A. Pencemaran Nama Baik (Ujaran Kebencian)
Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi telah mempengaruhi banyak aspek kehidupan
manusia yang fundamental, khususnya dalam berkomunikasi dan bertransaksi.
Teknologi telah memberikan manfaat positif bagi masyarakat luas. Komunikasi dan
transaksi yang menjadi kebutuhan manusia saat ini dapat dilakukan dari mana
saja serta kapan saja dengan bantuan media elektronik dan internet. Selain itu,
komunikasi dan transaksi menjadi semakin cepat dan semakin murah. Komunikasi
menyentuh segala aspek kehidupan, dan dengan komunikasi kita membentuk saling
pengertian menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan
pengetahuan, dan melestarikan peradaban.
Akan tetapi
teknologi atau media juga dapat disalah gunakan, sehingga menimbulkan berbagai
permasalahan hukum maupun etika sehingga dengan komunikasi kita juga
menyuburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian,
merintangi kemajuan dan menghambat pemikiran. Bahkan Marshall McLuhan
berpendapat bahwa walaupun media membuat informasi menjadi lebih mudah
diperoleh secara meluas oleh semakin banyak orang, namun media ini juga
membangkitkan alienasi dan kehilangan wujud pada banyak orang.[1]
Sehingga
masyarakat membutuhkan hukum karena pada dasarnya merupakan batasan bagi
masyarakat dalam bertingkah laku yang terhadap pelanggarannya dapat dijatuhkan
sanksi dari Negara. Masyarakat juga memerlukan etika yang merupakan aturan
mengenai benar dan salah, baik dan buruk, dalam bertingkahlaku dari segi moral.
Hukum diperlukan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, untuk menjaga
kepentingan individu maupun masyarakat dan Negara, serta memberikan keadilan
baik secara individu maupun kolektif. Dan etika diperlukan dalam berkomunikasi
agar para pihak dapat saling menjaga hak dan kewajibannya masing-masing.
1. Pengertian
Pencemaran Nama Baik Dalam Ujaran Kebencian
Pada
dasarnya ujaran kebencian (Hate Speech) adalah Perkataan, perilaku,
tulisan ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya
tindakan kekerasan dan memiliki dampak yang merendahkan harkat martabat manusia
dan kemanusiaan serta menyebabkan sikap
prasangka dari pihak pelaku pernyataan tersebut atau korban dari tindakan tersebut.[2]
Persoalan
mengenai ujaran kebencian di era modernisasi informasi semakin mendapatkan
perhatian dari masyarakat, baik nasional maupun internasional seiring dengan
meningkatnya tingkat kepedulian masyarakat terhadap isu pelanggaran HAM. Isu
pelanggaran HAM merupakan titik awal dari kasus-kasus yang sering dilaporkan
kepada pihak kepolisian terutama dalam hal pencemaran nama baik yang sering
disalah artikan dengan kebebasan berpendapat namun dalam ranah informasi
menyebabkan tersudutnya posisi si tertuduh dalam pencemaran nama baik tersebut.
Pencemaran
nama baik sendiri adalah menyerang nama baik dan kehormatan seseorang, yang
bukan dalam arti seksual, sehingga orang itu merasa dirugikan. Kejahatan yang
berkaitan dengan bidang seksual tidak termasuk dalam bidang pencemaran nama
baik disini, melainkan termasuk dalam ruang lingkup kejahatan kesusilaan atau
kejahatan terhadap kesopanan.
Pencemaran
nama baik merupakan sebuah proses, perbuatan atau cara menghina atau menista
baik itu dilakukan secara lisan maupun dengan tulisan. Sedangkan menghina adalah
merendahkan atau memandang rendah, memburukkan nama seseorang, dan menyinggung
perasaan orang lain. Pencemaran nama baik sendiri juga merupakan kata benda
dengan perubahan kata kerja kepada penghinaan yaitu menyerang kehormatan atau
nama baik seseorang, penghinaan asal kata dari kata hina yang berarti rendah
kedudukannya atau martabatnya, keji,
tercela, tidak baik kelakuan maupun perbuatannya.[3]
R. Soesilo
menyatakan bahwa tindak kejahatan menghina adalah menyerang seseorang dengan
nama baik seseorang. Ber-akibat, yang diserang merasa malu. Kehormatan yang
diserang hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik” bukan kehormatan dalam
lingkup seksual atau kehormatan yang dicemarkan karena tersinggung anggota
kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.[4]
Seseorang
seperti yang diungkapkan oleh R.Soesilo haruslah pribadi kodrati (naturlijck
person) dan bukan pribadi hukum (recht person). Pribadi hukum tidak
mungkin mempunyai perasaan terhina atau nama baiknya tercemar mengingat pribadi
hukum merupakan abstraksi hukum. Meskipun pribadi hukum direpresentasikan oleh
pengurus atau wakilnya yang resmi, tetapi delik penghinaan hanya dapat
ditujukan pada pribadi kodrati, sama seperti pembunuhan atau penganiayaan.[5]
Salah satu
kunci pencemaran nama baik adalah mencemarkan nama baik, mencemarkan mempunyai
arti merusak, menodai, membuat kotor dan buruk pada suatu nama (reputation)
seseorang atau kelompok orang dengan cara-cara yang tidak baik seperti
menyebarluaskan pernyataan yang tidak berdasarkan fakta. Definisi lain mengenai
perbuatan penghinaan adalah pencemaran nama baik. Diberikan oleh The
Reporter Committee On Freedom Of The Press penghinaan terjadi apabila suatu
pernyataan tidak didasarkan fakta atau bernada nista mengenai seseorang yang
teridentifikasi dipublikasikan kepada pihak ketiga, sehingga menimbulkan
kerugian terhadap reputasinya.[6]
Namun, dalam
menentukan adanya penghinaan atau pencemaran nama baik, konten dan konteks
menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Tercemar atau rusaknya nama
baik seseorang secara hakiki hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan.
Dengan kata lain, korbanlah yang dapat menilai secara subjektif tentang konten
atau bagian mana dari informasi atau dokumen elektronik yang ia rasa telah
menyerang kehormatan atau nama baiknya. Konstitusi memberikan perlindungan
terhadap harkat dan martabat seseorang sebagai salah satu hak asasi manusia.
Oleh karena itu, perlindungan hukum diberikan kepada korban, dan bukan kepada
orang lain. Orang lain tidak dapat menilai sama seperti penilaian korban.[7]
Dengan
demikian, pencemaran nama baik/penghinaan dalam ujaran kebencian adalah suatu
perbuatan yang menyerang kehormatan seseorang baik itu berdasar atas konten
maupun konteks yang mengakibatkan rusaknya nama baik atau reputasi seseorang,
yang penghinaan tersebut tidak berdasarkan fakta yang disebarkan kepada
khalayak ramai dan telah menimbulkan kerugian bagi pihak yang dihina. Dan
kehormatan yang diserang hanya mengenai kehormatan tentang nama baik dan bukan
dalam arti seksual.
2. Sumber
Hukum Rujukan Ujaran Kebencian
Didalam
setiap peraturan baru yang dikeluarkan selalu ada hukum awal yang dijadikan
sebagai sumber rujukan dalam membuat sebuah hukum baru agar tetap sesuai jalur
dan tidak menyalahi aturan hukum. Didalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015
Tentang Penanganan Ujaran Kebencian, juga disebutkan beberapa sumber hukum yang
dijadikan sebagai rujukan dari terbentuknya Surat Edaran tersebut, diantaranya:[8]
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
b) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia
c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia
d) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Ratifikasi Konvensi International Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
e) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Ratifikasi Konvensi Intentational Hak-Hak Sipil dan Politik
f) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik
g) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
h) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial
i) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi
Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
j) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial
Sumber-sumber
hukum rujukan ini sangat berkaitan dengan cyberlaw yang merupakan hukum
siber baru yang dalam perkembangannya mengalami perubahan cepat, baik dari sisi
praktis maupun implementatif. Sehingga cyberlaw tidak lagi identik
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik namun juga berakar pada hukum konvensional yang telah ada
sebelumnya, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) beserta hukum acaranya, dan peraturan
perundang-undangan lain yang tidak bisa dipisahkan dan saling berkaitan satu
sama lain baik secara langsung maupun tidak langsung.
B. Bentuk-Bentuk Ujaran Kebencian
Dalam Surat
Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian
disebutkan bahwasanya ujaran kebencian dapat berupa tindakan yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya diluar
KUHP, yang berbentuk antara lain:[9]
1. Penghinaan
2. Pencemaran
nama baik
3. Penistaan
4. Perbuatan
tidak menyenangkan
5. Memprovokasi
6. Menghasut
7. Penyebaran
berita bohong
Pencemaran
nama baik merupakan suatu hal yang menjadi konsentrasi dari pihak kepolisian
atas berbagai macam kasus yang terjadi dalam waktu setelah dikeluarkannya
SE/06/X/2015, karena pencemaran nama baik bukanlah sesuatu hal yang bisa dianggap
remeh oleh sebagian orang terutama menyangkut dunia kerja yang membutuhkan nama
yang bersih. Pencemaran nama baik dalam dunia maya atau internet dapat
dilakukan kapanpun oleh orang yang memiliki kepentingan dalam kurun waktu yang
tidak terbatas dan terjadi multiplier effect (chilling effects)
bergulir terus tanpa terkendali (snow ball), sehingga bisa diketahui
oleh lebih banyak orang dan dimungkinkan untuk di share atau disebarkan secara
luas ke orang lain.[10]
Dikatakan
oleh Kepala Biro Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Agus Rianto, alasan
dimasukkannya pencemaran nama baik sebagai salah satu bentuk ujaran kebencian adalah
karena menyangkut kepentingan orang lain. “kita masing-masing punya
kepentingan, apabila menyangkut kepentingan orang lain itu termasuk hate
speech, tetapi kan kita proses ini seperti apa perjalanannya (hukum). Tidak
bisa kebebasan itu bisa bebas sebebas-bebasnya, dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 itu
ada aturannya, tidak boleh menyinggung perasaan orang lain, tidak boleh
menyakiti orang lain, tidak boleh memecah persatuan dan kesatuan, memperhatikan
ketertiban umum, tetap ada rambu-rambunya, kan kita Negara hukum tetap
berpedoman pada hukum,” kata Agus Rianto menjelaskan.[11]
Sedangkan
penyebaran ujaran kebencian baik dalam konten dan konteks selalu memiliki
tujuan antara lain untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu
dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas. Yang dibedakan dari
aspek:[12]
1. Suku
2. Agama
3. Aliran
keagamaan
4. Keyakinan/Kepercayaan
5. Ras
6. Antar
golongan
7. Warna
kulit
8. Etnis
9. Gender
10. Kaum
difabel (cacat)
11. Orientasi
seksual
Konten serta
konteks dalam ujaran kebencian yang menistakan atau merendahkan martabat
seseorang karena latar belakang agama, suku, dan ras diperlukan penindakan
dengan cara ketegasan karena kebebasan berekspresi tidak boleh disalahgunakan
untuk menghancurkan kebebasan hak asasi orang yang lain. Sehingga sering kali
menyebabkan timbulnya konflik yang menyebabkan perpecahan baik itu intern
golongan maupun antar golongan. Konflik adalah sebuah fakta yang tidak bisa
dicegah karena timbul atas dasar rasa kebersamaan golongan yang ingin
mempertahankan kemenangan dan ujaran kebencian juga sering terdengar dari
mimbar agama, baik khutbah maupun pengajian. Tidak jarang khatib atau
penceramah menyampaikan ujaran kebencian dengan menista kelompok lain baik
intra maupun antar agama, menuduh orang, kelompok atau aliran lain sebagai
thagut dan sesat, sehingga memicu konflik yang berkaitan dengan SARA.[13]
Dan
macam-macam ujaran kebencian juga dilakukan melalui media oleh beberapa pihak ,
dalam hal ini media tersebut juga telah disebutkan dalam Surat Edaran Kapolri
Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian sebagai berikut:[14]
1. Dalam
Orasi Kegiatan Kampanye
2. Spanduk
atau Banner
3. Jejaring
Media Sosial
4. Penyampaian
Pendapat di Muka Umum (Demonstrasi)
5. Ceramah
Keagamaan
6. Media
masa cetak maupun elektronik
7. Pamflet
Euforia
kebebasan ujaran kebencian terlihat sejak masa Presiden Soeharto, yang
merajalela dan mewabah di tanah air. Wabah itu paling jelas terlihat di dunia
maya dan media sosial. Dari poin-poin diatas, potensi terbesar sumber Ujaran
Kebencian (hate speech) adalah melalui media sosial Twitter dan Facebook,
serta blog-blog independen. Media sosial Twitter dan Facebook adalah
inovasi terbesar awal abad 21 ini, karena tidak hanya sebagai media connecting
dan sharing, media sosial mampu melakukan perubahan besar dan menjadi media
kampanye politik yang efektif.
Dengan media
sosial orang dengan mudah menemukan berbagai bentuk ujaran kebencian khususnya
terkait SARA. Politisi ingin menciptakan citra yang baik pada pemilihnya dengan
cara menjatuhkan pihak lain dengan penggunaan kata-kata di spanduk, bukan untuk
masuk surga tetapi untuk masuk menduduki jabatan DPR dan menghindari masuk
kotak. Media massa mengangkat sebuah issu yang belum tentu akan kebenarannya di
masyarakat umum.[15]
Penyalahgunaan
kebebasan berekspresi dalam kebebasan beragama dan kebebasan menyampaikan
pendapat mesti dijaga bersamaan dengan penguatan rasa tanggung jawab agar tidak
menimbulkan sebuah persepsi[16] yang menyimpang. Sehingga diperlukan etika
dalam berinternet, Pepih Nugraha sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Ridwan,
seorang pewarta warga harus memiliki etika ketika berinternet (netiket).
Berikut 10 netiket bagi para pewarta warga:[17]
1. Ingatlah
orang;
2. Taat kepada standar perilaku online yang sama
kita jalani dalam kehidupan nyata;
3. Ketahuilah
dimana kita berada di ruang siber;
4. Hormati
waktu dan bandwith orang lain;
5. Buatlah
diri kita kelihatan baik ber-online;
6. Bagilah
ilmu dan keahlian;
7. Menolong
agar api peperangan tetap terkontrol;
8. Hormati
privasi orang lain;
9. Jangan
menyalahgunakan kekuasaan;
10. Maafkanlah
jika orang lain berbuat kesalahan.
C. Penanganan Pelaku Ujaran Kebencian
Banyaknya
kasus yang bermunculan di media sosial mengenai penghinaan dengan pencemaran
nama baik maupun dengan gambar meme bermuatan kata-kata pornografi yang
menyebabkan korban merasa ter-intimidasi maka korban boleh dan berhak
melaporkan kejadian tidak menyenangkan tersebut kepada pihak kepolisian dengan
tuduhan penghinaan dengan pencemaran nama baik, tentunya dengan memberikan
laporan yang sebenar-benarnya untuk diproses dalam Berita Acara Pemeriksaan
(BAP). Selanjutnya merupakan tugas dari pihak kepolisian untuk menangani hal
tersebut.
Kejadian
pencemaran nama baik juga terjadi kepada Presiden Indonesia yang dilakukan oleh
oknum yang tidak menyukai terhadap pribadi Presiden Indonesia yang menjabat
yakni Presiden Joko Widodo, kejadian pencemaran nama baik terhadap Presiden
Joko Widodo ini terjadi pada tahun 2015.[18]
Di Indonesia
tidak banyak orang yang menyukai terhadap terpilihnya Presiden Joko Widodo
dalam Pilpres 2014, dikarenakan berbagai macam alasan yang menjadi penyebab
kebencian tersebut. Tidak terkecuali Yulianus seorang dosen bergelar S3 dari
Institut Pertanian Bogor (IPB) dan juga merupakan pemimpin redaksi (Pemred) di
salah satu majalah. Dia melakukan tindakan pencemaran nama baik terhadap
Presiden Joko Widodo dengan cara mengunggah foto Presiden Joko Widodo pada saat
masih menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Unggahan foto tersebut berisikan foto
Presiden Joko Widodo bersama dengan aktris Indonesia yang bernama Nikita
Mirzani pada saat gala premier sebuah film yang berjudul “Brandal Brandal
Ciliwung” di kawasan Epicentrum, Jakarta Selatan, pada Jumat 10 Agustus 2012.
Foto tersebut kemudian di edit dengan tulisan yang mengarah kepada pornografi
yakni dengan kata “Papa Doyan Lonte” dengan menyertakan hastag #papamintapaha
dan #papadoyanlonte, 200 kali postingan di Twitter selama 12-14 Desember 2015
yang melanggar UU ITE dan UU Pornografi. Dalam pandangan Lewin dikatakan
bahwasanya setiap perbuatan atau perilaku manusia haruslah dilihat dari
konteksnya.[19] Sehingga dengan adanya #papamintapaha bisa
dikatakan sebuah pencemaran nama baik.
Kala itu,
saat Presiden Joko Widodo duduk di kursi
bioskop, Nikita setengah berlari menghampiri. Dia kemudian mengajak Jokowi
berfoto, jokowi sendiri kala itu terlihat agak terganggu karena Nikita Mirzani
menggunakan pakaian cukup seksi dan celana pendek (hot pants) yang
memperlihatkan tato di pahanya. Meski begitu, Jokowi tetap melayani foto
bersama. Ada beberapa orang yang mengabadikan moment tersebut dengan kamera
DSLR ataupun HP. Setelah berfoto bersama, Nikita pergi meningalkan Jokowi. Dia
pun menyaksikan film besutan sutradara Guntur Soeharjanto itu bersama anak-anak
yatim meski tak sampai selesai. Ketika itu Jokowi memang sangat disibukkan
dengan kegiatan kampanye Gubernur DKI Jakarta. Ketika itu, tak hanya Nikita
saja yang berfoto bersama Jokowi. Para pemain film “Brandal Brandal Ciliwung”,
anak-anak yatim, serta masyarakat yang hadir di bioskop pun berpose bersama
Jokowi. Dia meladeni permintaan foto bersama sebelum pergi meninggalkan lokasi.
Hal ini yang dimanfaatkan oleh para oknum yang tidak menyukai dengan
menjabatnya Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia dengan membuat
sebuah sensasi[20] berupa gambar meme sehingga menimbulkan
persepsi buruk di masyarakat.
Terutama
pemilik akun @YPaonganan sudah sangat sering melakukan postingan untuk
pencemaran nama baik Presiden Joko Widodo dan sudah dalam pengintaian
subdirektorat Cybercrime Bareskrim Mabes Polri semenjak ditetapkannya
Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 dikarenakan memang tugas dari
Subdirektorat Cybercrime.
Atas
kejadian tersebut maka pemilik akun @YPaonganan yang bernama Yulianus
dilaporkan oleh pelapor namun bukan Presiden Joko Widodo, dengan sangkaan
pencemaran nama baik di media sosial yang mengandung unsur kebencian bermuatan
pornografi. Kemudian pada Kamis 17 Desember 2015 pemilik akun @YPaonganan
ditangkap penyidik dari Subdirektorat Cybercrime Bareskrim Mabes Polri
di kediamannya, daerah Pejaten, Jakarta Selatan. Setelah sebelumnya telah dilakukan
pengawasan terhadap terhadap akun @YPaonganan sesuai dengan instruksi yang
terdapat dalam SE sebagai langkah awal dilakukan tindakan preventif namun
dikarenakan tidak ada itikad baik maka dilakukan tindakan pemidanaan dibuktikan
dengan pengakuan dari tersangka bahwa foto tersebut didapat dari kiriman orang
lain, kemudian di save (disimpan).
Akibat
perbuatannya, Yulianus disangkakan telah melanggar pasal 4 ayat 1 huruf a dan e
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Selain itu Yulianus dijerat
dengan pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dengan denda 1 miliar, sebagaimana bunyi pasal 45 ayat 1 sebagai berikut:
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)”.
Dalam proses
penyidikan Yulianus mengaku hanya me-reupload atau meng-upload
ulang dan itu dilakukan dalam perjalanan dari Jakarta menuju Bandung. Sehingga
proses penyidikan kasus Yulianus memakan waktu lama disebabkan berkas
perkaranya selalu kembali dari penyidik ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) begitu
juga sebaliknya, baru kemudian perkara itu dinyatakan P21 atau lengkap dan
masuk tahap persidangan.
Yulianus
diadili dengan dakwaan 2 pasal, yaitu UU ITE dan UU Pornografi. Didalam
dakwaannya, JPU Sangaji menyatakan, Yulianus melanggar pasal 27 UU ITE tentang
penghinaan di media sosial dan Pasal 4 ayat 1 UU Pornografi dengan ancaman
penjara 12 tahun.
Dalam proses
persidangan, Yulianus didampingi oleh tim kuasa hukum dari Yusril Ihza Mahendra
yang dalam sidang eksepsi atau pembelaan menyampaikan sembilan argumentasi dan
enam diantaranya diterima oleh majelis hakim, sehingga dalam sidang ke 3 dengan
agenda putusan sela, Yulianus divonis bebas oleh hakim. Dalam amar putusannya,
Hakim Nursiyam mengatakan bahwa majelis hakim “Mengadili dan menerima keberatan
penasihat hukum terdakwa. Menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi
hukum. Memerintahkan agar persidangan perkara pidana atas nama terdakwa
Yulianus Paonganan dibebaskan dari tahanan” ujar Nursiyam dalam persidangan,
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa 10 Mei 2016.
Dengan
dibebaskannya Yulianus, seperti diungkapkan oleh Yusril Ihza Mahendra selaku
Pengacara Yulianus menyatakan bahwasanya “Kasus Yulianus tidak ada unsur pidana
yang terkandung didalamnya serta surat dakwaan jaksa tidak jelas atau kabur”.
Dan “Dibilang ini ada penghinaan atau pencemaran nama baik kepada Jokowi (Joko
Widodo), tidak ada penghinaan kepada Jokowi dan Jokowi tidak melaporkan
sendiri. Lalu dilarikan ke pasal pornografi, mana yang dianggap pornografi?
Tidak ada.” Tambah Yusril.[21]
Namun dengan
dikeluarkannya Surat Edaran Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran
Kebencian dan dengan ditangkapnya Yulianus sebagai pemilik akun @YPaonganan
yang menghina Presiden Joko Widodo menyebabkan semakin berkurangnya grup-grup
pembenci Jokowi di berbagai jejaring sosial terlihat panik dan ikut ketakutan,
sehingga menjadi sangat berkurang drastis. Dan
polisi bagian Cybercrime telah menyatakan bahwa ada dua ribu
akun-akun di jejaring sosial sedang dipantau oleh pihak kepolisian, menambah
ketakutan grup-grup pembenci Jokowi.
Sehubungan
telah dikeluarkannya Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang
Penanganan Ujaran Kebencian, dikatakan oleh Kepala Bidang Humas Polda Jatim,
Kombes Pol. Raden Prabowo Argo Yuwono dalam Seminar temu mapaja, “bahwa setelah
adanya laporan dari para korban maka pihak kepolisian menangani perbuatan
ujaran kebencian agar tidak memunculkan tindak diskriminasi terhadap korban,
kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial yang meluas diperlukan
langkah-langkah penanganan. Dan mengahadapi ujaran kebencian, polri menetapkan
prosedur penanganan yang menerangkan, jika tindakan preventif sudah dilakukan,
namun masalah masih belum terselesaikan dan semakin menjadi rumit, maka
dilakukan tindakan represif dan proses penyelesaian dilakukan melalui penegakan
hukum”, kata Argo Yuwono menjelaskan.[22]
Adapun melakukan
tindakan preventif atau mencegah orang lain dilakukan oleh anggota polri agar
tidak terjadi perbuatan pidana adalah sebagai berikut:[23]
1. Setiap anggota polri agar memiliki pengetahuan
dan pemahaman mengenai bentuk-bentuk ujaran kebencian yang timbul di
masyarakat.
2. Melalui pemahaman atas bentuk-bentuk ujaran
kebencian dan akibat yang ditimbulkannya maka personil polri diharapkan lebih
responsif atau peka terhadap gejala-gejala yang timbul di masyarakat yang
berpotensi menimbulkan tindak pidana ujaran kebencian.
3. Setiap anggota polri agar melakukan kegiatan
analisis atau kajian terhadap situasi dan kondisi dilingkungannya masing-masing
terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.
4. Setiap anggota polri agar melaporkan kepada
pimpinan masing-masing atas situasi dan kondisi di lingkungannya terutama yang
berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.
5. Kepada para kasatwil agar melakukan
kegiatan:
a. Meng-efektifkan dan mengedepankan fungsi
intelijen untuk mengetahui kondisi riil di wilayah-wilayah yang rawan konflik
terutama akibat hasutan-hasutan atau provokasi, untuk selanjutnya dilakukan
pemetaan sebagai bagian dari early warning dan early detection.
b. Mengedepankan fungsi binmas dan polmas untuk
melakukan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat mengenai ujaran
kebencian dan dampak-dampak negatif yang akan terjadi.
c. Mengedepankan fungsi binmas untuk melakukan
kerjasama yang konstruktif dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda,
dan akademisi untuk optimalisasi tindakan represif atau membuat jera pelaku
ujaran kebencian terlebih dahulu atas ujaran kebencian.
Fungsi tokoh
yang berpengaruh didesa sangat di utamakan karena desa merupakan tempat yang
paling strategis dalam menumbuhkan asumsi masyarakat terhadap kasus-kasus yang
baru dan sering bermunculan.
d. Apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi
mengarah pada tindakan ujaran kebencian maka setiap anggota polri wajib
melakukan tindakan:
1) Memonitor dan mendeteksi sedini mungkin
timbulnya benih pertikaian di masyarakat;
2) Melakukan pendekatan pada pihak yang diduga
melakukan ujaran kebencian;
3) Mempertemukan pihak yang diduga melakukan
ujaran kebencian dengan korban ujaran kebencian;
Ini lebih
dikenal dengan proses mediasi atau perundingan antara pihak pelaku ujaran
kebencian dan korban dari ujaran kebencian dengan dibantu oleh mediator yang
dalam hal ini diwakili oleh pihak kepolisian.
4) Mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak
yang bertikai; dan
5) Memberikan pemahaman mengenai dampak yang
akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat.
Untuk
kasus @YPaonganan, terdapat beberapa prosedur penanganan kasus yang dilakukan
terlebih dahulu oleh kepolisian sebelum dilakukan penangkapan adalah:[24]
1. Korban yang merasa terintimidasi dengan
adanya kasus pornografi yang menyangkut tentang pribadinya atau pada kasus
penghinaan/pencemaran nama baik di media sosial melalui gambar, maka diharapkan
untuk melaporkan terlebih dahulu kejadian tersebut kepada penyidik cybercrime
POLRI.
2. Disaat pelaporan kejadian dilakukan oleh
korban disertai dengan bukti awal.
3. Jika bukti awal mencukupi, maka akan
dilanjutkan ke tahap selanjutnya oleh pihak kepolisian.
4. Penyidik menentukan apakah konten
video/gambar termasuk dalam kategori yang melanggar pornografi.
5. Jika ditemukan kebenaran oleh pihak
kepolisian bahwasanya data yang dilaporkan benar adanya, maka ditindaklanjuti
dengan proses penyidikan.
Sedangkan apabila
tindakan preventif sudah dilakukan oleh anggota Polri namun tidak menyelesaikan
masalah yang timbul akibat dari tindakan ujaran kebencian, maka penyelesaian
dapat dilakukan melalui:
1. Penegakan hukum atas dugaan terjadinya tindak
pidana ujaran kebencian dengan mengacu pada ketentuan:
a. Pasal 156 KUHP, yang berbunyi: “Barangsiapa di
depan umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap
satu atau lebih suku bangsa Indonesia dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun dengan hukuman denda setinggi-tingginya empat ribu
lima ratus rupiah.”
b. Pasal 157 KUHP, yang berbunyi:
1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau
menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung
pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau
terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya
diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan
tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima
tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, yang
bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
c. Pasal 310 KUHP, yang berbunyi:
1) Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau
nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya
hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.
2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau
gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka
diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun
empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran
tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena
terpaksa untuk membela diri.
d. Pasal 311 KUHP, yang berbunyi:
1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau
pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar,
tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang
diketahui, maka diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.
2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No.
1-3 dapat dijatuhkan.
e. Pasal 28 jis. Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang berbunyi:
Pasal 28:
1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam transaksi elektronik
2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 45 ayat (2): “Setiap orang yang
memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).”
f. Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, yang berbunyi:
Pasal 16: “Setiap orang yang dengan
sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan
diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf b angka 1,
angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
2. Dalam hal telah terjadi konflik sosial yang
dilator belakangi ujaran kebencian, dalam penanganannya tetap berpedoman pada:
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial, dan
b. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.
Untuk kasus
@YPaonganan didakwa dengan 2 pasal, yaitu UU ITE dan UU Pornografi. Dakwaan
yang pertama Yulianus melanggar pasal 27 UU ITE tentang penghinaan di media
sosial dan Pasal 4 ayat 1 UU Pornografi dengan ancaman penjara 12 tahun.
Penggunaan
UU ITE dalam kasus penghinaan/pencemaran nama baik, pada pasal 27 ayat (1) UU
ITE menyebutkan:[25]
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Dengan ancaman
pidana atas pelanggaran pasal 27 ayat (1) UU ITE diatur dalam Pasal 45 ayat (1)
UU ITE yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak satu miliar rupiah.
Dakwaan yang
kedua, pada Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 44 Tahun 2008 yang menyebutkan:
“mengatur larangan pembuatan, memproduksi, membuat,
memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang
secara eksplisit memuat:
a. Persenggamaan,
termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. Kekerasan
seksual;
c. Masturbasi
dan onani;
d. Ketelanjangan
atau tampilan yang mengasankan ketelanjangan;
e. Alat
kelamin; atau
f. Pornografi
anak.”
Dalam Pasal
4 ayat (1) UU 44/2008 tentang Pornografi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
[1] Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 1.
[2] Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang
Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), (Jakarta: Kepolisian Negara
Republik Indonesia Markas Besar, 2015), 2.
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 322.
[4] R.Soesilo, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor:
Politeia, 1995), 225.
[5] Teguh Arifiyadi, Gadgetmu
Harimaumu (Tips Melek Hukum Eksis Di Medsos), (Tangerang Selatan: Literati,
2015), 156.
[6] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, 2.
[7] Teguh Arifiyadi, Gadgetmu
Harimaumu (Tips Melek Hukum Eksis Di Medsos), 5.
[8] Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang
Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), 1.
[9] Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang
Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), 1.
[10] Teguh Arifiyadi, Gadgetmu
Harimaumu (Tips Melek Hukum Eksis di Medsos), 31.
[11] Andriani SJ Kusni, “Hal “Aneh”
Di Era Jokowi”, Tribunnews Makassar, (02 November 2015), 2.
[12] Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang
Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), 3.
[13] Ayumardi Azra, “Ujaran
Kebencian dan Kebebasan”, Republika, (05 November 2015), 4.
[14] Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang
Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), 4.
[15] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi
Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), 14.
[16] Persepsi ialah pengalaman
tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
[17] Muhammad Ridwan, “Citizen
Journalism”, Kompasiana, (04 November 2015), 6.
[18] Iqbal Fadil, “Hina Jokowi di
Media Sosial, orang-orang ini ditangkap polisi”, dalam
http://m.merdeka.com/peristiwa/hina-jokowi-di-media-sosial-orang-orang-ini-ditangkap-polisi.html,
diakses pada 24 Mei 2016.
[20]
Sensasi adalah pengalaman
elementer yang segera, yang tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis, atau
konseptual, dan terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indera.
[21] Erwin Dariyanto, “Tanggapan
Yusril Soal Putusan PN Jaksel yang Bebaskan Ongen @YPaonganan”, dalam
http://m.detik.com/news/berita/3207050/tanggapan-yusril-soal-putusan-pn-jaksel-yang-bebaskan-ongen-ypaonganan”,
diakses pada 21 Juni 2016.
[22] Kombes Pol. Raden Prabowo Argo
Yuwono, Peran Polri Dalam Menjaga Kebhinekaan Indonesia: Respons Terhadap
Kelompok Agama Garis Keras, Seminar, Surabaya: Auditorium UIN Sunan
Ampel Surabaya, 31 Maret 2016.
[23]Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang
Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), 4.
[24] Teguh Arifiyadi, Gadgetmu
Harimaumu (Tips Melek Hukum Eksis di Medsos), 164.
[25] Ibid., 36.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar