Selasa, 04 Januari 2022

MAKALAH PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

 

BAB I

PEMBAHASAN

 

A.  Pembiayaan Bermasalah

1.      Pengertian Pembiayaan

Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah kepada nasabah. Pembiayaan secara luas berarti financing atau pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dikerjakan oleh orang lain.[1]

Menurut M. Syafi’I Antonio menjelaskan bahwa pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank yaitu pemberian fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit.[2]Sedangkan menurut UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan

“Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”

Kemudian di jelaskan lagi dalam UU no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah pasal 1 poin ke 25 menjelasakan bahwa:

Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:

a.       Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

b.      Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah    muntahiya bittamlik;

c.       Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;

d.      Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

e.       Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa

Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

Dalam pembiayaan, memiliki beberapa fungsi  yang sangat beragam, karena Keberadaan bank syariah yang menjalankan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah bukan hanya untuk mencari keuntungan dan meramaikan bisnis perbankan di Indonesia, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan bisnis yang aman, diantaranya :

1)      Memberikan pembiayaan dengan prinsip syariah yang menerapkan sistem bagi hasil yang tidak memberatkan debitur.

2)      Membantu kaum dhuafa yang tidak tersentuh oleh bank konvensional karena tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh bank konvensional.

3)      Membantu masyarakat ekonomi lemah yang selalu dipermainkan oleh rentenir dengan membantu melalui pendanaan untuk usaha yang dilakukan.

 

2.      Pengertian Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syari’ah

Pembiayaan bermasalah adalah suatu penyaluran dana yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah yang dalam pelaksanaan pembayaran pembiayaan oleh nasabah itu terjdi hal-hal seperti pembiayaan yang tidak lancer, pembiayaan yang debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang dijanjikan, serta pembiayaan tersebut tidak menepati jadwal angsuran. Sehingga hal-hal tersebut memberikan dampak negative bagi kedua belah pihak (debitur dan kreditur).

Pembiayaan bermasalah merupakan salah satu dari resiko dalam suatu pelaksanaan pembiayaan. Adiwarman A. Karim menjelaskan bahwa resiko pembiayaan merupakan resiko yang disebabkan oleh adanya counterparty dalam memenuhi kewajibannya. Dalam bank syariah, resiko pembiayaan mencakup resiko terkait produk dan resiko terkait dengan pembiayaan korporasi. [3]

Pembiayaan bermasalah merupakan salah satu resiko yang pasti diahadapi oleh setiap Bank karena resiko ini sering juga disebut dengan resiko kredit. Robert Tampubolon menjelaskan bahwa resiko kredit adalah eksposur yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) memenuhi kewajibannya. Disatu sisi resiko ini dapat bersumber dari berbagai aktivitas  fungsional bank seperti penyaluran pinjaman, kegiatan tresuri dan investasi, dan kegiatan jasa pembiayaan perdagangan, yang tercatat dalam buku bank. Disisi lain resiko ini timbul karena kinerja satu atau lebih debitur yang buruk. Kinerja debitur yang buruk ini dapat berupa ketidak mampuan atau ketidak mauan debitur untuk memenuhi sebagian atau seluruh perjanjian kredit yang telah disepakati bersama sebelumnya. Dalam hal ini yang menjadi perhatian bank bukan hanya kondisi keuangan dan nilai pasar dari jaminankredit termasuk collateral tetapi juga karakter dari debitur.[4]

Berkaitan dengan pembiayaan di bank Syariah, dalam melakukan penilaian permohonan pembiayaan bank syariah bagian marketing harus memperhatikan beberapa prinsip utama yang berkaitan dengan kondisi secara keseluruhan calon nasabah, sehingga bisa mengurangi ringkat pembiayaan bermasalah calon nasabah Di dunia perbankan syariah prinsip penilaian dikenal dengan 5 C + 1 S , yaitu :

a.       Character

Yaitu penilaian terhadap karakter atau kepribadian calon penerima pembiayaan dengan tujuan untuk memperkirakan kemungkinan bahwa penerima pembiayaan dapat memenuhi kewajibannya.

b.      Capacity

Yaitu penilaian secara subyektif tentang kemampuan penerima pembiayaan untuk melakukan pembayaran. Kemampuan diukur dengan catatan prestasi penerima pembiayaan di masa lalu yang didukung dengan pengamatan di lapangan atas sarana usahanya seperti toko, karyawan, alat-alat, pabrik serta metode kegiatan.

c.       Capital

Yaitu penilaian terhadap kemampuan modal yang dimiliki oleh calon penerima pembiayaan yang diukur dengan posisi perusahaan secara keseluruhan yang ditujukan oleh rasio finansial dan penekanan pada komposisi modalnya.

d.      Collateral

Yaitu jaminan yang dimiliki calon penerima pembiayaan. Penilaian ini bertujuan untuk lebih meyakinkan bahwa jika suatu resiko kegagalan pembayaran tercapai terjadi , maka jaminan dapat dipakai sebagai pengganti dari kewajiban.

e.       Condition

Bank syariah harus melihat kondisi ekonomi yang terjadi di masyarakat secara spesifik melihat adanya keterkaitan dengan jenis usaha yang dilakukan oleh calon penerima pembiayaan. Hal tersebut karena kondisi eksternal berperan besar dalam proses berjalannya usaha calon penerima pembiayaan.

f.       Syariah

Penilaian ini dilakukan untuk menegaskan bahwa usaha yang akan dibiayaai benar-benar usaha yang tidak melanggar syariah sesuai dengan fatwa DSN “Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah.”

 

3.    Penyebab Pembiayaan Bermasalah

Ada beberapa faktor penyebab pembiayaan bermasalah:

1.      Faktor intern (berasal dari pihak bank)

    Kurang baiknya pemahaman atas bisnis nasabah

    Kurang dilakukan evaluasi keuangan nasabah

    Kesalahan setting fasilitas pembiayaan (berpeluang melakukan sidestreaming)

    Perhitungan modal kerja tidak didasarkan kepada bisnis usaha nasabah

    Proyeksi penjualan terlalu optimis

    Proyeksi penjualan tidak memperhitungkan kebiasaan bisnis dan kurang memperhitungkan aspek kompetitor

    Aspek jaminan tidak diperhitungkan aspek marketable

    Lemahnya supervisi dan monitoring

    Terjadinya erosi mental: kondisi ini dipengaruhi timbali balik antara nasabah dengan pejabat bank sehingga mengakibatkan proses pemberian pembiayaan tidak didasarkan pada praktek perbankan yang sehat

2.      Faktor ekstern

    Karakter nasabah tidak amanah (tidak jujur dalam memberikan informasi dan laporan tentang kegiatannya)

    Melakukan sidestreaming penggunaan dana

    Kemampuan pengelolaan nasabah tidak memadai sehingga kalah dalam persaingan usaha

    Usaha yang dijalankan relatif baru

    Bidang usaha nasabah telah jenuh

    Tidak mampu menanggulangi masalah/ kurang menguasai bisnis

    Meninggalnya key person

    Perselisihan sesama direksi

    Terjadi bencana alam

    Adanya kebijakan pemerintah:  peraturan suatu produk atau sektor ekonomi atau industri dapat berdampak positif maupun negatif bagi perusahaan yang berkaitan dengan industri tersebut.

Kualitas pembiayaan ditetapkan menjadi 5 (lima) golongan yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet, yang dikategorikan pembiayaan bermasalah adalah kualitas pembiayaan yang mulai masuk golongan dalam perhatian khusus sampai golongan Macet. Banksyariah wajib untuk menggolongkan kualitas aktiva produktif  sesuai dengan kriterianya dan dinilai secara bulanan, sehingga jika bank syariah tidak melakukannya maka akan dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud Pasal 56 Undang-Undang Perbankan Syariah.

Bilamana terjadi pembiayaan bermasalah maka Bank syariah akan melakukan  upaya untuk menangani pembiayaan bermasalah tersebut dengan melakukan upaya penyelamatan dan penyelesaian pembiayaan bermasalah, agar dana yang telah disalurkan oleh bank syariah dapat diterima kembali. Akan tetapi mengingat dana yang dipergunakan oleh bank syariah dalam memberikan pembiayaan berasal dari dana masyarakat yang ditempatkan pada bank syariah  maka bank syariah dalam memberikan pembiayaan wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syari’ah (UUS) dan kepentingan nasabahnya yang telah mempercayakan dananya.

 

4.    Dampak Pembiayaan Bermasalah

Pembiayaan bermasalah bagaimanapun akan berdampak negatif baik secara mikro (bagi bank dan nasabah) maupun secara makro (sistem perbankan dan perekonomian Negara). Dampak pembiayaan bermasalahnya terhadap:

1)         Bank syariah

a.       Likuiditas

Likuiditas adalah nafas kehidupan bagi setiap perusahaan, begitu juga bank. Jika hutang atau kewajiban meningkat, maka bank perlu mengusahakan untuk meningkatkan sisi aktiva lancar antara lain dengan meningkatkan kas melalui penerimaan pembiayaan yang jatuh tempo.

b.      Solvabilitas

Solvabilitas adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban jangka panjangnya. Adanya pembiayan bermasalah dapat menimbulkan kerugian bagi bank. Kerugian dapat mengganggu neraca bank, sehingga

mengurangi kemampuan aktivanya. Jika kerugian tersebut cukup bersar, maka bukan tidak mungkin mengalami likuidasi.

c.       Rentabilitas

Rentabilitas adalah kemampuan bank untuk memperoleh penghasilan berupa bagi hasil. Jika pembiayaan lancar, maka bank akan memperoleh penghasilan dengan lancar pula.

d.      Profitabilitas

Profitabilitas adalah kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan. Hal itu terlihat pada perhitungan tingkat produktivitasnya yang dituangkan dalam rumus Return on Equity(ROE) dan Return on Asset(ROA). Jika kredit tidak lancar, maka rentabilitasnya menjadi kecil.

2)        Karyawan Bank

a.       Mental

Jatuhnya moral bankir dan karyawan, seperti hilangnya rasa percaya diri, saling menyalahkan, cuci tangan bagi sebagian orang dan mencari kambing hitam.

b.      Karir

Rusaknya karier pegawai, sehingga dapay merusak masa depan mereka

c.       Waktu dan Tenaga

Bertambahnya pekerjaan bagi karyawan dan bankir karena harus menyisihkan waktu dan tenaga guna menghadapi kredit bermasalah.

3)        Pemilik Saham

a.       Deviden

Keuntungan yang kecil akan mengecilkan perolehan deviden. Bahkan jika bank rugi, pemilik saham dapat kehilangan kesempatan dalam memperoleh devidennya.

b.      Moral

Jika terus menerus bank rugi, maka pemilik saham akan kehilangan gairah memiliki saham bank tersebut.

4)        Nasabah Sendiri

a.       Nama Baik

Citra dan nama baik dikalangan perbankan dan dunia bisnisnya. Apabila jika berkembang menjadi pembiayaan yang bermasalah, maka selanjutnya akan masuk dalam Daftar Hitam Bank Indonesia yang disiarkan keseluruh Indonesia.

b.      Kepercayaan Luar Negri

Hilangnya kepercayaan pihak luar dan relasi bisnis. Ingat, modal utama dalam berbisnis adalah kepercayaan. Jika kepercayaan hilang, maka akan membuat pengusaha yang bersangkutan “mati langkah”.

5)        Nasabah Lain

a.       Penyediaan Dana

Dana yang tersedia menjadi menurun dengan kata lain peluang bagi nasabah lain untuk memperoleh pinjaman jadi menurun pula.

a.       Perolehan Pelayanan Bank

Bank dan karyawan bank menjadi trauma, sehingga sering melakukan pengetatan terhadap permohonan pembiayaan yang mungkin ditafsirkan sebagai tindakan mempersulit permohonan pembiayaan tersebut.

6)        Pemilik Dana

a.       Keresahan

Para pemilik dana yang belum jatuh tempo ikut gelisah dan ingin menarik dananya kembali

b.      Rush


Jika masyarakat trauma dengan beberapa bank, bukan tidak mungkin jadi trauma kepada dunia perbankan. Mereka akan mencari peluang non bank dalam menyimpan dananya lalu mereka menarik dana mereka dari bank.

7)        Sistem Perbankan

a.       Kredibilitas

Dapat merusak kredibilitas bank nasional dimata internasional. Pada gilirannya juga merusak system keuangan nasional dimata perdagangan internasional.

c.       Kesinambungan Usaha

Tingginya biaya dana dapat mengancam likuiditas bank, bahkan bisa membuat bank yang lemah menjadi gulung tikar.

8)        Otoritas Moneter

a.         Pembangunan Moneter

Dapat menghambat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Negara secara keseluruhan yang pada gilirannya menghambat pembanguana di bidang moneter.

b.      Sosial Ekonomi

Terjadinya hambatan dalam pembangunan yang dapat merusak tatanan sosila ekonomi. Bukan tidak mungkin dapat berakibat negative terhadap situasi sosila umumnya.[5]

 

5.      Faktor Penyebab Terjadinya Pembiayaan Bermasalah[6]

a)      Faktor intern ( berasal dari pihak bank) yaitu :

a.       Kurang baiknya pemahaman atau bisnis nasabah

b.      Proyeksi penjualan terlalu optimis


 

c.       Kesalahan setting fasilitas pembiayaan (berpeluangan melakukan sidestreaming/penggunaan kredit yang tidak sesuai dengan peruntukkannya)

d.      Perhitungan modal kerja tidak didasarkan kepada bisnis usaha nasabah

e.       Proyeksi penjualan tidak memperhitungkan kebiasaan bisnis dan kurang memperhitungkan aspek kompetitor

f.       Aspek jaminan tidak diperhitungkan aspek marketable

g.      Lemahnya supervisi dan monitoring

h.      Terjadinya erosi mental (kondisi yang dipengaruhi oleh timbal balik antara nasabah dengan pejabat bank sehingga mengakibatkan proses pemberian pembiayaan tidak didasarkan pada praktek perbankan yang sehat.

Selain dari poin-poin yang dijelaskan diatas ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya pembiayaan bermasalah diantarnya :

a.       Pembiayaan lancar (pass).

Pembiayaan yang tergolong lancar apabila memenuhi kriteria di bawah ini :

1)      Pembayaran angsuran pokok tepat waktu

2)      Memiliki mutasi rekening yang tepat

3)      Bagian dari pembiayaan yang dijamin dengan anggunan tunai dengan indikator sebagai berikut:

a)      Keuangan

                                                          -            Menguntungkan

                                                          -            Likuid

                                                          -            Cash flow mwmadai

                                                          -            Rasio hutang rendah dua sumber pembayaran kembali

b)      Manajemen

                                                          -            Memiliki kemampuan

                                                          -            Memiliki intergritas

                                                          -            Memiliki visi yang jelaskontrol yang baik

                                                          -            Eksternal audit yang baik

b.      Perhatian khusus (spesial mention)

Pembiayaan yang digolongkan kedalam pembiayaan dalam perhatian khusus apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :

1)      Terdapat tunggakan angsuran pokok dan bagi hasil dalam waktu 90 hari

2)      Mutasi rekening relative aktif

3)      Kadang kadang terjadi cerukan

4)      Jarang terjadi pelanggaran kontrak yang diperjanjikan

5)      Didukung oleh pinjaman baru

Dengan indikator keuangan :

                                  -            Keuntungan rendah

                                  -            Likuiditas dapat diterima

                                  -            Rasio hutang moderat

                                  -            Aliran kas lebih rendah daripada pembayaran pokok

c.       Diragukan

Pembiayaan yang digolongkan kedalam pembiayaan yang diragukan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :

1)      Terdapat tunggakan anggunan pokok dan atau bunga yang telah melampau 180 hari

2)      Terjadi cerukan yang bersifat tetap atau permanen

3)      Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari

4)      Terjadi kapasitas bunga

5)      Dokumnetasi yang lemah baik untuk perjanjian pembiayaan maupun pengikatan jaminan

d.      Macet (loss)

Pembiayan yang tergolong macet apabila memnuhi kriteria sebagai berikut :

1)      Terdapat tunggakan angsuran pokok bunga yang telah melampaui 270 hari

2)      Dari segi hukum maupun kondis pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar.

3)      Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru

 

b)      Faktor ekstern yaitu :

Karakter nasabah

 

6.      Penanganan Pembiayaan Bermasalah[7]

Penanganan pembiayaan bermasalah merupakan bagian yang tidak dapat dihindari dalam proses pembiayaan. Ada dua hal penting dalam penanganan pembiayan bermasalah yaitu :

a.       Analisi dan Penyelesaian Bemasalah

Resiko yan terjadi pada peminjaman adalah peminjaman yang tertunda atau ketidakmampuan peminjam untuk membayar kewajiban yang telah dibebankan, untuk mengantisipasi hal tersebut maka bank syariah harus mampu menganalisis penyebab permasalahannya.

Analisis dan penyelesaian pembiayaan bermasalah di bank syariah dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut :

1)      Analisis sebab kemacetan

a.       Aspek internal

1.      Peminjam kurang cakap dalam usaha tersebut

2.      Mamajemen tidak baik atau kurang rapih

3.      Laporan keuangan tidak lengkap

4.      Penggunaan dana yang tidak sesuai dengan perencanaan

5.      Perencanaan yang kurang matang

6.      Dana yang diberikan tidak cukup untuk menjalankan usaha tersebut

b.      Aspek eksternal

                                                      1.            Aspek dalam pasar kurang mendukung

                                                      2.            Kemampuan daya beli masyarakat yang kurang

                                                      3.            Kebijakan pemerintah

                                                      4.            Pengaruh lain d luar usaha

2)      Menggali potensi peminjaman

Anggota yang menggali kemaacetan dalam memenuhi kewajiban harus dimotivasi untuk memulai atau membebani dan menganyisipasi penyebab kemacetan usaha atau anggaran. Untuk itu perlu digali potensi yan ada pada peminjam agar dana yang telah digunakan lebih efektif digunakan. Hal hal yang perlu diperhatikan :

(a)    Adakah peminjam memeliki kecakapan lain ?

(b)   Adakah peminjam memiliki usaha lain ?

(c)    Adakah penghasilan peminjam ?

3)      Melalukan perbaikan akad

4)      Memberikan pinjaman ulang, mungkin dalam bentuk: pembiayaan qardul hasan, murabahah dan mudharabah.

5)      Penundaan pembayaran

6)      Reschending (memperkecil angsuran dan memperpanjangan waktu atau akad dan margin baru)

7)      Memperkecil mergin keuntungan atau bagi hasil.

Selain itu terdapat dua strategis yang dapat dilakukan dalam melakukan penyelesaian terhadap pembiayan bermasalah yaitu[8] :

a)      Penyelesaian pembiayaan dimana pihak debitur masih kooperatif, usaha penyelesain dilakukan secara kerja sama antara debitur dan bank disebu sebagau penyelesaian secara damai atau penyelesaian secara persuasif.

b)      Penyelesaain pembiayaan diana pihak debitur tidak kooperatf lagi, usaha penyelesaian dilakukan secara pemaksaan dengan melandaskan hal hal yang dimliki oleh perbankan syariah disebut penyelesaian secara paksa.

Nasabah yang masih kooperatif maupun tidak kooperatif lagi dapat tergolong pada beberapa kategori dalam pembiayaan bermasalah katergori nasabah itu dapat tergolong padakategori kurang lancar , kategori diragukan dan kategori macet. Biasanya untuk penyelesaian secara paksa hanya akan dilakukan pada nasabah dengan kategori kategori mace yang sudah tidak kooperatif.

Banyak cara yang dilakukan oleh perbankan syariah untuk meminimalkan potensi kerugian yang disebabkan oleh pembiayaan bermasalah. Salah satunya bank syariah dapat melakukan restrukturisasi pembiayan terhadap nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran yang masih memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. Dalam restrukturisasi pembiayaan dilakukan dengan cara :[9]

a)      Penjadwalan kembali (rescheduling)

Yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktumnya (Memperpanjang jangka waktu pembiayaan). Dalam hal ini si debitur diberikan keringanan dalam masalah jangka waktu pemiayaan misalnya perpanjangan jangka waktu pembiayaan dari 6 bulan menjadi satu tahun sehingga si debitur mempunyai waktu yang lebih lama untuk mengembalikannya.

Memperpanjang jangka waktu angsuran Memperpanjang angsuran hampir sama dengan jangka waktu pembiayaan. Dalam hal ini jangka waktu angsuran pembiayaannya diperpanjang pembayarannya pun misalnya dari 36 kali menjadi 48 kali dan hal ini tentu saja jumlah Rescheduling angsuran pun menjadi mengecil seiring dengan penambahan jumlah angsuran.

b)      Persyaratan kembali (reconditing)

Yaitu Dengan cara mengubah berbagai persyaratan pembiayaan yang ada seperti;

                      -            Penundaan pembayaran marjin sampai waktu tertentu. Dalam hal penundaan pembayaran marjin sampai waktu tertentu, maksudnya hanya marjin yang dapat ditunda apembayarannya, sedangkan pokok pinjamannya tetap harus dibayar seperti biasa.

                      -            Penurunan marjin

Penurunan marjin dimaksudkan agar lebih meringankan beban nasabah. Sebagai contoh jika marjin per tahun sebelumnya dibebankan 20 % diturunkan menjadi 18 %. Hal ini tergantung dari pertimbangan yang bersangkutan. Penurunan marjin akan mempengaruhi jumlah angsuran yang semakin mengecil, sehingga diharapkan dapat membantu meringankan nasabah.

                      -            Pembebasan marjin

Dalam pembebasan marjin diberikan kepada nasabah dengan pertimbangan nasabah sudah akan mampu lagi membayar pembiayaan tersebut. Akan tetapi nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk membayar pokok pinjamannya sampai lunas.

c)      Penataan kembali (restructuring)

Yaitu perubahan persyaratan pembiayaan yang tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning, antara lain :

                                  -            Penambahan dana fasilitas pembiayaan Bank Syariah

                                  -            Koversi akad pembiayaan

Dari hasil survei yang dilakukan oleh bank syariah di Yogyakarta bahwasannya ditemukan , ada proses penanganana pmbiayaan dilakukam sesuai dengan kolektibilitas pembiayaan sebagai berikut :

1)      Pembiayaan lancar, dilakukan dengan cara :

                                  -            Pemanfaatan usaha nasabah

                                  -            Pembinaan anggota dengan pelatihan- pelatihan

2)      Pembiayaan potensial bermasalah dilakukan dengan cara :

                                  -            Pembinaan anggota

                                  -            Pemberitahuan dengan surat teguran

                                  -            Kujungan lapangan atau silahturahmi oleh bagian pembiayaan kepada nasabah

                                  -            Upaya preventif dengan penanganan rescheduling.

3)      Pembiayaan kurang lancar, dilakukan dengan cara :

                                  -            Membuat lapangan atau silahturahmi oleh bagian pembiayaan kepada nasabah secara lebih sungguh-sungguh

                                  -            Upaya penyelamatan dengan cara rescheduling

4)      Pembiayaan diragukan atau macet

                                  -            Dilakukan rescheduling

                                  -            Dilakukan dengan reconditioning

                                  -            Dilakukan engalihan atau pembiayaan ulang dalam bentuk pembiayaan qardul hasan.[10]

 

b.      Penyitaan Barang Jaminan (colleteral) pembiayaan

Jaminan yang dijaminkan nasabahkepada bank syariah dapat dilakukan finalty atau penyitaan. Masalah penyitaan atau eksekusi jaminan di bank syariah sangat bergantung pada kebijakan manajemen.

Ada yang melakukan eksekusi, namun ada pula yang tidak melakukan eksekusi jaminan nasabah yang mengalami kemacetan pembiayaan. Kebanyakan bank syariah lebih memberlakukan upaya rescheduling,resconditioning dan pembiayaan ulang dalam bentuk qardul hasan dan jaminan harus tetap ada sebagai persyaratan jaminannya.

Kalaupun dengan terpaksa harus dilakukan denga penytaan, maka penyitaan dilakukan kepada nasabah yan memnag nakal dan tidak ada kenginan untuk mengembalikan pembiayaan. Namaun tetap dilakukan dengan cara sebgaiman yang diajarkan oleh ajaran islam seperti simpati, empeti dan menekan.


 

Apabila dengan ketiga cara tersebut tidak juga diacuhka oleh nasabah maka dengan menggunakan cara paksaan lain lagi seperti:

1)      Menjual barang jaminan

Prosedur yang dijalankan dalam hal ini adalah jika sebelumnya telah diadakan perjanjian atau di dalam akad secara tertulis untuk menjual barang jaminan. Jika nilai jamnian tidak sebanding dengan nilai yang dipinjamkanmaka dari salah satu dari kedua belah pihak harus menutupinya. Prosedur penjualan barang jamnian adalah dijual kemudian dikonversikan lalu ditutupi.

2)      Menyita barang yang senilai dengan nilai pinjaman

Prosedur ini hanya dapat dilakukan jika sebelumnya telah ada perjanjian secara tertulis untuk menyita barang yang senilai dengan nilai peminjamanya.[11]

 

Padadasarnya dalam menangani pinjaman bermasalah perbankan syariah ada dua pilihan umum yaitu :

a.       Membantu yaitu suatu proses kerja sama dengan peminjam sampai pembiayaan dapat dibayar sebgaian atau sepenuhnya, dan tidak menggunakan alat hukum untuk memaksa penagihan.

b.      Likuidasi yaitu memaksa debitur untuk mematuhi ketentuan yang terdapat dalam perjanjian pembiayan dan menggunakan setiap upaya hukum.

 

B.     Bentuk – Bentuk Sengketa Perbankan Syariah

Undang-Undang Perbankan Syariah menetapkan 8 pasal ketentuan pidana yang menjerat pelakunya dengan denda dan penjara. Inti dari adanya sanksi pidana ini adalah agar pihak-pihak yang terkait dengan Perbankan Syariah betul-betul melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya dengan baik. Jika melakukan penyalahgunaan, para pihak tadi tidak hanya mendapatkan saksi di akhirat, melainkan juga sanksi di dunia.

Untuk memperjelas hal diatas, alangkah baiknya kita simak ketentuan pidana dalam UU Perbankan Syariah berikut ini.

1.      Pasal 59 (Pelanggaran Izin Usaha)

(1)      Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah, UUS, atau kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin usaha dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (limabelas) tahun dan pidana denda  paling  sedikit  Rp10.000.000.000,00  (sepuluh  miliar  rupiah)  dan  paling  banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

(2)      Dalam  hal  kegiatan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilakukan  oleh  badan hukum, penuntutan terhadap badan hukum dimaksud dilakukan terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan perbuatan itu dan/atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu.

2.      Pasal 60 (Membuka Rahasia Bank Tanpa Izin)

(1)   Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  tanpa  membawa perintah  tertulis  atau  izin  dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 memaksa Bank Syariah, UUS, atau  pihak  terafiliasi  untuk  memberikan  keterangan,  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling singkat  2  (dua)  tahun  dan  paling  lama  4  (empat)  tahun  dan  pidana  denda  paling  sedikit Rp10.000.000.000,00  (sepuluh  miliar  rupiah)  dan  paling  banyak  Rp200.000.000.000,00  (dua ratus miliar rupiah).

(2)   Anggota direksi, komisaris, pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS,  atau  Pihak  Terafiliasi  lainnya  yang  dengan  sengaja  memberikanketerangan  yang  wajib dirahasiakan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  41  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling singkat  2  (dua)  tahun  dan  paling  lama  4  (empat) tahun  dan  pidana  denda  paling  sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).[12]

3.      Pasal 61 (kewajiban Memberikan Keterangan dengan Izin)

Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 47, dan Pasal 48 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)  tahun  dan  paling  lama  7  (tujuh)  tahun  dan  pidana  denda  paling  sedikit  Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

4.      Pasal 62 (Prinsip Kehati-hatian)

(1)   Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:

a.       tidak  menyampaikan  laporan  keuangan  sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  35  ayat  (2); dan/atau

b.      tidak  memberikan  keterangan  atau  tidak  melaksanakan  perintah  yang  wajib  dipenuhi sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  52  dipidana  dengan pidana  penjara  paling  singkat  2 (dua)  tahun  dan  paling  lama  10  (sepuluh)  tahun  dan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

(2)   Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang lalai:

a.       tidak  menyampaikan  laporan  keuangan  sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  35  ayat (2); dan/atau

b.      tidak  memberikan  keterangan  atau  tidak  melaksanakan  perintah  yang  wajib  dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu)  tahun  dan  paling  lama  2  (dua)  tahun  dan  pidana  denda  paling  sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

5.      Pasal 63 (Pemalsuan Dokumen, Korupsi, dan Tidak Mematuhi UU)

(1)   Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:

a.       membuat  atau  menyebabkan  adanya  pencatatan  palsudalam  pembukuan  atau  dalam laporan,  dokumen  atau  laporan  kegiatan  usaha,  dan/atau  laporan  transaksi  atau  rekening suatu Bank Syariah atau UUS;

b.      menghilangkan  atau  tidak  memasukkan  atau  menyebabkan  tidak  dilakukannya  pencatatan dalam  pembukuan  atau  dalam  laporan,  dokumen  atau  laporan  kegiatan  usaha,  dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS; dan/atau

c.       mengubah,  mengaburkan,  menyembunyikan,  menghapus,  atau  menghilangkan  adanya suatu  pencatatan  dalam  pembukuan  atau  dalam  laporan,  dokumen  atau  laporan  kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

(2)   Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:

a.       meminta  atau  menerima,  mengizinkan  atau  menyetujui  untuk  menerima  suatu  imbalan, komisi,  uang  tambahan,  pelayanan,  uang,  atau  barangberharga  untuk  keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka:

1.   mendapatkan  atau  berusaha  mendapatkan  bagi  orang lain  dalam  memperoleh  uang muka, bank garansi, atau fasilitas penyaluran dana dari Bank Syariah atau UUS;

2.   melakukan pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat wesel, surat promes, cek dan kertas dagang, atau bukti kewajiban lainnya;

3.   memberikan  persetujuan  bagi  orang  lain  untuk  melaksanakan  penarikan  dana  yang melebihi batas penyaluran dananya pada Bank Syariahatau UUS; dan/atau

b.      tidak  melaksanakan  langkah-langkah  yang  diperlukan  untuk  memastikan  ketaatan Bank Syariah  atau  UUS  terhadap  ketentuan  dalam  Undang-undang  ini  dipidana  dengan  pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling   sedikit   Rp5.000.000.000,00   (lima   miliar   rupiah)   dan   paling   banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

6.      Pasal 64 (Pihak Terafiliasi yang Tidak Menaati UU Perbankan Syariah)

Pihak  Terafiliasi  yang  dengan  sengaja  tidak  melaksanakan  langkah-langkah  yang  diperlukan  untuk memastikan  ketaatan  Bank  Syariah  atau  Bank  Umum  Konvensional  yang  memiliki  UUS  terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

7.      Pasal 65 (Pemegang Saham yang Menjadi Provokator Pelanggaran UU)

Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank  Syariah  atau  Bank  Umum  Konvensional  yang  memiliki  UUS  untuk  melakukan  atau  tidak melakukan  tindakan  yang  mengakibatkan  Bank  Syariah atau  UUS  tidak  melaksanakan  langkah-langkah  yang  diperlukan  untuk  memastikan  ketaatan  Bank  Syariah  atau  UUS  terhadap  ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama  15  (lima  belas)  tahun  dan  pidana  denda  paling sedikit  Rp10.000.000.000,00  (sepuluh  miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (duaratus miliar rupiah).

8.      Pasal 66 (Direksi dan Pegawai yang Merugikan Bank Syariah, Menghalangi Pemeriksaan, dan Lalai dalam Mematuhi UU Perbankan Syariah)

(1)      Anggota direksi atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:

a.       melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan perbuatan tersebut telah  mengakibatkan  kerugian  bagi  Bank  Syariah  atau  UUS  atau  menyebabkan  keadaan keuangan Bank Syariah atau UUS tidak sehat;

b.      menghalangi  pemeriksaan  atau  tidak  membantu  pemeriksaan  yang  dilakukan  oleh  dewan komisaris atau kantor akuntan publik yang ditugasi oleh dewan komisaris;

c.       memberikan penyaluran dana atau fasilitas penjaminan dengan melanggar ketentuan yang berlaku  yang  diwajibkan  pada  Bank  Syariah  atau  UUS, yang  mengakibatkan  kerugian sehingga membahayakan kelangsungan usaha Bank Syariah atau UUS; dan/atau

d.      tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan Batas Maksimum Pemberian Penyaluran Dana sebagaimana ditentukan  dalam  Undang-Undang  ini  dan/atau  ketentuan  yang  berlaku  dipidana  dengan pidana  penjara  paling  singkat  1  (satu)  tahun  dan  paling  lama  5  (lima)  tahun  dan  pidana denda  paling  sedikit  Rp1.000.000.000,00  (satu  miliar  rupiah)  dan  paling  banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2)      Anggota direksi dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang  dengan  sengaja  melakukan  penyalahgunaan  dana  Nasabah,  Bank  Syariah  atau  UUS dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan  pidana  denda  paling  sedikit  Rp2.000.000.000,00 (dua  miliar  rupiah)  dan  paling  banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).[13]

Dalam sebuah akad atau perjanjian, tidak lepas dari potensi munculnya  suatu sengketa dikemudian hari. Hal ini dikarenakan adanya salah satu pihak yang melanggar dari isi akad atau perjanjian yang telah disepakati. Apabila atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan wanprestasi, karena ada hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang yang menderita kerugian.[14] Sengketa Perbankan Syariah dapat disebkan oleh wanprestasi. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Menurut kamus Hukum, wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa adapun yang menyatakan bahwa wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.

Tata cara menyatakan debitur wanprestasi:

1.      Sommatie: Peringatan tertulis dari kreditur kepada debitur secara resmi melalui Pengadilan Negeri.

2.      Ingebreke Stelling: Peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui Pengadilan Negeri. Isi Peringatan:

-          Teguran kreditur supaya debitur segera melaksanakan prestasi;

-          Dasar teguran;

-          Tanggal paling lambat untuk memenuhi prestasi (misalnya tanggal 9 Agustus 2015).

Somasi minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditor atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak. Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si berutang (debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya. Somasi ini diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata.

Akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi berupa:

a.       Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);

b.      Pembatalan perjanjian;

c.       Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;

d.      Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan oleh krediturdalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut (Pasal 1276 KUHPerdata):

a.       Memenuhi/melaksanakan perjanjian;

b.      Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;

c.       Membayar ganti rugi;

d.      Membatalkan perjanjian; dan

e.       Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

 

1.      Wanprestasi dalam akad Murabahah

Murabahah adalah jual beli yang ditangguhkan pembayarannya sehingga hubungan yang terjadi antara bank dengan nasabah adalah hubungan kreditur dengan debitur. Hubungan kreditur dengan debitur biasa disebut dengan utang piutang. Utang piutang yaitu memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjiandia akan membayar dengan yang sama dengan itu.Utang piutang harus bermanfaat bagi keduanya yaitu bagi yang berutang dan yang berpiutang.

Ketika akad murabahah telah disepakati maka akan muncul hak dan kewajiban. Nasabah wajib membayar kepada bank sesuai dengan kesepakatan dan bank berhak mendapat dana dan keuntungan dari pembiayaan yang telah dikeluarkannya. Seseorang yang telah melakukan akad, maka orang tersebut harus dan wajib melaksanakan akad tersebut sesuai dengan kesepakatan. Seseorang yang telah melakukan akad tetapi ia tidak memenuhi akad tersebut berarti ia telah mengingkari akad yang telah disepakati yang dalam istilah hukum disebut dengan wanprestasi. Akibat yang muncul dari wanprestasi adalah menimbulkan hak bagi kreditur untuk menuntut debitur.

Apabila debitur lalai dalam memenuhi kewajiban sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan maka nasabah dinyatakan wanprestasi. Bank dapat mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Pemenuhan dan ketaatan dalam perjanjian sangatlah penting artinya terhadap kelangsungan atau keberhasilan tujuan akad, membawa akibat hukum dan tanggung jawab bagi pihak yang berakad. Nasabah yang jatuh tempo tetapi tidak bisa melunasi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya perselisihan atau sengketa antara nasabah dengan bank.

Dalam perbankan Islam wanprestasi nasabah dalam membayar kewajibannya dalam akad murabahah terlebih dahulu dilihat sebab-sebab nasabah melakukan wanprestasi. Penyebab nasabah melakukan wanprestasi dalam perbankan Islam dapat dibagi menjadi dua kelompok:

-          Sebab karena disengaja (nasabah mampu membayar tetapi sengaja menundanya)

-          Sebab karena bangkrut (nasabah benar benar tidak mampu)

 

2.      Wanprestasi dalam akad Mudhorobah

Kesalahan dan kelalaian mudharib dapat dikatakan sebagai wanprestasi (pasal 1243 KUHPerdata), dan perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUHPerdata). wanprestasi yakni keadaan dimana debitur tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditor dengan debitor.4 Sedangkan perbuatan melawan hukum menurut pasal 1365 KUHPerdata adalah “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan rang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Pembuktian unsur kesalahan dan kelalaian ini menjadi sebab munculnya ganti rugi yang harus ditanggung oleh mudharib nantinya.

Kriteria kelalaian mudharib apabila dikaitkan dengan wanprestasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi prestasi atau lalai melaksanakan prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat oleh mudharib dan shahibul mal. Pada dasarnya sudah bisa dilihat apakah mudharib telah melakukan wanprestasi atau tidak, ini didasarkan pada kualitas ativa produktif dilihat dari aspek kemampuan membayar angsuran mudharib apakah dalam Kriteria Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, atau Macet.

Wanprestasi ini berkaitan erat dengan somasi (Pasal 1238 KUH Perdata), somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditor) kepada si berutang (debitor) agar dapat memenuhi pertasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya. Somasi ini muncul karena debitor tidak memenuhi atau lalai dalam memenuhi prestasinya sesuai dengan yang telah disepakati.

Pada kenyataan sehari-hari yang sering terjadi ada tiga bentuk ingkar janji (wanprestasi) yang dilakukan oleh para pihak. Bentuk-bentuk wanprestasi tersebut adalah:

1.      Mudharib  sama sekali tidak berprestasi

Dalam hal ini mudharib sama sekali tidak memberikan prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan. Hal ini disebabkan karena mudharib (nasabah) memang tidak mau berprestasi atau karena musnahnya suatu barang yang diperjanjikan.

2.      Mudharib keliru berprestasi

Di sini mudharib berfikir memang telah memberikan prestasinya, tetapi pada kenyataanya yang diterima shahib al-mal lain dari yang diperjanjikan.

3.      Mudharib terlambat berprestasi

Di sini mudharib melakukan prestasinya, objek perjanjiannya benar tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.

4.      Mudharib melaksanakan sesuatu yang dilarang dalam akad

Disini mudharib melakukan sesuatu yang dilarang dalam perjanjian.

 

3.      Wanprestasi dalam akad Musyarakah

Musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi) adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil di mana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk


meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya.

Akibat hukum apabila salah satu pihak membatalkan kerjasama, maka jika asset musyarakah berbentuk tunai, semuanya dapat dibagikan pro rata diantara para mitra. Akan tetapi jika asset tidak di likuidasi, para mitra dapat membuat kesepakatan untuk melikuidasi asset atau membagi asset apa adanya diantara mitra. Jika terdapat ketidak sepakatan dalam hal ini, seorang mitra minta dilikuidasi sedangkan yang lainnya minta dibagi apa adanya maka yang terakhir yang didahulukan setelah berakhirnya musyarakah semua aset dalam kepemilikan bersama para mitra, dan tidak seorang pun yang dapat memaksa dia untuk melikuidasi aset. Namun demikian, jika aset tersebut tidak dapat dipisah, seperti mesin, maka aset tersebut harus dijual terlebih dahulu da hasil penjualannya dibagikan.

Pada produk musyarakah sengketa mungkin terjadi karena masing-masing pihak merasa mitranya tidak jujur, tidak profesional, tidak produktif, tidak efisien atau tidak maksimal menjalankan usaha bersama sehingga terjadi kerugian.[15] Apabila salah satu pihak telah melakukan perbuatan menyimpang dari apa yang telah diperjanjikan, maka pihak lain dapat membatalkan perjanjian tersebut.[16]

 

C.    Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

1.      Pengertian Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa atau lebih dikenal dengan nama Ash-Shulhu berarti memutus pertengkaran atau perselihan atau dalam pengertian syariatnya adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2 orang yang bersengketa.

2.      Prinsip

Penyelesaian sengketa memiliki prinsip tersendiri agar masalah-masalah yang ada dapat terselesaikan dengan benar. Diantara prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

a.       Adil dalam memutuskan perkara sengketa, tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam pengambilan keputusan.

b.      Kekeluargaan

c.       Menjamin kerahasian sengketa para pihak

d.      Menyelesaiakan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan

 

3.      Tujuan

Tujuan diadakannya penyelesaian sengketa ini agar setiap permasalahan-permasalahan yang ada dalam perbankan dapat terselesaikan dengan sebagaimana mestinya. Sehingga tidak menimbulkan bersengketaan yang berujung pada ketidakadilan, dalam Islam juga tidak diperbolehkan berselisih yang berkepanjangan karena dapat menimbulkan persengketaan.

Penyelesaian sengketa setidak-tidaknya sudah diatur dalam tiga peraturan perundang-undangan, yaitu UU no. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan PBI No. 9/19/PBI/2007 Tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran serta Pelayanan Jasa Syariah.[17]

Pasal 55 Perbankan Syariah menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa terkait perbankan syariah dapat dilakukan melalui dua jalur pengadilan, Yaitu (1) dilakukan oleh pengadilan agama dalam lingkungan peradilan agama serta (2) di luar pengadilan agama dalam hal para pihak telah memperjanjikan melalui akad penyelesaian sengketa selain melalui pengadilan agama, dengan catatan penyelesaian sengketa tadi tidak boleh menentang dengan prinsip syariah. Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan di luar pengedilan agama sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut :

a)      Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Musyawarah

Sengketa pada hakikatnya merupakan bentuk aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau pertentangan antara dua pihak atau lebih. Sebagaimana dalam sengketa perdata, dalam sengketa bisnis pun pada prinsipnya pihak-pihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki, apakah melalui jalur  pengadilan (litigasi) ataupun jalur di luar pengadilan (nonlitigasi), sepanjang tidak ditentukan sebaliknya dalam peraturan perundang-undangan.[18] Setiap jenis sengketa terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang tepat. Masing-masing sengketa yang terjadi belum tentu sama treatment penyelesaian. Semakin luas dan banyak kegiatan dalam bidang bisnis dan perdagangan, frekuensi terjadinya sengketa juga tinggi. Ini berarti, semakin banyak sengketa yang harus diselesaikan dari waktu ke waktu. Demikian juga dalam bisnis perbankan syariah, tidak menutup kemungkinan terjadi perselisihan antara bank dan nasabahnya yang disebabkan, misalnya, ketidaksesuaian antara produk perbankan syariah yang ditawarkan dengan kenyataannya, terdapat aturan yang merugikan nasabah perbankan syariah, dan hal-hal lainnya yang menyangkut kinerja perbankan syariah dalam melayani nasabahnya. Kalau persengketaan antara bank dan nasabah perbankan syariah tersebut tidak terselesaikan, hal itu dapat merugikan nasabah secara financial dan mengganggu reputasi perbankan syariah di mata masyarakat pada umumnya dan nasbahnya pada khususnya. Oleh karena itu perlu adanya suatu lembaga yang dapat mewadahi penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah perbankan syariah secara damai, saling menghormati dan berkeadilan. Di dalam Pasal 20 Ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah menyatakan:

“Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diperjanjikan dalam akad atau jika terjadi perselisihan di antara bank dan nasabah maka upaya penyelesaian dilakukan melalui musyawarah”. Dan dipertegas lagi dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan menghimpun dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah bahwa:

“Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana tertuang dalam akad antara bank dengan nasabah, atau jika terjadi sengketa antara bank dengan nasabah, penyelesaian dilakukan melalui musyawarah”. Jadi, apabila terjadi perselisihan antara bank dan nasabah perbankan syariah, penyelesaian utamanya dilakukan melalui cara “musyawarah”, “perdamaian”, atau “damai” di antara kedua belah pihak yang bersengketa. Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006tentang Peradilan Agama menjelaskan bahwa berdasarkan peraturan undang-undang yang ada, maka penyelesaian sengketa yang melalui peradilan, harus melalui Pengadilan Agama. Namun, jika para pihak menentukan lain, yakni penyelesaian sengketa diluar pengadilan agama, baik melalui peradilan umum, arbitrase, dan cara-cara lain, maka hal itu juga tidak bisa disalahkan, dengan syarat :

1.      Sudah disepakati bersama oleh para pihak dalam akad

2.      Penyelesaian sengketa tadi tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, seperti penyuapan.

 

b)     Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Mediasi Perbankan

Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilanmelalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral(non intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yangbersengketa serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yangbersengketa. Pihak ketiga tersebut disebut “mediator” atau “penengah”,yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalampenyelesaian masalah, perselisihan, atau pertikaian di antara para pihak yang bersengketa dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambilkeputusan. Dengan kata lain, mediator di sini hanya bertindak sebagai fasilitator. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian sengketa para pihak, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak berada di tangan mediator, tetapi di tangan para pihak yang sedang bersengketa. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, upaya penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank, selain melalui jalur peradilan, dapat pula dilakukan melalui negosiasi, mediasi dan arbitrase. Namun, upaya penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau jalur peradilan tidak mudah dilakukan bagi nasabah kecil dan usaha mikro dan kecil, mengingat hal tersebut memerlukan waktu dan biaya tidak sedikit. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa nasabah dengan bank perlu diupayakan secara sederhana, murah dan cepat melalui penyelenggaraan mediasi perbankan agar hak-hak mereka sebagai nasabah dapat terjaga dan terpenuhi dengan baik dan reputasi bak tetap terjaga.

 

c)      Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Arbitrase Syariah

Di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005memberikan kemungkinan alternative penyelesaian sengketa perbankansyariah tidak hanya melalui badan arbitrase syariah, tetapi dapat pulamelalui alternative penyelesaian sengketa lainnya. Demikian pulaPeraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 juga memberikan kemungkinan alternatif penyelesaian sengketa perbankan syariah melaluialternative penyelesaian sengketa lainnya di samping badan arbitrasesyariah. Pasal 20 Ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor7/46/PBI/2005 meneyatakan bahwa:

“Dalam hal musyawarah tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa atau Badan Arbitrase Syariah” Dalam semua fatwa Dewan Syariah Nasional selalu memuat ketentuan penyelesaian sengketa yang, diantaranya mentetapkan::

“Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak,maka penyelesaiannya dilakukanmelalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatanmelalui musyawarah”.Dengan memedomani ketentuan dalam Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007, maka penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui mekanisme arbitrase syariah baru dapat dilakukan jika penyelesaian sengketa melalui mediasi, termasuk mediasiperbankan tidak mencapai kesepakatan. Jadi, mekanisme arbitrase syariahdapat dilakukan jika penyelesaian sengketa perbankan syariah melaluimusyawarah dan mediasi tidak mencapai kata sepakat.

d)     Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Litigasi(Peradilan)

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa penyelesaiansengketa perbankan syariah, selain dilakukan melalui musyawarah,mediasi perbankan, dan arbitrase syariah juga dapat dilakukan melaluibadan peradilan. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 4 ayat (3) PeraturanBank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 yang menyatakan bahwa dalam halpenyelesaian sengketa melalui mediasi termasuk mediasi perbankan tidakmencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukanmemalui lembaga peradilan berdasarkan peraturan perundang-undanganyang berlaku. Dari sini sudah jelas bahwa penyelesaian sengketaperbankan syariah juga dapat dilakukan melalui lembaga peradilan sebagaialternative terkahir penyelesaian sengketa perbankan syariah, setelahmelalui musyawarah,mediasi perbankan dan arbitrase syariah tidaktercapai kesepakatan penyelesaian sengketa perbankan syariah.Ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama belum diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, masih terdapat perdebatan badan peradilan mana yang sesuai dengan dalam menyelesaiakan persengketaan perbankan syariah tersebut, apakah peradilan umum atau peradilan agama karena keduanya dianggap mempunyai kekuatan dan kelemahan. Ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa Peradilan Umum lebih berwenang di dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa perbankan syariah dengan pertimbangan sebagai berikut:

a.       Wewenang peradilan umum juga menangani bidang bisnis, spertipengadilan niaga yang berada di bawah naungan peradilan umumsehingga pada peradilan umum tersebut bisa disediakan satu kamaryang menerima kasus tentang bisnis syariah.

b.      Menghindari terjadinya gesekan-gesekan politik yang masih aprioriterhadap umat Islam sehingga mengakibatkan tidak lancarnyapelaksanaan sistem ekonomi syariah.

Penempatan sengketa bisnis syariah pada pengadilan agama justruakan memperlambat pertumbuhan bisnis syariah karena ada kesan pengadila agama hanya pengadilan bagi mereka yang beragama Islam. Para pihak yang menggunakan bisnis syariah belum tentubergama Islam semua. Sementara ada anggapan bahwa para pihakyang harus bersengketa di pengadilan agama adalah harus muslimmengingat asas personalitas yang dianutnya.[19]


 

BAB II

KESIMPULAN

 

Pembiayaan bermasalah adalah suatu penyaluran dana yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah yang dalam pelaksanaan pembayaran pembiayaan oleh nasabah itu terjdi hal-hal seperti pembiayaan yang tidak lancar, pembiayaan yang debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang dijanjikan, serta pembiayaan tersebut tidak menepati jadwal angsuran.Pembiayaan bermasalah bagaimanapun akan berdampak negatif baik secara mikro (bagi bank dan nasabah) maupun secara makro (sistem perbankan dan perekonomian Negara).

Dalam sebuah akad atau perjanjian, tidak lepas dari potensi munculnya  suatu sengketa dikemudian hari. Hal ini dikarenakan adanya salah satu pihak yang melanggar dari isi akad atau perjanjian yang telah disepakati. Apabila atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan wanprestasi, karena ada hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang yang menderita kerugian. Sengketa Perbankan Syariah dapat disebkan oleh wanprestasi. Tata cara menyatakan debitur wanprestasi:

1.      Sommatie: Peringatan tertulis dari kreditur kepada debitur secara resmi melalui Pengadilan Negeri.

2.      Ingebreke Stelling: Peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui Pengadilan Negeri. Isi Peringatan:

-          Teguran kreditur supaya debitur segera melaksanakan prestasi;

-          Dasar teguran;

-          Tanggal paling lambat untuk memenuhi prestasi (misalnya tanggal 9 Agustus 2015).

Pasal 55 Perbankan Syariah menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa terkait perbankan syariah dapat dilakukan melalui dua jalur pengadilan, Yaitu (1) dilakukan oleh pengadilan agama dalam lingkungan peradilan agama serta (2) di luar pengadilan agama dalam hal para pihak telah memperjanjikan melalui akad penyelesaian sengketa selain melalui pengadilan agama, dengan catatan penyelesaian sengketa tadi tidak boleh menentang dengan prinsip syariah. Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan di luar pengedilan agama sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut :

a.       Musyawarah

b.      Mediasi perbankan

c.       Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain

d.      Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum (pasal 55 UU Perbankan Syariah)

 


 

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Perdilan Agama,(Jakarta: kencana,2012)

Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010)

Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis,(Yogyakarta: Citra Media, 2006)

Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004)

Faturahman Djamil, Penyelesaian Pembiayan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta:Sina Grafika,2012)

http://danifsunny.blogspot.co.id/2014/05/pembiayaan-bermasalah-perbankan-syariah.html

http://fatimaajja.blogspot.co.id/2012/06/musyarakah-dan-mudharabah.html

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori kePraktek, (Jakarta: Gama Insani Press, 2001)

Muhammad, Manajemen bank Syari’ah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005)

Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN,2005)

Republik Indonesia,Surat Edar Bank Indonesia No. 10/35/DPbS,(Jakarta: 22 oktober 2008)

Robert Tompubolon, Risk Management: pendekatan kualitatif Untuk Bank Komersial, (Jakarta: PT Elex Media Komputinda, 2004)

Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana, 2007)

Vethrizal Rivai dan Avriyan Arifin. Islamic Banking: Sebuah Teori, Konsep dan Aplikasi.(Jakarta:PT.Bumi Aksara.2010)

Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah: Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009)



[1]Muhammad, Manajemen bamk Syari’ah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), h. 304

[2]Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori kePraktek, (Jakarta: Gama Insani Press, 2001), h 160

[3]Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010) h. 260

[4]Robert Tompubolon, Risk Management: pendekatan kualitatif Untuk Bank Komersial, (Jakarta: PT Elex Media Komputinda, 2004), h. 24

[5]http://danifsunny.blogspot.co.id (Diunduh Tanggal 22 Oktober 2015)

[6]Vethrizal Rivai dan Avriyan Arifin. Islamic Banking: Sebuah Teori, Konsep dan Aplikasi.(Jakarta:PT.Bumi Aksara.2010), h.742-748

[7] Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah,(Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN,2005), h. 168-169

[8] Faturahman Djamil, Penyelesaian Pembiayan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta:Sina Grafika,2012), h. 95

[9] Republik Indonesia,Surat Edar Bank Indonesia No. 10/35/DPbS,(Jakarta: 22 oktober 2008)

[10] Ibid muhammad

[11] Ibid muhammad

[12] Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah: Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), h.231

[13] Ibid., h.232-238

[14] Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 115

[16] Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 5

[17] Zubairi Hasan , Undang-Undang Perbankan Syariah, (Jakarta: PT Raja grafindo,2009),hal 225

[18] Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis,(Yogyakarta: Citra Media, 2006),h. 3

[19] Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Perdilan Agama,(Jakarta: kencana,2012), h. 427

Tidak ada komentar:

Posting Komentar