A. Konsep Dasar Pendidikan Karakter
Secara harfiah, karakter berarti kualitas mental atau
moral, nama atau reputasinya. Dalam pandangan Doni Koesoema karakter
diasosiasikan dengan temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan
unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan.
Karakter juga dipahami dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur
somatopsikis yang dimiliki oleh individu sejak lahir. Disini karakter dianggap
sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik
atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang, yang bersumber dari
bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungannya, misalnya pengaruh keluarga pada
masa kecil dan bawaan seseorang sejak lahir. Menurut Tadkirotun Musfiroh
karakter mengacu kepada serangkaian sikap (Attitude),
Perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan ketrampilan (skillls). Makna karakter sendiri
sebenarnya berasal dari Yunani yang berarti to
mark (menandai) dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan
dalam bentuk tindakan tingkah laku.[9] Sehingga
orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan berperilaku jelek dikatakan sebagai
orang yang berkarakter jelek. Sebaliknya , orang yang berperilaku sesuai dengan
kaidah moral dinamakan berkarakter mulia.
Mmenurut Ratna Megawati dalam bukunya Dharma Kusuma
menjelaskan bahwa pendidikan karakter yaitu “ sebuah usaha untuk mendidik
anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam
kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif
kepada lingkungan”[10].
Selanjutnya menurut Suyanto karakter
adalah cara berfikir dan berperilaku yang menjadi cirikhas individu untuk hidup
dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.[11] Sedangkan
Menurut Fakry Gaffar pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi
nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkan dalam kepribadian seseorang sehingga
menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu[12]. Hal ini berbeda dengan Hermawan Kertajaya yang menyatakan, bahwa karakter adalah
ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut
bersifat asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu terebut, dan
merupakan mesin yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, belajar
dan merespon sesuatu. [13]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan
karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta
didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta
adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkunan maupun bangsa, sehingga
terwujud insan kamil[14].
B. Dasar Tujuan
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter pada umumnya bertujuan
untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral
bertoleran, bergotong-royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis,
berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semua dijiwai oleh iman dan
takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan pancasila.[15]
Melalui pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas,
tidak hanya otaknya namun juga cerdas secara emosi. Kecerdasan emosi adalah
bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan. Dengan
kecerdasan emosi, seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam
tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono merumuskan
lima tujuan pendidikan karakter, yaitu:[16]
a.
Membentuk
manusia Indonesia yang bermoral.
b.
Membentuk
manusian Indonesia yang cerdas dan rasional.
c.
Membentuk
manusia Indonesia yang inovatif dan suka bekerja keras.
d.
Membentuk
manusia Indonesia yang optimis dan percaya diri.
e.
Membentuk
manusia Indonesia yang berjiwa patriot
Hal ini sesuai dengan rumusan tujuan pendidikan nasional yang
terdapat pada UUSPN No.20 tahun 2003 Bab 2 Pasal 3:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi anak didik agar menjadi
manusia yang berimandan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negarayang
demokratis serta bertanggung jawab.[17]
Selain itu, pendidikan karakter bertujuan untuk menanamkan nilai dalam
diri siswa dan sebagai pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai
kebebasan individu. Untuk tujuan jangka panjangnya adalah mendasarkan diri pada
tanggapan aktif kontekstual individu atas impuls natural sosial yang
diterimanya, yang pada gilirannya semakin mempertajam visi hidup yang akan
diraih lewat proses pembentukan diri secara terus-menerus (on going
formation).[18]
Sedangkan dari segi pendidikan , pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan
mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian
pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan
seimbang.[19]
C. Nilai – Nilai Pendidikan Karakter
Nilai adalah suatu jenis kepercayaan seseorang, tentang
bagaimana seseorang sepatutnya, atau tidak sepatutnya dalam melakukan sesuatu,
atau tentang apa yang berharga untuk dicapai.[20]
Dalam pedidikan karakter, nilai – nilai atau kebajikan merupakan dasar atribut dalam
membentuk karakter. Oleh karena itu, pendidikan karakter adalah pengembangan nilai – nilai yang berasal dari
pandangan ideology bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai – nilai
dalam perumusan tujuan pendidikan nasional.[21]
Hal ini dapat dirumuskan bahwasannya nilai – nilai dalam pendidikan karakter di
Indonesia berasal dari empat sumber, yaitu: pertama, Agama: masyarakat
Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu,, kehidupan individu,
masyarakat, bangsa selalu didasari pada ajaran agama. Atas dasar pertimbangan
itu, maka pnilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan
pada nilai-nilai dan kaedah yang berasal dari agama. Kedua, Pancasila:
Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang disebut pancasila. Pancasila terdapat pada
pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat
dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai
yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan
seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta
didik menjadi warga negara yang baik, yaitu warga negara yang memiliki
kemampuan , dan menerapkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya sebagai
warga Negara. Ketiga, Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada
manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya
yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam
pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota
masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan maysarakat
mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter
bangsa. Keempat, Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas
yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai
satuan pendidikan diberbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional
memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia.
Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling
operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.[22]
Selain
dari keempat sumber nilai tersebut sebenarnya bangsa Indonesia diharapkan
memiliki 18 nilai – nilai dalam pendidikan karakter, diantaranya:[23]
No |
Nilai Karakter |
Pengertian |
1 |
Religius |
Sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan agama yang dianutnya, toleran
terhadap pelaksanaan ibadah agama lain dan hidup rukun dengan pemeluk agama
lain. |
2 |
Jujur |
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. |
3 |
Toleransi |
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. |
4 |
Disiplin |
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan. |
5 |
Kerja Keras |
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan. |
6 |
Kreatif |
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru
dari sesuatu yang telah dimiliki. |
7 |
Mandiri |
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas. |
8 |
Demokratis |
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain. |
9 |
Rasa Ingin Tahu |
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam
dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. |
10 |
Semangat Kebangsaan |
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. |
11 |
Cinta Tanah Air |
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. |
12 |
Menghargai Prestasi |
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain. |
13 |
Bersahabat/Komunikatif |
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain. |
14 |
Cinta Damai |
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain. |
16 |
Peduli Lingkungan |
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. |
17 |
Peduli Sosial |
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan. |
18 |
Tanggung Jawab |
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya,
yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. |
D. Pusat dan Peranan Pendidikan Karakter
Pusat pendidikan karakter memiliki tiga titik utama dalam
perkembangan peserta didik atau anak. Ketiganya bias dapat diimplementasikan
secara struktural dan kontekstual. Secara struktural artinya membangun karakter
dapat dimulai dari lingkungan keluarga sebagai lingkungan pendidikan informal,
sekolah sebagai pendidikan formal, dan lingkungan masyarakat sebagai pendidikan
nonformal. Sementara aspek kontekstual terkait dengan nilai-nilai pokok yang
diperlukan untuk membentuk kekuatan karakter.[24]
Adapun nilai-nilai pokok pendidikan karakter ini dapat diinternalisasikan pada
pusat-pusat pendidikan karakter yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah,
dan lingkungan masyarakat.
1.
Lingkungan
Keluarga
Lingkungan
keluarga dapat didefinisikan sebagai unit terkecil dari masyarakat yang terdiri
dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul serta tinggal di suatu
tempat yang saling bergantung satu sama lain.[25]sementara
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keluarga adalah suatu kumpulan yang
terdiri dari bapak, ibu, beserta anak-anaknya dan seisi rumah.[26]
Menurut
Suparyanto dalam bukunya Syamsul Kurniawan mendefinisikan sebagai dua atau
lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, dan adopsi
dalam satu rumah tangga, yang saling berinteraksi. Keluarga menurutnya juga
mempunyai bentuk – bentuk diantaranya:
Pertama, keluarga inti (nuclear family) adalah keluarga yang
dibentuk karena ikatan perkawinan yang direncanakan yang terdiri dari suami,
istri, dan anak-anak, baik karena kelahiran atau adopsi. Kedua, keluarga
asal (family of origin) merupakan suatu unit keluarga tempat asal
seseorang dilahirkan. Ketiga, keluarga besar (extended family),
yaitu keluarga inti ditambah dengan keluraga lain karena hubungan darah,
misalnya kakek,nenek, bibi. Keempat, keluarga berantai, yaitu keluarga
yang terbentuk karena penceraian atau kematian pasangan yang dicintai dari
wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali da merupakan suatu keluarga
inti. Kelima, keluarga duda atau janda (single family) adalah
keluarga yang terjadi karena penceraian dan atau kematia pasangan yang
dicintai. Keenam, keluarga komposit (composite family) adalah
keluarga dari perkawinan poligami dan hidup bersama. Ketujuh, keluarga
kohabitasis (cohabitation), yaitu dua orang menjadi satu keluarga tanpa
pernikahan. Kedelapan, keluarga inses (incest family), yaitu
keluarga dengan pernikahan sedarah.[27]
Peran
penting keluarga sangat berpengaruh pada anak, khususnya dalam pedidikan. Keluarga
merupakan wahana terbaik dalam proses sosialisasi dan pendidikan bagi
anak-anak. Pedidikan dalam keluarga sebetulnya adalah inti yang menjadi fondasi
untuk perkembangan anak karena keluarga menjadikan bentukan pertama karakter
anak baik melalui mendidik, mengasuh, mensosialisasikan sesuatu pada anak,
mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di
masyarakat dengan baik. Hal ini diperkuat oleh pandapat Suyanto, dasar pendidikan
karakter sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau biasa disebut para
ahli psikologi sebagai usia emas, karena usia ini terbukti sangat menentukan
kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian Suyanto
menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah
terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada
usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasarwasa keudua. Dari
sini kemudian menyimpulkan bahwa pendidikan karakter dimulia dari dalam
keluarga yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.[28]
Lingkungan
keluarga mejadi tempat berlangsungnya sosialisasi yang berfungsi dalam
pembentukan kepribadian sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk keagamaan. Keluarga yang
rukun, harmonis, dan damai akan mempengaruhi kondisi psikologis dan karakter
seorang anak. Begitupun sebaliknya, anak yang kurang berbakti bahkan melakukan
tindakan di luar moral kemanusiaan disibabkan karena ketidakharmonisan dalam
lingkungan keluarga.
Beberapa
teori pendidikan yang kita kenal, misalnya teori empirisme menyebutkan anak
lahir seperti kertas putih (tabularasa), yang bisa ditulis apa saja oleh orang
dewasa. Aliran ini berpendapat bahwa lingkungan mempengaruhi karakter si anak.
Ada juga teori nativisme yang menyebutkan bahwa anak membawa karakter, bakat,
minat dari sejak lahirnya. Artinya, anak
lebih banyak dibentuk oleh factor bawaan dari sejak lahir. Ada juga teori
konvergensi yang berpendapat bahwa baik factor bawaan maupun lingkungan saling
mempengaruhi perkembangan anak.
Dalam
pendidikan karakter anak dilingkungan keluraga perlu diperhatikan juga
nilai-nilia karakter yang harus terbentuk. Pembentukan nilai-nilai karakter ini
menjadikan tumbuhnya sebuah idealism untuk pemantapan identitas diri. Penanaman
nilai-nilai karakter di lingkungan keluarga dapat mengacu pada delapan belas
nilai dengan penjelasan sebagai berikut:[29]
a.
Nilai relegius.
Nilai ini tidak cukup diberikan melalui
pelajaran, pengertian, penjelasan, dan pemahaman namun juga memerlukan
bimbingan, yaitu usaha untuk menuntun, mengarahkan sekalingus mendampingi anak
dalam hal-hal tertentu.
b.
Jujur, Sifat
ini merupakan sifat dasar yang harus dimiliki anak namun seringkali orang tua
mengabaikanya. Sebagai refleksi, ada beberapa hal yang dapat dilakukan orang
tua untuk menumbuhkan kejujuran pada anak yaitu: jangan membohongi anak, hargai
kejujuran anak, tanamkan kejujuran sejak dini, dan selalu memotivasi anak
berlaku jujur.
c.
Toleransi. Rasa
toleransi ini perlu diajarkan pada anak agar anak paham akan sebuah perbedaan
dan anak dapat menerima sebuah perbedaan tersebut. Dengan memiliki rasa
toleransi aak akan mampu menilai sebuah situasi, melihat kekuatan, kebutuhan,
dan ketertarikan orang lain yang senantiasa memiliki perbedaan. Ada beberapa
aspek dalam mengajarkan toleransi dan rasa hormat diantaranya: - buat anak
merasa bahwa dirinya special, aman, dan dicintai. - ciptakan sarana belajar di
tempat terbaru, orang-orang baru, da budaya berbeda. - gunakan komentar positif
untuk membentuk sikap si anak. - tunjukkan cara dalam mensikapi sebuah
toleransi.
d.
Disiplin. Kedisiplinan
perlu ditanamkan pada anak sejak dini. Dengan kedisiplinan menjadikan anak
dalam melakukan sesuatu langsung melakukannya tanpa adanya perintah secara
berkali-kali. Menumbuhkan rasa kedisiplinan memiliki hal – hal yang perlu diperhatikan, diantaranya: 1) orang tua harus
konsisten, 2) berikan aturan yang sederhana danjelas sehingga anak mudah
melakukannya, 3) jangan mengatur anak di hadapan orang lain karena hal itu akan
membuat anak merasa malu, 4) alas an dan tata tertib yang dilakukan itu perlu dijelaskan pada anak sehingga anak
melakukannya dengan penuh kesadaran, 5) hadiah berupa pujian, penghargaan,
barang/ kegiatan apabila anak melakukan perilaku positif, 6) orang tua harus
berhati-hati dalam memberikan hukuman, 7) jangan terlalu kaku dalam menegakkan
disiplin, 8) sebaiknya anak dilibatkan dalam setiap membuat tata tertib
sehingga anak merasa dihargai dan diakui dalam keluarga, 9) bersikap tegas
bukan berarti bersikap kasar baik dalam tindakan fisik atau perbuatan.
e.
Kerja keras. Dalam
ranah ini anak harus diberikan kesadaran bahwa untuk mendapatkan uang, kita
harus bekerja dan tanpa uang kita tidak akan dapat memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Oleh karena itu orang tua harus dapat menjadi teladan dan anak
harus diberikan penjelasan bahwa kerja keras yang baik dan benar akan
mendatangkan kebaikan, baik berupa materi, fasilitas, kehormatan, dan tentu
pahala dari tuhan.
f.
Kreatif. Dalam
pendidikan keluarga sebuah kreatifitas anak sering kali diabaikan karena para
orang tua kebanyakan hanya terfokus pada ranah kognitif saja dengan tujuan
anaknya pandai dan menjadi pintar. Perspektif ini perlu diluruskan, karena
selain kognitif sebuah kualitas pendidikan juga dinilai dari kualitas –
kualitas yang lebih subtantif seperti kemampuan mengambil keputusan,
menumbuhkan kreativitas, keterampilan berkarya, dan lainnya. Ada beberapa hal
yang dapat dilakukan orang tua untuk menumbuhkan kreativitas pada anak,
diantaranya sebagai berikut: 1) bangun ruang yang kondusif untuk anak, 2) orang
tua seyogyanya memberi kesempatan dan dorongan untuk kegiatan di luar
pelajarannya di sekolah, 3) dorongan lebih banyak dari pada larangan, 4)
apresiasi inisiatif dan kerja keras anak, 5) perbesar toleransi pada kesalahan
dan ketidaksempurnaan, 6) ekspose pada keragaman.
g.
Mandiri.
Kemandirian merupakan salah satu modal penting bagi anak – anak untuk bertahan
hidup kelak saat mereka dewasa. Karenanya mengajarkan kemandirian merupakan
salah satu tanggung jawab terpenting yang dimiliki orang tua. Kemandirian dapat
ditanamankan melalui cara berikut: 1) sediakan pilihan – pilihan, 2) tetapkan
waktu tidur malam yang rutin, 3) jangan melakukan sesuatu untuk anak bila
dia mampu melakukannya sendiri.
h.
Demokratis. Perilaku ini membutuhkan prasyarat kerelaan mendengarkan dan menghargai pendapat orang
lain. Pembentukan perilaku ini harus dimulai dari orang tua sendiri agar
tidak memiliki sikap otoriter terhadap anak. Orang tua harus
menghargai setiap pendapat anak, dan tidak melakukan hukuman semenah – menah melainkan perlu adanya sudut pandang lain ketika anak
melakukan kesalahan dengan begitu secara
tidak langsung anak akan mengikuti
perilaku kita sebagai orang tua.
i.
Rasa ingin
tahu. Rasa ingin tahu membuat kecerdasan
anak semakin berkembang, dengan
pertanyaan yang dilontarkan pada anak secara tidak langsung perkembangan otak
anak akan semakin meningkat dan pengetahuan anak semakin
tahu akan banyak hal. Para ahli pendidikan umumnya sepakat bahwa salah
satu ciri anak cerdas adalah memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar.
j.
Semangat
kebangsaan. Dalam kaitannya dengan mendidik semangat kebangsaan pada anak, orang
tua dapat memanfaatkan momen liburan
dengan mengajak anak berkunjung ke museum. Dengan pergi ke museum, orang tua
dapat mengajarkan banyak hal terutama yang berhubungan dengan
sejarah. Anak akan lebih bisa menghargai warisan – warisan leluhur dan
orang tua juga dapat menamkan semangat kebangsaan yang lebih lagi kepada anak.
k.
Cinta tanah
air. Di era globalisasi ini banyak anak yang sudah mulai lupa dengan identitas
bangsanya sendiri. Anak – anak cenderung lebih suka hal – hal yang kebarat –
baratan. Untuk menghindari dari perspektif ini, orang tua dapat melakukan hal –
hal kecil seperti ketika berpergian ke suatu
tempat, anak dikenalkan dengan makanan ataupun minuman khas dari daerah
tersebut sehingga anak mengenal keaneragaman kuliner yang ada di Indonesia.
Cara lainnya adalah menanamkan perasaan bangsa memakai batik sebagai salah satu
warisan dari leluhur yang juga merupakan
identitas dari Negara Indonesia.
l.
Menghargai
prestasi. Ganjaran yang diberikan sebagai
bentuk penghargaan dari orang tua
atas prestasi yang dilakukan oleh anaknya adalah hal penting yang dapat
menopang keberhasilan penanaman nilai
karakter “menghargai prestasi” pada anak.
m.
Bersahabat/ Komunikatif.
Banyak factor yang dapat membuat anak
tumbuh dan berkembang dengan baik. Salah
satunya, memberik sedikit pada anak agar mudah bergaul. Sebab, anak yang punya banyak teman sesungguhnya dapat
membawa dampak positif bagi perkembangannya, terutama dalam menumbuhkan
karakter pandai bersahabat dan mampu berinteraksi serta berkomunikasi secara
baik di lingkungannya.
n.
Cinta Damai.
Dalam hal ini peran penting keluarga harus menjadi teladan yang baik dalam
menumbuhkan karakter cinta damai pada anaknya. Untuk tujuan tersebut orang tua
harus menjaga emosi dan keegoisannya
agar tidak bertengkar, dengan hal ini psikologi anak akan mengalami cinta kasih
dan perdamain dalam hati anak.
o.
Gemar membaca.
Gemar membaca dapat ditumbuhkan melalui sebuah kecintaan akan membaca. Dengan
sebuah kecintaan ini kelak akan anak dapati sebagai sosok yang mencintai
aktifitas membaca sekalipun ia masih terlalu dini untuk mengenal huruf dan
susunan kalimat dalam buku.
p.
Peduli
lingkungan. Sikap kecintaan lingkungan anak merupakan hasil proses pendidikan yang dialaminya, baik
dari sekolah maupun orang tua. Pada
umumnya anak menghabiskan dua pertiga
hari di rumah. Oleh karena itu,
pendidikan yang paling efektif adalah keteladanan dari orang tua. Untuk
itu, orang tua perlu membiasakan pola hidup yang bersih, sehat, dan ramah
lingkungan dalam keluarga. Tanamkan
pada diri anak bahwa menjaga alam
merupakan bagian dari ibadah, yang memberi manfaat bagi peningkatan kualitas
hidup.
q.
Peduli sosial. Untuk
menanamkan jiwa sosial tersebut pada anak, orang tua harus lebih banyak
melakukan praktik daripada hanya berteori sehingga anak-anak akan mencontoh
perbuatan-perbuatan nyata yang orang tua lakukan. Banyak hal yang dapat
dipraktikkan untuk menanamkan jiwa sosial pada anak, antara lain: mengajak anak
bersama-sama menengok saudara atau tetangga yang sedang sakit, mengajak anak
bersama-sama mengunjungi panti jompo, rutin bersedekah dan mengajarkan
pentingnya bersedekah pada anak, berbagi kebahagiaan dengan anak-anak jalanan
saat ulang tahun anak, menyuguhi minuman pada tukang sampah yang mengangkut
sampah dari rumah kita, berbagi makanan yang kita masak pada tetangga di
sekitar yang kurang mampu, dan mengajak untuk bersama-sama berbagi kebahagiaan
di hari raya keagamaan dengan anak-anak di panti asuhan.
r.
Tanggung jawab.
Tanggung jawab ini dapat ditumbuhkan pada jiwa anak salah satunya ialah melalui
pembagian tugas rumah. Dengan memberikan suatu tugas, amanah, pekerjaan
tertentu, yang kemudian dikontrol kembali.
2.
Lingkungan
Sekolah
Lingkungan
sekolah yang merupakan lingkungan pendidikan formal, juga menentukan dalam
perkembangan dan pembinaan karakter peserta didik. Bahkan sekolah dapat disebut
sebagai lingkungan pendidikan kedua setelah keluarga yang berperan dalam
pendidikan karakter pada seorang peserta didik.[30]hal
ini cukup beralasan karena sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut
berbagai ilmu pengetahuan.
Tujuan
pendidikan di lingkungan sekolah, termasuk pengembangan karakter, semestinya
dapat dicapai melalui pengembangan dan implementasi kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP) yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Di dalam
SNP telah secara jelas dijabarkan standar kompetensi lulusan dan materi yang
harus disampaikan kepada peserta didik.
Demikian
pula basis dari pengembangan kurikulum 2013 juga adalah membangun pendidikan
berkarakter. Menurut Hamid Muhammad, ada tiga nilai utama yang dikembangkan di
dalam kurikulum 2013. Pertama, menghormati kembali norma-norma budaya bangsa.
Pembangunan karakter jujur, bertanggung jawab, dan disiplin merupakan sebagian
dari hal itu. Kedua, menumbuhkan nilai-nilai keilmuan. Ketiga, menumbuhkan
nilai kebangsaan serta cinta tanah air, termasuk menghargai budaya dan karya
bangsa.[31]
Pendidikan
karakter di lingkungan sekolah seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan
nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke
pengamalan nilai secara nyata. Oleh karena itu, pendidikan karakter yang selama
ini ada di lingkungan sekolah perlu segera dikaji dan dicari alternatif-alternatif
solusinya, serta perlu dikembangkan secara lebih operasional sehingga mudah
diimplementasikan.[32]
Kegiatan
pembinaan kesiswaan yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah
satu media yang potensial untuk pendidikan karakter dan peningkatan mutu
akademik peserta didik. Kegiatan pembinaan kesiswaan merupakan kegiatan
pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik
sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang
secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang
berkemampuan dan berkewenangan di lingkungan sekolah sekolah.[33]
Ada
beberapa aspek penting yeng semestinya diperhatikan dalam pendidikan karakter
di lingkungan sekolah, yaitu:
a.
Pembenahan
kurikulum sekolah
Pengembangan
pendidikan karakter di lingkungan sekolah pada dasarnya adalah mengusahakan
agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai karakter sebagai milik
mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan
mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya
menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip tersebut,
peserta didik belajar melalui proses “berpikir, bersikap, dan berbuat”. Ketiga
proses dalam pendidikan karakter ini bertujuan untuk mengembangkan kamampuan
peserta didik dlaam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk
melihat diri sendiri tidak hanya sebagai makhluk individu, tetapi juga makhluk
sosial.[34]
Selain
paparan diatas, pengembangan kurikulum pendidikan karakter pada prinsipnya
terintegrasi ke dalam mata – mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya
sekolah. Oleh karena itu, guru dan pemangku kebijakan pendidikan di sekolah
hendaknya dapat mengintegrasikan nilai – nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter ke dlaam kurikulum
sekolah, silabus, dan rencana program pembelajaran.
b.
Memperbaiki
kompetensi, kinerja, dan karakter guru/ kepala sekolah
Kompetensi
merupakan keharusan yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia berhasil
dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang guru.[35]
Menurut Asnawir dalam bukunya Syamsul Kurniawan ada tiga kompetensi yang harus
dan sudah dimiliki seorang guru, yaitu pertama, kompetensi dibidang kognitif,
yaitu kemampuan intelektual yang harus dimiliki
oleh seorang guru yang mencakup penguasaan materi pelajaran, pengetahuan
cara mengajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang adminitrasi kelas,
pengetahuan tentang cara menilai hasil belajar murid, pengetahuan tentang
kemasyarakatan, serta pengetahuan umum lainnya.
Kedua,
kompetensi di bidang sikap, yaitu kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai
hal berkenaan dengan tugas dan profesinya yang mencakup: menghargai pekerjaan,
mencintai, dan memiliki perasaan senang terhadap mata pelajaran yang dibinanya,
punya sikap toleransi terhadap sesame taman profesinya, dan mempunyai kemauan
yang keras untuk mengetahui hasil pekerjaannya. Ketiga, kompetensi perilaku,
yaitu kemampuan guru dalam berbagai keterampilan berperilaku yang mencakup
keterampilan mengajar, membimbing, menggunakan alat bantu, media pengajaran,
bergaul/ berkomunikasi dengan teman dalam menumbuhkan semangat belajar murid,
menyusun persiapan perencanaan mengajar dan
keterampilan pelaksanaan adminitrasi kelas.[36]
Adapun
menurut Nini Subini, kompetensi yang harus dimiliki seorang guru yaitu: kompetensi pedagogic,
kompetensi professional, kompetensi
sosial, dan kompetensi kepribadian. [37]
pada dasarnya, kompetensi pedagogic adalah kemampuan yang harus dimiliki guru
dalam mengajarkan materi tertentu kepada peserta didiknya. Kompetensi ini
antara lain: 1) memahami karakteristik peserta didik dari berbagai aspek
sosial, moral, dan kultural, emosional, dan intelektual, 2) memahami gaya
belajar dan kesulitan belajar peserta didik, 3) memfasilitasi pengembangan
potensi peserta didik, 4) menguasai teori dan prinsip belajar serta
pembelajaran yang mendidik, 5) mengembangkan kurikulum yang mendorong
keterlibatan peserta didik dlaam pembelajaran , 6) merancang pembelajaran yang
mendidik, 7) melaksanakan pembelajaran yang mendidik, 8) memahami latar
belakang keluarga dan masyarakat peserta didik dan kebutuhan belajar dalam
konteks kebhinekaan budaya, 9)
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran,
10) berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik, 11)
mengevaluaasi proses dan hasil pembelajaran, 12) melakukan tindakan reflektif
untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, 13) pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.[38]
Selanjutnya,
kompetensi professional berupa kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara
luas dan mendalalm yang memungkinkannya membimibing peserta didik memenuhi
standar kompetensi. Selain itu, kompetensi professional juga berhubungan dengan
penguasaan konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni
yang relevan serta penyesuaian tugas – tugas keguruan lainnya. Oleh sebab itu,
tingkat keprofesionalan seorang guru dapat dilihat dlaam kompetensinya berupa:
pertama, kemampuan untuk menguasai landasan kependidikan misalnya memahami
tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional, institusional,
kurikuler, dan tujuan pembelajaran. Kedua,
pemahaman di bidang psikologi pendidikan misalnya memahami tentang
tahapan perkembangan peserta didik dan paham tentang teori – teori belajar.
Ketiga,
kemampuan dalam penguasaan materi pembelajaran sesuai dengan bidang studi yang
diajarkannya. Keempat, kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodelogi dan
strategi pembelajaran. Kelima, kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai
media dan sumber belajar. Keenam, kemampuan dlaam melaksanakan evaluasi
pembelajaran dan penelitian. Ketujuh, kemampuan
dalam menyusun program pembelajaran. Kedelapan, kemampuan dalam
mealaksanakan unsur penunjang misalnya, adminitrasi sekolah, bimbingan, dan
penyuluhan. Kesembilan, kemampuan dlam melaksanakan penelitian dan berpikir
ilmiah untuk meningkatkan kinerja. Kesepuluh, kemampuan meingkatkan kualitas
pembelajaran melalui evaluasi dan penelitian. Kesebelas, mengembangkan
keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif. Keduabelas,
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan
mengembangkan diri.[39]
Kompetensi
sosial adalah kompetensi yang berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota
masyarakat dan makhluk sosial. Dlam hal ini juga termasuk kemampuan guru dalam
komunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua atau wali dan masyarakat. kompetensi sosial yang
dimaksud mencakup: 1) kemampuan guru dlaam berinteraksi dan berkomunikasi
dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya, 2) kemampuan
guru untuk mengenal dan memahami fungsi – fungsi setiap lembaga kemasyarakatan,
3) kemampuan guru untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun
secara kelompok, 4) kemampuan guru berkomunikasi secara simpatik dan empatik
dengan peserta didik, orang tua peserta didik, sesama pendidik dan tenaga
kependidikan, dan masyarakat, serta memiliki kontribusi terhadap perkembangan
peserta didik, sekolah dan masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan pengembangan diri, 5) seorang
guru dapat bersikap inklusif, bertindak objektif serta tidak diskriminatif
karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga dan status sosial –
ekonomi, 6) seorang guru dapat beradaptasi di tempat bertugas di seluruh
wilayah Indonesia yang mempunyai keragaman sosial budaya, 7) seorang guru dapat
berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan
dan tuliisan atau bentuk lain seperti bahasa isyarat, 8) seorang guru dapat
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga
kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik, 9)
seorang guru dapat bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan
mengindahkan norma serta system nilai yang berlaku, 10) menerapkan prinsip –
prinsip persaudaraan sejati dan semangat
kebersamaan.[40]
Terakhir,
kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berhubungan dengan pribadi masing
– masing guru. Kompetensi kepribadian meliputi: 1) memiliki kepribadian yang mantap,
stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, 2) menjadi teladan bagi peserta didik dan
masyarakat, 3) dewasa, juur, dan
berakhlak mulia, 4) mampu mengevaluasi kinerja sendiri, 5) mampu mengembangkan
diri secara berkelanjutan, 6) bertindak sesuai dengan norma agama, hukum,
sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia, 7) menunjukkan etos kerja, tanggung
jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri, 8)
menjunjung tinggi kode etik profesi guru.[41]
Adapun
terkait dengan pemerintah, kepala sekolah perlu memiliki power sharing
sebagai jalan untuk menjebatani antara keinginan sekolah dengan pemerintah.
Sementara strategi substansial, yaitu strategi pengembangan sekolah yang berbasis
pada kesatuan visi, misi, dan tujuan sekolah yang dijabarkan dalam program
pendidikan dan diaplikasikan dlaam
bentuk muatan kurikulum serta kegiatan intra dan ekstrakurikuler bagi peserta
didik. Orientasi vvisi, misi, dan tujuan pembelajaran di sekolah harus
berpedoman pada amanah yang diemban oleh lembaga pendidikan.
c.
Pengintegrasian
dalam budaya sekolah
Sekolah
adalah institusi sosial. Intuisi sosial
adalah organisasi yang dibangun masyarakat untuk memepertahankan dan
meningkatkan taraf hidupnya. Untuk itu, sekolah harus memiliki budaya sekolah
yang kondusif, yang dapat memberi ruang dan kesempatan bagi setiap warga
sekolah untuk mengoptimalkan potensi dirinya masing – masing.
Menurut
Kemendiknas dalam bukunya Agus Wibowo mendefenisikan budaya sekolah merupakan
suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi, baik dengan
sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai adminitrasi
dengan sesamanya, dan antar – anggota kelompok masyarakat sekolah. Interaksi
internal kelompok dan antar kelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral
serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah.[42]
Budaya
sekolah yang positif akan mendorong sumua warga sekolah untuk bekerja sama yang
didasarkan saling percaya, mengundang partisipasi seluruh warga, mendorong
munculnya gagasan – gagasan baru, dan memberikan kesempatan untuk terlaksananya
pembaruan di sekolah yang semuanya ini
bermuara pada pencapaian hasil
terbaik. Budaya sekolah yang baik dapat menumbuhkan iklim yang mendorong semua
warga sekolah untuk belajar, yaitu belajar bagaimana belajar dan belajar
bersama.
Budaya
sekolah yang baik dapat memperbaiki kinerja sekolah, baik kepala sekolah, guru, peserta didik, karyawan
maupun pengguna sekolah lainnya. Situasi tersebut akan terwujud manakala
kualifikasi budaya tersebut bersifat sehat, solid, kuat, positif, dan
profoseional. Dengan demikian, suasana kekeluargaan, kolaborasi, ketahanan
belajar, semangat terus maju, dorongan
untuk bekerja keras dan belajar mengajar dapat diciptakan.
Dalam
pendidikan karakter anak dilingkungan sekolah perlu diperhatikan juga
nilai-nilia karakter yang harus terbentuk. Pembentukan nilai-nilai karakter ini
menjadikan tumbuhnya sebuah idealisme untuk pemantapan identitas diri.
Berikut
penjelasan tentang strategi internalisasi karakter pada peserta didik di
lingkungan sekolah:
a.
Nilai relegius.
Kegiatan religious yang dapat
diajarkan kepada peserta didik di sekolah tersebut yang dapat dijadikan sebagai
pembiasaan, diantaranya: 1) berdoa atau bersyukur, 2) melaksanakan kegiatan di
musholla, 3) merayakan hari raya keagamaan sesuai dengan agamanya, 4)
mengadakan kegiatan keagmaan sesuai dengan agamanya.[43]
b.
Jujur.
Salah satu bentuk program yang dapat
dilakukan oleh sekolah untuk menumbuhkan kejujuran pada peserta didik adalah,
yaitu dengan membuat kantin kejujuran. Kantin kejujuran adalah tempat menjual
minuman dan makanan di sekolah kepada peserta didik dengan tujuan untuk melatih
kejujuran para peserta didik dalam membayar makanan dan minuman yang mereka
ambil.[44]
c.
Toleransi.
Untuk membentuk peserta didik yang
memiliki rasa toleransi terhadap sesama tentu tidak mudah. Namun, ada beberapa
poin penting yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam memulai dan berinovasi.
Beberapa poin yang dapat dijadikan acuan bagi guru dalam membentuk sikap
toleransi peserta didik, sebagai berikut: 1) memperhatikan ranah afektif, 2)
keteladanan guru, 3) pembiasaan terhadap perbedaan, 4) melatih heterogenitas
dalam kelompok.[45]
d.
Disiplin.
Kedisiplinan penting dimiliki
peserta didik sehingga seorang guru harus mampu menumbuhkan perilaku disiplin
dalam diri peserta didiknya, terutama disiplin diri sendiri. Dalam kaitan ini,
seorang guru harus mampu malakukan hal – hal berikut: 1) membantu peserta didik
mengembangkan pola perilaku untuk dirinya, 2) membantu peserta didik
meningkatkan standar perilakunya karena pserta didik berasal dari berbagai
latar belakang yang berbeda, jelas
mereka ada yang memiliki standar perilaku tinggi, sebaliknya ada yang mempunyai
standar perilaku yang sangat rendah, 3) menggunakan pelaksanaan aturan sebagai
alat.
e.
Kerja keras.
Peserta didik perlu diajrkan mengenai pentingnya kerja keras.
Kerja keras adalah perilaku yang
menunjukkan upaya sungguh – sungguh dalam mengatasi berbagi hambatan belajar
dan tugas serta menyelesaikan tugas
dengan sebaik – baiknya.[46]
Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan seorang guru untuk mengajarkan dan
menanamkan kegigihan dalam diri seorang
peserta didik: 1) bantu pserta didik untuk membuat target pencapaian yang
realistis dan bisa dicapai oleh peserta didik, 2) guru harus menyadari bahwa
target ataupun pencapaian adalah sarana belajar bagi peserta didik dan rambu –
rambu agar peserta didik menjadi giat dlam belajar dan berusaha, 3) hargailah
setiap proses belajar yang belajar yang telah dilalui peserta didik, 4) secara
eksplisit, ajarkan peserta didik akan arti nilai kerja keras dan ketekunan, 5) bila seorang peserta didik
menemui kegagalan dalam mencapai
targetnya, ajarkan peserta didik untuk berdamai dengan kegagalan itu, dan dorong peserta didik agar segera bangkit lagi
untuk menyelesaikan masalah tersebut, 6) berikan kesempatan kepada peserta didik untuk menghadapi tantangan dan hal – hal baru.[47]
f.
Kreatif.
Kreatif adalah suatu kemampuan umum
untuk menciptakan suatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagsan-gagasan baru yang dapat diterapkan
dalam pemecahan masalah, atau sebagai
kemampuan untuk melihat hubungan – hubungan baru antara unsur – unsur yang sudah ada
sebelumnya.[48]
Menurut Akhmad Sudrajat dalam buku Syamsul Kurniawan menunjukkan beberapa hal seseorang peserta didik
dikatakan memiliki kreativitas, yaitu: 1) merasa penasaran dan memiliki rasa ingin tahu, mempertanyakan, dan
menantang serta tidak terpaku pada kaidah – kaidah yang ada, 2) memiliki
kemampuan berpikir lateral dan mampu membuat hubungan – hubungan di luar
hubungan yang lazim, 3) memimpikan tentang sesuatu, dapat membayangkan, melihat
berbagai kemungkinan, bertanya “apa seandainya…?” dan melihat sesuatu
dari sudut pandang yang berbeda, 4) mengeksplorasi
berbagai pemikiran dan pilihan, mamainkan idenya, mencobakan alternatif –
alternative dengan melalui pendekatan yang segar, memelihara pemikiran yang
terbuka, dan memodifikasi pemikirannya untuk memperoleh hasil yang kreatif, 5)
merefleksi secara kritis atas setiap gagasan, tindakan, dan hasil – hasil,
meninjau ulang kemajuan yang telah dicapai, mengundang dan memanfaatkan umpan
balik, mengkritik secara konstruktif dan dapat melakukan pengamatan secara
cerdik.[49]
g.
Mandiri.
Mandiri adalah suatu sikap dan
perilaku yang mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas –
tugas. [50]
Untuk menjadi mandiri, perserta didik di lingkungan sekolah hendaknya sesekali
dibiasakan belajar secara mandiri. Peserta didik dapat mempelajari pokok
bahasan atau topic pelajaran tertentu dengan membaca buku atau melihat dan
mendengarkan program media audia visual tanpa bantuan atau dengan bantuan
terbatas dari orang lain. Di samping itu, peserta didik mempunyai otonomi dalam
belajar. Otonomi tersebut terwujud dalam beberapa kebebasan sebagai berikut: 1)
peserta didik mempunyai kesempatan untuk ikut menentukan tujuan pembelajaran
yang ingin dicapai sesuai dengan kondisi dan kebutuhan belajarnya, 2) peserta
didik boleh ikut menentukan bahan belajar yang ingin dipelajarinya dan cara mempelajarinya, 3) peserta didik
mempunyai kebebasan untuk belajar sesuai dengan kecepatannya sendiri, 4)
peserta didik dapat ikut menentukan cara evaluasi yang akan digunakan untuk
menilai kemajuan belajarnya.[51]
h.
Demokratis.
Demokrasi adalah cara berpikir,
bersikap, dan bertindak yang menilai secara sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Nilai –
nilai demokratis ini dipercaya akan membawa kehidupan berbangsa dan bernegara
dalam semangat egalitarian dibandingkan dengan ideology non-demokrasi. Menurut
Syamsul Kurniawan ada beberapa poin yang dapat dijadikan acuan dalam
mengajarkan dan menanamkan nilai – nilai
demokrasi dalam diri seorang peserta
didik: 1) peran guru, 2) pengembangan nilai – nilai demokratis dalam proses
pembelajaran di kelas, 3) menggunakan model active learning atau belajar
aktif, 4) dalam hal pengambilan keputusan, peserta didik harus dilatih secara
demokratis memutuskan dan melaksanakan keputusan secara bertanggung jawab.[52]
i.
Rasa ingin
tahu.
Rasa ingin tahu pada setiap orang
amatlah penting. Untuk itu, seorang guru seharusnya bisa memupuk sifat ini pada
peserta didik guna merangsang kreativitas di masa depannya. Menurut Syamsul
Kurniawan, sekurang – kurangnya ada empat alasan dalam pentingnya rasa ingin
tahu, yaitu: 1) rasa ingin tahu membuat pikiran peserta didik menjadi aktif, 2)
rasa ingin tahu membuat peserta didik menjadi para pengamat yang aktif, 3) rasa
ingin tahu akan membuka dunia – dunia
baru yang menantang dan menarik pserta didik untuk mempelajarinya lebih dalam,
4) rasa ingin tahu membawa kejutan – kejutan kepuasan dalam diri peserta didik
dan meniadakan rasa bosan untuk belajar.[53]
j.
Semangat
kebangsaan.
Semangat kebangsaan adalah cara
berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan
nebara di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya. Upaya menanamkan semangat
kebangsaan pada peserta didik di sekolah, diantaranya dapat melalui kegiatan –
kegiatan seperti: 1) melakukan upacara
bendara secara rutin di tiap minggunya,
2) melakukan ucpacara hari – hari besar nasional, 3) menyelenggarakan
peringatan hari kepahlawanan nasional, 4) memiliki program kunjungan ke tempat
bersejarah, 5) mengikutsertakan peserta didik dalam kegiatan lomba pada
peringatan hari besar nasional.[54]
k.
Cinta tanah
air.
Mengingat pentingnya rasa cinta
tanah air, sudah semestinya ditumbuhkembangkan dalam jiwa setiap peserta didik
di lingkungan sekolah. Beberapa kegiatan sekolah yang dapat menumbuhkembangkan
rasa cinta tanah air diantaranya: 1) menyanyikan lagi kebangsaan setiap upacara
bendera dan peringatan hari besar nasional, 2) memajang foto pahlawan nasional
di kelas – kelas, 3) memperingati hari besar nasional dengan kegiatan lomba atau pentas budaya, 4)
mengenalkan aneka kebudayaan bangsa secara sederhana dengan menunjukkan
miniature candid an menceritakannya, gambar rumah, dan pakaian adat, 5) mengenakan pakaian adat pada hari
kartini atau hari lainnya yang dirasa
perlu, 6) mengunjungi museum terdekat, 7) dan lain – lain.[55]
l.
Menghargai
prestasi.
Pendidikan adalah proses memindahkan
ilmu pengetahuan dan informasi dari guru
ke peserta didik. Karena merupakan proses maka harus ada tolak ukur prestasi dari proses yang dilakukan tersebut,
inilah mengapa diperlukan evaluasi pembelajaran yang menjadi indicator
keberhasilan pendidikan di sekolah. Namun setiap hasil proses yang diperoleh
peserta didik perlu menghargainya,
dengan sebuah penghargaan, peserta didik
akan lebih semangat dalam belajar.
m.
Bersahabat/
Komunikatif.
Dalam menanamkan pendidikan karakter
bagi peserta didik diperlukan adanya bentuk keteladanan dan pembiasaan. Secara
psikologis perkembangan peserta
didik dalam proses pembelajaran, dipengaruhi dari apa
yang mereka ingat dan meniru apa yang mereka lihat. Dengan hal tersebut,
maka guru hendaknya memberi contoh yang baik kepada peserta didiknya. Salah
satu contoh menumbuhkan sifat bersahabat yaitu dengan membiasakan untuk menyapa
atau mengucapkan salam ketika bertemu dengan peserta didik, hal ini membuat peserta didik akan terbiasa dengan
sikap bersahabat/komunikatif guru – guru mereka.[56]
n.
Cinta Damai.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan
formal yang memiliki system terstruktur, kepemimpinan yang terorganisasi, dan
waktu pembelajaran yang sistematis, semestinya memang dapat menjadi tempat membentuk
karakter peserta didik yang cinta damai. Ada beberapa poin yang dapat dijadikan
acuan sekolah dalam membentuk karakter peserta didik yang cinta damai, yaitu:
menciptakan suasana sekolah dan bekerja yang nyaman, tentram, dan harmonis, 2)
membiasakan perilaku warga sekolah yang
antikekerasan, 3) membiasakan perilaku warga sekolah yang tidak bias gender.[57]
o.
Gemar membaca.
Gemar membaca dapat ditumbuhkan
melalui sebuah kecintaan akan membaca. Dengan sebuah kecintaan ini kelak peserta
didik dapati sebagai sosok yang mencintai aktifitas membaca. Aktifitas ini
dapat dilakukan dengan memfasilitasi perpustakaan dengan kreatifitas dan
pelayanan yang baik.
p.
Peduli
lingkungan.
Kepedulian peserta didik pada
lingkungan dapat dibentuk melalui budaya
sekolah kondusif dan produktif. Sekolah yang secara kondusif dan produktif
mampu memberikan pengalaman baik bagi tumbuhkembangnya karakter peserta didik
seperti yang diharapkan. Misalnya dengan: 1) pembiasaan memelihara kebersihan
dan kelestarian lingkungan sekolah, 2)
tersedia tempat cuci tangan, 3) menyediakan kamar mandi dan air berish, 4)
pembiasaan hemat energy, 5) membuat biopori di area sekolah, 6) membangun
saluran pembuangan air limbah dengan baik, 7) melakukan pembiasaan memisahkan jenis sampah organic
dan anorganik, 8) dan lain – lain.[58]
q.
Peduli sosial.
Kepedulian sosial adalah sebuah
tindakan bukan hanya sebatas pemikiran atau perasaan. Tindakan peduli tidak
hanya tahu tentang sesuatu yang salah atau benar, tapi ada kemauan melakukan
gerakan sekecil apapun. Memiliki jiwa
kepedulian sosial sangat penting bagi
setiap orang, begitu juga pentingnya bagi seorang peserta didik. Untuk
itu ada beberapa alternative kegiatan yang dapat diadakan dalam kerangka
mengajarkan dan menanamkan nilai – nilai kepedulian dalam diri seorang peserta didik, misalnya
menfasilitasi kegiatan yang bersifat sosial, melakukan aksi sosial, menyediakan fasilitas untuk
menyumbang, dan lain – lain.
r.
Tanggung jawab.
Tanggung jawab penting untuk
ditanamkan sejak dini pada peserta didik di lingkungan sekolah. Agar guru dapat
mengajari tanggung jawab secara lebih efektif dan efesien kepada peserta
didiknya, guru dapat melakukan beberapa cara sebagai berikut: 1) memberi
peringatan pada peserta didik apa itu sebenarnya tanggung jawab, 2) perlu
adanya pembagian tanggung jawab peserta didik satu dengan yang lain, 3)
mulailah memberikan pelajaran kepada peserta didik tentang rasa tanggung jawab
mulai dari hasil-hasil kecil.[59]
3.
Lingkungan Pendidikan
Masyarakat
Sebagai
lingkungan pendidikan nonformal, masyarakat semestinya juga turut berperan
dalam terselenggaranya proses pendidikan karakter. Setiap individu sebagai
anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman
dan mendukung.[60]
Dalam
pendidikan anak, orang tua hendaknya memilih lingkungan yang mendukung
pendidikan anak dan menghindari lingkungan masyarakat yang kurang baik. Sebab,
ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyrakat yang kurang baik,
perkembangan karakter atau kepribadian anak tersebut dapat menjadi kurang baik. Orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang
sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Demikian pula
sekolah sebagai lingkungan pendidikan
formal, juga perlu memilih lingkungan masyarakat yang baik sehingga ikut
mendukung proses pendidikan.[61]
Karena
pentingnya peran masyarakat sebagai pusat pendidikan karakter maka setiap individu sebagai
anggota masyarakat harus menciptakan
suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi
didalamnya. Di Indonesia, dikenal adanya konsep pendidikan berbasis masyarakat
(community based education) sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering dikaitkan dengan
sekolah sebagai pendidikan formal, dengan adanya konsep ini sekaligus menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan, serta
keberadaannya sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah.[62]
Dalam
pentingnya pendidikan karakter di
lingkungan masyarakat, secara spesifik ada beberapa aspek penting yaitu:
1) pengondisian di lingkungan
masyarakat, 2) sarana – sarana pendidikan karakter di lingkungan masyarakat
yang meliputi: tempat – tempat ibdah, perpustakaan daerah, organisasi sosial
masyarakat, kegiatan – kegiatan masyarakat, dan media sosial, 3) keteladanan
pemimpin, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.[63]
E. Komponen Pendidikan Karakter
Pada
dasarnya dalam rangkaian suatu proses pendidikan memiliki komponen yang sama,
yang membuat proses pendidikan itu dapat
berlangsung. Demikian pula halnya dengan pendidikan karakter. Menurut Syamsul
Kurniawan ada tujuh komponen dalam
pendidikan karakter diantaranya: [64]
1.
Pendidik
Pendidik adalah
orang yang melakukan kegiatan dalam
hal mendidik. Pendidik bisa berupa orang tua, guru, maupun tokoh
masyarakat atau sejenisnya. Karena pelaksanaan pendidikan karakter menjadi tanggung jawab bersama
antara keluarga, sekolah, dan masyarakat
maka semestinya tidak boleh ada yang menganggap bahwa pendidikan hanya menjadi
tanggung jawab lingkungan sekolah saja. Disamping keluarga, masyarakat juga
harus mengambil peran penting dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Untuk itu,
setiap orang dewasa di dalam masyarakat dapat menjadi pendidik[65]
2.
Peserta Didik
Dalam
masyarakat, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut peserta didik, seperti siswa,
murid, santri, pelajar, mahasiswa, dan sebagainya. Istilah siswa, murid,
dan pelajar, umumnya digunakan untuk menyatakan peserta didik pada
jenjang pendidikan dasar sampai sekolah menengah. Sementara bagi peserta didik
pada tingkat pendidikan tinggi atau akademi, disebut mahasiswa. Istilah santri
digunakan untuk mengatakan peserta didik yang menuntut ilmu di pondok pesantren.[66]
Menurut Syamsul
Kurniawan, peserta didik adalah orang- orang yang sedang memerlukan pengatahuan
atau ilmu, bimbingan, maupun arahan dari orang lain. [67]Untuk
menentukan jenis peserta didik maka tidak dapat terlepas dari jenis – jenis
atau bentuk – bentuk pendidikan. Secara
umum, bentuk pendidikan dibagi menjadi dua, yaitu pendidikan sekolah dan
pendidikan luar sekolah. Pendidikan sekolah merupakan lembaga pendidikan
formal. Sementara pendidikan luar sekolah mengambil bentuk dalam pendidikan
informal (lingkungan keluarga) dan pendidikan nonformal (lingkungan
masyarakat). Murid adalah peserta didik di sekolah, anak kandung adalah peserta
didik di lingkungan keluarga, dan anak – anak penduduk adalah peserta didik
dari masyarakat sekitar.
3.
Kurikulum Pendidikan
Karaktar
Saat ini
istilah kurikulum lebih lazim digunakan pada lingkungan pendidikan formal,
yaitu sekolah dari pada lingkungan pendidikan informal atau di lingkungan
pendidikan nonformal, untuk menyebut seluruh program pendidikan yang ada didalamnya tercakup
masalah – masalah metode, tujuan, tingkat pengajaran, materi pelajaran setiap
tahun ajaran, topik – topik pelajaran, serta aktivitas yang dilakukan setiap
peserta didik pada setiap materi pelajaran.[68]
Dilihat dari
fungsi maupun tujuan, kurikulum merupakan sejumlah kegiatan yang mencakup berbagai rencana strategi belajar mengajar.
Pengaturan – pengaturan program agar dapat diterapkan, hal – hal yang mencakup
pada kegiatan yang bertujuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Dalam implementasi
pendidikan karakter di lingkungan pendidikan formal, kurikulum merupakan salah
satu komponen. Namun demikian, dlam kurikulum itu sendiri juga mempunyai
beberapa komponen. Hasan Langlung menyebutkan sekurang – kurangnya ada empat
komponen utama dalam kurikulum, yaitu: a) tujuan – tujuan yang ingin dicapai
oleh suatu jenjang pendidikan, b) pengetaguan (knowledge), informasi,
data – data, aktivitas, dan pengalaman
dari mana dan bagaimana yang dimuat oleh suatu kurikulum, c) metode dan cara –
cara mengajar yang dipakai oleh pendidik untuk mengajar dan memotivasi peserta
didik untuk membawa mereka kea rah yang dikehendaki kurikulum, d) metode dan
cara penilaian yang dipergunakan dalam mengukur dan menilai kurikulum dan hasil
proses pendidikan yang direncanakan kurikulum tersebut.[69]
Satu hal yang
menjadi sebab pentingnya kurikulum dalam pendidikan karakter, yaitu dengan
kurikulum maka kegiatan pendidikan karakter akan terarah dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.[70]
4.
Pendekatan
dalam Pendidikan Karakter
Setiap
institusi pendidikan baik informal, formal, maupun nonformal niscaya
mendambakan dan ikut serta berupaya melahirkan
generasi penerus (out put) yang selain memiliki keunggulan
bersaing (competitive advantage) untuk menjadi subjek dalam percaturan
di dunia kerja, juga memiliki karakter yang baik sehingga dapat memakmurkan dan
memuliakan kehidupan material dan spiritual diri, keluarga, dan masyarakat.
Untuk mencapai
tujuan tersebut, dalam proses pendidikan karakter dan pengajaran nilai – nilai
karakter diperlukan pendekatan yang bersifat multiapproach, yang
pelaksanaannya mengikuti hal – hal berikut: a) pendekatan religious, yang menitikberatkan kepada pandangan bahwa
peserta didik adalah makhluk yang berjiwa religious dengan bakat – bakat keagamaan,
b) pendekatan filosofis, yang memandang bahwa peserta didik adalah makhluk
rasional sehingga segala sesuatu yang menyangkut pengembangannya didasarkan
pada sejauh mana kemampuan berpikirnya dapat dikembangkan sempai titik maksimal
perkembangannya, c) pendekatan sosio kultural, yang bertumpu pada pandangan
bahwa peserta didik adalah makhluk bermasyarakat dan berkebudayaan sehingga
dipandang sebagai homo sosialis dalam kehidupan bermasyarakat yang
berkebudayaan, d) pendekatan scientific, dimana titik beratnya pada
pandangan bahwa peserta didik memiliki kemampuan menciptakan (kognitif),
berkemauan dan merasa (emosional atau afektif).[71]
5.
Metode
Pendidikan Karakter
Metode
pendidikan adalah suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan
atau pengajaran. Umumnya pendidik selain guru
(orang tua atau masyarakat) tidak mengenal nama – nama dan jenis – jenis
metode pendidikan, namun dari segi praktik yang mereka lakukan tidak lain
banyak yang sudah mengimplementasikan dari metode pendidikan yang dilakukan atau yang dipelajari di sekolah.
Beberapa metode
pendidikan yang lazim dipraktikkan di lingkungan sekolah, antara lain metode
ceramah, Tanya jawab, diskusi, latihan, pemberian tugas, cerita, demonstrasi,
sosio-drama, dan sebagainya. Dlaam lingkungan pendidikan formal, yaitu sekolah,
metode pendidikan tersebut dipilih dan digunakan secara bervariasi dengaan
mempertimbangkan tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, keadaan peserta
didik, situasi yang sedang berlangsung, kemampuan pendidik, serta fasilitas
penunjang yang tersedia.[72]
6.
Evaluasi
Pendidikan Karakter
Dalam
pendidikan karakter, evaluasi mutlak dilakukan karena bertujuan untuk mengukur
dan menilai tingkat pencapain tujuan – tujuan pendidikan karakter, untuk
selanjutnya menentukan langkah – langkah tindak lanjut atau kebijakan
berikutnya.
Evaluasi
pendidikan karakter merupakan seperangkat tindakan atau proses untuk menentukan nilai suatu yang berkaitan dengan pendidikan
karakter berdasarkan suatu standar. Dalam evaluasi pendidikan karakter memiliki
tujuan, adapun tujuannya adalah: a) untuk mengetahui sampai sejauh mana
keberhasilan proses pendidikan karakter dan b) untuk memperbaiki kekurangan
yang ada supaya hasil selanjutnya menjadi lebih baik.[73]
7.
Sarana
Prasarana dan Fasilitas Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter memerlukan sarana dan fasilitas pendidikan karakter. Sarana dan
fasilitas pendidikan antara lain, dapat berupa gedung dan ruang belajar,
perpustakaan, laboratorium, peralatan belajar,
dan lain sebagainya, yang diperlukan sebagai sarana dan prasarana penunjang kelancaran proses pembelajaran.
Dalam konteks
penyelenggaraan pendidikan karakter khususnya di lingkungan keluarga,
kepentingannya tidak terletak pada kelengkapan sarana dan fasilitas yang
disediakan, tetapi pada kemampuan menata dan memanfaatkan serana dan fasilitas
yang ada di rumah, menjadi sarana dan fasilitas pendidikan.[74]
F. Implementasi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai proses
penanaman nilai esensial pada diri seseorang melalui serangkaian kegiatan
pembelajaran dan pendampingan sehingga seseorang sebagai individu mampu
memahami, mengalami, dan mengintegrasikan nilai yang menjadi nilai inti (core
values) dalam pendidikan yang dijalaninya ke dalam kepribadiannya.
Dalam pendidikan, peran dan fungsi pendidikan sangat
strategis yang tidak dapat dipungkiri. Sebab seorang pendidik turut menentukan
sesuatu yang relevan digunakan dalam mendidik
dan mengajar, dan bagaimana peserta didik itu belajar memperoleh pengetahuan
dan nilai-nilai hidupnya dengan mengimplisitkan nilai dalam pengetahuannya itu
serta bersedia menularkan pengetahuannya kepada orang lain.[75] Hal ini sebagaiman tertera dalam fungsi dan
tujuan pendidikan nasional yang tertera dalam UU No 20 Tahun 2003 pasal 3,
mengisyaratkan bahwa pendidikan di setiap jenjang harus diselenggarakan secara
sistematis.
Berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik,
diharapkan meraka mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan
berinteraksi dengan masyarakat. berdasarkan penelitiannya di Harvard University
Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata
oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih
oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).[76]
Hal ini berbeda dengan praktek pendidikan di Indonesia yang cenderung lebih
berorentasi pada pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis)
yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient (IQ), namun kurang
mengembangkan kemampuan softskill yang tertuang dalam emotionalintelligence
(EQ), dan spiritualintelligence (SQ). Pembelajaran diberbagai sekolah
bahkan perguruan tinggi lebih menekankan pada perolehan nilai hasil ulangan
maupun nilai hasil ujian. Banyak guru yang memiliki persepsi bahwa peserta
didik yang memiliki kompetensiyang baik adalah memiliki nilai hasil
ulangan/ujian yang tinggi.
Seiring perkembangan zaman, pendidikan yang hanya
berbasiskan hard skill yaitu menghasilkan lulusan yang hanya memiliki
prestasi dalam akademis, harus mulai dibenahi. Sekarang pembelajaran juga harus
berbasis pada pengembangan soft skill (interaksi sosial) sebab ini
sangat penting dalam pembentukan karakter anak bangsa sehingga mampu bersaing,
beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Pendidikan
soft skill bertumpu pada pembinaan mentalitas agar sesorang dapat
menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan. Kesuksesan seseorang tidak
ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill)
saja, tetapi juga oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft
skill). Adapun Muchlas Samani mengemukakan tentang beberapa langkah yang
dapat dikembangkan dalam melakukan proses pembentukan karakter yang baik, dalam
hal ini dapat dikaitkan dalam pendidikan karakter dalam lingkungan sekolah agar
peserta ddiik lebih baik dan kompeten. Adapun langkah tersebut adalah sebagai
berikut:
·
Menambahkan nilai kebaikan dalam diri peserta didik (knowing
the good)
·
Menggunakan cara yang dapat membuat peserta didik
memiliki alasan atau keinginan untuk berbuat baik (desiring the good)
·
Dorongan untuk melakukan hal-hal yang baik dalam diri
peserta didik (doing the good)
·
Membiasakan olah pikir dan kalbu pada peserta didik (habit
of the mind and heart)[77]
Sementara Masnur Muslich memberikan formula
bahwa pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh harus
menyertakan tiga basis desain dalam pemogramannya.[78]
1) Desain pendidikan karakter berbasis
kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan peserta didik
sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses
relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar
bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas
terdiri atas guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi.
2) Desain pendidikan karakter berbasis kultur
sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk
karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu
terbentuk dan terbatinkan dalam diri peserta didik.
3) Desain pendidikan karakter berbasis komunitas.
Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian.Masyarakat di luar
lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga
memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter
dalam konteks kehidupan mereka.
[9] Tadkirotun Musfiroh, “ Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan
Karakter” dalam Tinjauan Berbgagai Aspek Character Building: Bagaimana Mendidik
Anak Berkarakter? ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h.28.
[10] Dharma kusuma, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah,
h. 4
[11] Agus Wibowo, Pendidikan
Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), 33.
[12] Dharma kusuma, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah,
h. 4
[13] Jamal Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan karakter di
Sekolah (Yogyakarta: Diva press, 2011), h.28.
[14] Nurla Isna Aunillah, Panduan Menerapkan Karakter di Sekolah (Yogyakarta:
Laksana, 2011), h.18-19.
[15] Heri Gunawan, Pendidikan
Karakter Konsep dan Implementasi, 30.
[16] Nuria Isna
Aunillah, Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah, 97.
[17] Darma Kususma,
ea al., Pendidikan Karakter, 6.
[18] Asmani, Jamal
Ma’mur. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah (
Yogyakarta: Diva Press, 2011), 6.
[19] Ibid. 42
[20] Dharma kusuma, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah,
h. 6.
[21] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam
Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), h.72-73
[22] Ibid, h.73-74
[23] Retno
Listyanti, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, & Kreatif, (Jakarta:
Esensi, 2012), h.5-8
[24] Syamsul
kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu
di Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, (Yogyakarta:
Ar-ruzz Media, 2013), h.42
[25] Ibid, h.43
[26] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2011), h.659
[27] Suparyato, “pengertian
Keluarga”, dalam http://dr-suparyanto.blogspot.com
[28] Suyanto, “Urgensi
Pedidikan Karakter” dalam www.mandikdasmen. Depdiknas.go.id
[29] Syamsul
kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu
di Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.85-101
[30] Moh.Haitami
Slaim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012), h.268
[31] Buku panduan
pendidikan karakter di Sekolah Menengah
Atas Pertama, dalam http://goeroendeso.file.wordpress.com
[32] Syamsul
kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu
di Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.48
[33] Ibid, h.48
[34] Agus Wibowo, Pendidikan
Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban, h.72
[35] Remayulis dan
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan
Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h.152
[36] Syamsul
kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu
di Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.116
[37] Nini Subini, Awas,
Jangan Jadi Guru Karbitan: Kesalahan – Kesalahan Guru dalam Pendidikan dan
Pembelajaran, (Yogyakarta: Javalitera, 2012), h.66-69
[38] Ibid, h.66
[39] Ibid, h.67
[40] Ibid, h.68-69
[41] Ibid, h.69
[42] Agus Wibowo, Pendidikan
Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban, h.93
[43] Syamsul
kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu
di Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.128-129
[44] Ibid, h.130
[45] Didik
Hariyanto, Membentuk Sikap Toleransi Siswa Melalui Pendidikan Berbasis
Karakter, dalam http://www.lazuardibirru.org.
[46] Nini Subini, Awas,
Jangan Jadi Guru Karbitan: Kesalahan – Kesalahan Guru dalam Pendidikan dan Pembelajaran,
h.42
[47] Syamsul
kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu
di Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.138-139
[48] Utami
Munandar, Pengembangan Emosi dan Kreativitas, (Jakarta: Rineka Cipta,
2004), h.25
[49] Syamsul
kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu
di Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.141
[50] Nini Subini, Awas,
Jangan Jadi Guru Karbitan: Kesalahan – Kesalahan Guru dalam Pendidikan dan
Pembelajaran, h.42
[51] Syamsul
kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu
di Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.143
[52] Ibid, 145-147
[53] Ibid, h.148
[54] Nini Subini, Awas,
Jangan Jadi Guru Karbitan: Kesalahan – Kesalahan Guru dalam Pendidikan dan
Pembelajaran, h.43
[55] Syamsul
kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu
di Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.151
[56] Ibid, h.154
[57] Ibid, h.155
[58] Ibid, h.156
[59] Ibid, h.158
[60] Ibid, h.49
[61] Ibid,
[62] Moh. Haitamin
dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruz Media, 2012), h.271
[63] Syamsul
kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu
di Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.197-202
[64] Ibid, 50-61
[65] Ibid, 52
[66] WJS.
Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka:
1976), h.644 dan 955
[67] Syamsul
kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu
di Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.52
[68] Moh.Haitami
Slaim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, h.176-177
[69] Hasan
Langlung, Asas – Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Husna, 1988),
h.303
[70] Syamsul
kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsep & Implementasinya secara terpadu
di Lingkungan Keluarga, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, h.55
[71] Ibid, h.55-56
[72] Ibid, h.56-57
[73] Ibid, h.57-59
[74] Ibid, h.60
[75] Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan
Pelaku Sosial Kreatif, Cet Ke-V, (Yogyakarta: Rekesarasin, 2000), h. 71
[76] Mansur Muslich, Penddikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional, Cet Ke-II, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 84
[77] Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter,
Cet Ke-II, (Bandung: Rosda Karya, 2012), h. 47-48
[78] Mansur Muslich, Penddikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional, h. 160-161
Tidak ada komentar:
Posting Komentar