BAB I
PENDAHULUAN
Munculnya Islam
membuka zaman baru dalam sejarah kehidupan manusia. Manusia diberi kebebasan
untuk mencari nafkah sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang
adil, hal ini merupakan salah satu kewajiban asasi dalam Islam. Dengan
demikian, pada dasarnya, Islam mengakui kepemilikan pribadi. Islam tidak
membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan ataupun
perdagangan, tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang
ilegal atau tudak bermoral. Islam sangat menentang setiap aktivitas ekonomi
yang bertujuan melakukan penimbunan kekayaan atau pengambilan keuntungan yang
tidak layak dari kesulitan orang lain atau penyalahgunaannya.
zakat
adalah salah satu ibadah pokok dan termasuk salah satu rukun Islam. Secara arti
kata zakat yang berasal dari bahasa Arab dari akar kata “ZAKAT” mengandung
beberapa arti seperti membersihkan, bertumbuh dan berkah. Yang sering terjadi
dan banyak ditemukan dalam al-Qur’an dengan arti membersihkan. Digunakan kata zakat dengan arti
“membersihkan” itu untuk ibadah pokok yang ukun Islam itu, karena memang zakat
itu diantara hikmahnya adalah untuk membersihkan jiwa dan harta orang yang
berzakat. Dalam terminologi hukum (syara’) zakat diartikan: “pemberian
tertentu dari harta tertentu kepada orang tertentu menurut syarat-syarat yang
ditentukan”.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
LEMBAGA
PENGELOLA ZAKAT / LEMBAGA AMIL ZAKAT
Secara social, zakat brfungsi sebagai
lembaga jaminan social. Dengan menggunakan lembaga zkat, maka kelompok
lemah tidak lagi merasa khawatir terhdap kelangsungan hidup yang mereka jalani.
Hal ini terjdi karena dengan adanya substansizakat merupakan mekanisme yang
menjamin kelangsungan hidup mereka ditengah masyarakat, sehingga mereka merasa
hidup di tengah masyarakat manusia yang beradab, memiliki nurani, kepedulian,
dan juga tradisi tolong menolong.
Selain itu, secara ekonomi, zakat
berfungsi sebagai salah satu instrument utuk mengentaskan kemiskinan,
pemerataan pendapatan, dan mempersempit kesenjangan yang terjadi antara
kelompok kaya dan miskin. Zakat juga dapat mempengaruhi kemampuan sebuah
komunitas politik (Negara) dalam menjalankan kelangsungan hidupnya.[1]
Di
Indonesia pengelolaan zakat diatur berdasarkan :
1. Undang-undang
No 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Undang-undang No 17 Tahun 2000
tentang perubahan ketiga atas Undang-undang No 7 Tahun 1983 tentang pajak
penghasilan.
2. Keputusan
menteri Agama No 581 Tahun 1999 tentaang pelaksanaan Undang-undang No 38 Tahun
1999 tentang pengelolaan zakat.
3. Keputusan
Dirjen Bimas Isalam dan urusan Haji No D/291 Tentang pedoman teknis pengelolaan
zakat.[2]
Ke semua Undang-undang tersebut adalah
landasan yurridist bagi pengelolaan zakat
yang di lakukan oleh organisasi pengelola zakat, baik Badan Amil Zakat
(BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat(LAZ) Selain itu, keberadaan Undang-undang juga
diharapkan bisa menentukan OPZ Untuk bisa bekerja lebih baik lagi, sehingga
kepercayaan masyarakat Muzakki kepada organisasi pengelola zakat dapat
meningkat titik.
Namun
demikian, walaupun telah dibuat perangkat umum, yakni undang-undang No 38 tahun
1999 tentang pengelolaan zakat, pengelolaan zakat di Indonesia hingga kini
belum memberikan hasil yang optimal. Pengumpulan maupun pemberdayaan dana zakat
masih belum mampu memberikan pengaruh terlalu besar bagi terwujudnya
kesejahteraan umat islam. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya rasa kepercayaan
umat kepada lembaga-lembaga pengelola (amil) zakat. Sebagian besar umat islam
di Indonesia lebih percaya menyalurkan zakat, infak, dan sedekah langsung
kepada yang membutuhkan. Sebab, mereka belum merasa nyaman menyalurkan dana
zakat ke lembaga yang di akui pemerintah.[3]
Lembaga
pengelolaan zakat haruslah bersifat:
1. Independen.
Maksudnya lembaga ini tidak mempunyai
ketergantungan orang-orang tertentu atau lembaga lain. Lembaga yang demikian
akan leluasa memberikn pertanggung jawaban kepada masyarakat donator.
2. Netral.
Maksudnya karena di danai masyarakat, lembaga ini milik masyarakat,sehingga
menjalankan aktifitasnya lembaga tidak boleh hanya menguntungkan golongan
tertentu saja, karena jika tidak akan menyakiti donator yang berasal dari
golongan lain. Akibatnya dapat di pastikan lembaga akan di tingaalkan sebagian
donaturnya.
3. Tidak
berpolitik. Maksudnya lembaga jangan sampai terjebak dalam kegiatan politik
praktis, hal ini perlu di lakukan agar donator dari partai lain yakin bahwa
dana itu tidak di gunakan untuk kepentingan partai politik.
4. Tidk
bersifat deskriminatif. Maksudnya, kekayaan dan kemiskinan bersifat yuniversal.
Di manapun, kapanpun, siapapun dapat menjadi kaya atau miskin. Krena itu dalam
menyalurkan dana nya, lembaga tidak boleh mendasarkan pada perbedaan suku atau
golongan, tetapi selalu menggunakan parameter-parameter yang jelas dan dapat di
pertanggung jawabkan secara syariah maupun manajemen.
Lembaga
pengelola zakat haruslah memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a. Dewan
Pembina
Dewan Pembina bertugas
untuk:
Ø Memberikan
nasihat dan arahan kepada dewan pengurus atau manajemen lembaga pengelolaan
zakat (LPZ).
Ø Memilih,
menetapkan, dan juga memberhentikan dewan pengawas syariah.
Ø Mengangkat
dan memberhentikan pengurus.
Ø Meminta
pertanggungjawaban pengurus.
Ø Menetapkan
arah dan kebijakan organisasi.
Ø Menetapkan
berbagai program organisasi.
Ø Menetapkan
RKAT (rencana kerja anggaran tahunan) yang diajukan pengurus.
b. Dewan
Pengawas Syariah
Ø Melaksanakan
fungsi pengawas atas kegiatan yang dilakukan oleh pihak manajemen terkait
dengan kepatuhan terhadap ketentuan syariah.
Ø Memberikan
koreksi dan juga saran perbaikan kepada pihak manajemen bila terjadi
penyimpangan terhadap ketentuan syariah.
Ø Memberikan
laporan atas pelaksanaan kepada dewan Pembina.
c. Dewan
Pengurus/Manajemen Lembaga Pengelola Zakat
Secara umum, tugas yang
dilaksanakan oleh pihak manajemen adalah untuk melaksanakan arah dan juga
kebijakan umum dari lembaga pengelola zakat dan juga merealisir berbagai rencana yang sudah ditetapkan oleh pihak
pengurus. Adapun berbagai bagian yang ada di dalam dewan pengurus terdiri dari:
Ø Ketua
atau Direktur. Tugas utama yang dilaksanakan memastikana pencapaian dari
berbagai tujuan yang dilaksanaan oleh lembaga pengelola zakat (LPZ).
Ø Bagian
penyaluran ZIS (zakat, infak dan sedekah). Membuat program kerja distribusi ZIS
yang juga melaksanakan pendistribusian ZIS tersebut.
Ø Bagian
keuangan. Bertugas membuat laporan keuangan dari lembaga keuangan zakat dan
juga melakukan pengelolaan aset-aset yang dimiliki oleh lembaga pengelola
zakat. Dalam bagian lembaga keuangan juga terdapat bagian akuntansi, bendahara,
dan juga internal audit.
Ø Coordinator
program menyusun dan melaksanakan berbagai program yang dilakukan oleh lembga
pengelola zakat, serta menyusun laporan kinerja lembaga pengelola zakat.
Ø Bagian
pembinaan mustahik melakukan pendataan
mustahik yang ada lalu mencatat dalam data mustahik yang dimiliki oleh lembaga
pengelola zakat. Selain itu, juga melakukan pembinanaan terhadap mustahik, dan
melakukan pemantauan atas berbagai program distribusi ZIS kepada para mustahik.
Ø Bagian
pengumpulan dana ZIS. Bertugas melakukan pengumpulan dana ZIS diwilayah yang
menjadi tanggung jawab serta menyetorkan berbagai dana zis tersebut kepada pihak
bendahara ZIS.[4]
B.
PENGELOLAAN
ZAKAT DI INDONESIA
Sejarah pengelolaan di Indonesia terbagi
menjadi beberapa periode, yaitu :
1. Masa
penjajahan, dalam manajemen
zakatnya diatur dalam Ordonantie Pemerintah
Hindia Belanda Nomor 6200 tanggal 28 Pebruari 1905. Dalam pengaturan ini
pemerintah tidak mencampuri masalah pengelolaan zakat dan menyerahkan
sepenuhnya kepada umat Islam dan bentuk pelaksanaannya sesuai syari’at Islam.
2. Awal
Kemerdekaan, manajemen zakatnya diatur pemerintah dan masih menjadi urusan
masyarakat. 1951 DepAg mengeluarkan Surat Edaran No : A/VII/17367, tanggal 8
Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat Fitrah. Yang intinya menggiatkan
masyarakat untuk menunaikan kewajibannya melakukan pengawasan supaya
pemakaian dan pembagiannya dari pungutan tadi dapat berlangsung menurut hukum
agama.
3. Masa
Orde Baru, pengelolaan zakatnya masih diatur sekedarnya saja, hanya saja
Menteri Agama menyusun RUU tentang Zakat dan disampaikan pada DPR Gotong Royong
dengan surat Nomor : MA/095/1967 tanggal 5 Juli 1967. Pada tahun 1968
dikeluarkan Peraturan Menteri Agama No 4 Th 1968 tentang Pembentukan Badan Amil
Zakat dan PMA Nomor 5 tahun 1968 tentang Pembentukan Bait al-Mal berstatus
Yayasan dan bersifat semi resmi. Th 1984 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama
Nomor 2 tahun 1984 tanggal 3 Maret 1984 tentang Infaq Seribu Rupiah selama
bulan ramadhan. Pada 12 Desember 1989 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor
16/1989 tentang Pembinaan ZIS yang menugaskan Depag untuk membantu
lembaga-lembaga keagamaan yang mengadakan pengelolaan ZIS.[5]
4. Era Reformasi, pengelolaan zakat terbagi menjadi dua
periode sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :
a.
Masa
berlakunya UU No. 38 Th. 1999
Melahirkan paradigma baru pegelolaan
zakat yang antara lain mengatur bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh satu
wadah, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah bersama
masyarakat dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sepenuhnya dibentuk oleh
masyarakat yang terhimpun dalam ormas maupun yayasan-yayasan.
b.
Masa berlakunya UU No.
23 Th. 2011
Pada
awal penerapannya, UU ini mendapat sambutan pro dan kontra, namun UU ini juga
belum efektif sehingga dirasakan
penerapannya untuk manajemen zakat belum maksimal.
C.
POTENSI
ZAKAT DI INDONESIA
Fakta seputar
kuantitas umat islam yang mayoritas dan pemerintah zakat sebagi aktualisasi
keimanan, sangat kontradiksi dengan fakta dilapangan, dimana angka kemiskinan
belum tertangani dengan baik. Hingga kini masih banyak masyarakat kita yang
hidup miskin, papa, dan serba kekurangan, belum tersentuh oleh hasil distribusi
zakat. Banyak program lembaga pengelola zakat yang memanfaatnya bagi umat belum
dirasakan secara signifikan.
Padahal [potensi
zakat diindonesia diatas kertas luar biasa besar. Secara sistematis, jika
kesadaran zakat telah tumbuh, maka akan kita dapatkan angka minimal sebesar Rp.
19 trilyun per tahun. Angka ini akan bertambah jika diakumulasikan dengan
pemasukan dari infaq, shadaqah, serta wakaf.tentunya akan kita peroleh angka
yang cukup bombastis.
Namun,angka diatas
masih dalam hitungan kertas saja. Dalam kenyataannya, saat ini baru terkumpul
lebih kurang RP 250 miliyar pertahun (ini menurut data pengumpulan zakat oleh
lembaga, baik BAZ maupun LAZ). Itu artinya hanya 1,3% saja dana zakat dapat
terkumpul dari jumlah potensial yang ada.[6]
BAB III
PENUTUP
Secara
social, zakat brfungsi sebagai lembaga jaminan social. Dengan menggunakan
lembaga zkat, maka kelompok lemah tidak lagi merasa khawatir terhdap
kelangsungan hidup yang mereka jalani. secara ekonomi, zakat berfungsi sebagai
salah satu instrument utuk mengentaskan kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan
mempersempit kesenjangan yang terjadi antara kelompok kaya dan miskin. Lembaga
zakat haruslah bersifat independen, netral, tidak berpolitik dan tidak bersifat
deskriminatif. Sedangkan unsur-unsurnya itu Dewan pembina, Dewan pengawas
syariah dan Dewan pengurus/manajemen lembaga pengelola zakat.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Ma’ruf,
Sam Ichwan, dkk. 2011. Himpauan Fatwa (majelis ulama Indonesia).
Jakarta: Erlangga
Huda Nurul dan
Heykal Mohamad. 2010. Lembaga Keuangan Islam (tinjauan teoritis dan praktis).
Jakarta : kencana
Haroen Nasrun.
2009. Panduan Organisasi Pengelola Zakat. Jakarta: Departemen Agama RI
Ramulyo Idris.
2004. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan
Zakat menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika
[1] Nurul Huda dan Mohamad Heykal. Lembaga Keuangan Islam (tinjauan
teoritis dan praktis). (Jakarta : kencana. 2010) H. 304
[2] Nasrun Haroen. Panduan
Organisasi Pengelola Zakat. (Jakarta: Departemen Agama RI. 2009) H. 7
[3] Ibid. H. 7-8
[4] Ibid, Nurul Huda dan Mohamad Heykal. H. 306-308
[5] Ibid, Nasrun Haroen. H. 8-10
[6] Ibid. H. 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar