utama Keynes pada
tahun 1930-an adalah kebijakan fiskal dapat dan hendaknya digunakan untuk
menstabilkan tingkat keluaran dan peluang kerja. Secara spesifik menurut Keynes,
terdapat dua hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam kebijakan fiskal
yaitu:
a. Kebijakan
fiskal ekspansioner yaitu memotong pajak dan/atau menaikkan pengeluaran untuk
mengeluarkan perekonomian dari penurunan.
b. Kebijakan
fiskal kontraksioner yaitu menaikkan pajak dan/atau memangkas pengeluaran untuk
mengeluarkan perekonomian dari inflasi.
Dari sisi pajak jelas jika mengubah
tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan
maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat
meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya
beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Kebijakan fiskal mempunyai pengaruh baik
jangka panjang maupun jangka pendek. Kebijakan fiskal mempengaruhi tabungan,
investasi, dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, sedangkan dalam jangka
pendek mempunyai pengaruh terhadap permintaan agregat barang dan jasa.
Kebijakan memiliki perioritas,
yaitu mengatasi defisit anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) dan masalah-masalah APBN lainnya.
Sebelum pembahasan melebar, setidaknya
pemahaman konseptual anggaran dapat kita pahami. Pengertian anggaran antara
lain sebagai berikut:
a. Anggaran
merupakan prakiraan dari penerimaan dan pengeluaran dalam jangka waktu
tertentu.
b. Anggaran
menggambarkan daftar belanja. Akan tetapi, anggaran di batasi oleh pendapatan
untuk menjaga keseimbangan dan mencega pemborosan.
Suatu anggaranmungkin hanya
difungsikan sebagai instrumen untuk mencatat penerimaan dan pengeluaran saja,
sehingga dalam suatu pemerintahan anggaran negara di anggap sebagai pedoman
keluar masuknya keuangan negara.
2. Pengertian
APBN
a. Menurut UU
No. 17 Tahun 2003, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN adalah
rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR).
b. Pasal 23
Ayat (1) UUD 1945, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai wujud
dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang – undang
dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar – besarnya
kemakmuran rakyat.
c. Pasal 23
Ayat (2) UUD 1945, Rancangan Undang – Undang Angaran Pendapatan dan Belanja
Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD.
Di Indonesia, kebijakan fiskal mempunyai
dua prioritas. Prioritas pertama adalah mengatasi APBN, dan masalah – masalah
APBN lainnya. Defisit APBN terjadi apabila penerimaan pemerintah lebih kecil
daripada pengeluarannya. Prioritas kedua adalah mengatasi masalah stabilitas
ekonomi makro, yang terkait dengan antara lain laju pertumbuhan ekonomi,
tingkat atau laju pertumbuhan inflasi, jumlah kesempatan kerja/ penggangguran
dan saldo neraca pembayaran. Apabila APBN defisit, pemerintah hanya mempunyai
dua pilihan untuk membiayai saldo negatif tersebut, yaitu didanai oleh Bank
Indoneisa lewat printing money yang berarti jumlah uang yang beredar di
masyarakat meningkat, atau melebihi pinjaman, baik dari dalam negeri, misalnya
dengan menerbitkan obligasi, atau dari luar negeri ( cara yang kedua ini
berarti ekonomi tidak lagi tertutup ). Karena opsi pertama tersebut sangat
berisiko terhadap peningkatan laju inflasi, maka biasanya opsi kedua yang
dipilih.
3. Fungsi APBN
a. Fungsi
Otorisasi
Anggaran
negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang
bersangkutan, Dengan demikian, pembelanjaan atau pendapatan dapat
dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
b.
Fungsi Alokasi
Pemerintah
harus membagikan pendapatan yang telah diterima ke pos – pos belanja yang telah
ditetapkan di dalam APBN. Pengalokasian tersebut penting artinya bagi
keberhasilan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.
c.
Fungsi Perencanaan
Dengan APBN,
pemerintah dapat merencanakan untuk menciptakan dan meningkatkan kemakmuran
rakyat. Misalnya pembangunan jalan untuk memperlancar kegiatan ekonomi
masyarakat atau negara serta dapat merencanakan pembangunan infrastruktur
lainnya dengan anggaran yang ada.
d.
Fungsi Distribusi
Pendapatan
negara tidak semuanya akan dibelanjakan untuk membangun sarana dan prasarana
umum. Sebagian akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk dana pensiun
(transfer payment) dan dapat juga berupa subsidi/bantuan.
e.
Fungsi Stabilisasi
Anggaran
pemerintah akan menjadi alat untuk memelihara dan selalu mengupayakan
keseimbangan pokok perekonomian.
f.
Fungsi Pengawasan
APBN menjadi
pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan telah sesuai
denga ketentuan yang ditetapkan. Dengan demikian penyusunan APBN memudahkan
rakyat untuk menilai tindakan pemerintah dalam menggunakan uang negara.[1]
4.
Komponen – komponen APBN
APBN mempunyai dua
komponen besar yaitu :
a.
Anggaran pendapatan Negara terdiri
dari:
·
Pajak
·
Retribusi
·
Royalti
·
Bagian laba BUMN
·
Dan berbagai pendapatan non-pajak
lainnya.
b.
Anggaran pengeluaran pemerintah
Pusat terdiri dari :
·
Pengeluaran pemerintah pusat
·
Pengeluaran pemerintah daerah
B.
Hubungan
Fiskal Antar Pemerintah Pusat
Presiden
selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara
sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. APBN merupakan wujud pengelolaan
keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang. APBN terdiri
atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. APBN disusun sesuai
dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun
pendapatan negara.
Pemerintah
Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro
tahun anggaran berikutnya kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei
tahun berjalan. Dalam hal ini perumus kebijakan (presiden, DPR), pengawas
keuangan (BPK, BPKP), pelaksana keuangan (Depkeu, Depdagri, Departemen Teknis)
harus mengupayakan agar kebijakan fiskal benar-benar bermanfaat bagi rakyat
banyak.
Dalam hal
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN Presiden menyampaikan rancangan undang-undang
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan
yang telah diperiksa oleh BPK, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun
anggaran berakhir.
1.
APBN
Realisasi versus APBN Revisi
Ada dua versi APBN, yakni APBN realisasi
dan APBN revisi. APBN yang direvisi biasanya disebut APBN- Perubahan (APBN-P).
Revisi bisa dilakukan dengan atau tanpa kebijakan. Realisasi APBN bisa lebih
besar, sama atau lebih kecil dari anggaran, baik anggaran awal atau anggaran
yang telah direvisi. Memang yang penting bagi pemerintah adalah setelah
dilakukan revisi, defisit anggaran bisa lebih kecil atau paling tidak bertambah
besar, tetapi tentu ini sangat tergantung pada kondisi perekonomian saat itu
yang menjadi alasan utama revisi APBN atau RAPBN dilakukan. Revisi APBN tidak
selalu berarti beban pemerintah semakin berat, atau pengeluaran dan defisit
APBN yang direvisi tidak harus selalu lebih besar dari anggaran semula,
tergantung penyebab utama dilakukannya revisi dan metode penghitungannya serta
asumsi – asumsi baru yang menjadi dasar revisi.[2]
Indonesia merupakan salah satu negara
dunia ketiga. Sebelum terjadinya krisis moneter di kawasan Asia Tenggara.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak akhir tahun 1970-an selalu positif serta
tingkat pendapatan per kapita yang relatif rendah, menyebabkan target pertumbuhan
yang relatif tinggi tersebut tidak cukup dibiayai dengan modal sendiri, tetapi
harus ditunjang dengan menggunakan modal asing.Sejalan dengan semakin
meningkatnya kontribusi swasta domestik dalam pembangunan ekonomi nasional maka
peran pemerintah pun semakin berkurang. Fenomena tersebut akhirnya menyebabkan
struktur utang luar negeri mengalami banyak perubahan. Pada awalnya ULN
indonesia lebih banyak dilakukan oleh pemerintah. Pinjaman tersebut diterima
dalam bentuk hibah. Karena semakin pesatnya pembangunan dan terbatasnya
kemampuan pemerintah maka pinjaman oleh luar negeri dibatasi.
Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat
pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu Negara melalui pengeluaran dan
pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Berdasarkan dari beberapa teori dan
pendapat yang dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal adalah
suatu kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengelolaan
keuangan Negara untuk mengarahkan kondisi perekonomian menjadi lebih baik yang
terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran Negara yang
tercantum dalam APBN.
Kebijakan fiskal memegang peranan yang cukup penting
dalam menstabilkan tingkat kegiatan ekonomi dan menciptakan tingkat kegiatan
ekonomi ke arah tingkat yang dikehendaki. Pandangan ini dalam buku Keynes
menjadi landasan dalam perkembangan teori makro ekonomi. Pandangan atau
keyakinan ini sangat berbeda sekali dengan yang dianut ahli-ahli ekonomi dan pihak
pemerintah di dalam zamannya ahli-ahli ekonomi klasik. Ahli ekonomi klasik
menekankan tentang perlunya menjalankan anggaran belanja seimbang. Disini
mereka menekankan tentang perlunya menjalankan sistem pasar bebas dan
mengurangi campur tangan pemerintah, termasuk kebijakan fiskal yang aktif dalam
perekonomian.
Maka dari itu diperlukannya kebijakan fiskal baik di
sektor dalam negeri maupun sektor luar negeri. Kebijakan fiskal di sektor dalam
negeri dapat berupa kebijakan anggaran atau politik anggaran:
a.
Pembiayaan fungsional
Pembiayaan pengeluaran pemerintah ditentukan
sedemikian rupa sehingga tidak langsung berpengaruh terhadap pendapatan
nasional. Tujuan utama adalah meningkatkan kesempatan kerja (employment).
Penerimaan pemerintah dari sector pajak bukan untuk meningkatkan penerimaan
pemerintah, namun untuk mengatur pengeluaran dari pihak swasta. Untuk menekan
inflasi, maka diatasi dengan kebijakan pinjaman. Jika sektor pajak dan pinjaman
tidak berhasil, maka tindakan pemerintah adalah mencetak uang. Jadi, dalam hal
ini sector pajak dengan pengeluaran pemerintah terpisah.
b.
Pengelolaan anggaran
Penerimaan dan pengeluaran dengan perpajakan dan
pinjaman adalah paket yang tidak bisa dipisahkan. Dalam penjelasan Alvin
Hansen, untuk mencipatakan anggaran yang berimbang maka diperlukan resep bahwa
jika terjadi depresi, maka dapat ditempuh anggaran deficit, dan jika terjadi
inflasi maka ditempuh anggaran belanja surplus.
c.
Stabilisasi anggaran otomatis
Dalam stabilisasi anggaran ini, diharapkan terjadi
keseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan pemerintah tanpa adanya campur
tangan langsung pemerintah yang disengaja. Dalam hal ini, pengeluaran
pemerintah ditekan pada asas manfaat dan biaya relative dari setiap paket
program. Pajak ditetapkan sedemikian rupa sehingga terdapat anggaran belanja
surplus dalam kesempatan kerja.
d.
Anggaran belanja seimbang
Kebijakan anggaran belnja yang dianut masing-masing
Negara dapat berbeda-beda, tergantung keadaan dan arah yang akan dicapai dalam
jangka pendek dan jangka panjangnya. Berikut beberapa cara yang dapt ditempuh
negara dalam mencapai manfaat tertinggi dalam mengelola anggaran:
1.
Anggaran Defisit
(Defisit Budget) / kebijakan fiskal ekspansif anggaran
defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari
pemasukan Negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik
digunakan jika keadaan ekonomi sedang resesif.
2.
Anggaran Surplus
(Surplus Budget) / kebijakan fiscal kontraktif
anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih
besar dari pada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan
ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating)
untuk menurunkan tekanan permintaan.
3.
Anggaran Berimbang
(Balanced Budget) anggaran berimbang terjadi ketika
pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik
anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan
disiplin.
Sedangkan kebijakan fiskal di sektor luar negeri
memiliki istilah lain yaitu, kebijakan memindah pengeluaran. Di dalam kebijakan
ini pengeluaran para pelaku ekonomi tidak berkurang, hanya dipindah dan di
geser pada bidang yang tidak terlalu berisiko memperburuk perekonomian.
Kebijakan ini dapat dilakukan secara paksa dan dapat juga dipergunakan dengan
memakai rangsangan. Secara paksa kebijakan ini ditempuh dengan cara:
1.
Mengenakan tarif / kuota, dengan
tindakan ini diharapkan masyarakat akan memindah konsumsinya ke komoditi buatan
dalam negeri, karena dengan dikenakannya kedua hambatan perdagangan tersebut,
harga komoditi impor menjadi mahal.
2.
Mengawasi pemakaian valuta asing,
hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan maksud dan tujuan orang
membutuhkan dan menggunakan valuta asing. Kemudahan akan diberikan kepada
mereka yang akan menggunakan valuta asing tersebut untuk mengekspor komoditi
yang membantu terpenuhinya kebutuhan rakyat banyak dan demi meningkatkan
produktivitas perekonomian.
3.
Untuk kebijakan memindah pengeluaran
yang dilakukan dengan rangsangan dapat ditempuh dengan cara :
a.
Menciptakan rangsangan-rangsangan
ekspor, misalnya denga mengurangi pajak komoditi ekspor, menyederhanakan
prosedur ekspor, dan lainnya.
b.
Menstabilkan upah dan harga di dalam
negeri, dengan demikian akan lebih member iklim yang lebih sehat bagi masyarakat
Indonesia dalam mengkonsumsi produk dalam negeri.
Pada tahun 2004 yang akan datang,
pemerintah menargetkan defisit anggaran sekitar 1 persen dari Produk Domestik
Bruto (PDB) serta rasio utang terhadap PDB kurang lebih 60 persen. Angka
tersebut merupakan bagian dari konsolidasi fiskal jangka menengah yang
mengupayakan anggaran berimbang pada tahun 2005.
Strategi penurunan defisit anggaran
ditempuh melalui dua langkah pokok, yaitu: (a) peningkatan penerimaan negara,
terutama penerimaan pajak dan (b) pengendalian dan penajaman prioritas alokasi
belanja negara.
Dengan cara optimalisasi pengelolaan
utang dan pemilihan pembiayaan alternatif yang tepat. Dengan pertumbuhan PDB
nominal antara 12-13 persen per tahun dan stok utang pemerintah yang relatif
tidak bertambah, maka rasio antara utang dengan PDB akan menurun.
Selama ini, dengan langkah-langkah
peningkatan pendapatan negara dan pengendalian pengeluaran negara, defisit
anggaran berhasil diturunkan secara berarti dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam tahun 2000 yang semula diperkirakan sekitar 4,8 persen dari PDB, dalam
realisasinya hanya mencapai 1,6 persen dari PDB.
Dalam tahun-tahun berikutnya, rasio
defisit anggaran terhadap PDB dimaksud dapat ditekan menjadi 2,8 persen pada
tahun 2001, dan bahkan dapat diturunkan lagi hingga sekitar 1,7 persen dari PDB
dalam tahun 2002. Dalam tahun 2003, defisit anggaran ditargetkan sekitar 1,8
persen dari PDB.
Berdasarkan arah perkembangan tersebut,
ke depan, khususnya memasuki 2004, tantangan yang dihadapi diperkirakan akan
bertambah dari pengendalian defisit anggaran dan penentuan strategi pembiayaan
yang tepat.
Oleh karena itu, dalam tahun anggaran
2004, permasalahan dalam bidang fiskal tidak hanya mencakup kompleksitas dalam
memformulasikan besaran penerimaan dan mengatur kombinasi alokasi pengeluaran
negara yang optimal.
Akan tetapi, akan lebih menonjol ke arah
bagaimana menutup kekurangan pembiayaan (financing gap) berkaitan dengan
membengkaknya jumlah pinjaman yang jatuh tempo, baik utang dalam negeri yang
diperkirakan akan mencapai sekitar 1,2 persen dari PDB maupun utang luar negeri
yang diperkirakan sekitar 2,2 persen dari PDB.
C.
Hubungan BPK dengan DPR
Seperti yang telah kita ketahui bersama, konstitusi
negara kita, Undang-Undang Dasar 1945, membentuk BPK hanya untuk melaksanakan
satu tugas, menegakkan transparansi fiskal guna membantu lembaga perwakilan
rakyat dalam melaksanakan hak bujetnya. BPK melaksanakan tugas itu melalui
pemeriksaan atau audit pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.
Naskah asli Undang-Undang Dasar 1945, yang disusun
oleh the founding fathers kita menugaskan BPK sebagai satu-satunya auditor yang
melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Berbeda
dengan di banyak negara lain, Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan BPK sejajar
dengan lembaga-lembaga negara yang ada dalam struktur negara kita. Di berbagai
negara yang lain lembaga auditor ekstemal seperti BPK ditempatkan langsung di
bawah lembaga legislatif sebagai pemegang hak bujet. Lembaga legislatif itulah
yang menugaskan auditor eksternal untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan
dan pertanggungjawaban keuangan negara. Selain tetap mempertahankan pemberian
hak eksklusif pemeriksaan keuangan negara kepada BPK, perubahan ketiga dari UUD
1945 justru telah memperkuat posisinya dengan memberikan kedudukan yang “bebas
dan mandiri" kepada BPK.
Baik naskah asli maupun perubahan, UUD 1945 menjunjung
tinggi transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara. ltulah sebabnya mengapa diberikan kedudukan tinggi, kebebasan
dan kemandirian kepada BPK. Maksudnya adalah agar BPK dapat melaksanakan
tugasnya secara objektif. BPK dapat memeriksa dan melaporkan keuangan negara
sebagaimana adanya, bebas dari pengaruh maupun tekanan politik. Termasuk dari
ketiga cabang pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun judikatif.
Hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada rakyat
banyak, utamanya pembayar pajak, melalui wakil-wakilnya di DPR serta DPRD
sebagai pemegang hak bujet. Seperti halnya DPR, DPD juga menerima laporan hasil
pemeriksaan keuangan Pemerintah Pusat. Sementara itu, DPRD menerima laporan
hasil pemeriksaan keuangan pemerintah daerahnya masing-masing. Semuanya itu
diatur dalam UU No. 22 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD (Pasa147) dan UU
No. 15 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara
(Pasal 17, ayat 1).
Walaupun DPD tidak memiliki hak bujet, posisinya
sangat penting. Karena DPD memiliki fungsi memberikan pertimbangan kepada DPR
dalam hal penyusunan Rancangan APBN Pemerintah Pusat maupun dalam mengawasi
pelaksanaannya setelah menjadi APBN.
Dengan menggunakan hak legislasinya, DPR dan DPRD
memiliki hak dan wewenang masing-masing untuk menindak lanjuti temuan-temuan
BPK. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebut bahwa BPK memantau pelaksanaan tindak
lanjut rekomendasi hasil pemeriksaannya itu. BPK pun dapat memproses secara
pidana auditee yang tidak serius melakukan koreksi terhadap temuannya. Temuan-temuan
yang mengandung unsur pidana seperti ini wajib diserahkan oleh BPK kepada
penegak hukum. Temuan pemeriksaan BPK tersebut merupakan bukti awal yang dapat
diperdalam dan ditindaklanjuti oleh penegak hukum.
Memenuhi amanat konstitusi, BPK juga menerima
penugasan dari lembaga pemegang hak bujet (DPR dan DPRD) untuk melakukan
pemeriksaan khusus. Pemeriksaan khusus itu juga dapat dilakukan berdasarkan
inisiatif sendiri, baik atas dasar permintaan pemerintah, pengaduan masyarakat
maupun pendalaman pemeriksaan kami sendiri. Atas penugasan dari DPR, kini BPK
tengah melakukan pemeriksaan atas penggunaan dana oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dan tentang subsidi BBM.
Melalui pemulihan kewenangan serta kebebasan maupun
kemandiriannya BPK diharapkan akan dapat menegakkan transparansi fiskal. Pada
gilirannya ini akan memulihkan kembali penggunaan hak bujet milik rakyat
melalui wakil-wakilnya di DPR dan DPRD yang telah mengalami erosi dalam era
otoriter Orde Baru. Pemulihan hak bujet rakyat itu diharapkan akan dapat
memperbaiki pengelolaan serta pertanggungjawaban keuangan negara yang selama
ini ”morat-marit” sehingga kita dilanda oleh krisis perekonomian sejak tujuh
tahun terakhir. Transparansi fiskal sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat
membayar pajak maupun kepercayaan mereka memegang Surat Utang Negara (SUN).
Transparansi fiskal tersebut juga menambah kepercayaan kreditur internasional
dalam memberikan hibah maupun pinjaman kepada Pemerintah Indonesia.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) memiliki
mandat yang kokoh di dalam Pasal 23 E – G Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan. Mandat yang kokoh tersebut perlu diwujudkan dalam bentuk
hasil kerja yang mampu memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholders).
Stakeholders BPK yang utama adalah rakyat yang telah memberikan keterwakilannya
melalui pemilihan umum kepada lembaga perwakilan (DPR/DPRD dan DPD) serta
pemerintah. BPK tidak bekerja semata-mata untuk kebutuhan dirinya – pemenuhan
profesionalisme pemeriksaan, tetapi juga memenuhi mandat yang tertuang dalam
peraturan perundang-undangan dan kebutuhan stakeholders tersebut.
Menurut UU No. 15 Tahun 2004, BPK wajib menyerahkan
laporan pemeriksaan-nya kepada Lembaga Perwakilan Rakyat (DPR, DPD dan DPRD).
Segera setelah diserahkannya kepada Lembaga-Lembaga Perwakilan Rakyat itu, BPK
wajib untuk memuatnya dalam website-nya agar dapat di akses oleh masyarakat
luas. Hal-hal yang mengandung unsur pidana dilaporkan oleh BPK kepada penegak
hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK-Komisi Pemberantasan Korupsi). Pada
gilirannya, Pemerintah, Lembaga-Lembaga Perwakilan dan para penegak hukum
tersebut menindaklanjuti temuan pemeriksaan serta rekomendasi BPK. Sebagai
lembaga legislatif yang memiliki hak bujet, DPR dan DPRD dapat menerbitkan
Undang-Undang dan mendesak Pemerintah untuk memperbaiki sistem pengelolaan uang
serta asetnya. Lembaga Perwakilan Rakyat juga dapat meneruskan kasus tindakan
kriminal untuk diusut lebih lanjut oleh penegak hukum.
Dengan menggunakan hak legislasinya, DPR dan DPRD
memiliki hak dan wewenang masing-masing untuk menindak lanjuti temuan-temuan
BPK. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebut bahwa BPK memantau pelaksanaan tindak
lanjut rekomendasi hasil pemeriksaannya itu. BPK pun dapat memproses secara
pidana auditee yang tidak serius melakukan koreksi terhadap temuannya.
Temuan-temuan yang mengandung unsur pidana seperti ini wajib diserahkan oleh
BPK kepada penegak hukum. Temuan pemeriksaan BPK tersebut merupakan bukti awal
yang dapat diperdalam dan ditindaklanjuti oleh penegak hukum.
Hubungan kerja BPK dengan DPR, baik yang menyangkut
hasil temuan maupun tentang tindak lanjut hasil pemeriksaan. Dalam UUD 45 Pasal
23 E ayat (2) menegaskan bahwa hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR,
DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. Pasal 23E ayat(3) berbunyi: hasil pemeriksaan
tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan
undang-undang . Jadi UUD45 menegaskan bahwa yang “utama” menindaklanjuti hasil
pemeriksaan BPK itu adalah “lembaga perwakilan”, baru badan (lain) sesuai
undang-undang.
Pengelolaan keuangan negara merupakan
suatu kegiatan yang akan mempengaruhi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat dan bangsa Indonesia.
Perubahan kepemimpinan di BPK pada saat
ini terjadi bersamaan dengan perubahan lingkungan eksternal yang berkaitan
dengan pengelolaan keuangan negara. Perubahan tersebut antara lain meningkatnya
kesadaran masyarakat untuk memiliki pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan
transparan dalam mengelola keuangan negara.
Perubahan lingkungan eksternal yang
kedua adalah kewajiban Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menyusun laporan
keuangan sebagai wujud akuntabilitas pengelolaan keuangan negara/daerah. Sesuai
dengan Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, BPK
mempunyai kewajiban dan mandat untuk melakukan pemeriksaan atas laporan
keuangan tersebut.
Perubahan lingkungan eksternal yang
terakhir berkaitan dengan pemberian otonomi kepada daerah dalam melakukan
pengelolaan keuangan daerah dan juga keuangan Pemerintah Pusat. Pengelolaan
keuangan negara yang sebelumnya terpusat di ibu kota negara menjadi tersebar di
masing-masing provinsi dan kabupaten/kota.
Perubahan-perubahan dalam
penyelenggaraan negara di atas sangat mempengaruh posisi BPK sebagai
satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hal inilah yang mendorong BPK
menyusun Rencana Strategis 2011 – 2015 agar dapat dengan segera mengadaptasi
perubahan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.[3]
Hubungan antar DPR dan BPK di atur
di dalam:
1. UUD 1945
pasal 23E ayat 2 yang berbunyi, “Hasil pemeriksa keuangan negara diserahkan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.”
2.
UUD 1945 pasal 23F ayat 1 yang berbunyi,
“Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh
Presiden.”
3.
UU no 15 tahun 2006 pasal 7 ayat 1
yang berbunyi, “BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.”
4.
UU no 15 tahun 2006 pasal 7 ayat 4
yang berbunyi, “Tata cara penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPR, DPD, dan
DPRD diatur bersama oleh BPK dengan masing-masing lembaga perwakilan sesuai
dengan kewenangannya.”
5.
UU no 15 tahun 2006 pasal 11
mengenai kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan.
6.
UU no 15 tahun 2006 pasal 14 ayat 1
yang berbunyi, “Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan
DPD.”
7.
UU no 15 tahun 2006 pasal 14 ayat 3
yang berbunyi, “Calon anggota BPK diumumkan oleh DPR kepada publik untuk
memperoleh masukan dari masyarakat.” UU no 15 tahun 2006 pasal 14 ayat 4 yang
berbunyi, “DPR memulai proses pemilihan anggota BPK terhitung sejak tanggal
diterimanya surat pemberitahuan dari BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan anggota BPK yang baru, paling lama 1
(satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota BPK yang lama.”
8.
UU no 15 tahun 2006 pasal 21 ayat 2
yang berbunyi, “Pemberhentian Ketua, Wakil Ketua, dan/atau Anggota BPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diresmikan dengan Keputusan Presiden atas
usul BPK atau DPR.”
9. UU no 15
tahun 2006 pasal 35 ayat 2 yang berbunyi, “Anggaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan oleh BPK kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan
pendahuluan rancangan APBN.”
Terkait dengan masalah-masalah ekonomi
sekarang ini DPR-RI akan segera meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk
melakukan audit khusus terhadap Bank Indonesia (BI) terkait tugas otoritas
moneter dalam menjaga pergerakan nilai tukar rupiah. Sementara intervensi ke
pasar uang menggunakan cadangan devisa diibaratkan seperti menggarami lautan.
Ini terkait adanya kecurigaan pelemahan
rupiah yang disengaja BI karena disinyalir mencari keuntungan dengan adanya
pelemahan nilai rupiah belakangan ini. Namun, menurut Anggota Komisi XI DPR RI
Fraksi Golkar, Misbakhun, DPR tidak bisa membuktikan kecurigaan tersebut,
sehingga perlu meminta bantuan BPK.
Menurut Misbakhun, pihaknya menginginkan
agar otoritas keuangan yang dipimpin Agus Martowardojo tersebut lebih
transparan dan terbuka dalam menerapkan tata kelola yang baik, baik itu
penggunaan cadangan devisa negara untuk intervensi rupiah.
Karena itu, DPR memberikan saran pada BI
untuk membuka apa saja sebenarnya yang dilakukan BI dalam rangka melakukan
intrvensi pasar. Karena posisi cadangan devisa sudah berkurang sekitar US$7
miliar sejak Januari hingga Agustus, namun rupiah makin terpuruk.
Ini perlu dilakukan supaya ada tata
kelola yang baik dalam melakukan intervensi pasar, dalam melakukan kebijakan
pengelolaan devisa dan kebijakan moneter ini, maka DPR mengusulkan BI agar
diaudit BPK dalam rangka melakukan kebijakan moneter.
Misbakhun juga meminta BI untuk
melakukan upaya optimal dan lebih serius dalam menekan laju penurunan nilai
tukar rupiah, terutama kebijakan suku bunga acuan (BI Rate).
Pasalnya, semakin rupiah tak berdaya
terhadap keperkasaan US$, maka dunia usaha semakin tertekan dan tidak
tanggung-tanggung untuk melakukan pemberhentian hubungan kerja (PHK) terlebih
untuk industri yang menggunakan bahan baku impor.
Menurut beliau, PHK pun menjadi jalan
terakhir yang dipilih pengusaha di tengah hasil produksinya yang tidak
menguntungkan karena daya beli masyarakat yang menurun, sedangkan biaya barang
baku impor. Apalagi saat ini, rupiah telah menembus Rp14.700 per US$
mengakibatkan nilai bahan baku impor makin mahal.
Kurs rupiah terhadap dolar AS yang
belakangan ini terus merosot makin mendekati level Rp15.000 telah membuat
banyak pihak mempertanyakan. Nilai tukar rupiah pada akhir pekan lalu sudah
sempat menembus level Rp14.700 per US$.
Ekonom Danareksa Purbaya Yudhi Sadewa
mengatakan, BI diminta untuk lebih aktif di pasar obligasi untuk membantu
penguatan nilai tukar rupiah. Kebijakan BI yang hanya bergelut di pasar valas
dinilai tak akan cukup "mengangkat” rupiahbila obligasi pemerintah terlalu
banyak dikuasai asing.
Hingga saat ini, Purbaya belum melihat
ada upaya dari BI untuk menopang ekonomi nasional. Kebijakan suku bunga BI Rate
yang dipatok 7,5% dinilai sebagai kebijakan moneter yang ketat di mata
investor.
Secara terpisah, upaya BI menjaga nilai
tukarrupiahdengan menggelontorkan cadangan devisa di pasar valas dinilai akan
sia-sia bila kepercayaan pasar ke pemerintah sangat minim. Upaya BI itu
dianalogikan layaknya seseorang yang terus menerus menabur garam di laut.
Menurut Enny, BI tak akan bisa kerja
sendiri. Pemerintah kata dia harus membantu bank sentral itu dengan memperbaiki
neraca pembayaran. Namun, dia mengakui perbaikan neraca pembayaran cukup
membutuhkan waktu yang tidak singkat. Oleh karena itu ucap dia, satu-satunya
jalan mengerem pelemahanrupiahadalah dengan meningkatkan kepercayaan pasar.
Menurut peneliti AEPI (Asosiasi Ekonomi
Politik Indonesia) Salamuddin Daeng, pelemahan rupiah telah disebabkan oleh
beberapa faktor. Antara lain kenaikan harga-harga barang membuat inflasi tinggi
dan tidak terkendali. Sementara pada saat yang sama daya beli masyarakat jatuh.
Terkait dengan sumber lain PDI
Perjuangan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit kinerja dan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap Bank Indonesia mengingat kurang
efektifnya bank sentral itu mengelola nilai tukar.
Ketua DPP PDIP bidang Ekonomi, Hendrawan
Supratikno mengatakan permintaan itu mendesak diajukan mengingat nilai rupiah
sudah anjlok hingga di atas 18% sejak Januari lalu. Padahal, selama 2014,
pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hanya 1,74%.
Dalam keterangannya kepada wartawan
Hendrawan meminta otoritas Bank Indonesia bertindak secara tegas dan
antisipatif dalam menjaga nilai tukar rupiah. Selan itu, BI juga diminta untuk
memberi bobot lebih pada penguatan kurs dalam kebijakan moneter.
Meski mengaku tidak curiga dengan
tindakan intervensi yang diambil terkait penguatan kurs, namun Hendrawan
mempertanyakan beberapa pernyataan yang dikeluarkan BI.
Beliau mencontohkan pernyataan yang
menyebutkan bahwa meskipun melemah terhadap dolar AS, rupiah menguat terhadap
mata uang lain. Beliau juga mengkhawatirkan spekulasi pasar bahwa rupiah akan
menembus angka psikologis Rp15.000 per dolar AS kalau antisipasi BI tidak
efektif.
Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR
Juliari Batubara mengatakan kebijakan yang ditunggu masyarakat dari pemerintah
saat ini adalah kebijakan konkret yang langsung bisa dirasakan. Menurutnya,
pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat melemahnya nilai tukar rupiah sudah
sangat mengkhawatirkan sehingga diperlukan tindakan konkret.
Untuk itu, beliau meminta BI menurunkan
tingkat suku bunga acuan sebagaimana yang juga dilakukan oleh negara lain agar
sektor industri tidak kian terpukul. Selain itu, pemerintah juga perlu
menurunkan pajak korporasi sebagaimana yang diakukan di Amerika Serikat.\
D. Hubungan BPK, DPR dan DPRD
Badan pemeriksa Keuangan Republik
Indonesia atau biasa disebut dengan BPK adalah lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara.
Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga
yang bebas dan mandiri. Adapun Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau yang biasa disebut DPR adalah salah
satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan
lembaga perwakilan rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau juga
biasa disebut dengan DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah di
provinsi/kabupaten/kota di Indonesia. DPRD disebutkan dalam UUD 1945 pasal 13
ayat 3: Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang
anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. DPRD kemudian di atur lebih
lanjut dengan undang-undang, terakhir melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun
2014.
Hubungan: Sesuai dengan amanat UUD 1945,
keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan satu lembaga negara
republik Indonesia yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara. Hasil pemeriksaan tersebut di serahkan kepada lembaga perwakilan yakni
DPR, DPD, dan DPRD untuk di jadikan dasar bagi mereka untuk menindak lanjuti
hasil pemeriksaan BPK tersebut sesuai dengan kewenangannya.
Di dalam konstitusi, kedudukan lembaga
perwakilan tampak cukup jelas memegang peranan cukup penting dan startegis
untuk memastikan penilaian dan rekomdasi BPK atas kinerja sektor publik dapat
di terima dan dapat di tindak lanjuti.
BPK
Mandat Audit
DPR, DPD, DPRD ENTITIE
Accountability
E. HUBUNGANPEMERINTAH
PUSAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH - DESENTRALISASI FISKAL
- Pengertian
Desentralisasi
sebagai suatu konsep:
Secara harfiah desentralisasi adlah lawn
dari kata sentralisasi yang dapat diartikan sebagai suatu pemusatan (Adjective) berkaitan dengan suatu
kewenangan (authoriti) pemerintahan, lalu ada istilah misalnya kantir pusat
pemerintah pusat dan sebagainya.
Hubungan pemerintah pusat dengan
pemerintah daereh dan Desentralisasi. Indonesia adalah sebuah negara yang
wilayahnya terbagi atas daerah-daerah Provinsi.
Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah Kabupaten dan daerah Kota. Setiap daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang
diatur dengan undang-undang.Pemerintahan
Daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah
Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Ditinjau dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah dapat dilihat dari Adanya hubungan dalam penyelenggaraan
pemerintahan, Kebijakan desentralisasi dimaksudkan untuk memberikan kewenangan
kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan
negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari
penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah
menjadi tanggung jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities
(dampak) akhir dari penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab
negara.[4]
2. Desentralisasi anggaran
pemerintah pusat dan daerah
Kinerja
pemerintah baik pusat maupun daerah seringkali diukur dengan penyerapan
anggarannya. Hal ini tidak salah, karena dengan anggaran yang terserap dengan
baik, efektif, efien dan optimal maka masyarakat dapat merasakan manfaatnya
seperti pelayanan pemerintah yang makin baik, infrastruktur yang makin banyak
dan lengkap, pertumbuhan ekonomi yang makin baik dan lain sebagainya. Lantas,
apakah suatu pemerintah dikatakan bagus kinerjanya bila anggarannya habis atau
sebaliknya, kinerjanya dianggap buruk bila anggarannya tidak terserap sehingga
masih banyak sisa hingga akhir tahun anggaran.
Tuntutan
agar pemerintah pusat/daerah menghabiskan anggaran yang sudah direncanakan
untuk tahun bersangkutan selalu memicu pengeluaran negara yang terkesan ngasal,
yang penting anggaran habis namun tidak peduli terhadap efiensi, efektivitas,
optimal tidaknya serta manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Maka
tidak aneh, diakhir tahun anggaran terutama di bulan Desember ini makin banyak
pekerjaan fisik yang dilaksanakan, makin banyak kegiatan semacam
seminar-seminar di hotel-hotel hingga menjamurnya iklan-iklan di televisi.
Ada
beberapa permasalahan yang di hadapi pemerintah yaitu
a.
Permasalahan
Perencanaan
dealnya
sistem penganggaran yang dilakukan pemerintah adalah berbasis kinerja. Namun
sayangnya sampai saat ini hal ini belum bisa dilaksanakan dengan semestinya.
Anggaran yang dibuat dari tahun ketahun tidak banyak jauh berbeda yaitu masih
dengan menambahkan sekian persen dari tahun sebelumnya. Pola penganggaran juga
belum banyak berubah yaitu mengusulkan sebanyak-banyaknya karena bila nanti ada
yang dipotong/tidak disetujui, masih tersedia banyak dana yang bisa digunakan.
Anggaran dibuat bukan berdasarkan kebutuhan real namun yang dipentingkan adalah
banyak alokasi anggaran. Akibatnya banyak item anggaran yang relatif sama
dengan tahun sebelumnya sedangkan kebutuhan masyarakat tidak lagi sama atau
prioritasnya telah berubah dan duplikasi anggaran diberbagai kegiatan Hal ini
juga menyebabkan tetap tersedianya anggaran untuk kegiatan yang semestinya
tidak berulang setiap tahun. Misalnya pembuatan master plan yang seharusnya
hanya satu kali saja dibuat.
b. Permasalahan
Pelaksanaan
Perencanaan
anggaran yang kurang baik jelas berimbas pada pelaksanaan anggarannya. Anggaran
yang dibuat bukan berdasarkan kebutuhan jelas tidak membuat pelaksanaannya
harus dilaksanakan secepat mungkin. Contohnya anggaran pengadaan komputer pada
suatu kantor yang masih memadai peralatan komputernya. Karena bukan kebutuhan
mendesak namun tetap dianggarkan, maka tidak harus buru-buru membelinya.
Barulah menjelang akhir tahun dilakukan pembelian agar dananya terserap habis.
Padahal bila memang dibutuhkan, tentulah komputer tersebut akan dibeli diawal
tahun agar dapat segera digunakan untuk melaksanakan pekerjaan. Maka anggaran
akhir taun bisa terserap habis.[5]
Anggaran
yang dihabiskan belum tentu juga memberikan manfaat pada masyarakat. Hal ini
tergantung komposisi anggaran yang dibuat sebelumnya. Bila anggaran lebih
banyak diperuntukkan bagi insfrastruktur, pelayanan kesehatan, pendidikan dan
pemberdayaan masyarakat, tentu hal ini akan sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Namun bila lebih banyak anggaran belanja pegawai, hibah, bantuan sosial dan
belanja operasional pemerintahan tentulah diragukan besarnya manfaat yang akan
dirasakan masyarakat akan anggaran tersebut. Cukup banyak contoh dimana suatu
daerah yang anggarannya bisa terserap hingga mendekati seratus persen namun
infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat tidak kunjung ada perbaikan.
Masalah
anggaran pemerintah tidak sesederhana apakah telah terserap semuanya atau masih
banyak yang tersisa. Masalah anggaran ini bermula dari perencanaannya dan berlanjut
hingga ke pelaksanaannya. Selama tidak ada kemauan dari berbagai pihak, maka
anggaran pemerintah tidak dapat dimanfaatkan optimal untuk melayani masyarat
dan membuat rakyat sejahtera. Anggaran hanya menjadi suatu rutinitas yang wajib
dilaksanakan tanpa peduli apa yang akan dihasilkan/diberikan pada
masyarakat/rakyat.
Alasan
rendahnya penyerapan anggaran di kementerian yang disampaikan pemerintah
dinilai aneh. Pemerintah menilai masa pembahasan anggaran cukup lama antara
Dewan Perwakilan Rakyat dan Kementerian Keuangan sehingga waktu sisa
pelaksanaan lebih sedikit daripada saat pembahasan masalah anggaran.
Ketua
Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengatakan, pembahasan anggaran di DPR sudah sesuai
dengan waktu penyampaian nota keuangan oleh Presiden ke DPR dan penyampaian
Pagu Sementara Kementerian/Lembaga oleh Kementerian Keuangan ke Badan Anggaran
DPR.
"Jika
pemerintah merasa waktu yang tersedia untuk merealisasikan anggaran tinggal
sedikit, harusnya pemerintah melakukan penyesuaian dalam mengajukan rencana pembahasan
ke DPR," kata Mahfudz, melalui pesan singkat, Jumat (28/12/2012).
Hal
itu dikatakan Mahfudz menyikapi evaluasi kinerja kementerian di 2012 yang
disampaikan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
dalam Sidang Kabinet Paripurna, Kamis kemarin. Salah satu yang disoroti adalah
rendahnya penyerapan anggaran negara.
Seperti
diberitakan sebelumnya, penyerapan anggaran kementerian cenderung menumpuk pada
akhir tahun. Bahkan, menurut Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran (Fitra), enam kementerian menyerap anggaran kurang dari 20 persen.
Keenam
kementerian itu adalah Kementerian Perumahan Rakyat (penyerapan baru 1,9
persen), Kementerian Pemuda dan Olahraga (4,2 persen), Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (10,8 persen), Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal
(10,9 persen), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (17,8 persen), serta
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (19,3 persen).
Pemerintah
memangkas alokasi anggaran belanja Kementerian dan Lembaga (K/L) dalam
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016. Sebaliknya,
pemerintah memperbesar dana transfer ke daerah dan dana desa masing-masing
menjadi Rp 735,2 triliun dan Rp 47 triliun. Jumlahnya lebih besar masing-masing
14 persen dan lebih 100 persen dari anggaran belanja tahun ini.
“Tahun
ini pertama kalinya dana transfer (ke daerah) lebih besar dari (belanja) K/L,”
kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas Sofyan Djalil
dalam konferensi pers bersama sejumlah menteri untuk menjelaskan detail RAPBN
2016 di Gedung Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, Jumat (14/8).[6]
Dalam
kesempatan tersebut, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menimpali, kebijakan
memperbesar dana ke daerah ketimbang dana belanja K/L tersebut untuk menegaskan
desentralisasi anggaran. Selain memberi kewenangan secara politik kepada
daerah, perlu juga melimpahkan kewenangan anggaran. “Dana KL itu operasional
dan terkadang bertabrakan dengan kewenangan daerah,” katanya.
Namun,
untuk memastikan dana transfer ke daerah itu terserap untuk pembangunan dan
tidak disimpan di perbankan, pemerintah mengusulkan adanya surat utang negara
(SUN) bagi daerah-daerah yang memiliki anggaran berlebih. Nantinya, pemerintah
pusat akan menentukan daerah mana saja yang memperoleh dana transfer daerah
berupa SUN berdasarkan berbagai indikator.
Ekonom
Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai agak sulit kalau pemerintah
mengandalkan belanja daerah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5
persen tahun depan. Pasalnya, selama ini, penyerapan anggaran oleh pemerintah
daerah lamban. Jadi, pemerintah pusat perlu mengambil kebijakan tegas dan
memberikan hukuman bagi daerah yang lamban menggunakan anggarannya. “Harus
ada punishment, bisa dengan mengurangi anggarannya,” katanya.
Sementara
itu, Sofyan menekankan tiga kunci utama pemerintah dalam penggunaan anggaran
tahun depan. Pertama, pembangunan sektor-sektor unggulan. “Ada lima sektor,
yaitu kedaulatan pangan, kemaritiman dan kelautan, kedaulatan energi dan
listrik, industri, serta pariwisata.
Kedua,
pengembangan sumberdaya manusia (SDM) yaitu alokasi anggaran untuk pendidikan
dan kesehatan. “Untuk kesehatan, ini pertama kali dipenuhi anggaran 5 persen
(dari APBN),” kata Sofyan. Ketiga, mempersempit kesenjangan pendapatan
antar-daerah. Caranya dengan mengucurkan dana desa. “Ini instrumen utama
desentralisasi fiskal,”
Pembangunan
daerah sebagai bagian dari integral dari pembangunan nasional dilaksanakan
berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional
memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat munuju masyarakat madani yang bebas
korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub
sistem pemerintahan Negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah
otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan
kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi
masyarakat dan pertanggung jawaban kepada masyarakat. Dalam
rangka penyelengaraan pemerintahan pelayanan masyarakat, dan pembangunan,
pemerintahan suatu Negara pada hakikatnya mengembang tiga fungsi utama yakni :
·
Fungsi alokasi yang
meliputi antara lain, sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa
pelayanan pelayanan masyarakat.
·
Fungsi distribusi yang
meliputi, antara lain, pendapatan dan kekayaan masyarakat, pemerataan
pembangunan.
·
Dan fungsi
stabilisasi yang meliputi antara lain pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter.
Untuk
mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata
dan pertanggung jawab di Daerah secara proposional, yang diwujdukan dengan
paraturan, pembagian dan pemamfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan
pemerintah Daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan Daerah
dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan.
Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pendapatan
asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang
sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali
dari dalam wilayah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah,
hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dana perimbangan merupakan merupakan
sumber pembiayaan yang berasal dari bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan,
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya
alam, serta dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana perimbangan
tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, mengingat tujuan masing-masing
jenis sumber tersebut saling mengisi dan melengkapi.[7]
Menurut
Sidik(1999: 2) ada empat kriteria untuk menjamin sistem hubungan keuangan
Pusat-Daerah yang baik. Pertama, harus memberikan pembagian kewenangan yang
rasional dari perbagai tingkat pemerintahan mengenai penggalian sumber dana
pemerintah dan kewenangan penggunaannya; kedua, menyajikan suatu bagian
yang memadai dari sumber-sumber dana masyarakat secara keseluruhan untuk
membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi penyediaan pelayanan dan pembangunan yang
diselenggarakan pemerintah daerah; ketiga, sejauh mungkin membagi
pengeluaran pemerintah secara adil diantara daerah daerah atau
sekuranng-kurangnya memberikan prioritas pada pemerataan pelayanan kebutuhan
dasar tertentu; dan keempat, pajak dan retribusi yang dikenakan pemerintah
daerah harus sejalan dengan distribusi yang adil atas beban keseluruhan
dari pengeluaran pemerintah dalam masyarakat.[8]
Dalam
melaksanakan perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat dan Daerah tersebut
perlu memperhatikan kebutuhan pembiayaan bagi pelaksanaan kewenangan yang
menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, antara lain pembiayaan bagi politik
luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, pengelolaan moneter dan fiscal,
agama serta kewajiban pengembalian pinjaman pemerintahan Pusat. Undang-Undang
nomor 22/ 1999 juga mengatur kewenangan Daerah untuk membentuk Dana Cadangan
yang bersumber dari penerimaan daerah, serta sistem pengelolaan dan pertanggung
jawaban keuangan dalam rangka desentralisasi dilakukan oleh Kepala Daerah
kepada DPRD. Berbagai laporan keuangan Daerah ditempatkan dalam dokumen Daerah
agar dapat diketahui oleh masyarakat sehingga terwujud keterbukaan dalam
pengelolaan keuangan Daerah.
Perimbangan
keuangan antara pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah sebagaimana yang diatur
dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 1956 tidak dapat dilaksanakan sesuai yang
diharapkan, karena antara lain beberapa faktor untuk menghitung pembagian
keuangan kepala daerah belum memungkinkan untuk dipergunakan. Selain itu
mengingat berbagai jenis pajak yang merupakan sumber bagi pelaksanaan
perimbangan keuangan tersebut saat ini sudah tidak diberlakukan lagi melalui
berbagai peraturan perundangan, serta adanya kebutahan dan aspirasi masyarakat
yang berkembang dalam mendukung otonomi daerah, maka perlu ditetapkan
Undang-Undang yang mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.[9]
Undang-Undang
No 25/1999 mempunyai tujuan pokok antara lain:
1) Memberdayakan
dan meningkatkan kemampuan perekonomiann daerah.
2) Menciptakan
sistem pembiayaan daerah yang adil, proposional, rasional, transparan,
partisipatif, bertanggung jawab ( akuntabel ) dan pasti.
3) Mewujudkan
sistem perimbangan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang
mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, mendukung pelaksanaan otonomi Daerah dengan
penyelenggaraan pemerintah daerah yang transparan, memperhatikan partisipasi
masyarakat dan pertanggung jawaban kepada masyarakat, mengurangi kesenjangan
antar Daerah dalam kemampuannya untuk membiayai tanggung jawab otonominya dan
memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah
yang bersangkutan.
4) Menjadi
acuan dalam alokasi penerimaan Negara bagi daerah.
5) Mempertegas
sistem pertanggung jawaban keuangan oleh pemerintah Daerah.
6) Menjadi
pedoman pokok tentang keuangan Daerah.
Penyelenggaraan
tugas daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dibiayai atas beban APBD.
Penyelenggaraan tugas pemerintah pusat yang dilaksanakan perangkat Daerah
Propinsi dalam rangka pelaksanaan Dekosentrasi dibiayai atas beban APBN.
Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau
penyerahan kewenangan atau penugasan Pemerintah Pusat kepad Bupati/ Walikota
diikuti dengan pembiayaannya.penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah
Pusat Kepada Gubernur atau Bupati/ Walikota dapat dikukan dalam rangka
Desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan. Setiap penyerahan atau
pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat Kepada Daerah dalam rangka
desentralisasi dan dekosentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya munusia
dan sarana serta pengelokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran
pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut.
Undang-Undang
Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah menetapkan bahwa pinjaman Daerah adalah sebagai salah satu
sumber penerimaan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang dicatat
dan dikelola dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.dana pinjaman
merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah yang ada dan ditujukan
untuk membiayai pengadaan prasarana Daerah atau harga tetap lain yang berkaitan
dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan
untuk mengembalikan pinjaman serta memberikan mamfaat bagi pelayanan
masyarakat. Selain itu daerah dimungkinkan pula melakukan pinjaman dengan
tujuan lain, seperti mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan dengan arus
kas daerah. Pinjaman daerah perlu disesuaikan dengan kemampuan daerah karena
dapat menimbulkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun tahun
berikutnya yang cukup berat sehingga perlu didukung dengan keterampilan
perangkat Daerah dalam mengelola pinjaman Daerah.
Dana
perimbangan terdirid dari :
·
Dana Bagi Hasi
·
Dana Alokasi Umum
·
Dana Alokasi Khusus
Dana bagi hasil
adalah bagian daerah dari penerimaan pajak
Bumi dan Bagunan, bea perolehan Hak atas tanah dan bangunan dan penerimaan dari
sumber daya alam. Dana bagi hasil merupakan alokasi pada dasarnya memperhatikan
potensi daerah Pengahasil.
Dana alokasi
umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai
kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana alokasi
umum dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah,
luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan
masyarakat daerah, sehingga perpedaan antara daerah yang maju dan daerah yang
belum berkembang dapat diperkecil.
Dana alokasi
khusus
adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk
membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan tertentu. Dana alokasi khusus bertujuan
untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus Daerah. Dengan demikian
sejalan dengan kebutuhan pokoknya dana perimbangan dapat lebih memperdayakan
dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan
daerah yang adil, proposional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung
jawab serta memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari
wilayah daerah yang bersangkutan.
Pokok
pokok perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ( UU
nomor 33 tahun 2004 hendak mengatur suatu perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berdasarkan atas hubungan fungsi,
yaitu berupa sistem keuangan daerah yang diatur berdasarkan pembagian
kewenangan, tugas dan tanggung jawab antartingkat pemerintahan sesuai dengan
pengaturan pada UU tentang pemerintah daerah. UU perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah meliput ruang lingkup pengaturan dari: (1)prinsip-prinsip
pembiayaan fungsi pemerintah di daerah.(2)sumber-sumber pembiayaan fungsi dan
tugas tanggung jawab daerah yang meliputi: (a) pendapatn asli daerah, ( b)Dana
Perimbangan (c)pinjaman, (d)pembiayaan pelaksanaan asas dekosentrasi bagi
propinsi, (3)pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah, ( 4) sistem
informasi keuangan daerah.[10]
UU
No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Agar sesuai dengan
laju perkembangan kehidupan masyarakat, kemudian diganti dengan UU No 32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah. Sesuai dengan UU No 22 tahun 1999
yang diganti dengan UU No 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan untuk
menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali kewenangan mengenai
pemerintahan dalam bidang pertahanan, keamanan, politik luar negeri, fiscal,
moneter, peradilan, agama dan administrasi pemerintahan yang bersifat
strategis.uraian singkat tersebut menunjukan bahwa telah terjadi
berubahan-perubahan besar dalam desain kebijakan hubungan antara pemerintah
pusat yang dratis dan radikal. Tentunya perubahan ini akan berdampak positif
dan negative, bahkan rawan terhadap gejolak konflik, gonjangan krisis dan tidak
menutup kemungkinan akan terjadi konflik kalau tidak kita sikapi dengan
bijaksana. Sebab boleh jadi otonomi justru akan melahirkan raja-raja kecil
didaerah yang dapat membuka pintu keluasaan korupsi dtingkat local. Oleh karena
itu, perubahan Undang-Undang pemerintah daerah akan berimplikasi pada hubungan
keuangan pusat dan daerah, berkaitan dengan siklus pengelolaan dana yang
berasal dari pusat kepada daerah.[11]
Implementasi
kebijakan desentralisasi fiscal di Indonesia dapat dilihat dari isu poko
tersebut : pertama, pengelolaan keuangan Negara, dari sisi keuangan Negara,
kebijakan pelaksanaan desentralisasi fiscal telah membawa konsekwensi kepada perubahan
yang cukup mendasar, mengenenai pengaturan hubungan pusat dan daerah, khususnya
dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, yang dalam banyak literature disebutb
intergoverment fiscal relation.kedua, menyangkut pendapatan asli daerah. Salah
satu wujud dan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan
bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri dengan potensinya
masing-masing.
Kewenangan
pemumutan pajak dan retribusi, berdasarkan paraturan perundang-undangan yang
berlaku, daerah diberi kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan retribusi
daerah sampai saat ini, distribusi kewengan perpajakan antara daerah dan pusat
terjadi ketimpangan yang realtif besar. Ketiga, tentang bentuk-bentuk bagi
hasil. Untuk menguragi ketimpangan vertical ( vertival imbalance ) antara pusat
dan daerah dilakukan sistem bagi hasil pajak dan bukan pajak antara pusat dan
daerah. Keempat, mengenai dana alokasi umum.
Perimbangan
keuangan antara pusat daen daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah ( dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal
25 % dari penerimaan dalam negeri jadi kepastian daerah akan sumber-sumber
pendapatan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung
jawabnya.kelima, Dana Alokasi Khusus ( DAK ). Pengertian DAK adalah dana yang
berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai
kebutuahan khusus.
Alokasi
DAK ditentukan dengan memperhatikan tersediannya dana dalam APBN sesuai d engan
UU Nomor 25 Tahun 1999 Jo UU Nomor 33 tahun 2004. Adapun yang dimakud dengan
kebutuhan khusus diantaranya adalah : (a) kebutuhan yang tidak dapat
diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum; (b) kebutuhan yang
merupakan komitmen/prioritas nasional.
Setelah
UU No 32 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan Pusat dan Daerah disahkan dan
diterapkan, segera muncul permasalahan baru, terutama menyangkut soal
desentralisasi fiskla dan pengelolaan SDA. Tentu saja hal tersebut tidak
memuaskan semua pihak. Bahkan banyak pihak yang justru gundah atas adanya
implementasi tersebut. dalam hal ini desentralisasi fiscal maupun kewenangan
pengelolaan SDA, eksploitasi pusat atas daerah menjadi wacana yang tampak pada
implementasi otonomi daerah selama ini. Belum lagi soal good governance yang
juga menjadi problem besar dalam pemerintahan daerah. Pada satu sisi, adanya
problem berupa dana pemerintah pusat ke daerah yang belum sebanding dengan yang
diserap pusat dan daerah. Sedang disisi lain, dana yang ditransfer pusat tidak
dikelola maksimal oleh pemerintah daerah untuk kesejahteraan rakyat (Antara
News, 2 Januari 2008).
Idealnya
Otda menciptakan sistem pembiayaan yang adil dan seimbang. Serta memunculkan
good governance dengan pembiayaan yang akuntabel, transparan, pasti serta
partisipatif. Pemamfaatan dana perimbangan oleh Pemerintah Daerah memang belum
dimaksimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, dana perimbangan pusat
untuk daerah tetap harus sebanding dengan yang diserap pusat dan daerah
tersebut. bila tidak, ancaman desintegrasi bangsa akan terus membayangi negeri
ini.
Semangat
pemerintah Indonesia yang ingin segera dapat mewujudkan good corporate
perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak. UU no 32 tahun2004 dan UU No 33
tahun 2004 yang menitipberatkan pada pola transparansi serta akuntabilitas
jelas terlihat bahwa pemerintah menginginkan adanya pola penyusunan,
pelaksanaan dan perartanggung jawaban keuangan daerah; tidak hanya melibatkan
semua komponen masyarakat, bahkan hasil akhir dan semua itu hendak ditujukan
untuk kepentingan masyarakat.
Transparansi
mulai dilakukan oleh pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah; iklan
lelang proyek pemerintah juga sudah diatur dan mempunyai kekuatan hokum;laporan
kerja maupun pertanggung jawaban keuangan daerah juga sudah dikemas sedemikian
rupa, sehingga sangat normative, walaupun belum semua pemda melakukannya.
BAB
III
KESIMPULAN
Di
Indonesia, kebijakan fiskal mempunyai dua prioritas. Prioritas pertama adalah
mengatasi APBN, dan masalah – masalah APBN lainnya. Defisit APBN terjadi
apabila penerimaan pemerintah lebih kecil daripada pengeluarannya. Prioritas
kedua adalah mengatasi masalah stabilitas ekonomi makro, yang terkait dengan
antara lain laju pertumbuhan ekonomi, tingkat atau laju pertumbuhan inflasi,
jumlah kesempatan kerja/ penggangguran dan saldo neraca pembayaran. Apabila APBN
defisit, pemerintah hanya mempunyai dua pilihan untuk membiayai saldo negatif
tersebut, yaitu didanai oleh Bank Indoneisa lewat printing money yang berarti
jumlah uang yang beredar di masyarakat meningkat, atau melebihi pinjaman, baik
dari dalam negeri, misalnya dengan menerbitkan obligasi, atau dari luar negeri
(cara yang kedua ini berarti ekonomi tidak lagi tertutup). Karena opsi pertama
tersebut sangat berisiko terhadap peningkatan laju inflasi, maka biasanya opsi
kedua yang dipilih.
DAFTAR PUSTAKA
Ani
Sri Rahayu, pengantar Kebijakan Fiskal,
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010),
http://www.bpk.go.id/page/rencana-strategis
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_daerah_di_Indonesia
http://www.kompasiana.com/amirsyahoke/apakah-anggaran-pemerintah-harus-dihabiskan_552abad6f17e61c337d623ca
Amirsyah Oke, 02 Oktober
2015
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/12/28/11335383/Masalah.Penyerapan.Anggaran.Ada.di.Pemerintah
Jumat, 28 Desember 2012 | 11:33 WIB
Dikutip dari Deddy Supriady Bratakusumah, Ph.D dkk,2002, Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah. Gramedia : Jakarta.
Dikutip dari Edy Suandi hamid, 2005, Formula Alternatif DAU, Upaya mengatasi
ketimpangan Fiskal dalam era otonomi daerah, UII press, Yogyakarta
Prof dr Abdul Halim dan Ibnu Mujib,2009,Problem dan Perimbangan Keuangan
pemerintahan Pusat daerah.peluang dan tantangan dalam pengelolaan sumber daya
Daerah . Sekolah Paskasarjana UGM, Yogyakarta.
http://wonderwall92.blogspot.co.id/2012/12/apbn-kebijakan-fiskal-dan-utang-luar.html
[1]Ani Sri Rahayu, pengantar Kebijakan Fiskal, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2010), hlm 269
[2]http://wonderwall92.blogspot.co.id/2012/12/apbn-kebijakan-fiskal-dan-utang-luar.html
[3]
http://www.bpk.go.id/page/rencana-strategis
[5]http://www.kompasiana.com/amirsyahoke/apakah-anggaran-pemerintah-harus-dihabiskan_552abad6f17e61c337d623ca
Amirsyah Oke, 02 Oktober
2015
[6]http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/12/28/11335383/Masalah.Penyerapan.Anggaran.Ada.di.Pemerintah
Jumat, 28 Desember 2012 | 11:33 WIB
[7]
Dikutip dari Deddy Supriady Bratakusumah, Ph.D dkk,2002, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Gramedia :
Jakarta. Hlm 168-169
[8]
Ibid Hlm 170
[9] Dikutip
dari Edy Suandi hamid, 2005, Formula
Alternatif DAU, Upaya mengatasi ketimpangan Fiskal dalam era otonomi daerah,
UII press, Yogyakarta Hlm 12-13
[10] Prof dr
Abdul Halim dan Ibnu Mujib,2009,Problem
dan Perimbangan Keuangan pemerintahan Pusat daerah.peluang dan tantangan dalam
pengelolaan sumber daya Daerah . Sekolah Paskasarjana UGM, Yogyakarta hlm
13
[11] Ibid hlm 23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar