Selasa, 04 Januari 2022

Makalah Hadist Ariyah

 

                                                                BAB I

PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang

Maraknya pertikaian yang terjadi di masyarakat salah satu penyebabnya adalah tentang pinjam-meminjam. Tidak heran jika sampai di bawa ke persidangan hanya berlatarbelakang hal-hal yang sepele. Tapi, hal tersebut terjadi bias dikarenakan factor intern dan factor ekstern. Faktor intern terjadi karena ketidakfahaman kita akan hak-hak dan kewajiban kita terhadap barang-barang yang di pinjamkan.

Dengan bertumpu pada masalah diatas, penulis akan memaparkan secara singkat mengenai hal-hal yang masih di anggap rancu dalam masalah pinjam-meminjam atau yang dalam kitab-kitab agama islam sering dikenal dengan sebutan ‘ariyah dengan tujuan meminimalisir hal-hal yang tidak di inginkan oleh semua pihak pada umumnya.

 

2.      Rumusan Masalah                            

1.      pengertian ariyah  ?

2.      landasan syarai’ ariyah ?

3.      rukun dan syarat ariyah ?

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ariyah

1.      Pengertian Ariyah

Menurut etimologi, ariyah (العارية) adalah diambil dari kata (عار) yang berarti datang atau pergi.Menurut sebagian pendapat ariyah berasal dari kata (التعاور) yang artinya sama dengan (التناول او التناوب) artinya menukar dan mengganti, yakni dalam tradisi pinjam-meminjam.[1]

Menurut terminologi syara Ulama Fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:

a.       Menurut Syakhasi dan Ulama Malikiyah[2]

تَملِيكُ الْمَنفَعَةِ بِغَيرِ عَوضٍ

Artinya :

Pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa mengganti.

 

b.      Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah[3]

اِبَاحَةُ الْمَنْفَعَةِ بِلَا عَوضٍ

Artinya:

Pembolehan untuk mengambil manfaat tanpa pengganti.

 

Akad ini berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut.

 

 

Pengertian pertama memberikan makna kepemilikan sehingga peminjam dibolehkan untuk meminjamkan kepada orang lain. Adapun pengertian kedua memberikan makna kebolehan , sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain.

 

2.      landasan syara’

a.     Al-Qur’an

                  QS. Al-Maidah : 2

 

b.     As-sunah

dalam hadist bukhari dan muslim dari anas, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. Telah meminjam kuda dari abu thalhah, kemudian beliau mengendarainya.

Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh abu dawud dengan sanad yang jayyid dari shafwan Ibn umayyah, dinyatakan bahwa Rasullah SAW. Pernah meminjam perisai dari shafwan bin umayyah pada waktu perang hunain . shafwan bertanya, “apakah engkau merampasnya, ya Muhammad”nabi menjawab “Cuma meminjam dan aku bertanggung jawab.”

 

 

 

 

B.     Rukun dan syarat ariyah

1.       Rukun Ariyah

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.

Menurut ulama syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafazh shigat akad , yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.[4]

Secara umum, jumhur ulama fiqh[5] menyatakan bahwa rukun  ariyah  ada 4 yaitu

a          Mu’ir (peminjam)

-          Seorang ahli (berhak) berbuat kebaikan kehendaknya. Anak kecil dan orang yang dipaksa tidak sah meminjamkan.

-          Manfaat barang yang dipinjamkan dimiliki oleh yang meminjam, dan barang (zat) dimiliki oleh yang meminjamkan (mu’ir).

b        Musta’ir (yang meminjamkan)

c         Mu’ar (barang yang dipinjam)

d        Shigat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan

 

 

 

 

2.      Syarat Ariyah

Ulama fiqh mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut :

a           Mu’ir  berakal sehat

Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama hanafiyah tidak menyarakan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh dan bukan orang yang sedang palit (bangkrut).[6]

b           Pemegangan barang oleh peminjam

Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah.

c           Barang ( musta’ar ) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah[7]

Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, binatang dll

Diharamkan meminjamkan senjata dan kuda kepada musuh, juga diharamkan minjamkan Al-Quran atau yang berkaitan dengan Al-Qur’an kepada orang kafir.

 

 

 

 

 

 

C.     Hukum (Ketetapan) Akad Ariyah

1.      Dasar hukum ariyah

Menurut kebiasaan (urf), ariyah dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat dan secara majaz.

a.       Secara hakikat

Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya. Menurut malikiyah dan hanafiyah, hukumnya manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun atau peminjam memiliki sesuatu yang memaksa dengan manfaat menurut kebiasaan.[8]

Al-Kurkhi, ulama syafi’iah dan hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.

b.      Secara majazi

Ariyah secara majazi adalah pinjam-meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan dll. Seperti telur, uang dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya. Ariyah pada benda-benda tersebut harus diganti dengan benda yang serupa atau senilai. Dengan demikian, walaupun termasuk ariyah, tetapi merupaka ariyah majazi. Sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan untuk memanfaatkannya.[9]

2.      Hak Memanfaatkan Barang Pinjaman

Jumur Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa Musta’ar dapat dapat mengambil manfaat barang sesuai dengan izin Mu’ir ( orang yang member pinjaman ).

Adapun ulama hanifiyah berpendapat kewenangan yang dimiliki oleh Musta’ar bergantung pada jenis, apakah mu’u’ meminjamkan secara terikat ( Muqyad ) atau mutlak

 

a.      Ariyah Mutlak

Ariyah Mutlak yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya ( transaksinya ) tidak dijelaksan persyaratan apapun, seperti dibolehkan orang lain, atau tidak dijelaskan cara penggunaannya. Contohnya  seseorang meminjam binatang , namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan binatang tersebut, misalnya waktu dan tempat mengendarainya. Jadi hukumnya sebagaimana pemilik hewan-hewan yaitu dapat mengambil, namun demikian, harus sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat. Tidak boleh mneggunakan binatang tersebut siang malam dan tanpa henti. Sebaiknya jika penggunaannya tidak sesuai kebiasaan dan barang pinjaman rusak, peminjam harus bertanggung jawab.

b.      Ariyah Muqayyad

Ariyah Mupayyad adalah meminjamkan sesuatu barang yang dibatasi dari segi waktu da kemanfaatannya. Sebaiknya disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya, hukumnya peminjam harus sedapat mungkin menjaga batasan tersebut. Hal ini karena asal dari bataas adalah menaati batasan, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang. Dengan demikian, dibolekhkan untuk melanggar batasan tersebut apabila kesulitan untuk memanfaatkannya.

1.      Batasan Penggunaan Arriyah oleh peminjam

Jika Mu’ir membahas hak penggunaan manfaat itu untuk dirinya sendiri dan masyarakat memndang adanya perbedaan barang penggunaan dalam hal ini lainnya, seperti mengendarai binatang  atau memakai pakainan, dengna demikian, peminjam tidak boleh mengendarai binatang atau memakai pakaian yang ada

2.      Pembatasan waktu atau tempat

Jika ariyyah dibatasi waktu dan tempat, kemudian peminjam melewati tempat atau menambah waktunya, ia bertanggungjawab penambahan tersebut.

3.      Pembatasan ukuran berat dan jenis

Jika yang diisyaratkan adalah berat barang atau jenis kemudian ada kelebihan dalam bobot tersebut ia harus menanggung sesuai dengan kelebihan.

Jika ada perbedaan pendapat antara Mu’ir ( orang yang meminjamkan barang ) dengan Musta’ir ( peminjam ) tentang lamanya waktu meminjam, berat barang yang dibawa barang pinjaman, atau tempat meminjam, pendapat yang harus dimenangkan atau diterima adala pendapat Mu’ir ( yang meninjamkan barang). Karena dialah yang pemberi izin untuk mengambil manfaat barang  pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.  

3.      Sifat Ariyah

Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan peminjam atas barang adalah hak tidak lazim sebab merupakan kepemilikan yang tidak ada penggantinya. Pada hibah, misalnya bisa saja orang yang meminjamkan mengambil barang yang dipinjamkannya kapan saja, baik pinjam-meminjam itu bersifat mutlak atau dibatasi waktu, kecuali ada sebab-sebab tertentu, yang akan menimbulkan kemadharatan saat pengembalian barang tersebut, seperti kalau dikembalikan kepada waktu yang telah ditentukan barang akan rusak atau seperti orang-orang yang meminjam tanah untuk mengubur mayat yang dihormati, maka orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali tanah tersebut dan si peminjampun tidak boleh mengembalikannya sebelum jenazah berubah menjadi tanah.[10]

Alasan mereka antara lain bahwa ariyah adalah transaksi yang dibolehkan, sebagaiman sabda Nabi Muhammad SAW:

 



Artinya:

“Pemberian ditolak sedang pinjam-meminjam adalah (suatu akad) yang  dikembalikan.

(HR. Ibnu ‘Addy).

 

Menurut pendapat yang paling masyhur dari ulama Malikiyah, orang yang meminjamkan tidak dapat meminta barang yang dipinjamkannya sebelum peminjam dapat mengambil manfaatnya. Jika ariyah ditempokan pada suatu waktu, orang yang meminjamkan tidak boleh memintanya sebelum habis waktunya. Akan tetapi, pendapat yang paling unggul menurut Ad-Dardir, dalam kitab Syarah Al-Kabir, adalah orang yang meminjamkan dapat meminta barang yang dipinjamkannya secara mutlak kapanpun ia menghendakinya.

Dari pendapat di atas, jelaslah bahwa ulama Malikiyah membolehkan untuk mengembalikan kalau ada akadnya bersifat umum. Adapun jika akad dibatasi oleh syarat, waktu atau adat mereka melarangnya.

4.      Ihwal Ariyah, Apakah Tanggungan atau Amanat.

Ulama Hanafiah berpendapat bahwa barang pinjaman itu merupakan amanat bagi peminjam, baik dipakai maupun tidak. Dengan demikian, dia tidak menanggung barang tersebut jika terjadi kerusakan, seperti juga dalam sewa-menyewa atau barang titipan, kecuali jika kerusakan disengaja atau karena kelalaian.

Ulama Malikiyah[11] berpendapat bahwa peminjam harus menanggung barang yang tidak ada padanya, yakni yang dapat disembunyikan, seperti baju. Dia tidak harus menanggung sesuatu yang tidak dapat disembunyikan seperti hewan atau barng yang jelas dalam hal kerusakannya. Mereka beralasan dengan mengumpulkan (Al-Jam) dan menyelaraskan (at-taufiq) antara dua hadist :

1.      Hadist yang berkenaan dengan pernyataan Nabi SAW. Kepada shafwan Ibn Umayah bahwa ariyah adalah tanggungan yang dikembalikan.

2.      Hadist yang menyatakan bahwa peminjam yang tidak berkhianat dan tidak bertanggung jawab, begitu pula bagi orang yang dititipi barang, jika tidak berkhianat, tidaklah bertanggung jawab. Hadist yang menyatakan bahwa peminjam bertanggung jawab mengaitkannya dengan barang yang  hilang, sedangkan hadist yang menyatakan bahwa peminjam tidak bertanggung jawab, mengatakannya dengan barang yang tidak hilang. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat hanafiyah diatas bahwa ariyah adalah amanat.

Yang benar menurut kalangan Syafi’iyah, peminjam menanggung harga barang bila terjadi kerusakan dan bila ia menggunakannya tidak sesuai dengan izin yang diberikan pemilik walaupun tanpa disengaja. Adapun jika barang tersebut digunakan sesuai dengan izin pemilik, peminjam tidak menanggungnya ketika terjadi kerusakan.

Ulama Hanabillah berpendapat bahwa peminjam menanggung kerusakan barang pinjamannya secara mutlak, baik disengaja maupun tidak. Selain itu, barang pinjaman merupakan harta orang lain untuk diambil manfaatnya. Berbeda dengan pengambilan manfaat yang disertai jaminan seperti, gadai.

1.   Mu’ir Mensyaratkan Peminjam Harus Bertanggung Jawab

Ulama Hanafiyah berpendapat, jika mu’ir memberikan syarat adanya tanggungan kepada peminjam, syarat tersebut batal. Begitu juga pada penitipan. Hala itu mensyaratkan tidak adanya tanggung jawab pada sewa-menyewa sebab persyaratan tersebut mengubah inti akad.

Menurut ulam Malikiyah, jika mu’ir mensyaratkan peminjaman untuk bertanggung jawab pada sesuatu yang bukan pada tempatnya, peminjam tidak menanggungnya.

Ulama Syafi’iyah dan Hanabillah berpendapat, jika peminjam mensyaratkan ariyah sebagai amanat bukan tanggungan, tanggungan tidak gugur dan syarat batal, sebab setiap akad mengaharuskan adanya tanggungan tidak dapat diubah dengan syarat.

2.  Ariyah Berubah dari Amanah kepada Tanggungan.

Menurut ulama Hanafiyah, penyebab perubahan ariyah dari amanah kepada tanggungan karena diantara keduanya ada beberapa persamaan, seperti penyebab perubahan tersebut pada penitipan barang, yaitu dengan sebab sebagai berikut :

a         Menghilangkan barang

b        Tidak menjaganya ketika menggunakan barang

c         Mengunakan barang tidak sesuia dengan persyaratan atau kebiasaan.

d        Menyalahi tata cara penjagaan yang seharusnya.

BAB III

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Pengertian ariyah (العارية) adalah diambil dari kata (عار) yang berarti datang atau pergi.Menurut sebagian pendapat ariyah berasal dari kata (التعاور) yang artinya sama dengan (التناول او التناوب) artinya menukar dan mengganti, yakni dalam tradisi pinjam-meminjam.[12]

Menurut terminologi syara Ulama Fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:

a.       Menurut Syakhasi dan Ulama Malikiyah[13]

تَملِيكُ الْمَنفَعَةِ بِغَيرِ عَوضٍ

Artinya :

Pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa mengganti.

 

b.      Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah[14]

اِبَاحَةُ الْمَنْفَعَةِ بِلَا عَوضٍ

Artinya:

Pembolehan untuk mengambil manfaat tanpa pengganti.

 

Akad ini berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut.

Pengertian pertama memberikan makna kepemilikan sehingga peminjam dibolehkan untuk meminjamkan kepada orang lain. Adapun pengertian kedua memberikan makna kebolehan , sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain.

B.     SARAN

Kami menyadari akan kekurangan yang kami miliki dan dengan itu kami akan menerima segala masukkan dari para pembaca, guna untuk menyempurnakan isi dari makalah kami ini.

 



[1] Muhammad Asy-Syarbani, Mugni Al-Muhtaj, juz II. Hlm 263

[2] Syamsuddin Asy-Syakhrasyi, Al-Mabstuh, juz XI. Hlm 133

[3] Muhammad Asy-Syarbini, Op.Cit., juz II. Hlm 264

[4] Muhammad Asy-Syarbini, Op.Cit., Juz II, Hal. 266

[5] Ibid, hlm, 264

[6] ibid

[7] Alauddin Al-kasani, Op.Cit., Juz II, hlm 266

[8] Muhammad Asy-Syarbani, Op.Cit., Juz II hlm. 266

[9] Al-Kasani., Op.Cit., Juz Hlm. 251

[10] Al-Kasani, Op.Cit., Juz VI Hlm. 216

[11] Al-Kasani, Op.Cit., Juz II Hlm. 117

[12] Muhammad Asy-Syarbani, Mugni Al-Muhtaj, juz II. Hlm 263

[13] Syamsuddin Asy-Syakhrasyi, Al-Mabstuh, juz XI. Hlm 133

[14] Muhammad Asy-Syarbini, Op.Cit., juz II. Hlm 264

Tidak ada komentar:

Posting Komentar