BAB I
PENDAHULUAN
Secara umum studi Islam bertujuan untuk menggali kembali
dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang ada dalam sumber
dasarnya yang bersifat hakiki, universal
dan dinamis serta abadi (eternal), untuk dihadapkan atau dipertemukan dengan
budaya dan dunia modern,agar mampu memberikan alternatif pemecahan permasalahan
yang dihadapi oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Dengan tujuan tersebut, maka studi Islam akan menggunakan cara pendekatan yang
sekiranya relevan[1].
Memahami suatu agama diperlukan berbagai pendekatan diantaranya
melalui pendekatan teologis normatif, antopologis, sosiologis, historis,
filosofis, dan kebudayaan. Hal itu dilakukan agar melalui pendekatan tersebut
kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya
, tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi
sulit dipahami oleh masyarakat dan tidak fungsional[2].
Pendekatan teologis normatif adalah pendekatan yang menekankan pada
bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan, yang masing-masing mengklaim
dirinya paling benar, sedangkan yang lain adalah salah. Pendekatan antropologis
dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama
dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Pendekatan sosiologis dapat diartikan sebagaimana pendekatan agama
melalui ilmu-ilmu sosial, karena di dalam agama banyak timbul permasalahan
sosial. Melalui pendekatan ini agama dapat dipahami dengan mudah karena agama
itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Pendekatan historis adalah
pendekatan agama melalui ilmu sejarah. Pendekatan filosofis dapat diartikan
sebagai upaya pendekatan agama melalui ilmu filsafat dengan tujuan agama dapat
dimengerti dan dipahami dengan seksama. Pendekatan kebudayaan adlah pendekatan
melalui budaya seperti kepercayaan, kesenian, adat istriadat. Misalnya cara
berpakaian di saat resepsi pernikahan, kehidupan sehari-hari, pergaulan antara
pria dan wanita dan upacara-upacara keagamaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kebudayaan:
Pengertian, dan Unsur-unsurnya
Ada tiga istilah yang semakna dengan kebudayaan, yaitu culture,
civilization, dan kebudayaan. Term kultur berasal dari bahasa Latin, yaitu dari
kata cultura. Arti kultur adalah memelihara, mengerjakan atau mengolah (S.
Takdir Alisyahbana, 1986: 205). Soerjono Soekanto (1993: 188) mengungkapkan hal
yang sama. Namun ia menjelaskan lebih jauh bahwa yang dimaksud dengan mengolah
atau mengerjakan sebagai arti kultur adalah mengolah tanah atau bertani. Atas
dasar arti yang dikandungnya, kebudayaan kemudian dimaknai sebagai segala daya
dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam[3].
Istilah kedua yang semakna atau hampir sama dengan kebudayaan
adalah sivilisasi. Sivilisasi (civilization) berasal dari kata Latin, yaitu
civis. Arti kata civis adalah warga negara (civitas: negara kota, dan
civilitas: kewarganegaraan). Oleh karena itu, S.Takdir Alisyahbana (1986: 206)
menjelaskan bahwa sivilisasi berhubungan dengan kehidupan kota yang lebih
progresif dan lebih halus. Dalam Bahasa Indonesia , peradapan dianggap sepadan
dengan civilization.
Berikut beberapa pengertian kebudayaan menurut S.Takdir Alisyahbana
(1986: 207-8)[4]
:
1.
Kebudayaan
adalah suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang
berbeda-beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat
istiadat dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
2.
Kebudayaan
adalah warisan sosial atau tradisi.
3.
Kebudayaan adalah
cara, aturan, dan jalan hidup manusia.
4.
Kebudayaan
adalah penyesuaian manusia terhadap alam sekitarnya dan cara-cara menyelesaikan
persoalan.
5.
Kebudayaan
adalah hasil perbuatan atau kecerdasan manusia.
6.
Kebudayaan
adalah hasil pergaulan atau perkumpulan manusia.
Unsur-unsur
kebudayaan dalam pandangan Malinowski adalah sebagai berikut[5] :
1.
Sistem norma
yang memungkinkan terjadinya kerjasama antara para anggota masyarakat dalam
upaya menguasai alam sekelilingnya.
2.
Organisasi
ekonomi.
3.
Alat-alat dan
lembaga atau petugas pendidikan
4.
Organisasi
kekuatan.
Dengan istilah
teknis yang berbeda tetapi sama dari segi substansi, sambil mengutip pendapat
Herskovits, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (1964) mengajukan empat
unsur kebudayaan, yaitu technological equipment (alat-alat teknologi), economic
system (sistem ekonomi), family (keluarga, dan political control (kekuasaan
politik).
Di samping itu,
terdapat unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal (cultural universal),
karena dapat dijumpai pada setiap kebudayaan yang ada di dunia ini. C.
Kluckhohn, seorang antropolog, telah menguraikan ulasan para sarjana mengenai
hal itu yang disederhamanakan menjadi tujuh. Tujuh unsur yang dianggapnya
sebagai cultural universal adalah sebagai berikut:
1.
Peralatan dan
perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga,
senjata, alat-alat produksi, dan alat-alat transportasi).
2.
Mata
pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi,
dan sistem distribusi).
3.
Sitem
kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, dan
sistem perkawinan).
4.
Bahasa (lisan
dan tulisan).
5.
Kesenian (seni
rupa, seni suara, dan seni gerak).
6.
Sistem
pengetahuan.
7.
Religi (sistem
kepercayaan).
Kebudayaan
mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Berbagai
kekuatan yang dihadapi manusia seperti kekuatan alam dan kekuatan-kekuatan
lainnya tidak selalu baik baginya. Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi
atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi
masyarakat. Teknologi paling sedikit meliputi tujuh unsur, yaitu alat-alat
produktif, senjata, wadah, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat
berlindung, dan alat-alat transportasi.
B.
Pendekatan
Kebudayaan Terhadap Agama
Konsep mengenai kebudayaan yang dikemukakan seperti tersebut diatas
itulah yang dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk mendata dan
mengkaji serta memahami agama. Bila agama dilihat dengan menggunakan kacamata
agama, maka agama diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah
pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh para warga
masyarakat tersebut. Agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan
keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat; yaitu, pengetahuan dan
keyakinan yang kudus dan sakral yang dapat dibedakan dari pengetahuan dan
keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi ciri dari kebudayaan.
Pada waktu kita melihat dan memperlakukan agama sebagai kebudayaan
maka yang kita lihat adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam
masyarakat manusia, dan bukan agama yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab
suci Al Qur’an dan Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam
masyarakat, maka agama menjadi bercorak lokal; yaitu, lokal sesuai dengan
kebudayaan dari masyarakat tersebut. Mengapa demikian? untuk dapat menjadi
pengetahuan dan keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus
melakukan berbagai proses perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang
bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga
harus dapat mensesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta
unsur-unsur kebudayaan yang ada, sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari
kebudayaan tersebut. Dengan demikian maka agama akan dapat menjadi nilai-nilai
budaya dari kebudayaan tersebut.
Bila agama telah menjadi bagian dari kebudayaan maka agama juga
menjadi bagian dari nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan
demikian, maka berbagai tindakan yang dilakukan oleh para warga masyarakat
untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga
akan berlandaskan pada etos agama yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai
etika dan moral agama akan terserap dan tercermin dalam berbagai pranata yang
ada dalam masyarakat tersebut. Sebaliknya, bila yang menjadi inti dan yang
hakiki dari kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai budaya yang lain, maka
nilai-nilai etika dan moral dari agama yang dipeluk oleh masyarakat tersebut
hanya akan menjadi pemanis mulut saja atau hanya penting untuk upacara-upacara
saja.
Apakah
gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap agama. Yang terutama adalah
kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang
dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya. Kegunaan kedua, sebagai
hasil lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat mengarahkan dan
menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh para warga masyarakat tersebut
sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama tersebut, tanpa harus menimbulkan
pertentangan dengan para warga masyarakat tersebut. Yang ketiga, seringkali
sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat
berbeda dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi
lokal tersebut maka kita dapat menjadi lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal
tersebut, karena memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama
masyarakat tersebut dirubah maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam
berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut yang akhirnya akan
menghasilkan perubahan kebudayaan yang hanya akan merugikan masyarakat tersebut
karena tidak sesuai dengan kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat
tersebut.
C.
Islam dan Budaya
Indonesia
Dakwah Islam ke Indonesia lengkap dengan seni dan kebudayaannya,
maka Islam tidak lepas dari budaya Arab. Permulaan berkembangnya Islam
diIndonesia, dirasakan demikian sulit untuk mengantisipasi adanya
perbedaanantara ajaran Islam dengan kebudayaan Arab. Tumbuh kembangnya Islam di Indonesia diolah sedemikian rupa
oleh para juru dakwah dengan melalui berbagai macam cara, baik melalui bahasa
maupun budaya seperti halnya dilakukan oleh para wali Allah di Pulau Jawa. Para
wali Allah tersebut dengan segala kehebatannya dapat menerapkan ajaran dengan
melalui bahasa dan budaya daerah setempat, sehingga masyarakat secara tidak
sengaja dapat memperoleh nilai-nilai Islam yang pada akhirnya dapat mengemas
dan berubah menjadi adat istiadat di dalam hidup dan kehidupan sehari-hari dan
secara langsung merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan bangsa
Indonesia, misalnya: setiap diadakan upacara-upacara adat banyak menggunakan
bahasa Arab (Al-Qur’an), yang sudah secara langsung masuk ke dalam bahasa
daerah dan Indonesia, hal tersebut tidak disadari bahwa sebenarnya yang
dilaksanakan tidak lain adalah ajaran-ajaran Islam.
Ajaran-ajaran Islam yang bersifat komprehensif dan menyeluruh juga
dapat disaksikan dalam hal melaksanakan hari raya Idul Fitri 1 Syawal yang pada
awalnya sebenarnya dirayakan secara bersama dan serentak oleh seluruh umat
Islam dimanapun mereka berada, namun yang kemudian berkembang di Indonesia
bahwa segenap lapisan masyarakat tanpa pandang bulu dengan tidak memandang
agama dan keyakinannya secara bersama-sama mengadakan syawalan (halal bil
halal) selama satu bulan penuh dalam bulan syawal, hal inilah yang pada
hakikatnya berasal dari nilai-nilai ajaran Islam, yaitu mewujudkan ikatan tali
persaudaraan di antara sesama handai tolan dengan cara saling bersilaturahmi
satu sama lain, sehingga dapat terjalin suasana akrab dalam keluarga.
Berkaitan dengan nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Indonesia yang
lain, juga dapat dikemukakan yaitu sesuai dengan perkembangan zaman terutama
ciri dan corak bangunan masjid di Indonesia yang juga mengalami tumbuh kembang,
baik terdiri dari masjid-masjid tua maupun yang baru dibangun, misal:
masjid-masjid yang dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pada
umumnya hampir mirip dengan bentuk joglo yang berseni budaya Jawa. Perkembangan
budaya Islam yang terdapat pada masjid, secara nyata dapat ditunjukkan yaitu adanya masjid-masjid tua
yang kemudian diperbaiki dengan ditambah konstruksi baru atau mengganti
tiang-tiang kayu dengan tiang batu atau beton, lantai batu dengan ubin dan
dinding sekat dengan tembok kayu[6].
Peninggalan Islam yang dapat kita saksikan hari ini merupakan
perpaduan antara kebudayaan Islam dan kebudayaan setempat. Hasil-hasil
kebudayaan yang bercorak Islam dapat kita temukan antara lain dalam bentuk
bangunan (masjid, makam) dan seni :
a
Peninggalan
dalam Bentuk Bangunan
Bangunan yang menjadi ciri khas
Islam antara lain ialah masjid, istana/keraton, dan makam (nisan)[7] :
1)
Masjid
Masjid merupakan tempat salat umat Islam. Masjid tersebar di
berbagai daerah. Namun, biasanya masjid didirikan pada tepi barat alun-alun
dekat istana. Alun-alun adalah tempat bertemunya rakyat dan rajanya. Masjid
merupakan tempat bersatunya rakyat dan rajanya sebagai sesama mahkluk Illahi
dengan Tuhan. Raja akan bertindak sebagai imam dalam memimpin salat. Bentuk dan
ukuran masjid bermacam-macam. Namun, yang merupakan ciri khas sebuah masjid
ialah atap (kubahnya). Masjid di Indonesia umumnya atap yang bersusun, makin ke
atas makin kecil, dan tingkatan yang paling atas biasanya berbentuk limas.
Jumlah atapnya selalu ganjil. Bentuk ini mengingatkan kita pada bentuk atap
candi yang denahnya bujur sangkar dan selalu bersusun serta puncak stupa yang
adakalanya berbentuk susunan payung-payung yang terbuka. Dengan demikian,
masjid denganbentuk seperti ini mendapat pengaruh dari Hindu-Budha. Beberapa di
antara masjid-masjid khas Indonesia memiliki menara, tempat muadzin menyuarakan
adzan dan memukul bedug. Contohnya menara Masjid Kudus yang memiliki bentuk dan
struktur bangunan yang mirip dengan bale kul-kul di Pura Taman Ayun. Kul-kul
memiliki fungsi yang sama dengan menara, yakni memberi informasi atau tanda
kepada masyarakat mengenai berbagai hal berkaitan dengan kegiatan suci atau
yang lain dengan dipukulnya kul-kul dengan irama tertentu.
Peninggalan sejarah Islam dalam bentuk masjid, dapat kita lihat
antara lain pada beberapa masjid berikut :
·
Masjid Banten
(bangun beratap tumpang)
·
Masjid Demak
(dibangun para wali)
·
Masjid Kudus
(memiliki menara yang bangun dasarnya serupa meru)
·
Masjid Keraton
Surakarta, Yogyakarta, Cirebon (beratap tumpang)
·
Masjid Agung
Pondok Tinggi (beratap tumpang)
·
Masjid tua di
Kotawaringin, Kalimantan Tengah (dibangun ulama penyebar siar pertama di
Kalteng)
·
(7) Masjid Raya
Aceh, Masjid Raya Deli (dibangun zaman Sultan Iskandar Muda)
2)
Makam dan Nisan
Makam memiliki daya tarik tersendiri karena merupakan hasil
kebudayaan. Makam biasanya memiliki batu nisan. Di samping kebesaran nama orang
yang dikebumikan pada makam tersebut, biasanya batu nisannya pun memiliki nilai
budaya tinggi. Makam yang terkenal antara lain makam para anggota Walisongo dan
makam raja-raja.
Pada makam orang-orang penting atau terhormat didirikan sebuah
rumah yang disebut cungkup atau kubah dalam bentuk yang sangat indah dan megah.
Misalnya, makam Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan sunan-sunan besar yang lain.
Peninggalan sejarah Islam dalam bentuk makam dapat kita lihat
antara lain pada beberapa makam berikut.
·
Makam Sunan
Langkat (di halaman dalam masjid Azisi, Langkat)
·
Makam Walisongo
·
Makam Imogiri
(Yogyakarta)
·
Makam Raja Gowa
Peninggalan
sejarah Islam dalam bentuk nisan dapat kita lihat antara lain pada beberapa
nisan berikut :
·
Di Leran,
Gresik (Jawa timur) terdapat batu nisan bertuliskan bahasa dan huruf Arab, yang
memuat keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah binti
Maimun yang berangka tahun 475 Hijriah (1082 M);
·
Di Sumatra (di
pantai timur laut Aceh utara) ditemukan batu nisan Sultan Malik alsaleh yang
berangka tahun 696 Hijriah (!297 M);
·
Di Sulawesi
Selatan, ditemukan batu nisan Sultan Hasanuddin;
·
Di Banjarmasin,
ditemukan batu nisan Sultan Suryana Syah; dan
·
Batu nisan di
Troloyo dan Trowulan.
b
Peninggalan
dalam Bentuk Karya Seni
Peninggalan Islam dapat juga kita
temui dalam bentuk karya seni seperti seni ukir, seni pahat, seni pertunjukan,
seni lukis, dan seni sastra. Seni ukir dan seni pahat ini dapat dijumpai pada
masjid-masjid di Jepara. Seni pertunjukan berupa rebana dan tarian, misalnya
tarian Seudati. Pada seni aksara, terdapat tulisan berupa huruf arab-melayu,
yaitu tulisan arab yang tidak memakai tanda (harakat, biasa disebut arab
gundul). Salah satu peninggalan Islam yang cukup menarik dalam seni tulis ialah
kaligrafi. Kaligrafi adalah menggambar dengan menggunakan huruf-huruf arab.
Kaligrafi dapat ditemukan pada makam Malik As-Saleh dari Samudra Pasai.
Karya sastra yang dihasilkan cukup
beragam. Para seniman muslim menghasilkan beberapa karya sastra antara lain
berupa syair, hikayat, suluk, babad, dan kitab-kitab. Syair banyak dihasilkan
oleh penyair Islam, Hamzah Fansuri. Karyanya yang terkenal adalah Syair Dagang,
Syair Perahu, Syair Si Burung Pangi, dan Syair Si Dang Fakir. Syair-syair
sejarah peninggalan Islam antara lain Syair Kompeni Walanda, Syair Perang
Banjarmasin, dan Syair Himop. Syair-syair fiksi antara lain Syair Ikan Terumbuk
dan Syair Ken Tambunan.
Hikayat adalah karya sastra yang
berisi cerita atau dongeng yang sering dikaitkan dengan tokoh sejarah.
Peninggalan Islam berupa hikayat antara lain, Hikayat Raja Raja Pasai, Hikayat
Si Miskin (Hikayat Marakarma), Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Amir Hamzah,
Hikayat Hang Tuah, dan Hikayat Jauhar Manikam.
Suluk adalah kitab-kitab yang berisi
ajaran-ajaran tasawuf. Peninggalan Islam berupa suluk antara lain Suluk Wujil,
Suluk Sunan Bonang, Suluk Sukarsa, Suluk Syarab al Asyiqin, dan Suluk Malang
Sumirang.
Babad adalah cerita sejarah tetapi
banyak bercampur dengan mitos dan kepercayaan masyarakat yang kadang tidak
masuk akal. Peninggalan Islam berupa babad antara lain Babad Tanah Jawi, Babad
Sejarah Melayu (Salawat Ussalatin), Babad Raja-Raja Riau, Babad Demak, Babad
Cirebon, Babad Gianti.
Adapun kitab-kitab peninggalan Islam
antara lain Kitab Manik Maya, Us-Salatin Kitab Sasana-Sunu, Kitab Nitisastra,
Kitab Nitisruti, serta Sastra Gending karya Sultan Agung[8].
BAB III
KESIMPULAN
Ada tiga istilah yang semakna dengan kebudayaan, yaitu culture,
civilization, dan kebudayaan. Term kultur berasal dari bahasa Latin, yaitu dari
kata cultura. Arti kultur adalah memelihara, mengerjakan atau mengolah (S.
Takdir Alisyahbana, 1986: 205). Soerjono Soekanto (1993: 188) mengungkapkan hal
yang sama. Namun ia menjelaskan lebih jauh bahwa yang dimaksud dengan mengolah
atau mengerjakan sebagai arti kultur adalah mengolah tanah atau bertani. Atas
dasar arti yang dikandungnya, kebudayaan kemudian dimaknai sebagai segala daya
dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
[1]
Muhaimin,
Prof. Dr, dkk ,Kawasan dan wawasan studi Islam hal 12, Jakarta: Prenada media,
2005
[2] Akhmad
Taufik, Metodologi Studi Islam hal 13 Malang: Bayumedia Publishing, 2004.
[3]
Atang,
Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam hal 27-29 Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1999.
[4]
Ibid
hal 31
[5]
Hakim,
Atang Abd, Drs, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1999, hal 43, cet 1.
[6]
Hakim,
Atang Abd, Drs, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1999, hal 43, cet 1.
[7]http://afand.cybermq.com/post/detail/2259/peninggalan-peninggalan-sejarah-bercorak-islam\
[8]
http://afand.cybermq.com/post/detail/2259/peninggalan-peninggalan-sejarah-bercorak-islam\
Tidak ada komentar:
Posting Komentar