Selasa, 04 Januari 2022

MAKALAH KEBIJAKAN UMUM MANAJEMEN LEMBAGA PENGELOLA ZAKAT DAN POTENSI ZAKAT DI INDONESIA

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

 

Munculnya Islam membuka zaman baru dalam sejarah kehidupan manusia. Manusia diberi kebebasan untuk mencari nafkah sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil, hal ini merupakan salah satu kewajiban asasi dalam Islam. Dengan demikian, pada dasarnya, Islam mengakui kepemilikan pribadi. Islam tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan ataupun perdagangan, tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau tudak bermoral. Islam sangat menentang setiap aktivitas ekonomi yang bertujuan melakukan penimbunan kekayaan atau pengambilan keuntungan yang tidak layak dari kesulitan orang lain atau penyalahgunaannya.

zakat adalah salah satu ibadah pokok dan termasuk salah satu rukun Islam. Secara arti kata zakat yang berasal dari bahasa Arab dari akar kata “ZAKAT” mengandung beberapa arti seperti membersihkan, bertumbuh dan berkah. Yang sering terjadi dan banyak ditemukan dalam al-Qur’an dengan arti membersihkan.  Digunakan kata zakat dengan arti “membersihkan” itu untuk ibadah pokok yang ukun Islam itu, karena memang zakat itu diantara hikmahnya adalah untuk membersihkan jiwa dan harta orang yang berzakat. Dalam terminologi hukum (syara’) zakat diartikan: “pemberian tertentu dari harta tertentu kepada orang tertentu menurut syarat-syarat yang ditentukan”.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    LEMBAGA PENGELOLA ZAKAT / LEMBAGA AMIL ZAKAT

 

Secara social, zakat brfungsi sebagai lembaga jaminan social. Dengan menggunakan lembaga zkat, maka kelompok lemah tidak lagi merasa khawatir terhdap kelangsungan hidup yang mereka jalani. Hal ini terjdi karena dengan adanya substansizakat merupakan mekanisme yang menjamin kelangsungan hidup mereka ditengah masyarakat, sehingga mereka merasa hidup di tengah masyarakat manusia yang beradab, memiliki nurani, kepedulian, dan juga tradisi tolong menolong.

    

Selain itu, secara ekonomi, zakat berfungsi sebagai salah satu instrument utuk mengentaskan kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan mempersempit kesenjangan yang terjadi antara kelompok kaya dan miskin. Zakat juga dapat mempengaruhi kemampuan sebuah komunitas politik (Negara) dalam menjalankan kelangsungan hidupnya.[1]

 

Di Indonesia pengelolaan zakat diatur berdasarkan :

1.      Undang-undang No 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Undang-undang No 17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang No 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan.

2.      Keputusan menteri Agama No 581 Tahun 1999 tentaang pelaksanaan Undang-undang No 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.

3.      Keputusan Dirjen Bimas Isalam dan urusan Haji No D/291 Tentang pedoman teknis pengelolaan zakat.[2]

 

        Ke semua Undang-undang tersebut adalah landasan yurridist bagi pengelolaan zakat  yang di lakukan oleh organisasi pengelola zakat, baik Badan Amil Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat(LAZ) Selain itu, keberadaan Undang-undang juga diharapkan bisa menentukan OPZ Untuk bisa bekerja lebih baik lagi, sehingga kepercayaan masyarakat Muzakki kepada organisasi pengelola zakat dapat meningkat titik.

Namun demikian, walaupun telah dibuat perangkat umum, yakni undang-undang No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, pengelolaan zakat di Indonesia hingga kini belum memberikan hasil yang optimal. Pengumpulan maupun pemberdayaan dana zakat masih belum mampu memberikan pengaruh terlalu besar bagi terwujudnya kesejahteraan umat islam. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya rasa kepercayaan umat kepada lembaga-lembaga pengelola (amil) zakat. Sebagian besar umat islam di Indonesia lebih percaya menyalurkan zakat, infak, dan sedekah langsung kepada yang membutuhkan. Sebab, mereka belum merasa nyaman menyalurkan dana zakat ke lembaga yang di akui pemerintah.[3]

 

Lembaga pengelolaan zakat haruslah bersifat:

1.      Independen. Maksudnya  lembaga ini tidak mempunyai ketergantungan orang-orang tertentu atau lembaga lain. Lembaga yang demikian akan leluasa memberikn pertanggung jawaban kepada masyarakat donator.

2.      Netral. Maksudnya karena di danai masyarakat, lembaga ini milik masyarakat,sehingga menjalankan aktifitasnya lembaga tidak boleh hanya menguntungkan golongan tertentu saja, karena jika tidak akan menyakiti donator yang berasal dari golongan lain. Akibatnya dapat di pastikan lembaga akan di tingaalkan sebagian donaturnya. 

3.      Tidak berpolitik. Maksudnya lembaga jangan sampai terjebak dalam kegiatan politik praktis, hal ini perlu di lakukan agar donator dari partai lain yakin bahwa dana itu tidak di gunakan untuk kepentingan partai politik.

4.      Tidk bersifat deskriminatif. Maksudnya, kekayaan dan kemiskinan bersifat yuniversal. Di manapun, kapanpun, siapapun dapat menjadi kaya atau miskin. Krena itu dalam menyalurkan dana nya, lembaga tidak boleh mendasarkan pada perbedaan suku atau golongan, tetapi selalu menggunakan parameter-parameter yang jelas dan dapat di pertanggung jawabkan secara syariah maupun manajemen.

            Lembaga pengelola zakat haruslah memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

a.       Dewan Pembina

Dewan Pembina bertugas untuk:

Ø  Memberikan nasihat dan arahan kepada dewan pengurus atau manajemen lembaga pengelolaan zakat (LPZ).

Ø  Memilih, menetapkan, dan juga memberhentikan dewan pengawas syariah.

Ø  Mengangkat dan memberhentikan pengurus.

Ø  Meminta pertanggungjawaban pengurus.

Ø  Menetapkan arah dan kebijakan organisasi.

Ø  Menetapkan berbagai program organisasi.

Ø  Menetapkan RKAT (rencana kerja anggaran tahunan) yang diajukan pengurus.

b.      Dewan Pengawas Syariah

Ø  Melaksanakan fungsi pengawas atas kegiatan yang dilakukan oleh pihak manajemen terkait dengan kepatuhan terhadap ketentuan syariah.

Ø  Memberikan koreksi dan juga saran perbaikan kepada pihak manajemen bila terjadi penyimpangan terhadap ketentuan syariah.

Ø  Memberikan laporan atas pelaksanaan kepada dewan Pembina.

c.       Dewan Pengurus/Manajemen Lembaga Pengelola Zakat

Secara umum, tugas yang dilaksanakan oleh pihak manajemen adalah untuk melaksanakan arah dan juga kebijakan umum dari lembaga pengelola zakat dan juga merealisir berbagai rencana yang sudah ditetapkan oleh pihak pengurus. Adapun berbagai bagian yang ada di dalam dewan pengurus terdiri dari:

Ø  Ketua atau Direktur. Tugas utama yang dilaksanakan memastikana pencapaian dari berbagai tujuan yang dilaksanaan oleh lembaga pengelola zakat (LPZ).

Ø  Bagian penyaluran ZIS (zakat, infak dan sedekah). Membuat program kerja distribusi ZIS yang juga melaksanakan pendistribusian ZIS tersebut.

Ø  Bagian keuangan. Bertugas membuat laporan keuangan dari lembaga keuangan zakat dan juga melakukan pengelolaan aset-aset yang dimiliki oleh lembaga pengelola zakat. Dalam bagian lembaga keuangan juga terdapat bagian akuntansi, bendahara, dan juga internal audit.

Ø  Coordinator program menyusun dan melaksanakan berbagai program yang dilakukan oleh lembga pengelola zakat, serta menyusun laporan kinerja lembaga pengelola zakat.

Ø  Bagian pembinaan mustahik  melakukan pendataan mustahik yang ada lalu mencatat dalam data mustahik yang dimiliki oleh lembaga pengelola zakat. Selain itu, juga melakukan pembinanaan terhadap mustahik, dan melakukan pemantauan atas berbagai program distribusi ZIS  kepada para mustahik.

Ø  Bagian pengumpulan dana ZIS. Bertugas melakukan pengumpulan dana ZIS diwilayah yang menjadi tanggung jawab serta menyetorkan berbagai dana zis tersebut kepada pihak bendahara ZIS.[4]

 

B.     PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA

Sejarah pengelolaan di Indonesia terbagi menjadi beberapa periode, yaitu :

1.      Masa penjajahan, dalam manajemen zakatnya diatur dalam Ordonantie Pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200 tanggal 28 Pebruari 1905. Dalam pengaturan ini pemerintah tidak mencampuri masalah pengelolaan zakat dan menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam dan bentuk pelaksanaannya sesuai syari’at Islam.

2.      Awal Kemerdekaan, manajemen zakatnya diatur pemerintah dan masih menjadi urusan masyarakat. 1951 DepAg mengeluarkan Surat Edaran No : A/VII/17367, tanggal 8 Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat Fitrah. Yang intinya menggiatkan masyarakat untuk menunaikan  kewajibannya melakukan pengawasan supaya pemakaian dan pembagiannya dari pungutan tadi dapat berlangsung menurut hukum agama.

3.      Masa Orde Baru, pengelolaan zakatnya masih diatur sekedarnya saja, hanya saja Menteri Agama menyusun RUU tentang Zakat dan disampaikan pada DPR Gotong Royong dengan surat Nomor : MA/095/1967 tanggal 5 Juli 1967. Pada tahun 1968 dikeluarkan Peraturan Menteri Agama No 4 Th 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan PMA Nomor 5 tahun 1968 tentang Pembentukan Bait al-Mal berstatus Yayasan dan bersifat semi resmi. Th 1984 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun 1984 tanggal 3 Maret 1984 tentang Infaq Seribu Rupiah selama bulan ramadhan. Pada 12 Desember 1989 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 16/1989 tentang Pembinaan ZIS yang menugaskan Depag untuk membantu lembaga-lembaga keagamaan yang mengadakan pengelolaan ZIS.[5]

4.      Era Reformasi, pengelolaan zakat terbagi menjadi dua periode sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :

a.       Masa berlakunya UU No. 38 Th. 1999

            Melahirkan paradigma baru pegelolaan zakat yang antara lain mengatur bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh  satu wadah, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah bersama masyarakat dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang terhimpun dalam ormas maupun yayasan-yayasan.

b.      Masa berlakunya UU No. 23 Th. 2011

Pada awal penerapannya, UU ini mendapat sambutan pro dan kontra, namun UU ini juga belum     efektif sehingga dirasakan penerapannya untuk manajemen zakat belum maksimal.

 

C.    POTENSI ZAKAT DI INDONESIA

 

Fakta seputar kuantitas umat islam yang mayoritas dan pemerintah zakat sebagi aktualisasi keimanan, sangat kontradiksi dengan fakta dilapangan, dimana angka kemiskinan belum tertangani dengan baik. Hingga kini masih banyak masyarakat kita yang hidup miskin, papa, dan serba kekurangan, belum tersentuh oleh hasil distribusi zakat. Banyak program lembaga pengelola zakat yang memanfaatnya bagi umat belum dirasakan secara signifikan.

Padahal [potensi zakat diindonesia diatas kertas luar biasa besar. Secara sistematis, jika kesadaran zakat telah tumbuh, maka akan kita dapatkan angka minimal sebesar Rp. 19 trilyun per tahun. Angka ini akan bertambah jika diakumulasikan dengan pemasukan dari infaq, shadaqah, serta wakaf.tentunya akan kita peroleh angka yang cukup bombastis.

Namun,angka diatas masih dalam hitungan kertas saja. Dalam kenyataannya, saat ini baru terkumpul lebih kurang RP 250 miliyar pertahun (ini menurut data pengumpulan zakat oleh lembaga, baik BAZ maupun LAZ). Itu artinya hanya 1,3% saja dana zakat dapat terkumpul dari jumlah potensial yang ada.[6]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Secara social, zakat brfungsi sebagai lembaga jaminan social. Dengan menggunakan lembaga zkat, maka kelompok lemah tidak lagi merasa khawatir terhdap kelangsungan hidup yang mereka jalani. secara ekonomi, zakat berfungsi sebagai salah satu instrument utuk mengentaskan kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan mempersempit kesenjangan yang terjadi antara kelompok kaya dan miskin. Lembaga zakat haruslah bersifat independen, netral, tidak berpolitik dan tidak bersifat deskriminatif. Sedangkan unsur-unsurnya itu Dewan pembina, Dewan pengawas syariah dan Dewan pengurus/manajemen lembaga pengelola zakat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Amin Ma’ruf, Sam Ichwan, dkk. 2011. Himpauan Fatwa (majelis ulama Indonesia). Jakarta: Erlangga

Huda Nurul dan Heykal Mohamad. 2010. Lembaga Keuangan Islam (tinjauan teoritis dan praktis). Jakarta : kencana

Haroen Nasrun. 2009. Panduan Organisasi Pengelola Zakat. Jakarta: Departemen Agama RI

Ramulyo Idris. 2004. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika

 



[1] Nurul Huda dan Mohamad Heykal. Lembaga Keuangan Islam (tinjauan teoritis dan praktis). (Jakarta : kencana. 2010) H. 304

[2] Nasrun Haroen.  Panduan Organisasi Pengelola Zakat. (Jakarta: Departemen Agama RI. 2009) H. 7

[3] Ibid. H. 7-8

[4] Ibid, Nurul Huda dan Mohamad Heykal. H. 306-308

[5] Ibid, Nasrun Haroen. H. 8-10

[6] Ibid. H. 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar